Oleh : Gustya Margo Waluyo
Pendahuluan
Tepat pada tanggal 10 Juli 2017 pemerintah telah menetapkan dan mengundangkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 (PERPU Ormas). Muatan PERPU Ormas tersebut dianggap oleh berbagai kalangan memberangus kebebasan berserikat warga negara yang dijamin oleh konstitusi, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945.
Dalam PERPU Ormas, terdapat 5 pasal dalam UU Ormas sebelumnya yang diubah, 18 pasal yang dihapus serta menyisipkan atau menambah 3 pasal dan 1 bab. Lima pasal dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas yang diubah oleh Perpu ini yaitu Pasal 1, 59, 60, 61, dan 62. Sedangkan 18 pasal yang dihapus yaitu Pasal 63-80 dan Pasal 81. Adapun pasal yang disisipkan yakni Pasal 80A, 82A dan Pasal 83A dengan ketentuan-ketentuan Pasal 82A dan Pasal 83A masuk dalam bab tambahan yakni Bab XVIIA Ketentuan Pidana.
Yang paling mencolok dari keberadaan PERPU Ormas ini ialah mekanisme pencabutan status badan hukum (pembubaran) ormas yang tidak melalui Jalur Pengadilan serta dalam hal ormas melanggar Pasal 59 ayat (3) dan (4) PERPU Ormas, Pemerintah dapat melakukan pencabutan status badan hukum (pembubaran) ormas tanpa memerlukan adanya Surat Peringatan, ancaman sanksi pidana bagi anggota dan/atau pengurus yang secara langsung dan tidak langsung melanggar Pasal 59 ayat (3) dan ayat (4) dan rumusan PERPU yang dianggap oleh berbagai kalangan multitafsir (vague normen).
PERPU dalam Teori Hukum Tata Negara
Istilah Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang ini sepenuhnya adalah ciptaan UUD 1945, Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, "Dalam Hal Ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang." Dalam Pasal 22 ayat (2) dinyatakan, "Peraturan Pemerintah itu harus mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat pada persidangan berikutnya," dan ayat (3)-nya menentukan, "Jika tidak mendapatkan persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut."
Berdasarkan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, Instrumen yuridis PERPU merupakan Peraturan Pemerintah yang jika biasanya ditetapkan untuk menjalankan Undang-Undang, maka dalam keadaan memaksa bentuk Peraturan Pemerintah dapat dipakai untuk menuang ketentuan-ketentuan yang semestinya dituangkan dalam bentuk Undang-Undang dan untuk menggantikan Undang-Undang. Frase yang berbunyi " .. dalam hal Ikhwal kegentingan yang memaksa .." niscaya yang dimaksud dalam frase tersebut adalah keadaan yang mendesak, sehingga perlu bertindak cepat membuat peraturan yang sederajat Undang-Undang dengan tidak melalui mekanisme sebagaimana biasa dalam membuat Undang-Undang. Yakni tidak harus melalui prosedur persetujuan bersama antara Presiden dan DPR. Jadi titik beratnya pada masalah prosedur pembuatan.
Ketentuan PERPU dalam Pasal 22 UUD 1945 dalam ketatanegaraan diklasifikasikan sebagai hukum/hak darurat atau diistilahkan sebagai Staatsnoodrecht. Namun PERPU ini bersifat Ekstra Konstitusional atau Staatsnoodrecht yang subjektif. Dalam hal ini keadaan bahaya yang timbul belum dapat diperkirakan. Sehingga dalam menghadapinya tidak mungkin diperlakukan berdasarkan pada hukum yang sebelumnya oleh sebab itu dikatakan Ekstra Konstitusional. Tindakan penguasa semata-mata tergantung pada penguasanya sendiri, sebab itu disebut subjektif. Walau disebut subjektif tetap harus ada pertimbangan objektif diluar peraturan yakni tindakan menetapkan PERPU tersebut harus dilakukan demi kepentingan menyelamatkan bangsa/negara dari ancaman bahaya, disamping tindakan tersebut harus seimbang dengan sifat bahayanya. Tindakan penguasa ini berlandaskan pada asas hukum alam, Salus Populis Supremasi Lex (Kepentingan Rakyat adalah Hukum Tertinggi).
PERPU Ormas dalam Polemik Konstitusionalitas
Pasca Amandemen UUD 1945 dan munculnya lembaga pengujian konstitusional (Constitutional Review) yakni Mahkamah Konstitusi serta pasca putusan Putusan MK Nomor 138/PUU-UI/2009 yang menyatakan bahwa MK berwenang dalam menguji PERPU. Maka kebijakan Pemerintah dalam mengeluarkan PERPU Ormas apabila bertentangan dengan UUD 1945 dapat dibatalkan oleh MK. Tidak harus menunggu prosedur penetapan sebagai Undang-Undang oleh DPR baru kemudian diuji.
Terkait dengan PERPU Ormas, yang menjadi isu hukum ialah apakah PERPU Ormas dalam prosedur pembuatannya telah memenuhi kriteria Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang menentukan adanya " ... dalam ihwal kegentingan yang memaksa ... ", dan apakah muatan PERPU Ormas tidak bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.
Terkait dengan frasa "... dalam ihwal kegentingan yang memaksa ... ", dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-UI/2009, dijelaskan 3 (tiga) persyaratan keadaan yang harus dipenuhi dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, yakni sebagai berikut:
1. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang;
2. Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai;
3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu
yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
2. Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai;
3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu
yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Dalam hal ini patut dianalisa apakah PERPU Ormas secara kumulatif telah memenuhi 3 (tiga) persyaratan keadaan yang harus dipenuhi dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa sebagaimana yang dimaksud Putusan MK Nomor 138/PUU-UI/2009. Jika dalam kasus a quo ternyata tidak memenuhi kriteria sebagaimana yang dimaksud maka PERPU Ormas Inkonstitusional.
Terkait dengan muatan PERPU Ormas, patut dianalisa apakah tindakan pembubaran ormas tanpa melalui mekanisme pengadilan? Dapatkah ormas dibubarkan tanpa terlebih dahulu diberikan surat peringatan dan ancaman sanksi pidana bagi anggota dan/atau pengurus yang secara langsung dan tidak langsung melanggar Pasal 59 ayat (3) dan ayat (4)? Apakah rumusan PERPU yang dianggap oleh berbagai kalangan multitafsir (vague normen) bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 ? Jika ternyata muatan PERPU Ormas bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 maka sudah PERPU Ormas inkonstitusional.
Yang berwenang untuk menyatakan bahwa Suatu PERPU inkonstitusional dan tidak mengikat secara hukum adalah Mahkamah Konstitusi. Sepanjang PERPU belum dibatalkan oleh MK Perpu tersebut dinyatakan berlaku dan Konstitusional.
Terkait dengan hal ini, organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebagai ormas pertama yang dibubarkan oleh Pemerintah pasca ditetapkannya Perpu berdasarkan Surat Keputusan Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 tentang Pencabutan Keputusan Kementerian Hukum dan HAM Nomor AHU-0028.60.10.2014 tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum perkumpulan HTI. Mereka juga telah mengajukan permohonan Judicial Review ke MK. Nampaknya publik harus bersabar menunggu putusan MK, terkait dengan konstitusionalitas PERPU Ormas.
Referensi
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Rajawali Pers, Jakarta, 2010
Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busro, Asas-asas Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983
Maruarar Siahaan, Uji Konstitusionalitas Peraturan Perundangan-undangan Negara Kita : Masalah dan Tantangan, Jurnal Konstitusi Volume 7 Nomor 4 Agustus 2010, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
Posting Komentar