BREAKING NEWS

Jumat, Januari 08, 2016

Menatap Masa Depan: Pendidikan Banyumas

gambar: teropongkamiblog.com

Sering kita dengar dan kita dengungkan, dalam setiap aksi demonstrasi atau dalam mimbar akademik, bahwa “pendidikan adalah hak dasar bagi seluruh masyarakat Indonesia”. Sering juga kita mendengar dan dengungkan, Bahwa “setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”, tapi apakah hal tersebut sudah terpenuhi?

Berbicara mengenai pendidikan, sudah barang tentu kita akan berbicara juga tentang peran negara dalam menyelenggarakannya, seperti yang tertera dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat 2:

 ”Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dan pemerintah wajib membiayainya”,
               Serta diatur pula di dalam Pasal 4:

 “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang kurangnya 20 % dari anggaran        pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk    memenuhi kebutuhan penyelenggaraan nasional”.

Namun, kembali yang terjadi tidak seperti yang di harapkan. Sampai dengan tahun 2015, angka partisipasi pendidikan Indonesia masihlah rendah. Coba kita cek, data BPS tahun 2015 menunjukan bahwa angka partisipasi sekolah menurun di tiap jenjangnya. Dalam data tersebut, Masyarakat Indonesia Usia 7-12 tahun menempati peringkat pertama yang dapat mengakses pendidikan, yaitu sebesar 98,36%. Posisi kedua di duduki oleh masyarakat Indonesia usia 13-15 tahun, dengan persentase patrisipasi pendidikan sebesar 90,68%. Dari sini dapat kita lihat bahwa angka partisipasi pendidikan dikedua jenjang ini menurun, walaupun tidak terlalu banyak.

Permasalahan akan terlihat pada jenjang berikutnya. Angka partisipasi pendidikan usia 16-18 dan 19-24 tahun menurun drastis. Persentase yang bisa dihasilkan hanya 63,38% dan 19,97%. Jauh menurun dari dua jenjang diatasnya. Ini menunjukan bahwa masih rendahnya aksesibilitas rakyat Indonesia ke pendidikan tinggi.

Lalu, siapa yang patut dipersalahkan?Siapa yang harusnya bertanggung jawab?

Berawal dari Uang Pangkal

Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 4, bahwa pemerintah harus mengalokasikan biaya pendidikan sebesar 20% APBN dan APBD, hal ini dimaksudkan agar setiap lapisan masyarakat dapat mengakses pendidikan seluas-luasnya. Tapi yang terjadi di lapangan adalah rendahnya partisipasi masyarakat dalam mengakses pendidikan tinggi karena minimnya aksesibilitas pendidikan yang ada di Indonesia,  hanya ada 19,97%. Hal ini disebebkan oleh beberapa faktor, tapi yang terkuat adalah karena mahalnya ‘biaya kuliah’.

Biaya kuliah sebelum tahun 2012 atau yang sampai hari ini masih terjadi di kampus-kampus swasta, masih menggunakan mekanisme uang pangkal. Sistem pembayaran ini, merupakan suatu sistem yang mengakibatkan sulitnya pendidikan tinggi diakses. Uang pangkal adalah pungutan paksa dari perguruan tinggi yang wajib dibayarkan mahasiswa baru untuk dapat mengakses kuliah di perguruan tinggi tersebut, istilah lain adalah uang gedung. Disebut pungutan paksa, karena bila tidak dilaksanakan maka tidak bisa kuliah, dan tidak dapat menjadi mahasiswa di perguruan tinggi tersebut. Di Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) sendiri, uang pangkal ini namanya bermacam-macam, ada SPI (Sumbangan Pengembangan Institusi), POM (Persatuan Orangtua Mahasiswa), BOPP (Biaya Operasional Pendidikan Tinggi), BFP (Biaya Fasilitas Pendidikan), dan lain-lain. Namun, apapun namanya, besaran yang diminta tidak jauh berbeda. Fungsi dari uang pangkal ini tidak jelas, karena biasanya tidak pernah ada transparansi mengenai untuk apa sajakah uang pangkal ini digunakan.
Fenomena uang pangkal ini terjadi pada fase-fase reformasi. Melalui penyepakatan GATS (General Agreement of Trade and Services), pendidikan tinggi dijadikan salah satu sektor jasa yang dapat diperdagangkan secara bebas. GATS ini adalah cikal bakal WTO (World Trade Organization), dan Indonesia bergabung di dalamnya. Dari sini ada peralihan persepsi dimana tadinya pendidikan bukanlah komoditi, kemudian diubah menjadi komoditi. Proses yang demikian disebut komodifikasi pendidikan. Posisi negara tidak lagi menjamin hak manusia, tapi menjadi pelayan penguasa modal. Negara dibuat sebisa mungkin mengurangi intervensinya atas pasar, termasuk dalam membiayai pendidikan. Tujuannya jelas, yakni laba bagi penguasa modal. Dari sini, dapat terlihat bahwa peran Internasional (red: Imperialisme) mempengaruhi sistem pendidikan nasional.
Dampaknya dalam regulasi nasional adalah salah satunya pasca Undang-Undang 9 Tahun 2009 tentag Badan Hukum Pendidikan  dihapuskan oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 31 Maret tahun 2010, dua minggu kemudian tepatnya 17 April 2010, World Bank mengeluarkan dokumen Indonesia lewat proyek Managing Higher Education for Relevance and Efficiency (MHERE). Sebuah proyek Bank Dunia untuk bidang pendidikan, termasuk untuk menyusun renstra pendidikan nasional.  Inilah cikal bakal pemerintah menyusun Undang-Undang No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU PT).
UU PT adalah reinkarnasi dari UU BHP, semangat neoliberalisasi pendidikan menjelma dalam UU tersebut. Dalam Pasal 62, diatur bahwa perguruan tinggi memiliki otonomi untuk menyelenggarakan sendiri kampusnya. Masih sama dengan konsep UU BHP, salah satu wewenang dari otonomi perguruan tinggi ini adalah dengan membentuk unit bisnis dan mengembangkan harta abadi. Dalam Pasal 73 ayat (1) mengatur mengenai pola penerimaan mahasiswa baru, yang dalam hal ini masih sama dengan masalah sebelumnya, yakni melegalisir penerimaan mahasiswa baru selain penerimaan mahasiswa secara nasional. Tidak berhenti disitu, dalam Pasal 91 ayat (2) huruf a mengatur bahwa masyarakat dapat menentukan kompetensi lulusan melalui organisasi profesi, dunia usaha, dan dunia industri. Dalam hal ini pihak swasta menginginkan lulusan perguruan tinggi menjadi pekerja murah untuk kepentingan imperialisme. Dan masih banyak masalah lainnya.
Carut marut pendidikan Banyumas

