Perayaan tahun baru 2016 akan segera
tiba. Pergantian tahun akan dirayakan dengan suka cita. Pertanyaannya adalah,
apakah pergantian tahun akan mengubah kondisi rakyat Indonesia? Nyatanya, selama
setahun ini telah terjadi banyak sekali penindasan dan penghisapan yang dialami
rakyat oleh Jokowi-JK sebagai rejim boneka Imperialisme AS. Melalui
kebijakan-kebijakannya Rejim Jokowi-JK terus melanggengkan perampasantanah,
perampasan upah, serta komersialisasi, liberalisasi, dan privatisasi pendidikan.
Hal ini terjadi karena saat ini Indonesia berada dalam dominasi Imperialisme AS
yang tidak hanya menguasai dan mengeksploitasi kekayaan alam, melainkan
manusianya untuk mendulang keuntungan berupa super profit.
Sepanjang tahun 2015, rejim Boneka
Imperialisme AS Jokowi-JK menerapkan kebijakan-kebijakan yang anti-rakyat.
Diawal tahun, tepatnya Maret 2015, Pemerintah melalui SK Menteri ESDM No.
2468/K/12/MEM/2015 memberikan petaka bagi rakyat dengan menaikkan harga BBM.
Rakyat bahkan harus semakin tercekik dengan kenaikan harga BBM yang disusul
bencana besar kenaikan tarif dasar listrik dan kebutuhan pokok. Pemerintah juga
makin berusaha melepaskan tanggung jawabnya terhadap rakyat, bahkan melakukan
penghisapan terhadap kaum buruh migran dengan menerapkan Kredit Usaha Rakyat
Penempatan TKI. Adanya kebijakan KUR TKI bukan untuk mengurangi atau
menghilangkan biaya yang harus ditanggung oleh calon buruh migran, tetapi malah
melegalkan rente bagi para calon buruh migran. Biaya penempatan dan
pelatihan sebelum pemberangkatan yang mahal harus ditanggung sendiri oleh buruh
melalui KUR TKI dengan bunga hingga 20%. Pembayaran angsuran akan dilakukan
secara otomatis dari gaji yang diterima oleh buruh migran. Bahkan, aturan sistem
transfer gaji juga dilakukan pemerintah untuk mengontrol dan menguasai jalur
pengiriman uang buruh migran.
Kebijakan-kebijakan anti rakyat yang
diambil pemerintah nyatanya malah menjadi petaka dan bencana bagi rakyat. Hal
tersebut semakin mencerminkan bahwa pemerintah adalah rezim yang hanya
melanggengkan kekuasaan imperialisme. Dari hari ke hari, penderitaan rakyat
semakin nyata dengan bentuk penghisapan dan perampasan terhadap rakyat yang
dilakukan pemerintah.
Perampasan dan monopoli
tanah
Kaum tani dan masyarakat pedesaan
dihadapkan pada kenyataan pahit perampasan tanah, penggusuran, serta berbagai
tindakan kekerasan dan kriminalisasi yang terjadi di pedesaan. Di bawah rejim
Jokowi-JK, perampasan tanah diiringi dengan tindakan-tindakan fasisme yang terus
mengancam kehidupan rakyat. Tindakan fasis dilakukan untuk menutup akses rakyat
terhadap tanah di pedesaan, bahkan saat rakyat menyampaikan aspirasinya terhadap
penolakan perampasan-perampasan tanah yang terjadi di Indonesia.
Sejak tanggal 22 Juni 2015, 16 petani
asal Desa Olak-Olak Kubu, Kecamatan Kubu, Kabupaten Kuburaya, Provinsi
Kalimantan Barat dikriminalisasi. Mereka ditahan oleh kejaksaan negeri ketika
sedang memenuhi panggilan Polres Pontianak karena memanen diatas tanahnya
sendiri yang bekerjasama dengan PT. CTB menggunakan sistem plasma. 22 Agustus
2015, tindakan fasis juga dilakukan oleh Kodam IV Diponegoro terhadap para
petani di Desa Urut Sewu. Tindakan tersebut dilakukan saat warga Urut Sewu
melakukan aksi damai untuk menolak pemagaran lahan petani oleh militer. Saat
kepala Desa Wiromartan, Widodo Sunu Nugroho sedang melakukan orasi, tiba-tiba
sekelompok TNI menghampiri kumpulan massa aksi dan memukuli Kades Sunu secara
membabi buta. Tindakan keji militer tersebut mengakibatkan 4 orang luka-luka dan
belasan warga lainnya luka ringan. Tindakan fasis ini jelas-jelas merupakan
tindakan anti-demokrasi. Selain merampas tanah rakyat, TNI juga merampas hak-hak
demokratis rakyat untuk menyampaikan pendapat.
