gambar: teropongkamiblog.com
Sering kita dengar dan
kita dengungkan, dalam setiap aksi demonstrasi atau dalam mimbar akademik,
bahwa “pendidikan adalah hak dasar bagi seluruh masyarakat Indonesia”. Sering
juga kita mendengar dan dengungkan, Bahwa “setiap warga negara berhak
mendapatkan pendidikan”, tapi apakah hal tersebut sudah terpenuhi?
Berbicara mengenai
pendidikan, sudah barang tentu kita akan berbicara juga tentang peran negara
dalam menyelenggarakannya, seperti yang tertera dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat 2:
”Setiap
warga negara wajib mengikuti pendidikan dan pemerintah wajib membiayainya”,
Serta diatur pula di dalam Pasal 4:
“Negara memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang kurangnya 20 % dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari
anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan
nasional”.
Namun, kembali yang terjadi tidak seperti yang di harapkan. Sampai
dengan tahun 2015, angka partisipasi pendidikan Indonesia masihlah rendah. Coba
kita cek, data BPS tahun 2015 menunjukan bahwa angka partisipasi sekolah
menurun di tiap jenjangnya. Dalam data tersebut, Masyarakat Indonesia Usia 7-12
tahun menempati peringkat pertama yang dapat mengakses pendidikan, yaitu
sebesar 98,36%. Posisi kedua di duduki oleh masyarakat Indonesia usia 13-15
tahun, dengan persentase patrisipasi pendidikan sebesar 90,68%. Dari sini dapat
kita lihat bahwa angka partisipasi pendidikan dikedua jenjang ini menurun,
walaupun tidak terlalu banyak.
Permasalahan akan terlihat pada jenjang berikutnya. Angka
partisipasi pendidikan usia 16-18 dan 19-24 tahun menurun drastis. Persentase
yang bisa dihasilkan hanya 63,38% dan 19,97%. Jauh menurun dari dua jenjang
diatasnya. Ini menunjukan bahwa masih rendahnya aksesibilitas rakyat Indonesia
ke pendidikan tinggi.
Lalu, siapa yang patut dipersalahkan?Siapa yang
harusnya bertanggung jawab?
Berawal dari Uang Pangkal
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 4, bahwa
pemerintah harus mengalokasikan biaya pendidikan sebesar 20% APBN dan APBD, hal
ini dimaksudkan agar setiap lapisan masyarakat dapat mengakses pendidikan
seluas-luasnya. Tapi yang terjadi di lapangan adalah rendahnya partisipasi
masyarakat dalam mengakses pendidikan tinggi karena minimnya aksesibilitas
pendidikan yang ada di Indonesia, hanya
ada 19,97%. Hal ini disebebkan oleh beberapa faktor, tapi yang terkuat adalah
karena mahalnya ‘biaya kuliah’.
Biaya kuliah sebelum tahun 2012 atau
yang sampai hari ini masih terjadi di kampus-kampus swasta, masih menggunakan
mekanisme uang pangkal. Sistem pembayaran ini, merupakan suatu sistem yang
mengakibatkan sulitnya pendidikan tinggi diakses. Uang pangkal adalah pungutan paksa dari perguruan tinggi
yang wajib dibayarkan mahasiswa baru untuk dapat mengakses kuliah di perguruan
tinggi tersebut, istilah lain adalah uang gedung. Disebut pungutan paksa,
karena bila tidak dilaksanakan maka tidak bisa kuliah, dan tidak dapat menjadi
mahasiswa di perguruan tinggi tersebut. Di Universitas Jenderal Soedirman
(Unsoed) sendiri, uang pangkal ini namanya bermacam-macam, ada SPI (Sumbangan
Pengembangan Institusi), POM (Persatuan Orangtua Mahasiswa), BOPP (Biaya
Operasional Pendidikan Tinggi), BFP (Biaya Fasilitas Pendidikan), dan
lain-lain. Namun, apapun namanya, besaran yang diminta tidak jauh berbeda.
