![]() |
| (Sumber gambar : https://unitedfrontsa.wordpress.com/ ) |
Baru-baru ini
obrolan sehari-hari kita diisi topik lama. Yaitu menyoal orang-orang yang
melulu diskursus tentang teori dan wacana tapi absen praktek, adu mengadu siapa
yang paling kiri, saling intrik mengintrik, tafkiri satu sama lain, dan
membentuk lingkaran-lingkaran sekte yang kontra produktif. Singkat kata,
sektarianisme.
Ide tak pernah
salah dalam koridor pembelajaran. Seseorang atau sekelompok orang bisa saja
menyemai wacana apapun di sekitarnya, dan memperdebatkannya. Merayakan
perdebatan, dan mengembalikan kebenaran dalam diri masing-masing. Pada situasi
'akademis' ini sektarianisme bukan menjadi persoalan, karena memang perbedaan
dan perdebatan tak berujung atas suatu cara pandang adalah suatu yang mesti
dirayakan.
Tapi pada
koridor 'gerakan', sektarianisme ini tidak bisa tidak adalah suatu fenomena.
Beberapa pihak menganggap ini sebagai problem karena menghambat perjuangan.
Gerakan tersekat-sekat oleh pandangan politik masing-masing. Mungkinkah hal ini
bisa dihindari?
Berbagai macam
pandangan politik hari ini sudah berusia bukan setahun dua tahun, melainkan
sekian abad lamanya, apalagi pandangan politik berbasis agama. Sekat-sekat ini
tak bisa hilang begitu saja karena setiap pandangan politik memiliki pondasi
ontologi, epistemologi, dan aksiologi yang tersusun kokoh sedemikian rupa.
Basis pengetahuan suatu pandangan politik tersebut terus diproduksi dan
direproduksi.
Dalam bingkai
marxis, suatu pandangan politik adalah cerminan dari asal klasnya. Liberalisme
didukung oleh klas yang mengamini kepemilikan pribadi atas alat produksi yaitu
klas kapitalis. Fasisme didukung oleh kaum militer. Tuan tanah cenderung
memegang filsafat konservatifisme untuk melegitimasi hak-hak istimewanya.
Proletariat (klas buruh yang tidak punya alat produksi) juga memerlukan
pandangan dunianya sendiri untuk meninjau masalah-masalahnya. Apa pandangan
dunia proletar? Dalam buku 'Prinsip-Prinsip Komunisme', Engels berkata bahwa,
"komunisme adalah doktrin atau ajaran tentang syarat-syarat emansipasi proletariat."
Di negeri yang
industrinya masih terbelakang, yang mana masih banyak terdapat corak produksi
lama yang agraris dan feodalistik seperti Indonesia, jumlah proletariatnya
bukanlah mayoritas. Massa tertindas di Indonesia selain proletariat adalah kaum
tani, nelayan adat, suku bangsa terasing, lumpenproletar dan sebagian borjuis
kecil perkotaan. Belum lagi bentuk-bentuk penindasan khusus seperti yang kerap
menimpa pada kaum perempuan, difabel, LGBT, etnis minoritas, penganut
agama/kepercayaan minoritas, buruh
migran, anak-anak terlantar, dsb. Komposisi klas penindas pun bermacam-macam,
mulai dari imperialis, borjuis besar komprador, tuan tanah besar, kapitalis
birokrat, kelompok-kelompok fasis intoleran, dsb. Komprador pun ada yang
modalnya dari Amerika, Tiongkok, Jerman, Arab, India, dsb. Tuan tanah besar ada
yang dalam bentuk perusahaan negara, swasta, swasta-negara, tuan tanah warisan,
dsb. Kapitalis birokrat juga macam-macam dan saling bertentangan, mulai dari
pusat dengan daerah, KPK dengan Kepolisian dan Kejaksaan, TNI dengan Polri,
Komnas HAM dengan TNI, kubu di internal DPR, TNI, Kabinet, dsb. Keberagaman
komposisi klas dan sub-klas inilah yang membuat adanya keberagaman pandangan
politik pula di Indonesia.
Barangkali ada
yang berpikiran sebaiknya tidak perlu dibikin rumit mengenai hal diatas. Cukup
dicari musuh bersama saja, dicari akar penindasannya. Dengan begitu,
sektarianisme bisa teratasi dan persatuan sesama massa klas tertindas bisa
terwujud. Sialnya, berbeda pandangan politik maka berbeda pula musuh
bersamanya. Ini karena terdapat perbedaan cara pandang untuk menganalisis suatu
keadaan, siapa kawan dan siapa lawan. Ini berarti jika memang membentuk
persatuan sesama massa klas tertindas adalah agenda yang segera dan perlu, maka
ada beberapa hal yang menurut penulis dapat dilakukan.
