Q
: Apa sih yang terjadi dengan pembangunan Pembangkit Listrik Tenga Panas Bumi
di Gunung Slamet?
A: Sebelumnya, kamu harus mengerti terlebih dahulu
apa itu Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB). Nah, PLTPB adalah
pembangkit listrik yang menggunakan panas bumi sebagai sumber energinya. Cara
kerjanya persis seperti ketika seorang sedang merebus air dengan ceret di atas
kompor. Bisa diibaratkan api kompornya sebagai magma di bawah tanah. Ceret
bagian bawah yang terkena api sebagai batu yang menghambat magma keluar. Wadah
airnya adalah pipa yang dimasukkan ke dalam bumi sampai ke titik dapur magma dan
akan merebus air sampai mendidih dan menguap. Uap yang dihasilkan nanti akan
disalurkan ke turbin pembangkit listrik serta memutarnya dan akhirnya
menghasilkan listrik.
Perusahaan yang sedang beroperasi membangun PLTP di Gunung
Slamet bernama PT. Sejahtera Alam Energy (PT. SAE). Adapun PT. SAE dimiliki
oleh 2 perusahaan. Yang pertama adalah perusahaan asing STEAG PE GmbH asal
Jerman dengan saham mayoritas 75%. Sedangkan 25% sisanya dimiliki oleh PT.
Trinergy asal Indonesia. Rencana biaya yang dikeluarkan untuk Pengusahaan
Tenaga Panas Bumi sebesar 880 juta US Dollar[1]. Proyek ini pun tidak terlalu
membutuhkan tenaga kerja yang banyak. Rencananya akan digunakan Tenaga Kerja
Indonesia untuk proses pengusahaan tenaga panas bumi sebanyak 450 orang dan
untuk proses pembangkitan tenaga listrik sejumlah 225 orang. Semua ini
diperlukan untuk menghasilkan listrik dengan target 220 Mega Watt.
PT. SAE memegang izin Panas Bumi berdasarkan Keputusan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1557 k/30/MEM/2010, yang kemudian
diperbarui menjadi Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No.
4577k/30/MEM/2015. Berdasarkan izin tersebut, PT SAE memegang Wilayah Kerja
Pertambangan (WKP) yang mencakup area seluas 24.660 Hektar, di Kab. Banyumas,
Kab. Purbalingga, Kab. Tegal, Kab. Brebes, dan Kab. Pemalang.
Area prospek WKP sebagian besar terletak di Kawasan Hutan
Lindung dengan rincian Hutan Lindung seluas 14.270 Ha dan Hutan Produksi
Terbatas sebesar 5.437 Ha serta sisanya kawasan non-hutan. Dari total Wilayah
Kerja sebanyak 24.660 Ha itu, rencana luas tanah yang digunakan untuk
pengusahaan tenaga panas bumi sebesar 124,21 Ha dan untuk pembangkitan tenaga
listrik seluas 25,5 Ha. Pengusahaan tenaga panas bumi adalah proses yang
dilakukan untuk mendapatkan tenaga panas bumi dari dalam bumi. Sedangkan
pembangkitan tenaga listrik adalah proses merubah tenaga panas bumi yang didapat
menjadi energi listrik.
Saat ini, PT. SAE sedang memasuki tahap eksplorasi. Tahap
ini terdiri dari beberapa kegiatan, antara lain pembangunan landasan sumur,
pembangunan jalan untuk akses ke landasan sumur, pembukaan lahan untuk
pemasangan pipa, area dispossal, embung, dan bangunan sementara. Total luas
hutan lindung yang sedang dibabat untuk eksplorasi ini seluas 675,7 hektar.
Penebangan hutan saat ini telah mencapai area Rawa Taman Dringo dan Bukit Rata
Amba.
Q
: Bukankah PLTPB ramah lingkungan?
A : Iya, jika dibanding
PLTU yang dari batu bara. Tapi PLTPB menjadi tidak ramah lingkungan ketika
dibangun di hutan lindung di Gunung Slamet. Akan ada 675,7 hektar hutan yang
mengalami deforestasi. Serapan air akan berkurang karena hutan lindung yang
berperan untuk menyerap air hutan juga berkurang. Maka desa-desa yang
bergantung pada air tanah maupun air sungai juga akan terganggu. Ekosistem
flora dan fauna terganggu keseimbangannya. Bahkan semenjak eksplorasi
berlangsung akhir-akhir ini saja, hewan-hewan dari gunung makin sering
bermunculan di desa-desa pinggir hutan. Menyebabkan rusaknya lahan pertanian
warga.[2]
Sepanjang
November 2016 sampai Maret 2017 telah terjadi pencemaran air sungai di
Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas.[3]
Hulu Sungai Krukut berubah warnanya menjadi merah kecoklatan. Padahal sungai
tersebut selama ini menjadi sumber air bagi Desa Sambirata, Karang Tengah,
Gunung Lurah, Panembangan, dan Kalisari. Kegiatan ekonomi produksi di desa
tersebut terhambat. Bahkan ada yang berhenti total karena memang mayoritas di
desa tersebut kegiatan ekonominya bergantung pada sumber air bersih. Masyarakat
di desa tersebut kebanyakan berkegiatan di sektor pertanian, perikanan,
peternakan, produksi tahu rumahan (di Desa Kalisari terdapat 283 pengerajin
tahu – Sentra produksi tahu terbesar di Banyumas) dan wisata alam seperti curug
(air terjun).
