![]() |
| Sumber : Wikipedia |
Pengantar
Akhir-akhir ini, celeng (babi hutan) makin
sering masuk ke pemukiman masyarakat sekitar lereng Gunung Slamet.
Celeng-celeng itu doyan sekali makan umbi-umbian yang ditanami kaum tani. Saat
ini untuk bisa makan singkong saja, kaum tani mesti membeli di pasar.
Celeng-celeng ini tidak hanya merusak kebun milik kaum tani, tapi juga sampai
masuk ke dalam rumah. Beberapa kali masyarakat juga sempat melihat harimau
mendekati pemukiman, meskipun tidak sesering celeng. Hanya saja, beberapa saksi
tidak memahami jenis harimau apakah yang sempat mendekati pemukimannya. Kaum
tani pinggiran hutan di Dusun Semaya, Desa Sunyalangu, Kec. Karanglewas menjadi
saksi atas fenomena ini.[1]
Di Desa Kemutug Kidul, Kec. Baturraden bahkan
sempat didatangi ratusan kera gunung. Kera-kera tersebut menyerang wilayah
pertanian penduduk setempat. Lahan pertanian yang ditanami padi, jagung, dan
cabai terancam gagal panen.[2]
Peningkatan aktivitas turunnya hewan-hewan ke
area masyarakat ini, seiring dengan berlangsungnya proyek pembangunan Pembangkit
Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Gunung Slamet. Habitat utama hewan-hewan
tersebut ini awalnya ada di hutan lindung Gunung Slamet, terutama di area Rawa
Taman Dringo dan Bukit Rata Amba.[3] Namun
kedua area tersebut saat ini sedang ditebangi dan diratakan untuk kegiatan
eksplorasi PLTP. Merasa terancam kehilangan sumber penghidupannya, hewan-hewan
tersebut masuk ke pemukiman masyarakat.
Sepanjang November 2016 sampai Maret 2017 juga telah
terjadi pencemaran air sungai di Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas.[4]
Hulu Sungai Krukut berubah warnanya menjadi merah kecoklatan. Padahal sungai
tersebut selama ini menjadi sumber air bagi Desa Sambirata, Karang Tengah,
Gunung Lurah, Panembangan, dan Kalisari. Kegiatan ekonomi produksi di desa
tersebut terhambat. Bahkan ada yang sempat berhenti karena memang mayoritas di
desa tersebut kegiatan ekonominya bergantung pada sumber air bersih. Masyarakat
di desa tersebut bergantung pada sektor pertanian, perikanan,
peternakan, produksi tahu rumahan (di Desa Kalisari terdapat 283 pengerajin
tahu – Sentra produksi tahu terbesar di Banyumas) dan wisata alam seperti curug
(air terjun).
Pemenuhan kebutuhan air bersih untuk rumah tangga pun
juga terganggu. Air sungai yang biasa digunakan untuk pemenuhan kebutuhan
tersebut terlalu kotor untuk diminum, mandi, memasak, ataupun mencuci. Untuk
menyiasati cobaan ini, masyarakat akhirnya membeli air bersih kurang lebih 5
sampai 10 dirijen per rumah per hari. Baru setelah keluhan rutin diajukan
sepanjang Januari-Februari, pihak perusahaan membuka posko pengaduan dan
bersama Pemerintah Kabupaten Banyumas memberi bantuan air bersih. Itu pun
bantuannya tidak rutin.
Pencemaran ini disebabkan oleh pembukaan hutan dan
pembangunan jalan dari kawasan agrowisata Kaligua, Kab. Brebes sampai ke area
Taman Dringo (sebuah rawa di hutan lindung Gunung Slamet). Jalan tersebut
dibangun untuk memudahkan mobilisasi transportasi dan peralatan yang diperlukan
untuk eksplorasi panas bumi. Limbah pembukaan jalan tersebut tidak dikelola
dengan tepat, sehingga ketika hujan berlangsung (waktu itu sedang musim hujan)
limbah materialnya masuk ke hulu sungai Krukut.
![]() |
| Sumber : instagram @cilongokcity |
Berbagai fenomena di atas terjadi semenjak
kedatangan proyek PLTP di Gunung Slamet. Tapi apa itu sebenarnya PLTP? Bagaimana
masyarakat menyikapinya? Tulisan ini akan berusaha membahasnya.
Apa itu PLTP ?[5]
Pembangkit
Listrik Tenaga Panas Bumi adalah pembangkit listrik yang menggunakan panas bumi
sebagai sumber energinya. Cara kerjanya persis seperti ketika seorang sedang
merebus air dengan ceret di atas kompor. Bisa diibaratkan api kompornya sebagai
magma di bawah tanah. Ceret bagian bawah yang terkena api sebagai batu yang
menghambat magma keluar. Wadah airnya adalah pipa yang di masukan kedalam bumi
sampai ke titik dapur magma dan akan merebus air sampai mendidih dan menguap.
