BREAKING NEWS

Jumat, Januari 01, 2016

Pernyataan Sikap FMN Cabang Purwokerto Memasuki Tahun 2016 : Mari Memperhebat Perjuangan!


Tahun 2015 telah sampai di penghujungnya. Indonesia telah ditempa berbagai macam peristiwa : krisis berkepanjangan dan bangkitnya gerakan massa, dua hal yang secara umum terus terjadi secara beriringan selama tahun 2015. Krisis imperialisme yang berkepanjangan, telah menyeret Indonesia terus terperosok kedalam lembah sistem kapitalisme monopoli yang penuh krisis. Klas-klas di dalam negeri terus bergesekan satu dengan yang lain. Pemotongan subsidi rakyat, penambahan hutang luar negeri secara besar-besaran, pembangunan berbasis modal asing, perampasan tanah, terus bertubrukan dengan pemogokan massa, aksi-aksi demonstrasi, hingga aksi-aksi protes yang dilakukan oleh massa rakyat di berbagai daerah di Indonesia. Jokowi-JK sebagai rejim boneka baru, yang menampilkan dirinya sebagai rejim populis, tak bisa lagi menutupi watak fasisnya. Wajah sendu dan penuh santun itu segera menunjukkan taringnya setelah menempati kursi RI-1. Setiap hari barisan militer terus ditambahkan di setiap sektor publik, kebebasan berpendapat dibatasi, penangkapan dimana-mana dan bahkan penghilangan nyawa menjadi pilihan. Semua demi menjaga investasi asing dan monopoli tanah di Indonesia.

1 Tahun Pengabdian Pemerintah Jokowi-JK kepada Imperialis

            Secara umum, pada tahun 2015, Jokowi-JK menerapkan beberapa poin penting : pengurangan subsidi rakyat, investasi asing besar-besaran, pembangunan dan perampasan tanah, peningkatan hutang luar negeri, dan pengekangan hak demokratis rakyat atas nama stabilitas nasional. Produk kebijakan itulah yang memimpin politik pemerintahan Jokowi-JK selama 2015. Berbagai kebijakan
baik social maupun kebudayaan lain sejatinya akan menopang arah pemerintahan Jokowi-JK tersebut. Arah pemerintahan saat ini merupakan pemandu jalannya kepentingan Imperialisme di Indonesia, yaitu : menjadikan Indonesia sebagai sasaran eksport kapital, pasar bagi barang produksi imperialis, penyedia bahan-bahan mentah, dan penyedia tenaga kerja murah. Namun, skema pembangunan tersebut tidaklah berdampak positif bagi peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia. Justru sebaliknya. Tahun 2015 adalah tahun krisis, sebagai lanjutan dari krisis ekonomi dunia pada tahun 2008. Anjloknya harga rupiah, hingga tidak stabilnya harga-harga kebutuhan pokok terus terjadi.

Pembangunan ala Jokowi adalah petaka bagi rakyat. Selama 2015, konflik agraria meningkat, disusul dengan maraknya kasus kekerasan akibat perampasan tanah di berbagai daerah. Bahkan beberapa kasus kekerasan aparat keamanan berujung pada kematian rakyat. Dampak dari perampasan tanah di desa-desa telah membawa jutaan orang berpindah menuju kota, atau bahkan tidak sedikit yang memilih luar negeri. Namun sayang, luar negeri merupakan tempat yang kejam bagi buruh migran Indonesia. Tak perlu lagi kita sebutkan, berapa antrean buruh migran yang akan dihukum mati di luar negeri, berapa total kekerasan terhadap buruh migran yang terjadi. Bagi yang tidak berani mengadu nasib di negeri orang, kota-kota di dalam negeri ternyata juga bukan tujuan yang baik. Karena ternyata 2015 adalah tahun PHK besar-besaran, yang pada akhirnya berujung pada melonjaknya pengangguran. Upah murah bahkan secara tegas telah dilegitimasi pemerintah melalui PP No. 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan. Di sektor pemuda, akses pendidikan, terutama pendidikan tinggi hingga saat ini hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang. UU No.12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi kini telah menemukan bentuk konkretnya melalui Permenristekdikti No.22 Tahun 2015, yang melegitimasi pungutan uang lebih bagi mahasiswa non-reguler. Tak selesai sampai disitu, pungli di kampus-kampus hingga saat ini masih merajalela, dan bahkan seolah menjadi rahasia umum.