Fungsi dari uang pangkal ini tidak jelas, karena biasanya tidak pernah ada
transparansi mengenai untuk apa sajakah uang pangkal ini digunakan.
Fenomena uang pangkal ini terjadi pada fase-fase
reformasi. Melalui penyepakatan GATS (General Agreement of Trade and
Services), pendidikan tinggi dijadikan salah satu sektor jasa
yang dapat diperdagangkan secara bebas. GATS ini adalah cikal bakal WTO (World Trade Organization), dan Indonesia bergabung di
dalamnya. Dari sini ada peralihan persepsi dimana tadinya pendidikan
bukanlah komoditi, kemudian diubah menjadi komoditi. Proses yang demikian
disebut komodifikasi pendidikan. Posisi negara tidak lagi menjamin hak manusia,
tapi menjadi pelayan penguasa modal. Negara dibuat sebisa mungkin mengurangi
intervensinya atas pasar, termasuk dalam membiayai pendidikan. Tujuannya jelas,
yakni laba bagi penguasa modal. Dari sini, dapat terlihat bahwa peran
Internasional (red: Imperialisme)
mempengaruhi sistem pendidikan nasional.
Dampaknya dalam regulasi nasional adalah salah satunya
pasca Undang-Undang 9 Tahun 2009 tentag Badan Hukum Pendidikan dihapuskan oleh Mahkamah Konstitusi pada
tanggal 31 Maret tahun 2010, dua minggu kemudian tepatnya 17 April 2010, World Bank mengeluarkan dokumen Indonesia lewat
proyek Managing Higher Education for Relevance and Efficiency (MHERE).
Sebuah proyek Bank Dunia untuk bidang pendidikan, termasuk untuk menyusun
renstra pendidikan nasional. Inilah cikal bakal pemerintah menyusun
Undang-Undang No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU PT).
UU PT adalah reinkarnasi dari UU BHP, semangat
neoliberalisasi pendidikan menjelma dalam UU tersebut. Dalam Pasal 62, diatur
bahwa perguruan tinggi memiliki otonomi untuk menyelenggarakan sendiri
kampusnya. Masih sama dengan konsep UU BHP, salah satu wewenang dari otonomi
perguruan tinggi ini adalah dengan membentuk unit bisnis dan mengembangkan
harta abadi. Dalam Pasal 73 ayat (1) mengatur mengenai pola penerimaan
mahasiswa baru, yang dalam hal ini masih sama dengan masalah sebelumnya, yakni
melegalisir penerimaan mahasiswa baru selain penerimaan mahasiswa secara
nasional. Tidak berhenti disitu, dalam Pasal 91 ayat (2) huruf a mengatur bahwa
masyarakat dapat menentukan kompetensi lulusan melalui organisasi profesi,
dunia usaha, dan dunia industri. Dalam hal ini pihak swasta menginginkan
lulusan perguruan tinggi menjadi pekerja murah untuk kepentingan imperialisme.
Dan masih banyak masalah lainnya.
Carut marut pendidikan Banyumas
Setiap kebijakan serta dampak yang terjadi di nasional, sudah
barang tentu akan berdampak juga dengan yang akan terjadi di daerah. Seperti
layaknya pepatah yang berbunyi bahwa “buah
pasti tidak akan jatuh jauh dari pohonnya”. Demikian juga yang terjadi
dalam dunia pendidikan Banyumas, dari total total masyarakat usia 19-24 tahun,
hanya sekitar 20% yang dapat mengakses pendidikan tinggi. Permasalahan ini
tidak lain dan tidak bukan disebabkan oleh mahalnya biaya pendidikan di
Banyumas. Dari sini dapat dilihat bahwa isu pendidikan
merupakan masalah yang utama yang dihadapi oleh Bangsa Indonesia.
