BREAKING NEWS

Minggu, Maret 06, 2016

Perda Banyumas Tentang Penyakit Masyarakat (?)


Tak lama belakangan ini aku mulai bertanya-tanya. Tapi aku takut menganggu kenyamanan kita. Namun mari coba refleksikan sejenak. Sebab aku mulai gelisah. Beberapa waktu yang lalu aku iseng-iseng membuka Koran langganan milik keluarga di rumah. Saat pertama membuka selembaran Koran satelit post hal kucari adalah rubrik tentang berita olahraga. Maklum, kesenangan akan dunia bola membuatku ingin meng up-to-date berita terkini. Maklum aku jarang membaca berita selain olahraga, apa lagi soal ekonomi, politik, sosial atau isu-isu yang membuat endas’e nyong mumet.

Namun pandanganku teralihkan ketika di dalam rubrik SMS banyak orang membincangkan Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas No. 16/2015 tentang Penanggulangan Penyakit Masyarakat (pengemis, gelandangan, pengamen dll). Di mana plang-plang pelarangan tentang pemberian uang ke pengemis dan pengamen terpampang di tiap persimpangan jalan. Sejumlah pertanyaan mulai muncul dalam benakku. Apa itu sebenarnya penyakit masyarakat ? sejenis virus zica atau bakteri yang beracunkah mereka ? hingga disebut penyakit masyarakat ? bagaimana mungkin virus atau bakteri ini bisa muncul ? aku pun mulai khawatir dan bingung. Akankah wabah penyakit masyarakat ini menyebar dan bisa menular dalam waktu cepat.

Ternyata apa yang disebut dengan penyakit masyarakat ialah masyarakat yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap untuk berteduh dari panas-dinginnya kehidupan yang kejam. Mereka yang tidak mempunyai keahlian ataupun keterampilan untuk mencari sesuap nasi karena memang tidak pernah mendapat pendidikan dan tidak memiliki jaminan kesehatan, mereka yang tidak mempunyai gaji tetap tiap bulannya hingga tak pernah merasakan dinginnya AC Rita Mall. Mereka yang ditendang atau diguyur air setiap pagi karena tidur di depan lahan pertokoan.

Aku pun berfikir tidak ada orang yang mau dilahirkan untuk menjadi seorang yang disebut ‘Penyakit masyarakat’. Memang ketika bicara kemiskinan pastilah mandan rumit. Dengan angka kemiskinan yang makin hari kian meningkat. Sembako yang harganya makin jauh dari jangkauan masyarakat. Membuat masyarakat miskin kota semakin lengkap penderitaannya dalam menjalani hidup. Bahkan terus teringat di kepalaku ketika mendengar perkataan dari seorang nenek-nenek pengemis di jalanan yang memilih ditembak mati karena tak tahan dengan penderitaan hidup yang keras dalam memperjuangkan sesuap nasi.

Belum lagi jika mereka terkena razia. Negara yang harusnya hadir memberikan jawaban atas permasalahan, sebagaimana UUD 1945 menyebut bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara, malah memperburuk keadaan dengan perlakuan para penegak hukum (yang dibayar oleh pajak dari masyarakat) untuk memperlakukan masyarakat itu sendiri dengan sangat kasar.

Munculnya golongan kaum miskin kota atau yang hari ini disebut sebagai penyakit masyarakat merupakan ulah dari pemerintah itu sendiri. Karena mahalnya biaya pendidikan yang akhirnya hanya bisa diakses segelintir orang dan mereka yang tidak bisa mengakses pendidikan harus gigit jari karena tidak mempunyai keterampilan dan keahlian untuk bisa bersaing. Hal ini diperburuk lagi dengan tidak adanya lapangan kerja yang disediakan oleh pemerintah. Hingga akhirnya mengemis, mengamen dan menjadi gelandangan merupakan pilihan yang mendesak.

Sungguh mengkhawatirkan, kemunculan Perda tentang penyakit masyarakat ini pun tidak lagi menjadi jalan keluar yang solutif karena pelarangan bagi mereka yang memberi uang kepada pengemis dan pengamen dengan sanksi denda mencapai puluhan juta rupiah hanya akan memperparah keadaan. Karena para pengemis dan pengamen yang hidup tanpa mempunyai pendidikan dan pekerjaan akan semakin menderita untuk mencari sesuap nasi.

Ini hanyalah salah satu dari berbagai permasalahan yang muncul. Awalnya aku muak, penat, ingin beralih saja dari persoalan-persoalan rumit seperti ini. Dramaturgi dan film anak jalanan mungkin lebih bisa menghibur, toh aku bisa apa ? mengerti saja tidak apalagi ikut mengkritik atau bahkan bersolusi. Rasanya aku tak cocok berbicara permasalahan seperti ini.

Kalaupun aku ingin membuka percakapan dengan teman tentang permasalahan-permasalahan terdekat. Berbagai stigma (yang dianggap) negative langsung lengket mulai dari label unsur politik, obrolan yang terlalu berat, sok peduli, idealis, ga asik, kaku, ataupun hal lain yang akhirnya enggan membuatku membuka pembicaraan, ujungnya kita hanya bisa menjadi penonton di tengah kekacauan ini ?.

Sepertinya cara paling mudah melihat negeri ini hancur adalah membiarkannya dipimpin oleh para koruptor dan penjahat berdasi atau para kapitalis birokrat, mungkin itulah sebenarnya yang bisa disebut dengan “penyakit masyarakat.”

Mengutip salah satu jargon yang berbunyi “perubahan adalah karya berjuta-juta massa”. Maka kiranya mengubah peran dari penonton menjadi pelaku merupakan salah satu langkah awal menuju suatu perubahan. Jadi kalau kamu ada waktu, bisakah kita bicara sedikit tentang permasalahan di sekitar ?

Penulis : Hristo Prisyanto 
Divisi Ekonomi Produksi FMN Cabang Purwokerto

Share this:

Posting Komentar

 
Back To Top
Copyright © 2018 Soeara Massa. Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Templates