Tak lama
belakangan ini aku mulai bertanya-tanya. Tapi aku takut menganggu kenyamanan
kita. Namun mari coba refleksikan sejenak. Sebab aku mulai gelisah. Beberapa
waktu yang lalu aku iseng-iseng membuka Koran langganan milik keluarga
di rumah. Saat pertama membuka selembaran Koran satelit post hal kucari
adalah rubrik tentang berita olahraga. Maklum, kesenangan akan dunia bola
membuatku ingin meng up-to-date berita terkini. Maklum aku jarang
membaca berita selain olahraga, apa lagi soal ekonomi, politik, sosial atau
isu-isu yang membuat endas’e nyong mumet.
Namun pandanganku
teralihkan ketika di dalam rubrik SMS banyak orang membincangkan
Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas No. 16/2015 tentang Penanggulangan Penyakit
Masyarakat (pengemis, gelandangan, pengamen dll). Di mana plang-plang
pelarangan tentang pemberian uang ke pengemis dan pengamen terpampang di tiap
persimpangan jalan. Sejumlah pertanyaan mulai muncul dalam benakku. Apa itu
sebenarnya penyakit masyarakat ? sejenis virus zica atau bakteri yang
beracunkah mereka ? hingga disebut penyakit masyarakat ? bagaimana mungkin
virus atau bakteri ini bisa muncul ? aku pun mulai khawatir dan bingung.
Akankah wabah penyakit masyarakat ini menyebar dan bisa menular dalam waktu
cepat.
Ternyata apa yang
disebut dengan penyakit masyarakat ialah masyarakat yang tidak mempunyai tempat
tinggal tetap untuk berteduh dari panas-dinginnya kehidupan yang kejam. Mereka
yang tidak mempunyai keahlian ataupun keterampilan untuk mencari sesuap nasi
karena memang tidak pernah mendapat pendidikan dan tidak memiliki jaminan
kesehatan, mereka yang tidak mempunyai gaji tetap tiap bulannya hingga tak
pernah merasakan dinginnya AC Rita Mall. Mereka yang ditendang atau diguyur air
setiap pagi karena tidur di depan lahan pertokoan.
Aku pun berfikir
tidak ada orang yang mau dilahirkan untuk menjadi seorang yang disebut
‘Penyakit masyarakat’. Memang ketika bicara kemiskinan pastilah mandan rumit.
Dengan angka kemiskinan yang makin hari kian meningkat. Sembako yang harganya
makin jauh dari jangkauan masyarakat. Membuat masyarakat miskin kota semakin
lengkap penderitaannya dalam menjalani hidup. Bahkan terus teringat di kepalaku
ketika mendengar perkataan dari seorang nenek-nenek pengemis di jalanan yang
memilih ditembak mati karena tak tahan dengan penderitaan hidup yang keras
dalam memperjuangkan sesuap nasi.
Belum lagi jika
mereka terkena razia. Negara yang harusnya hadir memberikan jawaban atas
permasalahan, sebagaimana UUD 1945 menyebut bahwa fakir miskin dan anak
terlantar dipelihara oleh negara, malah memperburuk keadaan dengan perlakuan
para penegak hukum (yang dibayar oleh pajak dari masyarakat) untuk
memperlakukan masyarakat itu sendiri dengan sangat kasar.
Munculnya golongan
kaum miskin kota atau yang hari ini disebut sebagai penyakit masyarakat
merupakan ulah dari pemerintah itu sendiri. Karena mahalnya biaya pendidikan
yang akhirnya hanya bisa diakses segelintir orang dan mereka yang tidak bisa
mengakses pendidikan harus gigit jari karena tidak mempunyai keterampilan dan
keahlian untuk bisa bersaing. Hal ini diperburuk lagi dengan tidak adanya
lapangan kerja yang disediakan oleh pemerintah. Hingga akhirnya mengemis,
mengamen dan menjadi gelandangan merupakan pilihan yang mendesak.
Sungguh
mengkhawatirkan, kemunculan Perda tentang penyakit masyarakat ini pun tidak
lagi menjadi jalan keluar yang solutif karena pelarangan bagi mereka yang
memberi uang kepada pengemis dan pengamen dengan sanksi denda mencapai puluhan
juta rupiah hanya akan memperparah keadaan. Karena para pengemis dan pengamen
yang hidup tanpa mempunyai pendidikan dan pekerjaan akan semakin menderita
untuk mencari sesuap nasi.
Ini hanyalah salah
satu dari berbagai permasalahan yang muncul. Awalnya aku muak, penat, ingin
beralih saja dari persoalan-persoalan rumit seperti ini. Dramaturgi dan film anak jalanan mungkin lebih bisa menghibur, toh
aku bisa apa ? mengerti saja tidak apalagi ikut mengkritik atau bahkan
bersolusi. Rasanya aku tak cocok berbicara permasalahan seperti ini.
Kalaupun aku ingin
membuka percakapan dengan teman tentang permasalahan-permasalahan terdekat.
Berbagai stigma (yang dianggap) negative langsung lengket mulai dari label
unsur politik, obrolan yang terlalu berat, sok peduli, idealis, ga asik, kaku,
ataupun hal lain yang akhirnya enggan membuatku membuka pembicaraan, ujungnya
kita hanya bisa menjadi penonton di tengah kekacauan ini ?.
Sepertinya cara
paling mudah melihat negeri ini hancur adalah membiarkannya dipimpin oleh para
koruptor dan penjahat berdasi atau para kapitalis birokrat, mungkin itulah
sebenarnya yang bisa disebut dengan “penyakit masyarakat.”
Mengutip salah
satu jargon yang berbunyi “perubahan adalah karya berjuta-juta massa”. Maka
kiranya mengubah peran dari penonton menjadi pelaku merupakan salah satu
langkah awal menuju suatu perubahan. Jadi kalau kamu ada waktu, bisakah kita bicara
sedikit tentang permasalahan di sekitar ?
Penulis : Hristo Prisyanto
Divisi Ekonomi Produksi FMN Cabang Purwokerto

Posting Komentar