1. Studi atas Berbagai Pandangan
Politik
Seringkali kita mengkritik suatu
pandangan politik lain, tapi malah tidak kena sasaran. Kita salah mengira.
Seperti halnya kaum bigot yang salah mengira bahwa ateis adalah komunis. Karena
setiap pandangan politik disusun atas pondasi atau sistem pengetahuan tertentu,
maka perlu untuk mempelajari pondasi tersebut. Mulai dari latar historisnya,
biografi pemikirnya, cabang-cabangnya, dan tentu saja basis filsafatnya. Seseorang
yang mengaku anarkis belum tentu pondasi filsafatnya juga anarkis, bisa jadi
malah liberal. Atau bisa jadi ada yang anti Trotskyisme, tapi tidak tau apa-apa
tentang sejarah hidup dan karya-karya Trotsky.
2. Riset Ilmiah atas Keadaan
Sosial-Historis
Pandangan politik tertentu
dibentuk berdasarkan keadaan sosial historis tertentu. Sukarnoisme terbentuk
berdasarkan keadaan Indonesia dan dunia pada abad 20. Liberalisme adalah
refleksi kritis atas kondisi sosial historis adanya feodalisme. Kita hidup di abad
21, dengan keadaan sosial historis yang baru, yang tentunya tak bisa asal
jiplak pandangan politik yang disusun sekian abad sebelumnya. Tapi pemahaman
atas keadaan ini tak bisa ditangkap dari pengamatan permukaan saja. Riset
ilmiah diperlukan untuk menyelami sebab musabab dan kesaling hubungan antar
berbagai hal yang menyusun keadaan. Riset ini memang takkan pernah berakhir
karena keadaan terus bergerak. Tapi bukan berarti kita tidak memerlukan riset
sama sekali, karena artinya pengetahuan kita atas dunia akan semakin jauh
tertinggal.
3. Menanyakan Kepada Diri
Sendiri, Untuk Siapa Kita Berpihak?
Setelah melakukan studi
literatur, riset ilmiah atas keadaan, setelah kita meninjau dan menimbang salah
benarnya, pertanyaan tersebut akan ditujukan ke diri sendiri. Di sinilah kita
menentukan keberpihakan. Di sini pula kita menentukan siapa kawan dan siapa
lawan. Pada fase ini kita bisa saja menyatakan sikap dengan mengikuti
kelompok-kelompok politik tertentu, membuat kelompok sendiri, ataupun berjuang
sendirian tanpa kelompok sama sekali (katakanlah ia adalah
anarko-individual-pasifis-primitifis).
4. Praksis
Sikap politik yang telah kita
susun berlaku sebagai hipotesis. Kebenarannya baru dapat ditentukan sejauh itu
dapat dan telah dipraktekkan. Praktek perjuangan tidak melulu mesti terlibat
dalam kasus yang besar-besar seperti di Kendeng, ataupun Gunung Slamet. Bisa
saja kita temukan di kehidupan sehari-hari, dimana terdapat pertentangan atau
kontradiksi antara penindas dan tertindas, kawan dan lawan, kita versus mereka.
Pada fase ini, bukan tidak mungkin dogma-dogma yang selama ini kita yakini
runtuh. Keyakinan-keyakinan yang lama kita evaluasi. Atau justru sebaliknya
keyakinan kita semakin kuat. Individu-individu dan kelompok yang tadinya
bertentangan dan membentuk sektenya masing-masing menjadi beraliansi. Atau
bahkan sebaliknya yang tadinya beraliansi menjadi bermusuhan. Pandangan politik
kita semakin kaya, dan perlu makin banyak studi atas literatur, riset ilmiah,
dan memasuki lagi medan perjuangan praksis. Dan begitu seterusnya. Dialektis.
Dari
langkah-langkah di atas, apakah ini akan menjamin bahwa sektarianisme akan
berakhir? Tidak. Ini hanya ikhtiar saja, berdasarkan refleksi atas pengalaman
penulis sendiri selama terlibat dalam beberapa medan perjuangan klas. Entah itu
di kampus, desa, sampai dengan kampung miskin urban. Dan andaipun sektarianisme
tetap ada, ikhtiar ini bukan tidak ada gunanya. Setidak-tidaknya akan ada garis
demarkasi yang semakin terang siapa kawan dan siapa lawan.
PMA

Posting Komentar