Salam Demokrasi!
Pada tanggal 21 Maret 2016, Unsoed
akan disambangi oleh Menristekdikti (Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan
Tinggi), M. Nasir. M. Nasir menginjakkan kakinya ke tanah Banyumas untuk
melihat perkembangan penelitian dosen Unsoed terkait bibit. Kedatangan Menteri
Pendidikan ini tentulah perlu kita sikapi, sebab hari ini dunia pendidikan
tinggi di Indonesia masih memiliki segudang permasalahan yang merugikan
mahasiswa. Sehingga, momen ini perlu kita manfaatkan bersama untuk membongkar
berbagai macam permasalahan dalam dunia pendidikan tinggi yang carut marut.
Dunia pendidikan tinggi di Indonesia
hingga saat ini masih menyisakan berbagai masalah yang merugikan rakyat
Indonesia. Persoalan komersialisasi, privatisasi, dan liberalisasi pendidikan
terus menghantui dunia pendidikan di Indonesia, sehingga pendidikan tinggi di
Indonesia ibarat menara gading. Komersialisasi, privatisasi, hingga
liberalisasi pendidikan tinggi telah dimanifestasikan dalam UU No.12 Tahun 2012
tentang Pendidikan Tinggi (UU DIKTI). Melalui undang-undang tersebut,
pemerintah Indonesia dengan tidak tahu malu, mulai melepaskan tanggung jawabnya
untuk mendanai pendidikan tinggi, dan perlahan melimpahkannya ke pundak rakyat
Indonesia. Akibatnya, hingga saat ini hanya sekitar 19% pemuda Indonesia yang
bisa mengakses pendidikan tinggi, akibat biaya kuliah yang semakin melunjang
tinggi. Padahal, dalam pasal 31 ayat 1 UUD 1945, telah diamanatkan bahwa “setiap
warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Namun, melalui UU DIKTI, hak
rakyat Indonesia atas pendidikan harus dibenturkan dengan pundi-pundi rupiah.
UU DIKTI kemudian melahirkan
kebijakan turunannya berupa sistem pembayaran kuliah model baru, yaitu UKT
(Uang Kuliah Tunggal). Semangat yang dibawa UKT adalah semangat yang sama
dengan induknya, yaitu komersialisasi, privatisasi, dan liberalisasi
pendidikan. UKT merupakan hasil Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dikurangi dengan
BOPTN (Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri). BKT merupakan rincian
biaya langsung dan tidak langsung yang diperlukan untuk mengoperasionalkan
kegiatan di kampus, sementara BOPTN adalah dana dari pemerintah yang bertujuan
membantu setiap kampus untuk operasional. Namun, sejak mulai diterapkan pada
tahun 2012, UKT selalu menimbulkan permasalahan bagi mahasiswa. Mulai dari
ketidaksesuaian UKT dengan kebutuhan akademik, bengkaknya biaya kuliah, hingga
pungutan liar yang masih merajalela di kampus-kampus. Bahkan semenjak tahun
2012 hingga 2016, gerakan mahasiswa mulai muncul secara bergelombang untuk
memblejeti sistem UKT ini. Kebobrokan sistem UKT ini perlulah kita sampaikan
sejelas-jelasnya kepada M.Nasir.
Belum jelasnya persoalan UKT secara
nasional, pemerintah kembali menerbitkan Permenristekdikti No.22 tahun 2015.
Peraturan menteri yang baru tersebut telah memperbolehkan adanya penarikan uang
di luar UKT untuk jalur masuk tertentu. Kemunculan permenristekdikti tersebut
juga membuat nominal UKT naik dari tahun sebelumnya. Akan tetapi, kendati telah
mengeluarkan berbagai macam kebijakan UKT, namun di kampus-kampus masih marak
terjadi pungutan liar. Selain tersebut, kampus-kampus di Indonesia juga masih
mengalami persoalan fasilitas yang belum layak. Berbagai macam masalah ini
sejatinya menunjukkan bahwa sistem UKT
yang selama ini digadang-gadang sebagai sistem pembayaran terbaik, ternyata
masih mengalami kebobrokan!! Sudah jatuh tertimpa tangga, begitulah kondisi
mahasiswa saat ini. Sudah dibebani dengan bobroknya sistem UKT yang merugikan,
mahasiswa kini kembali dihadapkan dengan rencana kenaikan biaya kuliah. Kenaikan
biaya kuliah ini rencananya akan diterapkan pada tahun ajaran 2016/2017.
Kenaikan ini lagi-lagi telah merugikan pihak mahasiswa, yang terus menerus
diperas uangnya oleh pihak kampus, akibat biaya pendidikan yang terus dikurangi
oleh Negara. Sehingga jelas sudah, biaya
pendidikan yang terus dipangkas menyebabkan mahasiswa dijadikan sebagai sapi
perah kampus! Mahasiswa terus dikorbankan untuk menutupi semua kebutuhan
kampus-kampus negeri, yang harusnya dibiayai Negara!
Tidak hanya permasalahan biaya
kuliah yang menimpa mahasiswa. Kini, ruang demokrasi di kampus makin menyempit
dengan munculnya wacana keikutsertaan TNI di kampus-kampus. Pada tahun 2015,
M.Nasir telah menjalin MoU dengan Moeldoko, untuk mengikutsertakan TNI dalam
penerimaan mahasiswa baru. Natsir mengatakan bahwa TNI akan bertugas mengisi
wawasan kebangsaan bagi mahasiswa baru. Padahal selama ini, TNI selalu
melakukan tindakan-tindakan anti-kemanusiaan. Berbagai kasus perampasan tanah
di desa, dan pembungkaman gerakan buruh di kota-kota merupakan bukti bahwa TNI
menjadi alat penguasa untuk menindas rakyat. Padahal pada tahun 1998, gerakan
mahasiswa telah berhasil mengusir TNI dari kampus, demi terciptanya
demokratisasi kampus. Tapi saat ini, Jokowi-JK melalui Natsir, akan
mengembalikan TNI ke dalam kampus.
Untuk itu, jelas sudah bahwa saat
ini pendidikan tinggi kita tidak sedang baik-baik saja. Maka, kita sebagai
mahasiswa, sebagai golongan yang langsung bersentuhan dengan permasalahan
pendidikan tinggi, perlu ambil bagian untuk merubah keadaan pendidikan tinggi
kita. Kedatangan M.Natsir sebagai Menristekdikti kali ini merupakan kesempatan
kita untuk membongkar berbagai macam persoalan pendidikan tinggi. Jadikanlah
kedatangan M.Natsir sebagai momen untuk “menggugat” seluruh kinerjanya yang
kacau. Jadikanlah momen ini juga untuk membuka kebobrokan Unsoed yang selama
ini merugikan mahasiswa. Saatnya kita bergerak bersama! Dengan ini, kami dari Front Mahasiswa Nasional Cabang Purwokerto juga
turut menyerukan kepada kawan-kawan mahasiswa di Purwokerto : “Mari bersatu, rapatkan barisan! Sambut
Kedatangan Menristekdikti dengan kepalan tangan! Cabut UU DIKTI! Bongkar
Kebobrokan sistem UKT! Tolak Kenaikan Biaya Kuliah! Dan Tolak Keterlibatan TNI
di dalam kampus!!
Fachrurrozi Hanafi
Ketua Cabang Front Mahasiswa Nasional Purwokerto

Posting Komentar