BREAKING NEWS

Selasa, Desember 29, 2015

Refleksi Akhir Tahun 2015: Jokowi-JK Rejim Penyebab Utama Petaka dan Bencana Bagi Rakyat Indonesia Sepanjang Tahun



  
Perayaan tahun baru 2016 akan segera tiba. Pergantian tahun akan dirayakan dengan suka cita. Pertanyaannya adalah, apakah pergantian tahun akan mengubah kondisi rakyat Indonesia? Nyatanya, selama setahun ini telah terjadi banyak sekali penindasan dan penghisapan yang dialami rakyat oleh Jokowi-JK sebagai rejim boneka Imperialisme AS. Melalui kebijakan-kebijakannya Rejim Jokowi-JK terus melanggengkan perampasantanah, perampasan upah, serta komersialisasi, liberalisasi, dan privatisasi pendidikan. Hal ini terjadi karena saat ini Indonesia berada dalam dominasi Imperialisme AS yang tidak hanya menguasai dan mengeksploitasi kekayaan alam, melainkan manusianya untuk mendulang keuntungan berupa super profit.

Sepanjang tahun 2015, rejim Boneka Imperialisme AS Jokowi-JK menerapkan kebijakan-kebijakan yang anti-rakyat. Diawal tahun, tepatnya Maret 2015, Pemerintah melalui SK Menteri ESDM No. 2468/K/12/MEM/2015 memberikan petaka bagi rakyat dengan menaikkan harga BBM. Rakyat bahkan harus semakin tercekik dengan kenaikan harga BBM yang disusul bencana besar kenaikan tarif dasar listrik dan kebutuhan pokok. Pemerintah juga makin berusaha melepaskan tanggung jawabnya terhadap rakyat, bahkan melakukan penghisapan terhadap kaum buruh migran dengan menerapkan Kredit Usaha Rakyat Penempatan TKI. Adanya kebijakan KUR TKI bukan untuk mengurangi atau menghilangkan biaya yang harus ditanggung oleh calon buruh migran, tetapi malah melegalkan rente bagi para calon buruh migran. Biaya penempatan dan pelatihan sebelum pemberangkatan yang mahal harus ditanggung sendiri oleh buruh melalui KUR TKI dengan bunga hingga 20%. Pembayaran angsuran akan dilakukan secara otomatis dari gaji yang diterima oleh buruh migran. Bahkan, aturan sistem transfer gaji juga dilakukan pemerintah untuk mengontrol dan menguasai jalur pengiriman uang buruh migran.

Kebijakan-kebijakan anti rakyat yang diambil pemerintah nyatanya malah menjadi petaka dan bencana bagi rakyat. Hal tersebut semakin mencerminkan bahwa pemerintah adalah rezim yang hanya melanggengkan kekuasaan imperialisme. Dari hari ke hari, penderitaan rakyat semakin nyata dengan bentuk penghisapan dan perampasan terhadap rakyat yang dilakukan pemerintah.

Perampasan dan monopoli tanah

Kaum tani dan masyarakat pedesaan dihadapkan pada kenyataan pahit perampasan tanah, penggusuran, serta berbagai tindakan kekerasan dan kriminalisasi yang terjadi di pedesaan. Di bawah rejim Jokowi-JK, perampasan tanah diiringi dengan tindakan-tindakan fasisme yang terus mengancam kehidupan rakyat. Tindakan fasis dilakukan untuk menutup akses rakyat terhadap tanah di pedesaan, bahkan saat rakyat menyampaikan aspirasinya terhadap penolakan perampasan-perampasan tanah yang terjadi di Indonesia.

Sejak tanggal 22 Juni 2015, 16 petani asal Desa Olak-Olak Kubu, Kecamatan Kubu, Kabupaten Kuburaya, Provinsi Kalimantan Barat dikriminalisasi. Mereka ditahan oleh kejaksaan negeri ketika sedang memenuhi panggilan Polres Pontianak karena memanen diatas tanahnya sendiri yang bekerjasama dengan PT. CTB menggunakan sistem plasma. 22 Agustus 2015, tindakan fasis juga dilakukan oleh Kodam IV Diponegoro terhadap para petani di Desa Urut Sewu. Tindakan tersebut dilakukan saat warga Urut Sewu melakukan aksi damai untuk menolak pemagaran lahan petani oleh militer. Saat kepala Desa Wiromartan, Widodo Sunu Nugroho sedang melakukan orasi, tiba-tiba sekelompok TNI menghampiri kumpulan massa aksi dan memukuli Kades Sunu secara membabi buta. Tindakan keji militer tersebut mengakibatkan 4 orang luka-luka dan belasan warga lainnya luka ringan. Tindakan fasis ini jelas-jelas merupakan tindakan anti-demokrasi. Selain merampas tanah rakyat, TNI juga merampas hak-hak demokratis rakyat untuk menyampaikan pendapat.

