BREAKING NEWS

Senin, Desember 10, 2018

"Berorganisasilah", Jawaban atas Penindasan dan Penghisapan Kaum Perempuan

"Berorganisasilah", Jawaban atas Penindasan dan Penghisapan Kaum Perempuan

Ditulis Oleh Tyas Susilo (Anggota Departement Perempuan FMN Ranting Unsoed)



Dengan melihat sejarah penindasan dan perlawanan masyarakat Indonesia, maka masyarakat Indonesia hari ini adalah Setengah Jajahan dan Setengah Feodal (SJSF) dengan masalah pokok yang harus dihadapi yaitu imperialisme, feodalisme dan kapitalisme birokrat. Apa itu sistem penjajahan setengah jajahan setengah feodal?  Karakter setengah jajahan muncul sebagai dominasi imperialisme khususnya imperialisme AS terhadap rakyat Indonesia baik secara ekonomi, politik, dan kebudayaan. Indonesia tidak dijajah secara langsung, namun memalui kaki tangannya di dalam negeri yang melaksanakan berbagai kebijakan yang menguntungkan penjajah. Karakter setengah feodal berdiri diatas perkembangan sistem produksi dimana kepemilikan alat produksi bukan hanya dikuasai tuan tanah seperti pada masa feodal, tetapi juga banyak dilakukan oleh para pemodal. Di Indonesia tidak berjalan suatu system feodalisme, tetapi system feodalisme yang telah terhubung secara kuat memalui kekuatan modal asing. Hal ini ditunjukkan dengan lahirnya tuan tanah tipe baru, seperti Perhutani dan Negara dimana mereka melakukan kerja sama dengan kekuatan modal asing.

Sistem setengah jajahan setengah feodal  telah menempatkan kaum perempuan Indonesia dalam belenggu penindasan. Bersama dengan rakyat lain, perempuan mengalami penghisapan dan penindasan atas dominasi imperialisme AS, feodalisme dan kapitalisme birokrasi sebagai wujud konkrit penindasan di dalam negeri yang terus-menerus mempertahankan kesengsaraan rakyat demi tercapainya kepentingan imperialis dan borjuasi besar komprador serta tuan tanah. Bahkan perempuan dalam hal ini mengalami dua kali penindasan, yaitu selain mengalami penindasan dari imperialisme dan feodalisme, perempuan juga mengalami penindasan feodal patriarchal dan liberal imperialis. Budaya patriarki merupakan budaya yang meletakkan posisi laki- laki pada posisi yang kuat dan posisi perempuan pada posisi yang lemah di segala aspek. Budaya patriarki merupakan warisan sejarah yang lahir akibat munculnya kepemilikan harta pribadi pada masyarakat komunal primitive, dimana kepemilikan harta pribadi tersebut dimiliki oleh laki- laki. Sejak saat itu, kedudukan perempuan menjadi semakin lemah seiring dengan semakin kuatnya kedudukan laki-laki dalam masyarakat. Patriarki merupakan hasil dari system yang menindas dan dipertahankan oleh klas yang menindas. Begitu pula patriarki di Indonesia hari ini, dipertahankan oleh klas penindas, yaitu imperialis, tuan tanah  dan kapitalis birokrat.

Adanya sistem penindasan yang sedemikian rupa menindas kaum perempuan di Indonesia, melahirkan banyak sekali problem yang harus dihadapi oleh perempuan tak terkecuali problem di lingkungan kampus dimana  perguruan tinggi merupakan ruang akademik sebagai tempat untuk menimba ilmu. Dalam institiusi perguruan tinggi, pengembangan pengetahuan di kelas yang melibatkan dosen dengan mahasiswanya sangat cair karena tidak ada batas antara guru dan murid selayaknya SD-SMA. Pada perkembangannya justru keadaan ini dimanfaatkan untuk hal-hal yang negative. salah satunya yaitu timbulnya pelecehan seksual di lingkungan kampus. Pelecehan seksual di lingkungan kampus biasanya terjadi di kelas dan pada saat bimbingan skripsi. Ketika kegiatan belajar mengajar berlangsung di kelas, dosen kerap kali melontarkan “lelucon” yang seksis dan misoginis. Bahkan ada dosen yang mengatakan “kalau saya punya anak perempuan, langsung saya kawinkan dia, buat apa sekolah tinggi-tinggi, percuma tidak ada gunanya perempuan kerjanya di dapur” kemudian di lain kesempatan ketika ada mahasiswi yang tidak bisa menjawab pertanyaan, dosen tersebut berkata “perempuan kaya gini nih harusnya langsung diperkosa aja, kalo udah kepengen kawin, gak usah kuliah mba” bercandaan yang dirasa tidak patut untuk dilontarkan karena semakin merendahkan kedudukan perempuan di depan mata ratusan mahasiswa ketika kuliah di dalam kelas sudah menjadi konsumsi sehari-hari dan sudah menjadi rahasia umum dan bahkan dianggap wajar. Jika dikategorikan, pelecehan seksual tadi merupakan bentuk pelecehan seksual verbal. Pelecehan verbal adalah pelecehan yang dilakukan secara lisan dengan menggunakan perkataan seperti pencemaran nama baik, perbuatan tidak menyenangkan dan yang berkaitan jenis kelamin korbannya dan dianggap menjengkelkan, menurunkan martabat dan bersifat asusila. 

