Hari Ibu : Apakah Para Ibu Hari Ini
Sudah Merdeka?
oleh : Ghea Nurhanifah (Koor. Divisi Pendidikan FMN Unsoed)
Septi Dwi (Koor. Divisi Perempuan FMN Unsoed)
Selamat Hari Ibu untuk seluruh ibu
di dunia kawan-kawan. Di hari ibu ini semoga kita selalu senantiasa memberikan
yang terbaik untuk ibu kita dan terus berjuang.
Setiap mendengar kata ibu pasti hal
yang kita fikirkan adalah tentang sosok perempuan yang telah melahirkan dan membesarkan
kita hingga sekarang.Tapi tahukah kawan-kawan sebenarnya apa saja yang telah dilakukan
ibu kita untuk membesarkan kita? Tentu yang dilakukan oleh ibu sangatlah banyak, apalagi
di tengah kondisi Indonesia yang sangat memprihatinkan ditambah lagi dengan budaya Indonesia yang di dominasi oleh
budaya patriarki.
Kondisi perempuan secara umum di
Indonesia saat ini sangat berada di bawah ketertindasan. Ibu sebagai kaum perempuan
tentu mengalami hal yang sama. Di hari ibu ini kita akan merefleksi sesosok ibu
yang bisa kita jadikan contoh dari ketertindasan perempuan. Martini alias Yu
Mar adalah seorang ibu asal Bobotsari, Purbalingga dengan tiga orang anak yang dikenal sebagai penjual
pecel yang biasa mencari pendapatan di lingkungan FISIP Unsoed. Yu Mar dikenal sebagai sosok penjual yang ramah, baik
hati dan digemari oleh mahasiswa FISIP. Di balik kebaikan hatinya ternyata beliau
memiliki banyak beban yang harus ditanggung.
Di balik sosok Yu Mar yang terlihat
baik dan ramah ternyata tidak banyak orang yang mengetahui bahwa Yu Mar
mengidap penyakit
yang menyebabkan beliau tidak dapat berjualan dalam waktu lima bulan
terakhir ini.
Namun dengan kondisinya, beliau tetap berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.Saat
ini beliau sedang dalam pengobatan rawat jalan di Rumah Sakit DKT dengan jadwal
terapi 2 kali seminggu dengan biaya
51.000 rupiah per minggunya.
Terlihat jelas dari biaya BPJS denganjumlah 51.000 per
minggu, artinya beliau mengeluarkan biaya sebesar 204.000 dalam satu bulan.Padahal
dalam memenuhi kehidupan sehari-hari saja seperti biaya makan dan keperluan rumah
lainnya Yu Mar harus menjual barang apa saja yang bisa di jual.
Dalam kasus Yu Mar, beliau hanya salah
satu contoh kasus dari ketidakmampuan negara dalam memberikan pelayanan kesehatan
bagi seluruh rakyat Indonesia. DalamPasal 1 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan menjelaskan bahwa, “Kesehatan merupakan kondisi sejahtera dari
badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang produktif secara ekonomis”.
Artinya Yu Mar sebagai warga negara belum terperuhi hak-haknya.
Dalam
kegiatan kesehariannya yaitu berjualan pecel keliling kampus FISIP dengan
memanggul barang dagangannya, hal tersebut tidak mengikis rasa kepeduliaannya
terhadap orang lain. Yu Mar adalah sesesok perempuan yang sangat peduli
terhadap mahasiswa FISIP. Tahun 2004 saat ada pergerakan FA Pungli, beliau
menyumbangan semangat dan makanan kepada massa aksi. Hal tersebut membuat mahasiwa
FISIP memberikan penghargaan kepada Yu Mar dengan membentuk Krigan Yu Mar pada
tahun 2012 dan 2014 untuk mendukung Yu Mar.
Dalam
kondisi Yu Mar yang seadanya, Yu Mar tetap berharap anaknya dapat mendapatkan
pendidikan tinggi sehingga dapat meningkatkan taraf hidup keluarga di masa
depan. Namun harapan itu pupus seketika setelah menghadapi kenyataan bahwa
biaya kuliah sekarang tidak dapat diakses oleh semua kalangan termasuk Yu Mar.
[1]
Pembahasan
mengenai sosok Yu Mar merupakan salah satu contoh dari kaum perempuan Indonesia
yang mengalami ketertindasan sebagai rakyat Indonesia. Sejatinya, aum perempuan
saat ini mengalami ketertindasan sama seperti laki-laki. Tetapi perempuan hari
ini lebih mengalami ketertindasan berganda. Hari ini 22 Desember 2015 diperingati
sebagai hari Ibu, tetapi kondisi para ibu hari ini apakah sudah merdeka ? Tentu
jawabannya belum. Kondisi perempuan hari ini masih dibelenggu oleh budaya
patriarki yang merupakan budaya sisa-sisa feodal yang terus dilanggengkan oleh
imperialisme untuk terus menindas dan menghisap kaum perempuan.