Persoalan asap yang mengancam masyarakat Sumatera dan Kalimantan, menjadi bencana yang diakibatkan ketidakberdayaan Jokowi-JK untuk mencabut izin perusahaan-perusahaan skala besar semacam Sinar Mas, Wilmar, April Group, dan lainnya yang selama ini menjalankan praktek monopoli tanah sekaligus melakukan pembakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan.

Pembangunan infrastruktur yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat juga menjadi mimpi buruk bagi rakyat Indonesia. Pembangunan Waduk Jatigede, Sumedang, Jawa Barat mengancam kehidupan kurang lebih 11.000 KK yang berada di 5 (lima) kecamatan yang terdiri dari 28 desa. Selain masyarakat yang menjadi korban, terdapat 25 situs dan 45 makam leluhur yang dikeramatkan masyarakat Sumedang juga terancam hilang dan ikut ditenggelamkan. Konsep pembangunan “Smart City” yang dijalankan pemerintah, juga mengabaikan hak tempat tinggal layak yang merupakan hak asasi manusia rakyat Indonesia yang diatur dalam UUD 1945. Berdasarkan laporan LBH Jakarta, disebutkan bahwa sepanjang tahun 2015 telah terjadi 30 kasus penggusuran rumah miskin di Jakarta dengan jumlah 3.433 KK dan 433 unit usaha untuk mewujudkan konsep “Smart City”. Pembangunan-pembangunan yang dilakukan tidak lain adalah untuk memenuhi kepentingan pemilik proyek untuk membangun properti perumahan mewah, hotel, atau pusat-pusat pariwisata dan menarik para pemodal asing untuk ber-investasi di Indonesia.

Perampasan upah

Kaum buruh dan masyarakat pekerja juga dihadapkan pada keberangusan rejim Jokowi-JK yang terus melakukan politik upah murah. Persoalan upah murah sejatinya merupakan dampak dari semakin besarnya volume perampasan tanah di pedesaan yang menyebabkan rakyat pedesaan kehilangan sandaran hidup di desa, yaitu tanah. Sehingga pemuda-pemuda desa menuju kota dengan harapan mendapat pekerjaan yang layak. Nyatanya, di kota pemerintah pun tetap tidak berpihak kepada rakyat.

Pemerintah terus melanggengkan politik upah murah, dengan dikeluarkannya PP. No. 78 tahun 2015 tentang pengupahan. PP pengupahan menghitung kenaikan upah hanya bersandar pada inflasi serta pertumbuhan ekonomi semata, sehingga tidak ada bedanya dengan membatasi kenaikan upah buruh di bawah 10% per tahun. PP Pengupahan juga akan meninjau kebutuhan Hidup Layak (KHL) setiap 5 tahun sekali, yang sebelumnya dilakukan setiap tahun. Padahal, seiring dengan krisis perekonomian dunia dan naik-turunnya harga barang di dalam negeri, menjadikan KHL harusnya ditinjau secara berkala dalam waktu yang singkat.

Pemerintah juga mengeluarkan aturan baru, yaitu mengubah aturan pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT) menjadi minimal 10 tahun masa kepesertaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, yang sebelumnya minimal 5 tahun. Aturan baru ini tentu akan semakin memberatkan hidup buruh di Indonesia. Bahkan, dana JHT ini tidak dapat dicairkan apabila buruh mengundurkan diri atau di PHK sebelum bekerja 10 tahun. Padahal, jaminan kerja buruh di Indonesia sangat rentan dengan PHK. Kebijakan ini sangat jelas tidak berpihak pada kaum buruh.

