Tahun 2015 telah sampai di
penghujungnya. Indonesia telah ditempa berbagai macam peristiwa : krisis
berkepanjangan dan bangkitnya gerakan massa, dua hal yang secara umum terus
terjadi secara beriringan selama tahun 2015. Krisis imperialisme yang
berkepanjangan, telah menyeret Indonesia terus terperosok kedalam lembah sistem
kapitalisme monopoli yang penuh krisis. Klas-klas di dalam negeri terus bergesekan
satu dengan yang lain. Pemotongan subsidi rakyat, penambahan hutang luar negeri
secara besar-besaran, pembangunan berbasis modal asing, perampasan tanah, terus
bertubrukan dengan pemogokan massa, aksi-aksi demonstrasi, hingga aksi-aksi
protes yang dilakukan oleh massa rakyat di berbagai daerah di Indonesia.
Jokowi-JK sebagai rejim boneka baru, yang menampilkan dirinya sebagai rejim
populis, tak bisa lagi menutupi watak fasisnya. Wajah sendu dan penuh santun
itu segera menunjukkan taringnya setelah menempati kursi RI-1. Setiap hari
barisan militer terus ditambahkan di setiap sektor publik, kebebasan
berpendapat dibatasi, penangkapan dimana-mana dan bahkan penghilangan nyawa
menjadi pilihan. Semua demi menjaga investasi asing dan monopoli tanah di Indonesia.
1 Tahun Pengabdian Pemerintah Jokowi-JK kepada Imperialis
Secara umum, pada tahun 2015, Jokowi-JK menerapkan beberapa poin penting : pengurangan subsidi rakyat, investasi asing besar-besaran, pembangunan dan perampasan tanah, peningkatan hutang luar negeri, dan pengekangan hak demokratis rakyat atas nama stabilitas nasional. Produk kebijakan itulah yang memimpin politik pemerintahan Jokowi-JK selama 2015. Berbagai kebijakan baik social maupun kebudayaan lain sejatinya akan menopang arah pemerintahan Jokowi-JK tersebut. Arah pemerintahan saat ini merupakan pemandu jalannya kepentingan Imperialisme di Indonesia, yaitu : menjadikan Indonesia sebagai sasaran eksport kapital, pasar bagi barang produksi imperialis, penyedia bahan-bahan mentah, dan penyedia tenaga kerja murah. Namun, skema pembangunan tersebut tidaklah berdampak positif bagi peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia. Justru sebaliknya. Tahun 2015 adalah tahun krisis, sebagai lanjutan dari krisis ekonomi dunia pada tahun 2008. Anjloknya harga rupiah, hingga tidak stabilnya harga-harga kebutuhan pokok terus terjadi.
Pembangunan ala Jokowi adalah petaka
bagi rakyat. Selama 2015, konflik agraria meningkat, disusul dengan maraknya
kasus kekerasan akibat perampasan tanah di berbagai daerah. Bahkan beberapa
kasus kekerasan aparat keamanan berujung pada kematian rakyat. Dampak dari
perampasan tanah di desa-desa telah membawa jutaan orang berpindah menuju kota,
atau bahkan tidak sedikit yang memilih luar negeri. Namun sayang, luar negeri
merupakan tempat yang kejam bagi buruh migran Indonesia. Tak perlu lagi kita
sebutkan, berapa antrean buruh migran yang akan dihukum mati di luar negeri,
berapa total kekerasan terhadap buruh migran yang terjadi. Bagi yang tidak
berani mengadu nasib di negeri orang, kota-kota di dalam negeri ternyata juga
bukan tujuan yang baik. Karena ternyata 2015 adalah tahun PHK besar-besaran,
yang pada akhirnya berujung pada melonjaknya pengangguran. Upah murah bahkan
secara tegas telah dilegitimasi pemerintah melalui PP No. 78 Tahun 2015 Tentang
Pengupahan. Di sektor pemuda, akses pendidikan, terutama pendidikan tinggi
hingga saat ini hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang. UU No.12 Tahun 2012
Tentang Pendidikan Tinggi kini telah menemukan bentuk konkretnya melalui
Permenristekdikti No.22 Tahun 2015, yang melegitimasi pungutan uang lebih bagi
mahasiswa non-reguler. Tak selesai
sampai disitu, pungli di kampus-kampus hingga saat ini masih merajalela, dan
bahkan seolah menjadi rahasia umum.