Berbagai macam persoalan diatas merupakan harga yang harus dibayar, jika ingin mengabdikan diri pada korporasi besar internasional. Subsidi harus terus dikurangi, demi mengefisienkan anggaran. Kekayaan alam haruslah diswastakan, dijual ke pihak asing, dengan alasan “rakyat kita belum mampu mengurus industri nasional”. Padahal memang tak ada niatan pemerintah mengembangkan sistem pendidikan nasional kita. Seluruh hasil pertanian dan perkebunan juga harus dimonopoli oleh para tuan tanah besar dan korporasi internasional. Masih dengan alasan serupa, namun disertai alasan tambahan, yaitu “kita harus ikut serta mengatasi krisis pangan”. Padahal krisis pangan adalah dampak dari monopoli tanah yang juga diakibatkan oleh tuan tanah maupun imperialis sendiri.
  
Sektor pembangunan menjadi perhatian utama. Bahkan jangan salah, 70% dana pembangunan dalam RPJMN 2015-2019 didapatkan dari bantuan (baca : HUTANG) luar negeri. Semua karena pembangunan kita akan diperuntukkan bagi sang tuan (lagi-lagi dibaca : imperialisme Amerika Serikat). Selain itu, pertahanan menjadi perhatian penting nomor dua. Mengapa? Bukankah kita tidak sedang dalam keadaan perang dunia? Yaa, kiranya pemerintah kita cukup cerdas. Pembangunan berbasis investasi asing, perampasan tanah besar-besaran, pemotongan subsidi secara brutal tentu saja akan mengakibatkan gejolak perlawanan dari massa rakyat. Disitulah pentingnya pertahanan. Para pejabat berbadan gemuk berbaju loreng-loreng (baca : Tentara Nasional Indonesia) memang bertugas untuk itu. Mengamankan investasi, mengamankan monopoli tanah dari gerakan rakyat yang melawannya. Bahkan mereka ikut serta dalam menikmati kekayaannya. Bahkan TNI disebar di 31 instansi pemerintah untuk mengamankan roda pemerintahan boneka ini. Tak lupa, kampus-kampus juga kini mulai didatangi TNI. Bahkan di tahun 2016, TNI dikabarkan akan mengisi acara-acara ospek, dengan dalih mengisi materi soal wawasan kebangsaan. Tujuan sebenarnya jelaslah untuk menanamkan nilai-nilai kepatuhan terhadap ‘yang mulia’ Jokowi. Selain menyiapkan barisan yang siap memerangi rakyat sendiri, pemerintah juga menyiapkan perangkat hukum lain yang mendukung. Hate Speech, pasal penghinaan presiden, peraturan pembatasan aksi massa, pengawasan tentang postingan-postingan di media telah disiapkan.

Gerakan Massa Mulai Bermekaran!

            Tahun 2015 bukan saja tahun milik rejim boneka Jokowi-JK, tapi juga tahun dimana gerakan massa mulai bangkit. Seperti istilah “dimana ada penindasan, disitu ada perlawanan”, rakyat di berbagai daerah mulai mengepalkan tangannya kepada rejim. Para petani mulai bersikeras menjaga tanahnya. Masih lekat dalam ingatan kita bagaimana usaha keras ibu-ibu di Rembang yang bertahan menolak pembangunan pabrik semen. Petani di Urut Sewu yang terus berjuang melawan barisan TNI yang menguasai lahan mereka. Petani di Jatigede turut serta berjibaku menghadang penggenangan waduk Jatigede. Petani di Rumpin yang dengan konsisten melawan monopoli tanah oleh TNI, masih bergejolak di 2015. Petani Darmakradenan di Kabupaten Banyumas telah bertahan dan terus berjuang selama 16 tahun dalam berhadapan dengan Kodam IV Diponegoro. Jutaan petani di berbagai tempat masih dengan gigihnya melawan monopoli tanah oleh negara melalui Perhutani, PTPN, hingga Taman Nasional. Berbagai kekalahan dan kemenangan kecil telah memupuk kaum tani Indonesia dalam perjuangan yang panjang. Berkali-kali desa digoncang, hingga pusat-pusat kota mereka sambangi, demi menuntut hak atas tanah.