Secara nasional, data
BPS tahun 2015 menunjukkan, pendidikan yang ditamatkan penduduk usia 15 tahun
ke atas sebesar 31,41 persen dan angka partisipasi murni (APM) SM/MA/Paket C
sebesar 54 persen (BPS, Indikator Pendidikan, 2014). Kabupaten Banyumas juga
menghadapi persoalan yang sama. Data pendidikan menunjukkan APM Kabupaten
Banyumas sebesar 20,84 persen pada tahun 2014 masih jauh dibandingkan target
RPJMD tahun 2018 sebesar 58 persen. Berdasarkan kondisi pendidikan menengah di
Kabupaten Banyumas, dalam pembangunan pendidikan dengan melihat beberapa aspek,
yaitu daya tanggap potensial, daya tanggap aktual, dan daya tanggap komitmen
sumber daya. dari data yang tertera diatas tentang angka partisipasi pendidikan
menunjukkan daya tanggap potensial Pemerintah Kabupaten Banyumas masih sangat
kurang.
Berbagai persoalan yang
telah diidentifikasi dalam daya tanggap potensial tersebut, sangat lamban
diselesaikan dalam daya tanggap aktual. Dibutuhkan waktu yang sangat lama untuk
menyelesaikan persoalan pendidikan yang terdapat di Kabupaten Banyumas.
Keterbatasan anggaran menjadi selalu mejadi alasan utama untuk melaksanakan
pembangunan pendidikan menengah. Meskipun komitmen sumber daya telah dilakukan,
namun karena anggaran yang tersedia tidak mencukupi (atau lebih tepatnya tidak
di cukupi), maka komitmen sumber daya ini sangat sulit untuk direalisasikan.
Daya tanggap Pemerintah
Daerah Kabupaten Banyumas dalam pembangunan pendidikan terkendala oleh
keterbatasan anggaran. Meskipun undang-undang telah mengatur alokasi anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBD, sampai saat ini pemerintah
Kabupaten Banyumas mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 16,7 persen.
Melihat hal ini, maka
Pemerintah Kabupaten Banyumas perlu mengalokasikan anggaran yang mencukupi dan
melakukan prioritas pembangunan pendidikan. Tidak cukup hanya menjamin komitmen
sumber daya anggaran, tetapi merealisasikan komitmen tersebut. Politik anggaran
di Kabupaten Banyumas perlu diarahkan untuk membangun pendidikan menengah yang
mampu mewujudkan pemerataan pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, sehingga
penduduk Kabupaten Banyumas mampu mengenyam pendidikan yang lebih baik.
Kondisi minimnya
aksesibilitas pendidikan di Banyumas, khususnya pendidikan tinggi tentu tidak
lepas dari sistem pendidikan nasional sebagaimana diatas telah dijelaskan. Komersialisasi
pendidikan yang disuntikkan melalui Perjanjian Internasional (GATS) oleh
Imperialis ke Indonesia berdampak negatif terhadap aksesibilitas pendidikan di
Indonesia, termasuk di Banyumas. Amanat 20% alokasi dari APBN dan 20% alokasi
dari APBD (di Daerah) khusus untuk pendidikan bahkan tidak benar-benar
dilaksanakan baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah.
Penolakan atas
komersialisasi, privatisasi dan liberalisasi pendidikan yang tentu bersandarkan
pada perjuangan massa rakyat untuk adanya reforma agraria dan industri nasional
merupakan perjuangan sejati untuk menuju pendidikan yang tentunya akan bisa
dinikmati oleh semua masyarakat Indonesia umumnya, dan Banyumas khususnya.
Salam hangat untuk
pendidikan yang ilmiah, demokratis dan mengabdi pada rakyat !!!
Penulis: Amy Bondan Maharaja
(Ka. Departemen Organisasi FMN Cabang Purwokerto)

http://www.soearamassa.com/2016/01/menatap-masa-depan-pendidikan-banyumas.html
BalasHapus