BREAKING NEWS

Senin, Desember 10, 2018

Dok. FMN

Belajar dari Kasus Ibu Nuril dan Anin, Untuk Memperkuat, Memperluas dan Memperbesar Organisasi

Oleh Surya (FMN Unsoed, Komite Fakultas Hukum)

Apresiasi untuk Mata Najwa yang telah mengangkat isu "Hukuman Salah Alamat" disaat situasi politik yang memanas dan beberapa stasiun televisi lebih memilih untuk mengabarkan pilpres setiap harinya, disaat kondisi demokrasi hari ini terancam.

Dari acara tersebut, kita yang menyaksikan tersadarkan, ada banyak hal yang salah dalam sistem hari ini dan terus dilanggengkan. Bahkan kekonyolan baru diciptakan, entah karena negeri ini selera humornya tinggi sehingga hukum pun dibuat lelucon, atau memang ada keadaan darurat yang hanya diketahui oleh mereka hingga hal itu muncul, atau bahkan ada kepentingan lain dibalik lahirnya instrumen hukum (Aturan-aturan sebagai alat pembungkam demokrasi).

Ada banyak faktor mengenai hal ini ketika ingin membicarakan mengenai perampasan hak yang dilakukan oleh penguasa. Hal ini terjadi karena keinginan untuk menurunkan kontrol dari masyarakat terhadap aktivitas yang dilakukan dan kebijakan yang diterapkan oleh para penguasa kepada rakyatnya yang tentunya mengarah pada tercapainya tujuan penguasa untu melanggengkan skema Imperialisme, Feodalisme dan Kapitalisme Birokrat.

Skema dari Imperialisme dan Feodalisme melahirkan Kapitalisme Birokrat sebagai boneka sekaligus kaki tangan dari Imperialis dalam melanggengkan kepentingan imperialis di Indonesia. Privatisasi, Liberalisasi, Regulasi Semua diperuntukkan demi kepentingan imperialisme. Regulasi-regulasi yang menekan hak rakyat semata mata agar kontrol rakyat terhadap penguasa menurun hal ini dilakukan agar setiap kebijakan yang nanti ya diterapkan akan dengan mudahnya diterima oleh masyarakat tanpa adanya kritik atau kontrol terhadap kejanggalan kejanggalan yang diciptakan.

Dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik No. 11 tahun 2008 Pasal 27 ayat 3 (UU ITE) menyebut melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Lewat regulasi tersebut, dengan mudahnya penguasa menjerat mereka yang "berbicara" ke dalam penjara dengan alasan mencemarkan nama baik. Dari data Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mencatat sebanyak 381 korban yang telah dijerat dengan pasal karet tersebut dan sebanyak 90 persen diantaranya dijerat dengan tuduhan pencemaran nama baik. 

Hal ini juga menimpa kawan Anindya Shabrina (Kepala Departemen Pendidikan dan Propaganda FMN Surabaya) ketika menceritakan kejadian yang dialaminya yang mana ia mendapat perilaku pelecehan seksual oleh oknum aparat yang sedang bertugas menjalankan Operasi Yutisi dan melakukan pembubaran paksa terhadap acara diskusi mingguan di Asrama Papua dan pemutaran film tentang kekerasan yang terjadi di Biak, Papua dan posisi kawan Anin saat itu menjadi tamu undangan dalam acara tersebut.

Pada 9 Juli 2018 Anin beserta LBH dan Aliandi melapor ke kepolisian atas perilaku pelecehan seksual yang dialaminya terkait tindakan represif dan pelecehan kepada Anin dengan dugaan pelanggaran kode etik kepolisian namun tidak digubris. Piter Frans Rumasek yang menyatakan diri sebagai ketua Ikatan Keluarga Besar Papua (IKBPS) yang juga sebagai Satuan Polisi Pamong Praja menyatakan bahwa sama sekali tidak ada bentrokan saat pembubaran diskusi. Pada 25 Juli 2018 Frans melaporkan Anin dengan UU ITE atas dugaan pencemaran nama baik di media sosial. Dan lucunya pada 16 Agustus 2018 keluar surat penyidikan kepada kawan Anin dan dilain sisi laporan Anin ke kepolisian belum ditanggapi sama sekali.