Persoalan asap yang mengancam
masyarakat Sumatera dan Kalimantan, menjadi bencana yang diakibatkan
ketidakberdayaan Jokowi-JK untuk mencabut izin perusahaan-perusahaan skala besar
semacam Sinar Mas, Wilmar, April Group, dan lainnya yang selama ini menjalankan
praktek monopoli tanah sekaligus melakukan pembakaran hutan di Sumatera dan
Kalimantan.
Pembangunan infrastruktur yang tidak
berpihak pada kepentingan rakyat juga menjadi mimpi buruk bagi rakyat Indonesia.
Pembangunan Waduk Jatigede, Sumedang, Jawa Barat mengancam kehidupan kurang
lebih 11.000 KK yang berada di 5 (lima) kecamatan yang terdiri dari 28 desa.
Selain masyarakat yang menjadi korban, terdapat 25 situs dan 45 makam leluhur
yang dikeramatkan masyarakat Sumedang juga terancam hilang dan ikut
ditenggelamkan. Konsep pembangunan “Smart City” yang dijalankan pemerintah, juga
mengabaikan hak tempat tinggal layak yang merupakan hak asasi manusia rakyat
Indonesia yang diatur dalam UUD 1945. Berdasarkan laporan LBH Jakarta,
disebutkan bahwa sepanjang tahun 2015 telah terjadi 30 kasus penggusuran rumah
miskin di Jakarta dengan jumlah 3.433 KK dan 433 unit usaha untuk mewujudkan
konsep “Smart City”. Pembangunan-pembangunan yang dilakukan tidak lain adalah
untuk memenuhi kepentingan pemilik proyek untuk membangun properti perumahan
mewah, hotel, atau pusat-pusat pariwisata dan menarik para pemodal asing untuk
ber-investasi di Indonesia.
Perampasan upah
Kaum buruh dan masyarakat pekerja
juga dihadapkan pada keberangusan rejim Jokowi-JK yang terus melakukan politik
upah murah. Persoalan upah murah sejatinya merupakan dampak dari semakin
besarnya volume perampasan tanah di pedesaan yang menyebabkan rakyat pedesaan
kehilangan sandaran hidup di desa, yaitu tanah. Sehingga pemuda-pemuda desa
menuju kota dengan harapan mendapat pekerjaan yang layak. Nyatanya, di kota
pemerintah pun tetap tidak berpihak kepada rakyat.
Pemerintah terus melanggengkan
politik upah murah, dengan dikeluarkannya PP. No. 78 tahun 2015 tentang
pengupahan. PP pengupahan menghitung kenaikan upah hanya bersandar pada inflasi
serta pertumbuhan ekonomi semata, sehingga tidak ada bedanya dengan membatasi
kenaikan upah buruh di bawah 10% per tahun. PP Pengupahan juga akan meninjau
kebutuhan Hidup Layak (KHL) setiap 5 tahun sekali, yang sebelumnya dilakukan
setiap tahun. Padahal, seiring dengan krisis perekonomian dunia dan
naik-turunnya harga barang di dalam negeri, menjadikan KHL harusnya ditinjau
secara berkala dalam waktu yang singkat.
Pemerintah juga mengeluarkan aturan
baru, yaitu mengubah aturan pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT) menjadi
minimal 10 tahun masa kepesertaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Ketenagakerjaan, yang sebelumnya minimal 5 tahun. Aturan baru ini tentu akan
semakin memberatkan hidup buruh di Indonesia. Bahkan, dana JHT ini tidak dapat
dicairkan apabila buruh mengundurkan diri atau di PHK sebelum bekerja 10 tahun.
Padahal, jaminan kerja buruh di Indonesia sangat rentan dengan PHK. Kebijakan
ini sangat jelas tidak berpihak pada kaum buruh.
Penghisapan dan perampasan upah buruh
melalui kebijakan-kebijakan pemerintah mendapatkan tentangan dari kaum buruh.
