BREAKING NEWS

Senin, Juni 19, 2017

International Father’s Day : Maskulinitas Membunuh Ayah


Pada tanggal 18 Juni 2017 kita memperingati Hari Ayah Sedunia. Walaupun perayaan Hari Ayah ini tak sepopuler Hari Ibu, namun di beberapa Negara di dunia merayakan Hari Ayah, bahkan ditetapkan sebagai hari libur. Sedangkan, di Indonesia senndiri Hari Ayah jatuh pada tanggal 12 November sejak ditetapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2006.  

Hari Ayah Sedunia tak begitu saja lahir. Hari Ayah ini tentunya diperingati untuk menghormati peran Ayah dalam rumah tangga. Hari Ayah pertama kali dirayakan pada 102 tahun yang lalu. Awal mulanya perayaan Hari Ayah ini berawal dari kisah Smart Dood. Ia adalah seorang anak perempuan warga Spokane, Washington, Amerika Serikat. Setelah mendengarkan khotbah pada Hari Ibu pada tahun 1909, ia yang memiliki 6 bersaudara ini dibesarkan oleh ayahnya seorang diri. Ibunya sudah meninggal dunia. Maka, untuk menghormati jerih payah Ayahnya, Smart Dood memiliki gagasan untuk mendorong gereja-gereja local memperingati Hari Ayah. Mulai tahun 1972, di Amerika Serikat Hari Ayah resmi dijaadikan hari libur (Rasmi, 2012 dalam nationalgeographic.co.id ). [1]

Memperingati Hari Ayah ini tentunya kita bisa merefleksikan diri bagaimana peran Ayah dalam keluarga. Dalam budaya hari ini, Ayah ditempatkan sebagai sosok pencari naafkah utama dalam keluarga. Maka akan aneh bagi masyarakat, jika seorang “ayah” tidak memiliki pekerjaan. Tak heran banyak masyarakat yang menyinyir ketika ada laki-laki yang sudah menjadi sosok ayah namun tidak bekerja. Bahkan masyarakat memberikan labeling “gagal menjadi sosok ayah” jika diketahui sang ayah itu tidak memiliki pekerjaan. 

Akibat budaya patriarki yang diadopsi oleh masyarakat menempatkan klasifikasi sektor dalam rumah tangga. Ya, laki-laki ditempatkan di sektor public (pencari nafkah) dan perempuan ditempatkan di sektor domestik (mengurus rumah tangga) (budiman, 1985 : 1). [2]  Walaupun kini sudah banyak perempuan yang telah masuk sektor public untuk bekerja, namun tetap saja yang dianggap sebagai pencari nafkah utama ialah laki-laki. 

Kita sama-sama mengetahui bahwa lapangan pekerjaan hari ini sempit. Banyak pengangguran dimana-mana. Persaingan kualitas yang dimiliki antar individu semakin menyulitkan orang-orang untuk mendapatkan pekerjaan. Sekalipun orang-orang sudah mendapatkan pekerjaan, gaji yang didapatkan tidak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan. Tak hanya itu, hidupnya juga akan terus dihantui oleh setan PHK. Lantas bagaimana seorang Ayah menjalani sosok sebagai pencari nafkah di tengah kondisi yang begitu rumit seperti ini ?

Lapangan pekerjaan yang sulit ditambah dengan kondisi sosial budaya masyarakat yang patriarkis semakin menekan sang “ayah”. Bayangkan kalian (laki-laki) sudah menjadi seorang “ayah” yang di suatu kondisi, kalian tidak mendapatkan pekerjaan atau di PHK dari tempat kerja. Istri kalian pun tak bekerja atau bekerja tapi penghasilannya masih kurang untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Dengan budaya patriarki yang melekat dalam keluarga, membuat istri dan anak-anak kalian merengek, mengintimidasi, mencaci maki, tak terima jika kalian tak memiliki penghasilan. Bahkan tetangga pun ikut mencibir kalian. Apa yang kalian rasakan dengan kondisi yang seperti itu ? Stres, depresi, frustasi atau ingin bunuh diri ?  Ya bisa jadi kalian akan merasakan hal-hal seperti itu.  

Maskulinitas akibat budaya patriarki membuat laki-laki harus mejadi sosok yang kuat, tangguh, otoritas, mampu memimpin dan memiliki legitimasi. Jika “ayah” tak memiliki penghasilan maka anggota keluarga tak akan menganggapnya sebagai pemimpin keluarga. Ketika “ayah” menangis akan nasibnya justru dianggap lemah oleh keluarga. Tapi ketika ia menyembunyikan perasaannya, dia akan terus mengalami tekanan dalam dirinya. Ternyata, maskulinitas juga bisa membunuh laki-laki. 