Setiap kebijakan serta dampak yang terjadi di nasional, sudah barang tentu akan berdampak juga dengan yang akan terjadi di daerah. Seperti layaknya pepatah yang berbunyi bahwa “buah pasti tidak akan jatuh jauh dari pohonnya”. Demikian juga yang terjadi dalam dunia pendidikan Banyumas, dari total total masyarakat usia 19-24 tahun, hanya sekitar 20% yang dapat mengakses pendidikan tinggi. Permasalahan ini tidak lain dan tidak bukan disebabkan oleh mahalnya biaya pendidikan di Banyumas. Dari sini dapat dilihat bahwa isu pendidikan merupakan masalah yang utama yang dihadapi oleh Bangsa Indonesia.

Secara nasional, data BPS tahun 2015 menunjukkan, pendidikan yang ditamatkan penduduk usia 15 tahun ke atas sebesar 31,41 persen dan angka partisipasi murni (APM) SM/MA/Paket C sebesar 54 persen (BPS, Indikator Pendidikan, 2014). Kabupaten Banyumas juga menghadapi persoalan yang sama. Data pendidikan menunjukkan APM Kabupaten Banyumas sebesar 20,84 persen pada tahun 2014 masih jauh dibandingkan target RPJMD tahun 2018 sebesar 58 persen. Berdasarkan kondisi pendidikan menengah di Kabupaten Banyumas, dalam pembangunan pendidikan dengan melihat beberapa aspek, yaitu daya tanggap potensial, daya tanggap aktual, dan daya tanggap komitmen sumber daya. dari data yang tertera diatas tentang angka partisipasi pendidikan menunjukkan daya tanggap potensial Pemerintah Kabupaten Banyumas masih sangat kurang. 

Berbagai persoalan yang telah diidentifikasi dalam daya tanggap potensial tersebut, sangat lamban diselesaikan dalam daya tanggap aktual. Dibutuhkan waktu yang sangat lama untuk menyelesaikan persoalan pendidikan yang terdapat di Kabupaten Banyumas. Keterbatasan anggaran menjadi selalu mejadi alasan utama untuk melaksanakan pembangunan pendidikan menengah. Meskipun komitmen sumber daya telah dilakukan, namun karena anggaran yang tersedia tidak mencukupi (atau lebih tepatnya tidak di cukupi), maka komitmen sumber daya ini sangat sulit untuk direalisasikan.

Daya tanggap Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas dalam pembangunan pendidikan terkendala oleh keterbatasan anggaran. Meskipun undang-undang telah mengatur alokasi anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBD, sampai saat ini pemerintah Kabupaten Banyumas mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 16,7 persen.

Melihat hal ini, maka Pemerintah Kabupaten Banyumas perlu mengalokasikan anggaran yang mencukupi dan melakukan prioritas pembangunan pendidikan. Tidak cukup hanya menjamin komitmen sumber daya anggaran, tetapi merealisasikan komitmen tersebut. Politik anggaran di Kabupaten Banyumas perlu diarahkan untuk membangun pendidikan menengah yang mampu mewujudkan pemerataan pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, sehingga penduduk Kabupaten Banyumas mampu mengenyam pendidikan yang lebih baik.

Kondisi minimnya aksesibilitas pendidikan di Banyumas, khususnya pendidikan tinggi tentu tidak lepas dari sistem pendidikan nasional sebagaimana diatas telah dijelaskan. Komersialisasi pendidikan yang disuntikkan melalui Perjanjian Internasional (GATS) oleh Imperialis ke Indonesia berdampak negatif terhadap aksesibilitas pendidikan di Indonesia, termasuk di Banyumas. Amanat 20% alokasi dari APBN dan 20% alokasi dari APBD (di Daerah) khusus untuk pendidikan bahkan tidak benar-benar dilaksanakan baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah.

Penolakan atas komersialisasi, privatisasi dan liberalisasi pendidikan yang tentu bersandarkan pada perjuangan massa rakyat untuk adanya reforma agraria dan industri nasional merupakan perjuangan sejati untuk menuju pendidikan yang tentunya akan bisa dinikmati oleh semua masyarakat Indonesia umumnya, dan Banyumas khususnya.

Salam hangat untuk pendidikan yang ilmiah, demokratis dan mengabdi pada rakyat !!!  


Penulis: Amy Bondan Maharaja
             (Ka. Departemen Organisasi FMN Cabang Purwokerto)

Share this:

1 komentar :

  1. http://www.soearamassa.com/2016/01/menatap-masa-depan-pendidikan-banyumas.html

    BalasHapus

 
Back To Top
Copyright © 2018 Soeara Massa. Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Templates