Berbagai macam persoalan diatas
merupakan harga yang harus dibayar, jika ingin mengabdikan diri pada korporasi
besar internasional. Subsidi harus terus dikurangi, demi mengefisienkan
anggaran. Kekayaan alam haruslah diswastakan, dijual ke pihak asing, dengan
alasan “rakyat kita belum mampu mengurus industri nasional”. Padahal memang tak
ada niatan pemerintah mengembangkan sistem pendidikan nasional kita. Seluruh
hasil pertanian dan perkebunan juga harus dimonopoli oleh para tuan tanah besar
dan korporasi internasional. Masih dengan alasan serupa, namun disertai alasan
tambahan, yaitu “kita harus ikut serta mengatasi krisis pangan”. Padahal krisis
pangan adalah dampak dari monopoli tanah yang juga diakibatkan oleh tuan tanah
maupun imperialis sendiri.
Sektor pembangunan menjadi perhatian
utama. Bahkan jangan salah, 70% dana pembangunan dalam RPJMN 2015-2019
didapatkan dari bantuan (baca : HUTANG) luar negeri. Semua karena pembangunan
kita akan diperuntukkan bagi sang tuan (lagi-lagi dibaca : imperialisme Amerika
Serikat). Selain itu, pertahanan menjadi perhatian penting nomor dua. Mengapa?
Bukankah kita tidak sedang dalam keadaan perang dunia? Yaa, kiranya pemerintah
kita cukup cerdas. Pembangunan berbasis investasi asing, perampasan tanah
besar-besaran, pemotongan subsidi secara brutal tentu saja akan mengakibatkan
gejolak perlawanan dari massa rakyat. Disitulah pentingnya pertahanan. Para
pejabat berbadan gemuk berbaju loreng-loreng (baca : Tentara Nasional
Indonesia) memang bertugas untuk itu. Mengamankan investasi, mengamankan
monopoli tanah dari gerakan rakyat yang melawannya. Bahkan mereka ikut serta
dalam menikmati kekayaannya. Bahkan TNI disebar di 31 instansi pemerintah untuk
mengamankan roda pemerintahan boneka ini. Tak lupa, kampus-kampus juga kini
mulai didatangi TNI. Bahkan di tahun 2016, TNI dikabarkan akan mengisi
acara-acara ospek, dengan dalih mengisi materi soal wawasan kebangsaan. Tujuan
sebenarnya jelaslah untuk menanamkan nilai-nilai kepatuhan terhadap ‘yang
mulia’ Jokowi. Selain menyiapkan barisan yang siap memerangi rakyat sendiri,
pemerintah juga menyiapkan perangkat hukum lain yang mendukung. Hate Speech, pasal penghinaan presiden,
peraturan pembatasan aksi massa, pengawasan tentang postingan-postingan di
media telah disiapkan.
Gerakan Massa Mulai Bermekaran!
Tahun
2015 bukan saja tahun milik rejim boneka Jokowi-JK, tapi juga tahun dimana
gerakan massa mulai bangkit. Seperti istilah “dimana ada penindasan, disitu ada
perlawanan”, rakyat di berbagai daerah mulai mengepalkan tangannya kepada
rejim. Para petani mulai bersikeras menjaga tanahnya. Masih lekat dalam ingatan
kita bagaimana usaha keras ibu-ibu di Rembang yang bertahan menolak pembangunan
pabrik semen. Petani di Urut Sewu yang terus berjuang melawan barisan TNI yang
menguasai lahan mereka. Petani di Jatigede turut serta berjibaku menghadang
penggenangan waduk Jatigede. Petani di Rumpin yang dengan konsisten melawan
monopoli tanah oleh TNI, masih bergejolak di 2015. Petani Darmakradenan di
Kabupaten Banyumas telah bertahan dan terus berjuang selama 16 tahun dalam
berhadapan dengan Kodam IV Diponegoro. Jutaan petani di berbagai tempat masih
dengan gigihnya melawan monopoli tanah oleh negara melalui Perhutani, PTPN,
hingga Taman Nasional. Berbagai kekalahan dan kemenangan kecil telah memupuk
kaum tani Indonesia dalam perjuangan yang panjang. Berkali-kali desa digoncang,
hingga pusat-pusat kota mereka sambangi, demi menuntut hak atas tanah.