Pemenuhan
kebutuhan air bersih untuk rumah tangga pun juga terganggu. Air sungai yang
biasa digunakan untuk pemenuhan kebutuhan tersebut terlalu kotor untuk diminum,
mandi, memasak, ataupun mencuci. Untuk menyiasati cobaan ini, masyarakat
akhirnya membeli air bersih kurang lebih 5 sampai 10 dirijen per rumah per
hari. Baru setelah keluhan rutin diajukan sepanjang Januari-Februari, pihak
perusahaan membuka posko pengaduan dan bersama Pemerintah Kabupaten Banyumas
memberi bantuan air bersih. Itu pun bantuannya tidak rutin.
Pencemaran
ini disebabkan oleh pembukaan hutan dan pembangunan jalan dari kawasan
agrowisata Kaligua, Kab. Brebes sampai ke area Taman Dringo (sebuah rawa di
hutan lindung Gunung Slamet). Jalan tersebut dibangun untuk memudahkan
mobilisasi transportasi dan peralatan yang diperlukan untuk eksplorasi panas
bumi. Limbah pembukaan jalan tersebut tidak dikelola dengan tepat, sehingga
ketika hujan berlangsung (waktu itu sedang musim hujan) limbah materialnya
masuk ke hulu sungai Krukut.
Setelah eksplorasi,
tahapan selajutnya adalah eksploitasi. Mulai dilakukan pengeboran dan produksi
listrik. Di beberapa tempat seperti Kertasari (Jawa Barat)[4]
ataupun Basel (Swiss)[5],
pengeboran menyebabkan gempa minor sebesar 3,4 sampai 5 skala richter yang
membuat bangunan retak-retak. Limbah PLTPB juga dapat mengkontaminasi
lingkungan. Adapun kandungan beracun yang terdapat pada limbah tersebut antara
lain Arsenik, Antimon, dan Boron. Contoh pencemaran akibat limbah beracun ini
terjadi di Balcova (Turki)[6]
dan Mataloko (Nusa Tenggara Timur).[7]
Di Mataloko, limbah
beracun ini menyebakan sebanyak 545 warga menderita infeksi saluran pernafasan
akut, infeksi kulit 185 warga, dan 33 warga sesak napas berasal dari kelurahan Mataloko dan Todabelu yang tak jauh
dari lokasi semburan.[8]
Pertanian perkebunan perlahan mati, gagal panen, rusak, keropos bahkan jenis
kayu-kayuan tanaman umur panjang seperti kayu albasia, mahoni, pohon alpokat,
pohon enau juga keropos dan mati. Sebelum adanya semburan gas lumpur panas
panen buah alpukat dan tanaman kopi cukup besar, tetapi sejak adanya radiasi
gas lumpur panas, walau tiba musim hujan banyak tanaman tersebut mati dan
kering, buah alpukat juga semakin mengecil dan setelah dibelah di dalamnya tidak berisi, rusak bahkan membusuk. Begitu
juga tanaman jagung, kacang-kacangan, sayur mayur. Awalnya kelihatan segar
tetapi mendekat musim berbuah justru mengering dan mati.[9]
Q
: Kalian yang menolak PLTPB itu anti pembangunan ya? Gimana negara ini mau
maju?
A : Kami tidak anti
pembangunan. Tapi kami anti pembangunan yang melanggar prinsip-prinsip ekologi.
PLTPB itu bagus. Tapi jika PLTPB dibangun di hutan lindung Gunung Slamet, itu
yang tidak tepat. Perumpamaannya, memasak rendang menggunakan kompor gas
bukanlah kekeliruan, tapi menjadi keliru ketika memasaknya di atas kasur di
dalam kamar.
Q
: Indonesia kan masih kurang listrik. Jadi pembangunan pembangkit listrik ya
harus didukung dong.
A : Indonesia justru
mengalami surplus listrik. Jawa Tengah surplus listrik 750 megawatt[10],
Jawa Timur surplus listrik 2600 megawatt[11],
Nusa Tenggara Timur surplus listrik 90 megawatt[12],
Papua surplus listrik 59 megawatt[13],
Sulawesi surplus 70,9 megawatt[14],
Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan surplus listrik 100 megawatt[15].
Q
: Pasti ada dampak positif dong dengan adanya PLTPB di Gunung Slamet?