Uap yang di hasilkan nanti akan disalurkan ke turbin pembangkit listrik serta
memutarnya dan akhirnya menghasilkan listrik.
![]() |
| Sumber : Materi Sosialisasi PT. SAE 24 Mei 2017 |
PT. SAE memegang
izin Panas Bumi berdasarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
Nomor 1557 k/30/MEM/2010, yang kemudian diperbarui menjadi Keputusan Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral No. 4577k/30/MEM/2015. Berdasarkan izin
tersebut, PT SAE memegang Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) yang mencakup area
seluas 24.660 Hektar, di Kab. Banyumas, Kab. Purbalingga, Kab. Tegal, Kab.
Brebes, dan Kab. Pemalang.
Area prospek WKP sebagian besar terletak di Kawasan Hutan Lindung dengan rincian Hutan Lindung seluas 14.270 Ha dan Hutan Produksi Terbatas sebesar 5.437 Ha serta sisanya kawasan non-hutan. Dari total Wilayah Kerja sebanyak 24.660 Ha itu, rencana luas tanah yang digunakan untuk pengusahaan tenaga panas bumi sebesar 124,21 Ha dan untuk pembangkitan tenaga listrik seluas 25,5 Ha. Pengusahaan tenaga panas bumi adalah proses yang dilakukan untuk mendapatkan tenaga panas bumi dari dalam bumi. Sedangkan pembangkitan tenaga listrik adalah proses merubah tenaga panas bumi yang didapat menjadi energi listrik.
Area prospek WKP sebagian besar terletak di Kawasan Hutan Lindung dengan rincian Hutan Lindung seluas 14.270 Ha dan Hutan Produksi Terbatas sebesar 5.437 Ha serta sisanya kawasan non-hutan. Dari total Wilayah Kerja sebanyak 24.660 Ha itu, rencana luas tanah yang digunakan untuk pengusahaan tenaga panas bumi sebesar 124,21 Ha dan untuk pembangkitan tenaga listrik seluas 25,5 Ha. Pengusahaan tenaga panas bumi adalah proses yang dilakukan untuk mendapatkan tenaga panas bumi dari dalam bumi. Sedangkan pembangkitan tenaga listrik adalah proses merubah tenaga panas bumi yang didapat menjadi energi listrik.
Saat ini, PT. SAE
sedang memasuki tahap eksplorasi. Tahap ini terdiri dari beberapa kegiatan,
antara lain pembangunan landasan sumur, pembangunan jalan untuk akses ke
landasan sumur, pembukaan lahan untuk pemasangan pipa, area dispossal, embung,
dan bangunan sementara. Total luas hutan lindung yang sedang dibabat untuk
eksplorasi ini seluas 675,7 hektar. Penebangan hutan saat ini telah mencapai
area Rawa Taman Dringo dan Bukit Rata Amba.
![]() |
| Sumber : Materi Sosialisasi PT. SAE 24 Mei 2017 |
Potensi
Dampak ke Depannya
Sebagian besar
proyek PLTP terletak di Kawasan Hutan Lindung. Kawasan Hutan Lindung merupakan
kawasan hutan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya. Hutan ini
ditujukan untuk menjalankannya fungsi-fungsi lingkungan khususnya untuk
memelihara tutupan vegetasi dan stabilitas tanah di lereng-lereng curam serta
melindungi Daerah Aliran Sungai. Dalam sistem Hidrologi panas bumi, kawasan ini
merupakan daerah resapan air yang berfungsi sebagai pemasok air ke dalam sistem
reservoir. Penyebaran daerah resapan air meliputi hampir di setiap kabupaten
(Banyumas, Purbalingga, Pemalang, Tegal, Brebes). Inilah alasan kenapa selama
ini Gunung Slamet dianggap sebagai sumber penghidupan, yaitu karena hutan
lindungnya yang masih alami.
Ketika
musim penghujan tiba, hutan lindung di Gunung Slamet mencegah supaya air tidak
mengalir deras ke bawah sehingga tidak terjadi banjir. Air tadi disimpan di
dalam tanah berkat adanya hutan lindung. Sedangkan ketika kemarau, cadangan air
tanah tadi keluar melalui berbagai sumber mata air. Sehingga masyarakat
terutama petani yang amat bergantung dengan air, tidak mengalami kekeringan.
Kelestarian Gunung Slamet adalah kunci keseimbangan kehidupan alam maupun
sosial di sekitarnya.[7]
Jika keseimbangan alam ini terganggu dengan adanya proyek PLTP, maka bukan
tidak mungkin masyarakat akan mengalami kekurangan air, serbuan binatang liar
yang semakin sering, dan sebagainya.