Kaum buruh menolak kebijakan-kebijakan yang semakin menyengsarakan rakyat,
khususnya kaum buruh. Namun, tidak jarang aksi yang dilakukan oleh kaum buruh
ditanggapi dengan tindakan fasisme aparat kepolisian dan militer di bawah
kepemimpinan rejim Jokowi-JK. Seperti yang terjadi pada aksi lima belas ribu
buruh Jombang, Jawa Timur, yang memperjuangkan UMK sebesar Rp. 2.180.000. ribuan
buruh yang menggelar aksi damai malah mendapatkan pukulan dan tendangan dari
aparat kepolisian Jombang. Bahkan buruh di beberapa daerah diberi sanksi PHK
karena melakukan mogok.
Komersialisasi, liberalisasi, dan
privatisasi pendidikan
Pendidikan sejatinya adalah hak dasar
setiap warga negara. Tugas negara untuk menyelenggarakan pendidikan diatur dalam
UUD 1945. Namun, sepanjang tahun 2015 dunia pendidikan Indonesia semakin
menunjukkan wajah muramnya. Dunia pendidikan terus di komersialisasikan, di
liberalisasi, dan di privatisasi untuk dipersembahkan bagi Imperialisme AS yang
anti-rakyat untuk melanggengkan sistem setengah jajahan dan setengah feodal
yang menindas dan menghisap rakyat Indonesia.
Berbagai kenyataan muncul di hadapan
masyarakat tentang betapa muramnya pendidikan Indonesia. Biaya kuliah mengalami
kenaikan yang tinggi dengan sistem pembayaran kuliah baru, yaitu Uang Kuliah
Tunggal (UKT). Sistem tersebut, melahirkan penolakan dari para mahasiswanya yang
merasa keberatan dengan nominal yang tinggi, seperti Universitas Lampung,
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, hingga universitas ternama
sekelas Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Indonesia (UI).
Dalam penerapannya, UKT juga
menunjukkan kecarut-marutan sistem pendidikan di Indonesia. UKT yang digadang
sebagai sistem pembayaran ‘satu pintu’ tidak berlaku begitu saja. Dalam
prakteknya, masih banyak terjadi pungutan liar di kampus-kampus yang notabene
telah menggunakan sistem UKT. Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, menarik
biaya Kuliah Kerja Nyata (KKN) bagi mahasiswa 2012. Universitas Hassanuddin,
Tamalanrea, Makassar, melakukan pungutan baju praktik, buku penuntun, diktat,
uang praktik, dan alat-alat laboratorium. Universitas Palangkaraya melakukan
penarikan biaya kepada Mahasiswa baru untuk Pelaksanaan Kegiatan Orientasi
Mahasiswa Baru (OMBA) di tingkatan Fakultas, kampus kampus lainnya.
Hak untuk mengakses pendidikan tinggi
pun semakin dikebiri dengan pencabutan dan pengurangan kuota Bidikmisi. Pada
penerimaan mahasiswa baru 2015, Universitas Indonesia mengurangi kuota Bidikmisi
dari kuota 600 menjadi 350. 18 September 2015, Unsoed juga hendak mencabut 40
mahasiswa Bidikmisi dengan alasan kuota berlebih yang diterima Unsoed.
Segala macam bentuk perampasan dan
monopoli tanah, perampasan upah, serta komersialisasi, liberalisasi, dan
privatisasi pendidikan yang terjadi sepanjang tahun 2015 adalah bukti nyata
bahwa rejim Jokowi-JK masih terus berada dalam dominasi Imperialisme AS.
Sehingga segala macam kebijakan dan permasalahan yang dialami rakyat di bawah
kepemimpinan rejim Jokowi-JK semata-mata untuk melayani kepentingan Imperialisme
AS. Atas kondisi ini, pemuda mahasiswa harus selalu bertalian erat dengan
gerakan perjuangan rakyat untuk terus memblejeti kebijakan-kebijakan rejim yang
selalu menjadi petaka bagi rakyat. Pemuda mahasiswa juga harus terus belajar,
berorganisasi, dan berjuang untuk mewujudkan pendidikan yang ilmiah, demokratis,
dan mengabdi kepada rakyat dengan menjadikan kampus sebagai ruang-ruang ilmiah
untuk membongkar skema dan kebijakan rezim Jokowi-JK yang menindas
rakyat.
Penulis : Adzkiya Syahidah
(Sekretaris Jenderal FMN Cabang Purwokerto)

http://www.soearamassa.com/2015/12/refleksi-akhir-tahun-2015-jokowi-jk.html
BalasHapus