Di kota, buruh mulai menyatukan diri
menolak skema politik upah murah. Teriakan “menolak PP No.78 Tahun 2015” terus
berkumandang selama tahun 2015. Tak henti-hentinya rally rally aksi dan pemogokan dilancarkan oleh klas buruh demi
menolak skema politik upah murah. Dari Sumatra Utara, Jabodetabek, Jawa Barat,
Jawa Timur, hingga ke Sulawesi, pusat-pusat industri digetarkan. Beberapa kali
pemerintah Jokowi-JK memukul gerakan buruh dengan membubarkan aksi, intimidasi
buruh di pabrik-pabrik, penangkapan buruh, hingga PHK terjadi di pusat-pusat
industri. Namun, klas buruh belum terkalahkan juga. Mogok nasional bahkan
dilancarkan buruh selama 3 hari di bulan November, mengakibatkan kerugian
miliyaran rupiah.
Massa rakyat di perkotaan juga mulai
berbaris menjaga kampungnya dari ancaman penggusuran. Kampung Pulo menjadi
saksi bisu dari gerakan militan para pemuda yang memperjuangkan haknya. Sudut-sudut
kota lainnya juga terdengar perjuangan dari Pedagang Kaki Lima yang menolak
digusur dan direlokasi ke tempat yang tidak layak.
Gerakan
mahasiswa juga mulai mengkampanyekan persoalan kampus. Di Medan, mahasiswa
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) menggelar unjuk rasa di depan
kampus mereka pada awal 2015. Mereka menolak kebijakan universitas menaikkan
biaya pendidikan. Pekalongan juga bergejolak, para mahasiswa di Universitas
Pekalongan juga melakukan aksi yang sama menolak kenaikan biaya mata kuliah dan
wisuda. Selain itu, penolakan terhadap penarikan biaya kuliah baru yang
menggunakan sistem UKT pun banyak dilakukan. Universitas Lampung dan UIN Sunan
Kalijaga mengawalinya untuk tahun 2015. Di akhir tahun, Fisip Unsoed kembali
bergejolak dengan menolak pungutan KKL 2015,
selain itu kampus IAIN Purwokerto juga menggelorakan perjuangan hebat melawan
kebijakan POM yang illegal, yang akhirnya
membuahkan hasil, uang POM dikembalikan bagi mahasiswa 2014, dan POM dihapuskan.
Tidak hanya itu, gelombang gerakan mahasiswa dalam menolak komersialisasi
pendidikan telah sampai pada dua
kampus besar di Indonesia, yaitu UGM dan UI. UGM sedang berjuang keras melawan
pungutan liar di kampusnya, yaitu pungutan uang KKN. Sementara, UI bergerak
mempersoalkan kenaikan biaya kuliah.
Tak
hanya mengkampanyekan persoalan kampus, gerakan mahasiswa kini juga mulai
mendekatkan diri dengan gerakan rakyat lainnya. Pada tahun 2015, aksi-aksi yang
dilakukan rakyat dari berbagai sektor seringkali diwarnai keikutsertaan
mahasiswa. Pertalian erat antara gerakan mahasiswa dengan gerakan rakyat ini
merupakan lembaran baru gerakan mahasiswa pasca reformasi.
Terlepas
dari semua kekalahan dan kemenangan kecil gerakan massa, 2016 merupakan
lembaran baru yang perlu dipersiapkan. Masyarakat Ekonomi Asean telah datang,
investasi asing semakin besar, perampasan tanah akan semakin massif, upah murah
akan terus dipertahankan, dan biaya pendidikan akan semakin melonjak tinggi.
Pengalaman berarti dari perjuangan 2015 perlu kita pelajari dengan
sungguh-sungguh. Semua ilusi yang disebarkan pemerintah Jokowi-JK telah
tersingkap, melalui berbagai macam kebijakannya. Krisis ekonomi dunia akan
terus memaksa Indonesia untuk menyediakan sumber bahan mentah dan tenaga kerja
murah. Memposisikan Indonesia sebagai sasaran eksport kapital dan barang. Sehingga,
memperhebat perjuangan adalah kebutuhan kita. Tahun 2015 telah memberi kita
pelajaran. Berbagai penindasan telah memupuk kita, krisis demi krisis telah
menyirami kita.
Tahun
baru 2016 tidak datang dengan jaminan sosial, kenikmatan, kemapanan dan
kedamaian. Ia datang dengan membawa krisis berkepanjangan, hutang luar negeri,
politik upah murah, skema perampasan tanah, dan kenaikan biaya pendidikan. Maka
kita pun perlu menyambutnya dengan perjuangan massa!
Salam
Demokrasi! Selamat Tahun Baru 2016! Jayalah Perjuangan Massa!
Fachrurrozi Hanafi
Ketua FMN Cabang Purwokerto
1 Januari 2016

Posting Komentar