Berikut contoh pemanfaatan panas bumi untuk
pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTPB) di Mataloko, Nusa Tenggara Timur,
Indonesia yang membawa dampak buruk terhadap lingkungan sekitar wilayah kerja
panas bumi.[8]
Dampak Lingkungan
1. Berkurangnya sumber mata air
2. Kerusakan lahan pertanian
3. Tanaman pertanian perkebunan yang perlahan mati, gagal panen, rusak, keropos bahkan jenis kayu-kayuan tanaman umur panjang seperti kayu albasia, mahoni, pohon alpokat, pohon enau juga keropos dan mati
4. Terjadi Semburan gas lumpur panas. Sebelum adanya semburan gas lumpur panas panen buah alpukat dan tanaman kopi cukup besar, tetapi sejak adanya radiasi gas lumpur panas, walau tiba musim hujan banyak tanaman tersebut mati dan kering, buah alpukat juga semakin mengecil dan setelah dibelah di dalamnya tidak berisi, rusak bahkan membusuk. Begitu juga tanaman jagung, kacang-kacangan, sayur mayur. Awalnya kelihatan segar tetapi mendekat musim berbuah justru mengering dan mati.[9]
Dampak Ekonomi
1. Masyarakat yang sebagian besar adalah petani, pendapatannya menurun karena hasil panennya mengalami penurunan.
2. Atap-atap seng rumah warga mengalami kerusakan (keropos) dan sering diganti 2 tahun sekali.
3. Perusaakan tanaman oleh hewan-hewan yang turun gunung akibat tempat tinggalnya di gusur
Dampak Sosial
1. Meningkatkan penyakit ISPA dan kulit yang dialami oleh masyarakat.
2. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Ngada, NTT tahun 2009 sebanyak 545 warga menderita infeksi saluran pernafasan akut, infeksi kulit 185 warga, dan 33 warga sesak napas berasal dari kelurahan Mataloko dan Todabelu yang tak jauh dari lokasi semburan. [10]
3. Pencemaran suara (bising) akibat pengeboran sumur.
Penutup
Negara dianggap memiliki wilayah Gunung
Slamet, sehingga merasa berhak untuk mempersilahkan kepada PT. SAE untuk
mengeruk sumber daya alam di Gunung Slamet. Padahal negara ini baru lahir pada
1945, sedangkan masyarakat lereng Gunung Slamet telah ada sejak jaman kuna,
jaman dahulu kala. Masyarakat lah selama ini menjaga Gunung Slamet sebagai
titipan dari Tuhan Yang Maha Esa, dan menghormati nilai-nilai kebudayaan yang
ada di Gunung Slamet. Ketika Gunung Slamet diusik, maka adalah hal
wajar jika masyarakat bergerak. Terutama masyarakat pedesaan pinggiran hutan. Saat
ini telah bermunculan respon penolakan dari berbagai elemen masyarakat, entah
itu kaum tani, pemuda, pelajar, seniman, dan sebagainya. PTLP bukanlah hal yang buruk, akan tetapi keberadaan kegiatan PLTP di hutan lindung Gunung Slamet telah merusak tatanan ekosistem alam dan relasinya dengan kegiatan produktif masyarakat lereng Gunung Slamet. Saat ini yang masyarakat tolak bukanlah PLTP-nya, melainkan keberadaan PLTP di Gunung Slamet. Ketika respon
penolakan ini dapat dikonsolidasikan dalam sebuah gerakan rakyat, maka
berhentinya proyek PLTP di Gunung Slamet tak dapat terelakkan.
Penulis : Panji Mulkillah Ahmad, Cendekia Nur Kholik, Septiawan Nurul Handika (AGRA Banyumas)Saksikan juga video kami tentang sekilas eksplorasi PLTPB di Gunung Slamet :
https://www.youtube.com/watch?v=RJA6QMsUeGY&t=24s
[1] Hasil
wawancara berbagai sumber
[2] http://satelitnews.co/berita--kera-serbu-lahan-pertanian-di-baturraden---.html
[3] Informasi
tentang habitat satwa tersebut bersumber dari penuturan para pemburu yang
sering menjelajahi hutan lindung di Gunung Slamet
[4] Masalah
pencemaran air ini lebih detil dikisahkan dalam film dokumenter Banyu Buthek, https://www.youtube.com/watch?v=h2oRKerJNMI
[5]
Referensi dari detail proyek PLTP ini dapat dilihat di dokumen UKL/UPL
Eksplorasi PLTP Baturraden
[6] http://www.banyumaskab.go.id/read/15321/2017pltpbaturradenberoperasi
[7] Mengenai
pengetahuan tentang sistem ekologi Gunung Slamet ini lebih lengkapnya bisa
membaca Ekologi Gunung Slamet, LIPI –
LPPM Unsoed, Jakarta, 2012






Wah ada kabar baik. Ternyata harimau belum punah ya mas Panji? Kalau kabar itu benar tentu akan sangat menggembirakan. Dan mohon maaf mas Panji saya ingin bertanya, angka 675.7 hektar darimana ya? Karena yang saya baca dari referensi mas Panji no [6], angka yang tertera disana adalah 137.5 hektar. Mohon penjelasannya untuk mengedukasi masyarakat awam seperti saya
BalasHapus