Di kota, buruh mulai menyatukan diri menolak skema politik upah murah. Teriakan “menolak PP No.78 Tahun 2015” terus berkumandang selama tahun 2015. Tak henti-hentinya rally rally aksi dan pemogokan dilancarkan oleh klas buruh demi menolak skema politik upah murah. Dari Sumatra Utara, Jabodetabek, Jawa Barat, Jawa Timur, hingga ke Sulawesi, pusat-pusat industri digetarkan. Beberapa kali pemerintah Jokowi-JK memukul gerakan buruh dengan membubarkan aksi, intimidasi buruh di pabrik-pabrik, penangkapan buruh, hingga PHK terjadi di pusat-pusat industri. Namun, klas buruh belum terkalahkan juga. Mogok nasional bahkan dilancarkan buruh selama 3 hari di bulan November, mengakibatkan kerugian miliyaran rupiah. 
  
Massa rakyat di perkotaan juga mulai berbaris menjaga kampungnya dari ancaman penggusuran. Kampung Pulo menjadi saksi bisu dari gerakan militan para pemuda yang memperjuangkan haknya. Sudut-sudut kota lainnya juga terdengar perjuangan dari Pedagang Kaki Lima yang menolak digusur dan direlokasi ke tempat yang tidak layak.

Gerakan mahasiswa juga mulai mengkampanyekan persoalan kampus. Di Medan, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) menggelar unjuk rasa di depan kampus mereka pada awal 2015. Mereka menolak kebijakan universitas menaikkan biaya pendidikan. Pekalongan juga bergejolak, para mahasiswa di Universitas Pekalongan juga melakukan aksi yang sama menolak kenaikan biaya mata kuliah dan wisuda. Selain itu, penolakan terhadap penarikan biaya kuliah baru yang menggunakan sistem UKT pun banyak dilakukan. Universitas Lampung dan UIN Sunan Kalijaga mengawalinya untuk tahun 2015. Di akhir tahun, Fisip Unsoed kembali bergejolak dengan menolak pungutan KKL 2015, selain itu kampus IAIN Purwokerto juga menggelorakan perjuangan hebat melawan kebijakan POM yang illegal, yang akhirnya membuahkan hasil, uang POM dikembalikan bagi mahasiswa 2014, dan POM dihapuskan. Tidak hanya itu, gelombang gerakan mahasiswa dalam menolak komersialisasi pendidikan telah sampai pada dua kampus besar di Indonesia, yaitu UGM dan UI. UGM sedang berjuang keras melawan pungutan liar di kampusnya, yaitu pungutan uang KKN. Sementara, UI bergerak mempersoalkan kenaikan biaya kuliah.

Tak hanya mengkampanyekan persoalan kampus, gerakan mahasiswa kini juga mulai mendekatkan diri dengan gerakan rakyat lainnya. Pada tahun 2015, aksi-aksi yang dilakukan rakyat dari berbagai sektor seringkali diwarnai keikutsertaan mahasiswa. Pertalian erat antara gerakan mahasiswa dengan gerakan rakyat ini merupakan lembaran baru gerakan mahasiswa pasca reformasi.

Terlepas dari semua kekalahan dan kemenangan kecil gerakan massa, 2016 merupakan lembaran baru yang perlu dipersiapkan. Masyarakat Ekonomi Asean telah datang, investasi asing semakin besar, perampasan tanah akan semakin massif, upah murah akan terus dipertahankan, dan biaya pendidikan akan semakin melonjak tinggi. Pengalaman berarti dari perjuangan 2015 perlu kita pelajari dengan sungguh-sungguh. Semua ilusi yang disebarkan pemerintah Jokowi-JK telah tersingkap, melalui berbagai macam kebijakannya. Krisis ekonomi dunia akan terus memaksa Indonesia untuk menyediakan sumber bahan mentah dan tenaga kerja murah. Memposisikan Indonesia sebagai sasaran eksport kapital dan barang. Sehingga, memperhebat perjuangan adalah kebutuhan kita. Tahun 2015 telah memberi kita pelajaran. Berbagai penindasan telah memupuk kita, krisis demi krisis telah menyirami kita.

Tahun baru 2016 tidak datang dengan jaminan sosial, kenikmatan, kemapanan dan kedamaian. Ia datang dengan membawa krisis berkepanjangan, hutang luar negeri, politik upah murah, skema perampasan tanah, dan kenaikan biaya pendidikan. Maka kita pun perlu menyambutnya dengan perjuangan massa!

Salam Demokrasi! Selamat Tahun Baru 2016! Jayalah Perjuangan Massa!



Fachrurrozi Hanafi
Ketua FMN Cabang Purwokerto
1 Januari 2016

Share this:

Posting Komentar

 
Back To Top
Copyright © 2018 Soeara Massa. Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Templates