Bunuh diri menjadi penghujung dari tekanan yang dirasakan “ayah” akibat konsep maskulinitas yang hadir di tengah masyarakat patriarkis. Menurut laporan World Healh Organization (WHO) yang berjudul Preventing Suicide : A Global Imperative tahun 2014 menunjukan di Negara-negara maju laki-laki memiliki kemungkinan bunuh diri tiga kali lebih tinggi daripada perempuan. Sedangkan di Negara berkembang turun menjadi setengahnya. [3] Baik Negara maju maupun berkembang kecenderungan laki-laki bunuh diri tentunya tetap ada. Karena faktor sosial, budaya dan ekonomi yang membuat mereka ingin mengakhiri hidupnya. 

The Samaritans melakukan penelitian di Inggris pada tahun 2012 dengan hasilnya menyatakan bahwa kasus bunuh diri laki-laki terjadi pada usia paruh baya dan kecenderungannya sepuluh kali lebih besar pada laki-laki dengan status sosial ekonomi rendah. [4] Alasan ekonomi membuat laki-laki cenderung memilih bunuh diri. Mereka tak punya akses untuk pekerjaan tetap dan gaji yang mencukupi. Hal tersebut membuat mereka malu dan tertekan, bahkan merasa kehilangan sisi maskulin mereka untuk memiliki pekerjaan dan menafkahi keluarga. Depresi yang dialami oleh laki-laki juga cenderung jarang dikonsultasikan pada orang lain. Tak seperti perempuan yang lebih sering mengkonsultasikan pada orang lain atas apa yang sedang ia rasakan. 

Lantas bagaimana seharusnya menjadi seorang laki-laki atau “ayah” ?  Apakah menjadi “Ayah” harus selalu kuat tapi membohongi dirinya sendiri ? Apakah menjadi “Ayah” harus selalu berdiri sendiri mencari solusi di tengah tekanan yang sedang dihadapi ? Apakah menjadi seorang”Ayah” tak boleh menangisi nasib sendiri ? Apakah menjadi seorang “Ayah” harus memikul tanggung jawab sendirian ? Bukankah lebih ringan jika tanggung jawab dipikul oleh dua orang ? 

Kalian yang akan menjadi “ayah” atau sudah menjadi “ayah” jangan takut untuk bersuara akan keluh kesah kalian. Jangan malu untuk menangis dan bercerita pada istri dan anak kalian. Keluarga akan menuju keluarga harmonis jika semua anggota keluarga mau terbuka. Termasuk kalian “Ayah”. Lakukanlah seluruh tugas dalam keluarga secara bersama-sama.

Kalian para perempuan yang akan menjadi “ibu” atau sudah menjadi “ibu” selalu dukunglah suami kalian apapun keadaannya. Berhenti menekan, mencibir, mengintimidasi mereka karena kesulitan ekonomi. Lebih baik dudukan permasalahan ekonomi bersama-sama dan pikirkan jalan keluarnya bersama. Seluruh tugas dalam keluarga lakukanlah bersama-sama. Beban akan terasa ringan jika ditanggung bersama-sama daripada ditanggung sendirian bukan ?

Kalian yang menjadi anak-anak dalam suatu keluarga. Yakinlah bahwa orang tua selalu mengusahakan yang terbaik untuk kalian. Terlepas apapun hasilnya, mereka ingin melihat kalian hidup bahagia. Berikan senyuman manis pada mereka dalam apapun kondisinya. 

Patriarki sudah membunuh banyak laki-laki dan perempuan secara perlahan. Pembedaan peran maskulin dan feminin membuat konsekuensi yang saling berkaitan satu sama lain. Patriarki banyak membuat orang tertekan, malu, terbebani, depresi bahkan membuat orang ingin bunuh diri. Masihkah kalian ingin hidup dalam belenggu patriarki seperti ini ? Silahkan direnungkan. 

Tulisan ini didedikasikan untuk seluruh Ayah di dunia.

We Love You, Dad.

Oleh : Ghea Nurhanifah

[1] nationalgeographic.co.id/berita/2012/06/mengungkap-sejarah-di-balik-fenomena-hari-ayah
[2] Budiman, Arief. 1985. Pembagian Kerha Secara Seksual. Jakarta : PT Gramedia.
[3] http://gamapserver.who.int/gho/interactive_charts/mental_health/suicide_rates/atlas.html
[4]https://www.samaritans,org/sites/default/files/kcfinder/files/Men%20ans%20Suicide%20Research%20Report%20210912.pdf 

Share this:

Posting Komentar

 
Back To Top
Copyright © 2018 Soeara Massa. Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Templates