Hal serupa menimpa seorang guru honorer yakni Baiq Nuril di Mataram yang dijebloskan ke penjara gara-gara merekam atasannya melakukan pelecehan seksual kepadanya. Gara-gara rekaman pelecehan seksual itu, Nuril diputus bersalah oleh Mahkamah Agung melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik pasal 27 ayat 1 tentang penyebaran konten yang melanggar kesusilaan. Sementara kasus pelecehan yang dilakukan atasannya? Hilang entah kemana.

Lalu siapa yang berhak mendistribusikan informasi? Apakah lewat Pers?

Tidak ada jaminan juga, terlihat dari kasus kawan kita Jurnalis Zakki Amalia yang menuliskan 4 artikel tentang kasus plagiat yang diduga dilakukan oleh rektor Universitas Negeri Semarang (UNNES) yang dimuat dalam serat.id yang malah menjadi bumerang bagi dirinya. Zaki dipanggil kepolisian karena dianggap mencemarkan nama baik rektor. Menurut Kepala Pusat Hubungan Masyarakat UNNES tulisan Zakki pada 30 Juni 2018 telah menuduh bahwa Rektor UNNES telah melakukan plagiasi terhadap artikel mahasiswa bimbingannya pada 2003. Zakki dilporkan atas dasar pelanggatan UU No. 27 ayat 3.

Pada tulisan ini saya ingin menyampaikan bahwa kasus diatas hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak kasus yang telah menjerat masyarakat yang ingin menyuarakan haknya. Jika memang Undang Undang merupakan alat untuk melindungi hak konstitusional warga negaranya, Mengapa disini peraturan tersebut justru memberengus hak hak warga negara?

Disini kita dapat melihat rezim hari ini, melakukan perampasan hak warga negara lewat pembungkaman terhadapa masyarakat. Maksud saya adalah bukan tidak mungkin kita juga akan mendapat perlakuan yang sama seperti apa yang dialami kawan Anin, Zakki dan banyak lagi diluaran sana. Bukan tidak mungkin ini sebagai bibit pembungkaman yang lebih besar lagi karena memang kita sadari penguasa memiliki maksud yang lebih besar lagi. 

Bahkan kita sebagai mahasiswa ancaman tersebut terlihat nyata di sekitar kita. Ketika ruang demokrasi di kampus dipersempit serta masih adanya bentuk intimidasi dan ancaman dari birokrat kepada mahasiswa berupa pengurangan nilai bahkan skorsing kepada mereka yang ingin menyampaikan pendapat. Sebagai contoh kawan Julio Belnanda Harianja mahasiswa UNNES yang mengkritik Menristekdikti mengenai kebijakan UKT. Melalui surat rektor kawan Julio mendapat skorsing atas tuduhan pelanggaran berat yang menghasut dan memicu terjadinya keributan. Tindakan Julio dianggap telah melanggar peraturan rektor nomor 19 tahun 2016 tentang Etika dan Tata Tertib Mahasiswa UNNES. Itu hanyalah sebagian contoh kasus dari sederatan yang lain

Bahkan intimidasi bisa lewat ancaman akademik berupa pengurangan nilai juga, dan belum lama ini terjadi di UNSOED khususnya di Fakultas Hukum. Kegiatan Pendidikan Karakter yang dilaksanakan oleh Dekanat Fakultas Hukum UNSOED memaksa mahasiswa untuk mengikutinya bahkan meskipun terdapat kecacatan didalamnya dimana pihak Dekanat melibatkan unsur militer dalam acara tersebut.  Mereka yang tidak mengikutinya akan mendapat nilai E dan dinyatakan tidak lulus dalam 3 mata kuliah (Jatidiri Unsoed, Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan Pancasila).

