BREAKING NEWS

Selasa, Mei 30, 2017

Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi di Gunung Slamet dan Dampaknya Bagi Kaum Tani

Sumber : Wikipedia
Pengantar
Akhir-akhir ini, celeng (babi hutan) makin sering masuk ke pemukiman masyarakat sekitar lereng Gunung Slamet. Celeng-celeng itu doyan sekali makan umbi-umbian yang ditanami kaum tani. Saat ini untuk bisa makan singkong saja, kaum tani mesti membeli di pasar. Celeng-celeng ini tidak hanya merusak kebun milik kaum tani, tapi juga sampai masuk ke dalam rumah. Beberapa kali masyarakat juga sempat melihat harimau mendekati pemukiman, meskipun tidak sesering celeng. Hanya saja, beberapa saksi tidak memahami jenis harimau apakah yang sempat mendekati pemukimannya. Kaum tani pinggiran hutan di Dusun Semaya, Desa Sunyalangu, Kec. Karanglewas menjadi saksi atas fenomena ini.[1]
Di Desa Kemutug Kidul, Kec. Baturraden bahkan sempat didatangi ratusan kera gunung. Kera-kera tersebut menyerang wilayah pertanian penduduk setempat. Lahan pertanian yang ditanami padi, jagung, dan cabai terancam gagal panen.[2]

Peningkatan aktivitas turunnya hewan-hewan ke area masyarakat ini, seiring dengan berlangsungnya proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Gunung Slamet. Habitat utama hewan-hewan tersebut ini awalnya ada di hutan lindung Gunung Slamet, terutama di area Rawa Taman Dringo dan Bukit Rata Amba.[3] Namun kedua area tersebut saat ini sedang ditebangi dan diratakan untuk kegiatan eksplorasi PLTP. Merasa terancam kehilangan sumber penghidupannya, hewan-hewan tersebut masuk ke pemukiman masyarakat.
Sepanjang November 2016 sampai Maret 2017 juga telah terjadi pencemaran air sungai di Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas.[4] Hulu Sungai Krukut berubah warnanya menjadi merah kecoklatan. Padahal sungai tersebut selama ini menjadi sumber air bagi Desa Sambirata, Karang Tengah, Gunung Lurah, Panembangan, dan Kalisari. Kegiatan ekonomi produksi di desa tersebut terhambat. Bahkan ada yang sempat berhenti karena memang mayoritas di desa tersebut kegiatan ekonominya bergantung pada sumber air bersih. Masyarakat di desa tersebut bergantung pada sektor pertanian, perikanan, peternakan, produksi tahu rumahan (di Desa Kalisari terdapat 283 pengerajin tahu – Sentra produksi tahu terbesar di Banyumas) dan wisata alam seperti curug (air terjun).
Pemenuhan kebutuhan air bersih untuk rumah tangga pun juga terganggu. Air sungai yang biasa digunakan untuk pemenuhan kebutuhan tersebut terlalu kotor untuk diminum, mandi, memasak, ataupun mencuci. Untuk menyiasati cobaan ini, masyarakat akhirnya membeli air bersih kurang lebih 5 sampai 10 dirijen per rumah per hari. Baru setelah keluhan rutin diajukan sepanjang Januari-Februari, pihak perusahaan membuka posko pengaduan dan bersama Pemerintah Kabupaten Banyumas memberi bantuan air bersih. Itu pun bantuannya tidak rutin.
Pencemaran ini disebabkan oleh pembukaan hutan dan pembangunan jalan dari kawasan agrowisata Kaligua, Kab. Brebes sampai ke area Taman Dringo (sebuah rawa di hutan lindung Gunung Slamet). Jalan tersebut dibangun untuk memudahkan mobilisasi transportasi dan peralatan yang diperlukan untuk eksplorasi panas bumi. Limbah pembukaan jalan tersebut tidak dikelola dengan tepat, sehingga ketika hujan berlangsung (waktu itu sedang musim hujan) limbah materialnya masuk ke hulu sungai Krukut.
Sumber : instagram @cilongokcity
Berbagai fenomena di atas terjadi semenjak kedatangan proyek PLTP di Gunung Slamet. Tapi apa itu sebenarnya PLTP? Bagaimana masyarakat menyikapinya? Tulisan ini akan berusaha membahasnya.