Pelecehan seksual di lingkungan kampus bukan hanya terjadi di kelas saja, tetapi juga terjadi ketika bimbingan skripsi. Skripsi merupakan persyaratan untuk mendapatkan status sarjana (S1) di setiap perguruan tinggi negeri. Ketika mahasiswa sedang menyusun skripsi, otomatis memerlukan bimbingan dari dosen pembimbing. Keadaan inilah yang dijadikan celah bagi oknum dosen untuk mengambil keuntungan dari mahasiswa yang memerlukan bantuannya. Banyak kasus pelecehan seksual yang terjadi ketika bimbingan skripsi, misalnya dosen melakukan kontak fisik yang tidak diinginkan seperti meraba-raba bagian tubuh, mengajak untuk melakukan hubungan seksual, bahkan mengajak bimbingan skripsi diluar kampus agar lebih leluasa melancarkan modus-modusnya. Hal itu dilakukan sebagai syarat untuk melakukan bimbingan skripsi atau bahkan sebagai syarat agar skripsi tidak ditahan. Pelecehan seksual sangat marak di kampus dan kasus ini sudah menjadi rahasia umum. Pelecehan seksual pada dasarnya terjadi karena adanya ketimpangan kuasa. Di kampus, peristiwa ini biasa terjadi antara dosen dan mahasiswa, dosen menggunkan otoritasnya untuk mengintimidasi mahasiswa. Misal dengan mengancam akan memberikan nilai yang buruk, menahahan skripsi dan menolak bimbingan. Sehingga hal ini menyebabkan korban  pelecehan seksual enggan menyuarakan apa yang mereka alami. 

Banyak kampus menyimpan fenomena bungkam. Kampus punya tabiat buruk memelihara dosen-dosen mesum. Tak heran kasus kejahatan seksual di kampus memang lebih jarang terdengar beredar di media. Selain adanya relasi kuasa yang kuat, korban pelecehan seksual juga merasa takut untuk disalahkan atau yang biasa kita kenal dengan fenomena “victim blaming” karena mereka merasa tidak memiliki bukti dan takut dianggap mengkhayal cerita. Stigma-stigma yang melekat pada korban pelecehan seksual memanglah berat, ketika perempuan dewasa yang menjadi korban pelecehan seksual, maka masyarakat akan mengkaitkan hal tersebuat dengan moral dan agama seperti ungkapan “makanya pake pakaian yang bener, jangan mengumbar aurat”. Hal inilah yang membuat para korban memilih bungkam daripada semakin tertekan. Seperti kasus pemerkosaan yang banyak menyita perhatian kita ahkir-akhir ini, yaitu kisah Seorang mahasiswi bernama Agni yang diperkosa oleh teman KKN-nya. Agni adalah korban pemerkosaan yang  berani mengungkapkan apa yang terjadi padanya, suatu hal yang tidak bisa dilakukan oleh semua korban pelecehan seksual. Tapi nampaknya keberanian Agni untuk speak up belum mampu membuatnya memperoleh keadilan, bahkan pelaku pemerkosaan sampai sekarang tidak mendapatkan ganjaran yang setimpal atas apa yang telah dilakukannya. Belum lagi nyinyiran  atau victim blaming  yang semakin memperumit keadaan, begitulah kiranya masyarakat kita memperlakukan korban pelecehan seksual meskipun tidak sedikit juga yang mendukung Agni untuk memperoleh keadilan. Pelecehan seksual dianggap sebagai gejala yang sudah umum dan normal dalam masyarakat. Hal tersebut sebenarnya dibentuk dari nilai-nilai sosial yang misoginis dan seksis sebagai buah dari ideologi patriarki  dimana dalam ideologi itu perempuan ditempatkan dibawah kepentingan laki-laki. Perempuan harus memperjuangkan hak-haknya agar tidak tertindas terus-menerus. Bagaimana caranya? Perempuan terlibat aktif dalam perjuangan emansipasi untuk menghapuskan diskriminasi baik secara ekonomi, politik dan budaya serta menghancurkan dominasi imperialism dan feodalisme di Indonesia. 

Jalan untuk membebaskan diri dari belenggu penindasan hanyalah dengan berorganisasi sebagai alat perjuangan memajukan peradaban masyarakat di Indonesia. Banyak organisasi di dunia yang memperjuangkan hak-hak perempuan, misalnya di India ada organisasi bernama “Majlis”  yang mengurus pendampingan hukum dan psikologis bagi perempuan, ada pula “Gulabi gang” yang merupakan kelompok aktivis perempuan India yang pada awalnya  muncul  untuk merespon merebaknya kekerasan domestic maupun kekerasan terhadap perempuan. Di Indonesia sendiri banyak terdapat organisasi yang bisa dijadikan alat perjuangan untuk memperoleh kesetaraan gender serta hak-hak perempuan, akan tetapi organisasi tersebut adalah organisasi yang berwatak demokrasi nasional untuk keluar dari cengkeraman penindasan dan penghisapan pada perempuan. Dan sekali lagi jalan satu-satunya hanyalah Berorganisasi!. Perempuan Bangkit Melawan Penindasan!





https://m.dw.com/id/berjuang-bagi-hak-perempuan-di-india/a-17481630

http://www.seruni.org/?m=0

https://tirto.id/kisah-kekerasan-seksual-di-kampus-melawan-relasi-kuasa-dosen-mesum-c9mA

https://tirto.id/kampus-jadi-lahan-subur-kasus-kasus-pelecehan-seksual-c9cr


Dokumen pendidikan Departement Pendidikan & Propaganda FMN

#16HariAntiKekerasanPadaPerempuan
#BelajarBerorganisasiBerjuang

Share this:

Posting Komentar

 
Back To Top
Copyright © 2018 Soeara Massa. Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Templates