Pernyataan Sikap FMN Cabang Purwokerto :Hentikan Segala Bentuk Kriminalisasi, Represifitas dan Intimidasi Terhadap Pejuang Agraria: Usut Tuntas Pelaku Pemukulan Deri Puta, Bebaskan Amaq Har dan Bapak Sarafudin
Perjuangan rakyat untuk mendapatkan penghidupan yang
layak dan keadilannya terus menghadapi jalan terjal. Pada tanggal 28 Desember
2018, sekitar pukul 11.00 WITA rakyat Jurang Koak, Kabupaten Lombok Timur, NTB
dihadapkan dengan represifitas yang dilakukan oleh aparat keamanan. Dengan
sekitar 50 personil gabungan dari Polres
Lombok Timur, Kesatuan Polisi hutan Lombok Timur dan Balai Taman Nasional
Gunung Rinjani (TNGR). Penangkapan dilakukan terhadap dua orang petani atas
nama Amaq Har dan Bapak Sarafudin. Tindakan Pemukulan juga dialami oleh Deri
Putra (Pimpinan Pembaru Ranting Jurang Koak) ketika tengah menghadang aksi
penangkapan oleh aparat. Kemudian Deri Putra dilarikan ke Puskesmas Suela dan
mendapat 18 jahitan di Kepala bagian belakang.
Kejadian penangkapan tersebut bermula dari upaya TNGR
untuk mencari pelaku penebangan pohon di kawasan Taman Nasional. Pelaku
penebangan tidak ditemukan, yang ada hanya kayu-kayu bekas tebangan masyarakat
yang bersumber dari dalam lahan perkebunan yang diambil dari kawasan tanah adat
Jurang Koak. Sebelum penangkapan, sempat terjadi adu mulut antara dua orang
petani yang ditangkap dengan pihak kepolisian karena proses penangkapan
tersebut sama sekali tidak ada surat perintah penangkapan yang ditunjukkan.
Pihak aparat hanya menjelaskan bahwa sedang menjalankan tugas dan langsung
menyeret dua orang petani tersebut ke atas mobil tahanan. Hingga saat ini, Amaq
Har dan Sarafudin masih ditahan di Polres Lombok Timur.
Intimidasi,
kriminalisasi dan kekerasan terhadap petani di Jurang Koak telah terjadi
berkali-kali. Pada tahun 2016, terjadi penangkapan terhadap 3 orang petani yang
kemudian ditahan hingga 1,5 tahun. Kemudian pada tahun 2017 operasi gabungan
dari TNGR melakukan pengusiran paksa, perusakan hingga pembakaran terhadap
pondok-pondok warga. Tentu saja tindakan tersebut disertai dengan intimidasi
serta penangkapan terhadap warga yang mencoba melawan. Pada bulan November
2018, polisi hutan terbukti melakukan ancaman terhadap warga dengan menggunakan
senjata api yang dibawanya.
Intimidasi, Kriminalisasi dan tindak kekerasan yang terus
terjadi masih menjadi teror yang nyata terhadap rakyat. Persoalan agraria
merupakan salah satu sektor yang paling banyak menyumbang konflik dan kekerasan
yang telah banyak menjadikan rakyat sebagai subjek yang paling dirugikan. Hal
tersebut semakin membuktikan watak fasis dari pemerintahan rezim Jokowi-JK.
Dibawah rezim Jokowi-JK, skema monopoli dan perampasan
terhadap tanah rakyat terus dipertahankan. Hal tersebut diorientasikan untuk
menunjang kepentingan pasar internasional. Kebijakan reforma agraria ala Jokowi terbukti tidak
mengubah ketimpangan monopoli kepemilikan tanah di Indonesia. Orang-orang
terkaya di Indonesia sebagian besar hidup dari hasil monopoli dan perampasan
tanah, perampasan hasil kerja kaum tani di perkebunan besar. Mereka adalah
kalangan tuan tanah dan borjuis komprador yang hidup dari keuntungan ekspor
Sawit, Karet dan lain sebagainnya, sementara ketika harga komoditas hancur,
mereka masih mendapatkan keistimewaan melalui kebijakan ekonomi seperti subsidi
maupun keringanan pajak.
Monopoli tanah yang dilakukan oleh tuan-tuan tanah besar
(korporasi swasta dan perusahaan negara) membuat kaum tani di Indonesia tak
bisa meningkatkan kualitas hidupnya. Dengan monopoli tanah tersebut, rata-rata
14 juta petani di Indonesia memiliki tanah kurang dari 0,5 hektar.Sementara disisi lain mayoritas
kaum tani di Indonesia terus mengalami kemerosotan hidup. Kemiskinan dan
kemerosotan yang dialami rakyat, khsususnya kaum tani adalah imbas dari rakyat
belum berdaulat secara ekonomi, politik dan kebudayaan atas sumber-sumber agraria.
Pelibatan aparat keamanan tak segan-segan dikerahkan
untuk melanggengkan skema skema tersebut tetap berjalan. Data yang dihimpun
oleh Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) memperlihatkan kekerasan terhadap
kaum tani terjadi di 18 Provinsi dengan 66 orang di tembak, 144 luka-luka, 854
orang ditangkap, 10 orang meninggal dunia dan 120 orang dikriminalisasi. Tindakan-tindakan tersebut
mencerminkan situasi umum agraria di Indonesia yang memang tidak memberikan
tempat bagi kedaulatan petani atas tanah-tanah yang seharusnya bisa
dikelolanya. cara-cara kriminalisasi dan intimidasi terhadap rakyat menjadi
cara yang paling sering ditempuh untuk membungkam rakyat maupun kaum tani yang
tanahnya dirampas. Hal serupa juga di terjadi di Banyumas, tepatnya di Desa
Dharmakradenan, Kecamatan Ajibarang. Konflik HGU PT RSA (yayasan KODAM IV
Diponegoro) juga terjadi intimidasi dan kriminalisasi yang meneror warga
Dharmakradenan.
Atas dasar
itu maka kami dari FMN Cabang Purwokerto memandang bahwa kasus penangkapan dan
pemukulan terhadap kaum tani dan pejuang agraria seperti yang terjadi di Jurang
Koak merupakan ciri dari pemerintahan Jokowi-JK yang tidak memiliki
keberpihakan terhadap kaum tani dan rakyat lainnya. Kami dari Front Mahasiswa
Nasional Cabang Purwokerto, menyatakan sikap :
1.
Mengutuk keras segala upaya
pemerintah melaui aparat keamanan dan TNGR yang mengusir rakyat yang ada di
dusun Jurang koak dan Burne dari lahan pertaniannya serta penangkapan 2 orang
petani Jurang koak yang mempertahankan haknya atas tanah.
2.
Menuntut pihak kepolisian untuk
segera membebaskan 2 orang petani yang ditangkap tanpa syarat.
3.
Menuntut pemerintah Jokowi-JK agar
menghentikan perampasan hak rakyat atas tanah serta berbagai kekerasan dan kriminalisasi
terhadap petani, aktivis dan pejuang agraria.
4.
Hentikan seluruh program reforma agraria palsu dan perhutanan
sosial ! Wujudkan reforma agraria sejati yang berorientasi untuk menghancurkan
monopoli tanah, sarana produksi pertanian, dan harga komoditas yang selama ini
dilakukan oleh tuan tanah
5.
Berikan hak atas tanah bagi rakyat
terutama bagi petani miskin dan buruh tani.
Salam Hormat,
Prianggo Adam Kuncoro
Ketua FMN
Cabang Purwokerto


Posting Komentar