Apa itu PLTP ?[5]
Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi adalah pembangkit listrik yang menggunakan panas bumi sebagai sumber energinya. Cara kerjanya persis seperti ketika seorang sedang merebus air dengan ceret di atas kompor. Bisa diibaratkan api kompornya sebagai magma di bawah tanah. Ceret bagian bawah yang terkena api sebagai batu yang menghambat magma keluar. Wadah airnya adalah pipa yang di masukan kedalam bumi sampai ke titik dapur magma dan akan merebus air sampai mendidih dan menguap. Uap yang di hasilkan nanti akan disalurkan ke turbin pembangkit listrik serta memutarnya dan akhirnya menghasilkan listrik.
Sumber : Materi Sosialisasi PT. SAE 24 Mei 2017
Perusahaan yang sedang beroperasi membangun PLTP di Gunung Slamet bernama PT. Sejahtera Alam Energy (PT. SAE). Adapun PT. SAE dimiliki oleh 2 perusahaan. Yang pertama adalah perusahaan asing STEAG PE GmbH asal Jerman dengan saham mayoritas 75%. Sedangkan 25% sisanya dimiliki oleh PT. Trinergy asal Indonesia. Rencana biaya yang dikeluarkan untuk Pengusahaan Tenaga Panas Bumi sebesar 880 juta US Dollar[6]Proyek ini pun tidak terlalu membutuhkan tenaga kerja yang banyak. Tenaga kerja untuk proses pengusahaan tenaga panas bumi sebanyak 450 orang dan untuk proses pembangkitan tenaga listrik sejumlah 225 orang. Semua ini diperlukan untuk menghasilkan listrik dengan target 220 Mega Watt.
PT. SAE memegang izin Panas Bumi berdasarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1557 k/30/MEM/2010, yang kemudian diperbarui menjadi Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 4577k/30/MEM/2015. Berdasarkan izin tersebut, PT SAE memegang Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) yang mencakup area seluas 24.660 Hektar, di Kab. Banyumas, Kab. Purbalingga, Kab. Tegal, Kab. Brebes, dan Kab. Pemalang.
Area prospek WKP sebagian besar terletak di Kawasan Hutan Lindung dengan rincian Hutan Lindung seluas 14.270 Ha dan Hutan Produksi Terbatas sebesar 5.437 Ha serta sisanya kawasan non-hutan. Dari total Wilayah Kerja sebanyak 24.660 Ha itu, rencana luas tanah yang digunakan untuk pengusahaan tenaga panas bumi sebesar 124,21 Ha dan untuk pembangkitan tenaga listrik seluas 25,5 Ha. Pengusahaan tenaga panas bumi adalah proses yang dilakukan untuk mendapatkan tenaga panas bumi dari dalam bumi. Sedangkan pembangkitan tenaga listrik adalah proses merubah tenaga panas bumi yang didapat menjadi energi listrik.
Saat ini, PT. SAE sedang memasuki tahap eksplorasi. Tahap ini terdiri dari beberapa kegiatan, antara lain pembangunan landasan sumur, pembangunan jalan untuk akses ke landasan sumur, pembukaan lahan untuk pemasangan pipa, area dispossal, embung, dan bangunan sementara. Total luas hutan lindung yang sedang dibabat untuk eksplorasi ini seluas 675,7 hektar. Penebangan hutan saat ini telah mencapai area Rawa Taman Dringo dan Bukit Rata Amba.
Sumber : Materi Sosialisasi PT. SAE 24 Mei 2017
Potensi Dampak ke Depannya
Sebagian besar proyek PLTP terletak di Kawasan Hutan Lindung. Kawasan Hutan Lindung merupakan kawasan hutan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya. Hutan ini ditujukan untuk menjalankannya fungsi-fungsi lingkungan khususnya untuk memelihara tutupan vegetasi dan stabilitas tanah di lereng-lereng curam serta melindungi Daerah Aliran Sungai. Dalam sistem Hidrologi panas bumi, kawasan ini merupakan daerah resapan air yang berfungsi sebagai pemasok air ke dalam sistem reservoir. Penyebaran daerah resapan air meliputi hampir di setiap kabupaten (Banyumas, Purbalingga, Pemalang, Tegal, Brebes). Inilah alasan kenapa selama ini Gunung Slamet dianggap sebagai sumber penghidupan, yaitu karena hutan lindungnya yang masih alami.
            Ketika musim penghujan tiba, hutan lindung di Gunung Slamet mencegah supaya air tidak mengalir deras ke bawah sehingga tidak terjadi banjir. Air tadi disimpan di dalam tanah berkat adanya hutan lindung. Sedangkan ketika kemarau, cadangan air tanah tadi keluar melalui berbagai sumber mata air. Sehingga masyarakat terutama petani yang amat bergantung dengan air, tidak mengalami kekeringan. Kelestarian Gunung Slamet adalah kunci keseimbangan kehidupan alam maupun sosial di sekitarnya.[7] Jika keseimbangan alam ini terganggu dengan adanya proyek PLTP, maka bukan tidak mungkin masyarakat akan mengalami kekurangan air, serbuan binatang liar yang semakin sering, dan sebagainya.