Penolakan dari sebagian besar mahasiswa telah disuarakan bahkan upaya pengajuan audiensi kepada pihak Dekanat telah dilakukan (audiensi dibatalkan sepihak dekanat). Bahkan transparansi anggaran untuk kegiatan tidak pernah disampaikan kepada mahasiswa, dimana dana tersebut diambil dari uang pangkal mahasiswa.

Watak tidak demokratisnya kampus terlihat dalam kegiatan tersebut dimana mahasiswa tidak bisa menyuarakan pendapatnya, bahkan ketika ingin menyampaikan penolakan mahasiswa yang menolak adanya agenda tersebut dicap sebagaih mahasiswa radikal.

Pada tahun 2016 lalu UU ITE dalam proses revisi sempat muncul harapan bahwa pasal pasal karet tersebut dihapuskan, namun pupus oleh putusan DPR. DPR tak menghapus pasal pasal karet itu meskipun hukuman diringankan namun bukan hanya sekedar hukumannya yang kita soroti namun juga tentang jaminan dari negara untuk rakyat mendapat hak haknya. Tak bisa kita pungkiri bahwa pejabat punya kepetingan sehingga tidak heran jika pasal ini tetap diberlakukan. Bahkan Menkominfo

Rudiantara pernah menyatakan pada 2015 lalu bahwa UU ITE ini memang tidak akan pernah dihapuskan.

Saya mengajak kawan sekalian yang pertama untuk tersadar bahwasannya kita sedang dalam ancaman yang nyata, negeri ini sedang tidak baik-baik saja karena memang bisa dilihat negeri ini dipegang oleh mereka yang tidak baik-baik saja pula. Mulai dari diri kita sendiri menyadari jika kebenaran tidak bisa diam, pendapat tidak bisa dibungkam. Namun dengan adanya hal ini jangan membuat kita takut untuk melakukan sesuatu yang memang benar, apa saja yang memang hak kita dan memang kita harus mengungkapkannya, jangan menjadi alasan adanya UU ITE untuk kita diam karena jika kita diam hal ini bukan tidak mungkin akan menjadi lebih besar lagi dan tindakan yang lebih represif serta pembungkaman yang lebih masif akan dilakukan.

Disini pentingnya kita berorganisasi. Dengan berorganisasi kita tidak akan sendiri dalam berjuang menyampaikan kebenaran, meluruskan apa yang memang seharusnya. Dengan wadah berorganisasi kita dapat menempa diri kita di dalamnya dan tentunya kita bisa berjuang bersama sama untuk mewujudkan apa yang menjadi hak hak kita sebenarnya. Karena kita sadari bersama lawan kita bukanlah lawan yang kecil, namun mereka yang berkuasa di negeri ini dan akan terus melakukan apapun untuk memuluskan langkah mereka melalui sebuah sistem yang menindas dan menghisap. Selain itu juga organisasi merupakan alat untuk menempa diri dan berjuang!.

Ayo kawan-kawan Belajar, Berorganisasi dan Berjuang!



https://www.google.co.id/amp/s/www.vice.com/amp/id_id/article/kzvbae/berjibaku-hadapi-kacaunya-hukum-di-indonesia-agar-tak-lagi-ada-korban-seperti-baiq-nuril

https://kominfo.go.id/index.php/content/detail/4419/Menkominfo%3A+Pasal+27+Ayat+3+UU+ITE+Tidak+Mungkin+Dihapuskan/0/berita_satker

https://www.google.co.id/amp/s/nasional.tempo.co/amp/1145490/penghapusan-pasal-karet-uu-ite-ini-hasil-polling-pembaca-tempo

http://www.pp-frontmahasiswanasional.org/

Share this:

Posting Komentar

 
Back To Top
Copyright © 2018 Soeara Massa. Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Templates