Suatu hari saya pergi ke toko kelontong, saya membeli sebuah coklat dengan harga lima ribu rupiah, saya tau pasti dengan apa yang didapatkan ketika saya mengeluarkan uang dengan nominal lima ribu rupiah tersebut. melalui ingredient/komposisi di bungkus coklat tersebut, saya mengetahui bahwanominal lima ribu ini sebanding dengan apa yang saya dapatkan.
Namun
lucunya, proses transaksi seperti itu tidak saya rasakan di perguruan tinggi. Saya
merasakan bahwa besarnya nominal biaya kuliah menentukan akses seseorang dalam
jenjang perguruan tinggi, “si konsumen”
(mahasiswa-red) banyak yang tidak tau tentang untuk apa saja alokasi dari besaran
biaya yang mereka bayarkan, saya adalah salah satu dari yang tidak mengetahui
hal itu. Angka 2,4 juta yang setiap semesternya saya bayarkan, tak pernah
sekalipun saya mendapat kejelasan yang pasti terkait alokasi dari pembayaran
tersebut, tapi tunggu dulu, saya melakukan sedikit perbincangan dengan
teman-teman saya dari berbagai fakultas.
Pertama,
Fathia dari jurusan Agribisnis. Dia tidak mengetahui untuk apa saja UKT yang
setiap semesternya di bayarkan. Tidak pernah ada yang memberi tahu Fathia
apakah UKT yang dia bayarkan untuk fasilitas kelas, untuk membayar dosen, atau
entah lah. Fathia tidak pernah mengerti akan dialokasikan kemana saja UKT yang
ia bayarkan itu. Ada lagi statement
dari Syahla, jurusan teknologi pangan , ia hanya mengetahui bahwa nominal UKT
yang ia bayarkan setiap bulan sebesar Rp3.900.000 adalah untuk sarana dan prasarana
kampus, seperti membayar alat dan bahan praktikum. Namun, ada yang menarik
lagi, walaupun begitu, ia tetap harus membayar buku panduan praktikum. “Itu
udah nggak masuk dalam UKT, jadi kita
harus print sendiri diktatnya karena
katanya nggak masuk dalam biaya UKT,”
itu yang disampaikan Syahla mengutip dosennya.
Tidak
berhenti di kalangan mahasiswa ilmu exact,
misteri kemana perginya UKT yang dibayarkan oleh mahasiswa ilmu exact juga dialami oleh mahasiswa ilmu
Social Humaniora (Soshum), seperti contohnya
Sastra Inggris. Teman saya Yanti menjelaskan bahwa ia baru saja tahu kalau
selama ini UKT yang mereka bayarkan itu adalah untuk buku, KKN, dan KKL. Karena
yang mereka tahu, UKT yang selama ini ibunya bayarkan ke rekening UNSOED adalah
untuk pemeliharaan kampus semata. Lalu, Rini juga menambahkan, bahwa selama 6
Semester ini membayar UKT itu dialokasikan untuk gaji pegawai kampus maupun
pegawai honorer. Ada juga tanggapan dari mahasiswa kampus “merah”, Fakultas
Hukum, Nadia menyadari bahwa UKT yang ia bayarkan adalah untuk biaya
perkuliahan, fasilitas serta membiayai KKN yang akan ia laksanakan bulan juli
mendatang.
Saya
tidak tahu mana jawaban yang benar dari teman-teman saya. Tapi yang jelas,
teman-teman saya tidak ada yang tahu secara pasti untuk apa UKT yang mereka
bayar. Bahkan jawaban mereka cenderung saling berlainan seperti kebingungan.
Dari kebingungan teman-teman saya, saya jadi berfikir, apa yang selama ini
orang tua saya bayarkan untuk membayar uang kuliah saya yang bernama UKT ini
tidak pernah jelas dialokasikan kemana saja. Bahkan bisa disebut juga, bahwa UKT
bukanlah suatu hal yang seharusnya dibayarkan oleh orang tua saya dan juga
orang tua teman-teman saya. Akhirnya, daripada dituduh suudzon kepada Universitas saya sendiri, saya melihat aturan yang
mendasari peraturan UKT.
Hal
pertama yang saya lihat adalah Permenristekdikti No. 22 Tahun 2015 yang didalamnya ada rumus untuk menentukan besaran UKT
yaitu:
UKT = BKT – BOPTN
Sederhananya,
UKT yang selama ini kita bayarkan adalah untuk membiayai BKT atau Biaya Kuliah
Tunggal. Tetapi, tidak semua biaya yang kita bayarkan itu untuk BKT, karena
sebagiannya sudah dibantu oleh pemerintah melalui BOPTN atau Biaya Operasional
Perguruan Tinggi Negeri. Usut punya usut,
dalam pasal 1 (5), BKT ternyata adalah keseluruhan biaya operasional mahasiswa
per semester pada program studi di PTN.
Lalu,
mari kita cross check kembali perbincangan
dengan teman-teman saya diatas. Sebelumnya, teman saya bilang bahwa UKT untuk
membayar honor karyawan, ada pula yang tegas mengatakan untuk membayar
fasilitas kampus, KKN serta membeli alat praktikum. Ternyata oh ternyata, uang yang keluar dari dompet orang tua kita
ke dalam rekening UNSOED alokasinya bukan untuk itu semua. Apa yang kita bayar
seharusnya hanya dialokasikan untuk
biaya operasional mahasiswa. Nah, apa itu biaya oprasional mahasiswa?
Singkatnya, biaya tersebut hanya di alokasikan untuk mahasiswa, bukan dana
alokasi untuk dosen, apalagi gaji para pejabat kampus.
Mari
kita renungkan bersama. Tatkala kebingungan saya belum terjawab, dan mungkin
kebingungan saya juga dirasakan oleh kawan-kawan pembaca, ditambah lagi dengan
minimnya transparansi dari pihak kampus, muncul pertanyaan baru di benak saya:
Bagaimana caranya kita tahu apa yang kita bayarkan itu sudah sesuai atau belum?
Kemudian
saya berdiskusi dengan Arif (mahasiswa FH UNSOED) tentang dasar hukum tentang
pendidikan tinggi. Dari hasil diskusi kami berdua, akhirnya saya menemukan
“point” dari penjelasan teman saya,
mengacu pada UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi Pasal 56 (4), yang
mengatur bahwa; Penyelenggara Perguruan Tinggi wajib menyampaikan data dan
informasi penyelengaraan Perguruan Tinggi serta memastikan kebenaran dan
ketepatannya.
Akan
tetapi, sampai detik ini pihak birokrat kampus belum terbuka mengenai hal itu,
dan kita tidak pernah diberitahu BKT kampus kita sendiri ini terdiri dari apa
saja. Bahkan, hingga hari ini persoalan tersebut masih menjadi misteri. Seperti
halnya menjalin sebuah hubungan, kalau ada yang ditutup-tutupi pastilah ada
yang tidak beres, kan? Dan kalau hal yang nggak
beres ini berdampak ke kita, bukan tidak mungkin, bahwa ada hal yang di tutup-tutupi oleh kampus
terhadap kita sebagai mahasiswanya kan? Astagfirullah…
Oleh:
Ghaisani P Zakirah
Sekertaris
Jenderal FMN Ranting UNSOED
Mahasiswi
Sastra Inggris 2013

Posting Komentar