  
Berikut contoh pemanfaatan panas bumi untuk pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTPB) di Mataloko, Nusa Tenggara Timur, Indonesia yang membawa dampak buruk terhadap lingkungan sekitar wilayah kerja panas bumi.[8]

Dampak Lingkungan

1.     Berkurangnya sumber mata air
2.      Kerusakan lahan pertanian
3.  Tanaman pertanian perkebunan yang perlahan mati, gagal panen, rusak, keropos bahkan jenis kayu-kayuan tanaman umur panjang seperti kayu albasia, mahoni, pohon alpokat, pohon enau juga keropos dan mati
4.  Terjadi Semburan gas lumpur panas. Sebelum adanya semburan gas lumpur panas panen buah alpukat dan tanaman kopi cukup besar, tetapi sejak adanya radiasi gas lumpur panas, walau tiba musim hujan banyak tanaman tersebut mati dan kering, buah alpukat juga semakin mengecil dan setelah dibelah di dalamnya  tidak berisi, rusak bahkan membusuk. Begitu juga tanaman jagung, kacang-kacangan, sayur mayur. Awalnya kelihatan segar tetapi mendekat musim berbuah justru mengering dan mati.[9]

Dampak Ekonomi
1.    Masyarakat yang sebagian besar adalah petani, pendapatannya menurun karena hasil panennya mengalami penurunan.
2.      Atap-atap seng rumah warga mengalami kerusakan (keropos) dan sering diganti 2 tahun sekali.
3.      Perusaakan tanaman oleh hewan-hewan yang turun gunung akibat tempat tinggalnya di gusur

Dampak Sosial
1.      Meningkatkan penyakit ISPA dan kulit yang dialami oleh masyarakat.
2.      Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Ngada, NTT  tahun 2009 sebanyak 545 warga menderita infeksi saluran pernafasan akut, infeksi kulit 185 warga, dan 33 warga sesak napas berasal dari  kelurahan Mataloko dan Todabelu yang tak jauh dari lokasi semburan. [10]
3.      Pencemaran suara (bising) akibat pengeboran sumur.

Penutup
Negara dianggap memiliki wilayah Gunung Slamet, sehingga merasa berhak untuk mempersilahkan kepada PT. SAE untuk mengeruk sumber daya alam di Gunung Slamet. Padahal negara ini baru lahir pada 1945, sedangkan masyarakat lereng Gunung Slamet telah ada sejak jaman kuna, jaman dahulu kala. Masyarakat lah selama ini menjaga Gunung Slamet sebagai titipan dari Tuhan Yang Maha Esa, dan menghormati nilai-nilai kebudayaan yang ada di Gunung Slamet. Ketika Gunung Slamet diusik, maka adalah hal wajar jika masyarakat bergerak. Terutama masyarakat pedesaan pinggiran hutan. Saat ini telah bermunculan respon penolakan dari berbagai elemen masyarakat, entah itu kaum tani, pemuda, pelajar, seniman, dan sebagainya. PTLP bukanlah hal yang buruk, akan tetapi keberadaan kegiatan PLTP di hutan lindung Gunung Slamet telah merusak tatanan ekosistem alam dan relasinya dengan kegiatan produktif masyarakat lereng Gunung Slamet. Saat ini yang masyarakat tolak bukanlah PLTP-nya, melainkan keberadaan PLTP di Gunung Slamet. Ketika respon penolakan ini dapat dikonsolidasikan dalam sebuah gerakan rakyat, maka berhentinya proyek PLTP di Gunung Slamet tak dapat terelakkan. 



Penulis : Panji Mulkillah Ahmad, Cendekia Nur Kholik, Septiawan Nurul Handika (AGRA Banyumas)

Saksikan juga video kami tentang sekilas eksplorasi PLTPB di Gunung Slamet :

https://www.youtube.com/watch?v=RJA6QMsUeGY&t=24s




[1] Hasil wawancara berbagai sumber
[2] http://satelitnews.co/berita--kera-serbu-lahan-pertanian-di-baturraden---.html
[3] Informasi tentang habitat satwa tersebut bersumber dari penuturan para pemburu yang sering menjelajahi hutan lindung di Gunung Slamet
[4] Masalah pencemaran air ini lebih detil dikisahkan dalam film dokumenter Banyu Buthek, https://www.youtube.com/watch?v=h2oRKerJNMI
[5] Referensi dari detail proyek PLTP ini dapat dilihat di dokumen UKL/UPL Eksplorasi PLTP Baturraden
[6] http://www.banyumaskab.go.id/read/15321/2017pltpbaturradenberoperasi
[7] Mengenai pengetahuan tentang sistem ekologi Gunung Slamet ini lebih lengkapnya bisa membaca Ekologi Gunung Slamet, LIPI – LPPM Unsoed, Jakarta, 2012

Share this:

1 komentar :

  1. Wah ada kabar baik. Ternyata harimau belum punah ya mas Panji? Kalau kabar itu benar tentu akan sangat menggembirakan. Dan mohon maaf mas Panji saya ingin bertanya, angka 675.7 hektar darimana ya? Karena yang saya baca dari referensi mas Panji no [6], angka yang tertera disana adalah 137.5 hektar. Mohon penjelasannya untuk mengedukasi masyarakat awam seperti saya

    BalasHapus

 
Back To Top
Copyright © 2018 Soeara Massa. Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Templates