A : Ada, yaitu
tumbuhnya ekonomi Jerman. Karena 75% investor dari PT. Sejahtera Alam Energy
berasal dari perusahaan Jerman yaitu STEAG Gmbh Energy.
Q
: Sisi positif yang didapat Indonesia? Minimal ada lapangan kerja baru dong?
A : Ya. Ketika ini
berhasil dibangun, Tenaga Kerja asal Indonesia yang
digunakan untuk proses pengusahaan tenaga panas bumi sebanyak 450 orang dan
untuk proses pembangkitan tenaga listrik sejumlah 225 orang.[16]
Sedangkan 15 desa pinggiran hutan di Lereng Selatan Gunung Slamet akan
mengalami krisis ekologi yang menyebabkan terancamnya produktifitas pertanian,
perikanan, dan perkebunan petani. Ada serapan lapangan kerja baru yang
mengorbankan lapangan kerja yang sudah ada dalam jumlah besar.
Q
: Dari sisi hukum kan memang PLTPB boleh dibangun meski di atas hutan lindung.
Ini kan sudah legal? Kenapa mesti dipermasalahkan?
A : Segala yang legal
belum tentu benar. Berkuasa menjadi Presiden selama 32 tahun pernah legal di
Indonesia pada masa Orde Baru (1966-1998), tapi apakah itu hal yang benar?
Perbudakan pernah legal pada masa penjajahan Belanda, tapi apakah itu hal yang
benar? Begitu pula dengan proyek bisnis yang mengatasnamakan pembangunan
nasional, sekalipun itu legal, bukan berarti itu hal yang benar. Dan jika itu
bukan hal yang benar, berarti itu bermasalah.
Q
: Anda ini sok heroik sekali. Gunung Slamet itu milik negara. Biarlah negara
yang mengatur mau diperuntukkan seperti apa, bahkan jika itu diusahakan ke
korporasi asing untuk pengeboran panas bumi.
A : Salah. Jauh sebelum
negara ini lahir pada 1945, masyarakat lereng hutanlah yang menjaga Gunung
Slamet tetap lestari. Banyak peradaban, kebudayaan kuno, mitos-mitos masyarakat
yang lahir dan hidup di Gunung Slamet. Negara tidak punya kewenangan semutlak
itu mempersilahkan korporasi mengeruk Gunung Slamet.
Q
: Tapi ini sudah dilegitimasi oleh hukum! Oleh negara! Apa anda bermaksud
melawan negara?
A : Izinkan kami
mengutip Pasal 18 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan :
(1) Pemerintah
menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan
untuk setiap daerah aliran sungai, dan atau pulau guna optimalisasi manfaat
lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat.
(2) Luas
kawasan hutan yang harus dipertahankan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
minimal 30% (tiga puluh persen) dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau
dengan sebaran yang proporsional.
Bagaimana
dengan kondisi hutan di Pulau Jawa? Pada tahun 2006 luas hutan di Pulau Jawa
yang tersisa hanya sekitar 11% dari total luas Pulau Jawa 13 juta hektar.[17] Jadi,
siapa yang sebenarnya melawan hukum? Kami tidak bermaksud melawan hukum,
apalagi negara. Kami hanya ingin menyelamatkan sedikit hutan yang tersisa. Kami
hanya ingin menyelamatkan Gunung Slamet #SelamatkanSlamet #SaveSlamet.
Panji Mulkillah
Panji Mulkillah
[1]
http://www.banyumaskab.go.id/read/15321/2017pltpbaturradenberoperasi
[2]
http://www.soearamassa.com/2017/05/pembangunan-pembangkit-listrik-tenaga.html
[3] Masalah pencemaran air ini lebih
detil dikisahkan dalam film dokumenter Banyu
Buthek, https://www.youtube.com/watch?v=h2oRKerJNMI
[4]
https://www.youtube.com/watch?v=njdsdTVSxH0
[5] Bosman Batubara, Dampak Negatif Energi Geothermal Terhadap
Lingkungan, Front Nahdliyyin Untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam, Yogyakarta,
2014, halaman 3.
[6] Ibid., halaman 5.
[10]
http://industri.bisnis.com/read/20160811/44/574040/surplus-listrik-750-mw-pln-jateng-siap-tampung-industri
[11]
https://finance.detik.com/energi/3173736/jatim-surplus-listrik-hingga-2000-mw
[12]
http://ekonomi.inilah.com/read/detail/2382011/pulau-timor-surplus-listrik-silahkan-investasi
[13]
http://www.jitunews.com/read/60576/surplus-listrik-di-papua-pln-buka-peluang-investasi
[14]
http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20161127162745-85-175647/optimalkan-pltg-sulut-dan-gorontalo-surplus-listrik-709-mw/
[15]
https://bisnis.tempo.co/read/news/2017/05/11/090874340/pln-listrik-barito-surplus-100-mw
[16] UKL-UPL PLTPB Baturraden

Posting Komentar