Penghisapan dan perampasan upah buruh melalui kebijakan-kebijakan pemerintah mendapatkan tentangan dari kaum buruh. Kaum buruh menolak kebijakan-kebijakan yang semakin menyengsarakan rakyat, khususnya kaum buruh. Namun, tidak jarang aksi yang dilakukan oleh kaum buruh ditanggapi dengan tindakan fasisme aparat kepolisian dan militer di bawah kepemimpinan rejim Jokowi-JK. Seperti yang terjadi pada aksi lima belas ribu buruh Jombang, Jawa Timur, yang memperjuangkan UMK sebesar Rp. 2.180.000. ribuan buruh yang menggelar aksi damai malah mendapatkan pukulan dan tendangan dari aparat kepolisian Jombang. Bahkan buruh di beberapa daerah diberi sanksi PHK karena melakukan mogok.

Komersialisasi, liberalisasi, dan privatisasi pendidikan

Pendidikan sejatinya adalah hak dasar setiap warga negara. Tugas negara untuk menyelenggarakan pendidikan diatur dalam UUD 1945. Namun, sepanjang tahun 2015 dunia pendidikan Indonesia semakin menunjukkan wajah muramnya. Dunia pendidikan terus di komersialisasikan, di liberalisasi, dan di privatisasi untuk dipersembahkan bagi Imperialisme AS yang anti-rakyat untuk melanggengkan sistem setengah jajahan dan setengah feodal  yang menindas dan menghisap rakyat Indonesia.

Berbagai kenyataan muncul di hadapan masyarakat tentang betapa muramnya pendidikan Indonesia. Biaya kuliah mengalami kenaikan yang tinggi dengan sistem pembayaran kuliah baru, yaitu Uang Kuliah Tunggal (UKT). Sistem tersebut, melahirkan penolakan dari para mahasiswanya yang merasa keberatan dengan nominal yang tinggi, seperti Universitas Lampung, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, hingga universitas ternama sekelas Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Indonesia (UI).

Dalam penerapannya, UKT juga menunjukkan kecarut-marutan sistem pendidikan di Indonesia. UKT yang digadang sebagai sistem pembayaran ‘satu pintu’ tidak berlaku begitu saja. Dalam prakteknya, masih banyak terjadi pungutan liar di kampus-kampus yang notabene telah menggunakan sistem UKT. Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, menarik biaya Kuliah Kerja Nyata (KKN) bagi mahasiswa 2012. Universitas Hassanuddin, Tamalanrea, Makassar, melakukan pungutan baju praktik, buku penuntun, diktat, uang praktik, dan alat-alat laboratorium. Universitas Palangkaraya melakukan penarikan biaya kepada Mahasiswa baru untuk Pelaksanaan Kegiatan Orientasi Mahasiswa Baru (OMBA) di tingkatan Fakultas, kampus kampus lainnya.

Hak untuk mengakses pendidikan tinggi pun semakin dikebiri dengan pencabutan dan pengurangan kuota Bidikmisi. Pada penerimaan mahasiswa baru 2015, Universitas Indonesia mengurangi kuota Bidikmisi dari kuota 600 menjadi 350. 18 September 2015, Unsoed juga hendak mencabut 40 mahasiswa Bidikmisi dengan alasan kuota berlebih yang diterima Unsoed.

Segala macam bentuk perampasan dan monopoli tanah, perampasan upah, serta komersialisasi, liberalisasi, dan privatisasi pendidikan yang terjadi sepanjang tahun 2015 adalah bukti nyata bahwa rejim Jokowi-JK masih terus berada dalam dominasi Imperialisme AS. Sehingga segala macam kebijakan dan permasalahan yang dialami rakyat di bawah kepemimpinan rejim Jokowi-JK semata-mata untuk melayani kepentingan Imperialisme AS. Atas kondisi ini, pemuda mahasiswa harus selalu bertalian erat dengan gerakan perjuangan rakyat untuk terus memblejeti kebijakan-kebijakan rejim yang selalu menjadi petaka bagi rakyat. Pemuda mahasiswa juga harus terus belajar, berorganisasi, dan berjuang untuk mewujudkan pendidikan yang ilmiah, demokratis, dan mengabdi kepada rakyat dengan menjadikan kampus sebagai ruang-ruang ilmiah untuk membongkar skema dan kebijakan rezim Jokowi-JK yang menindas rakyat.


Penulis : Adzkiya Syahidah
(Sekretaris Jenderal FMN Cabang Purwokerto)

Share this:

1 komentar :

  1. http://www.soearamassa.com/2015/12/refleksi-akhir-tahun-2015-jokowi-jk.html

    BalasHapus

 
Back To Top
Copyright © 2018 Soeara Massa. Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Templates