Dalam kehidupan rumah tangga, saat
ini para ibu sudah banyak yang ikut membantu perekonomian keluarga dengan cara
ia bekerja demi memenuhi perekonomian keluarga. Namun, para ibu pun harus tetap
bekerja dalam rumah tangga sebagai bentuk tanggung jawab mereka sebagai seorang
ibu atau istri. Merekalah yang membereskan rumah, mengurus anak, mencuci
pakaian, memasak, dll. Artinya, kaum perempuan saat ini mengalami beban kerja
ganda yang merupakan penindasan untuk kaum perempuan.
Para
ibu ikut bekerja demi memenuhi kebutuhan perekonomian keluarga pun sesungguhnya
belum bisa mewujudkan kesejahteraan untuk keluarganya. Karena saat ini
pemerintah terus mengeluarkan kebijakan yang anti rakyat dan anti demokrasi. Sehingga
hal itu membuat para ibu semakin sulit untuk mewujudkan kesejahteraan kehidupan
dirinya dan keluarganya. Pemerintah sejatinya masih mengabdi pada imperialisme
dan kapitalisme, maka tidak akan pernah mengeluarkan kebijakan yang pro rakyat
yang membuat kesejahteraan bagi rakyat. Biaya pendidikan semakin mahal, karena
pendidikan saat ini telah dikomersialisasikan. Kemudian, haga bahan pokok pun
terus melonjak, sementara gaji atau upah yang didapat tidak sesuai dengan
kebutuhan yang ada karena UMR yang ditetapkan pemerintah tidak sebanding dengan
harga bahan pokok yang ada di pasaran. Dan masih banyak kebijakan pemerintah
lainnya yang tidak berpihak pada rakyat.
Selain
itu, beban kerja ganda yang dialami oleh para ibu juga tentunya berdampak pada
kesehatannya dan kesejahteraannya. Ia sudah bekerja untuk membantu perekonomian
keluarga, tetapi tetap bekerja sebagai ibu rumah tangga yang pekerjaannya jauh
lebih berat dan lebih menyita waktu. Akhirnya, kesehatan seorang ibu pun
terancam. Namun, peran pemerintah sampai saat ini masih belum mampu
menyelesaikan permasalahan terkait kesehatan umumnya untuk masyarakat dan
khususnya untuk para ibu.
Kebijakan
pemerintah saat ini belum menunjukan kebijakan yang pro terhadap rakyat.
Artinya, kebijakan pemerintah terutama tentang kesehatan saat ini masih anti
rakyat dan anti demokrasi. Padahal Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok
Kesehatan, Pasal 1 menyebutkan bahwa Tiap-tiap
warga negara berhak memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dan
perlu diikut-sertakan dalam usaha-usaha kesehatan Pemerintah. Serta di pasal 5
menyebutkan bahwa pemerintah berusaha mencukupi keperluan rakyat yang pokok
untuk hidup sehat, yang terdiri dari sandang-pangan, perumahan dan lain-lain,
serta melakukan usaha-usaha untuk mempertinggi kemampuan ekonomi rakyat.[2] Namun, pada praktiknya tidak sesuia dengan apa
yang telah disebutkan undang-undang.
Pelayanan kesehatan saat ini belum
tersebar secara merata. Masih banyak daerah-daerah di Indonesia yang belum ada
fasilitas pelayanan kesehatan. Sehingga, apabila masyarakatnya sakit, mereka
akan berobat sangat jauh dan tentu membutuhkan biaya yang besar. Selain masalah
kesulitan akses fasilitas pelayanan kesehatan, masalah lain yang dihadapi juga
tentang mahalnya biaya pelayanan kesehatan. Walaupun saat ini sudah ada Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, namun masih banyak
masalah-masalah yang terjadi sehingga adanya BPJS Kesehatan dianggap belum
mampu menjawab permasalahan kesehatan rakyat Indonesia.
Salah
satu permasalahan dalam BPJS Kesehatan yakni adanya diskriminasi pelayanan
kesehatan yang menyebabkan fasilitas pelayanan yang buruk bagi pasien yang
mengenakan BPJS Kesehatan terutama bagi warga miskin yang menjadi peserta
Penerima Bantuan Iuran (PBI). Pihak rumah sakit enggan menggunakan fasilitasnya
yang baik untuk para pasien BJS Kesehatan yang PBI karena pihak rumah sakit
tidak ingin fasilitasnya dibayar murah. Seperti yang dialami oleh Ibu Ling (
Siti Jamilah ) yang suaminya meninggal dunia akibat terlambat didiagnosa
menderita penyakit jantung. Almarhum selalu menerima diagnosa yang tidak tepat
dari rumah sakit yang dikunjunginya bersama istrinya dengan menggunakan BPJS
Kesehatan bagi peserta PBI. Pihak rumah sakit enggan menggunakan alat yang tepat
untuk melakukan diagnosa. Kemudian, almarhum bersama istri mengunjungi rumah
sakit yang kesekian kalinya yang akhirnya menggunakan alat yang bisa
mendiagnosa dengan tepat. Ternyata, diketahui fungsi jantung almarhum sudah
menurun hingga hanya 30 persen. Akhirnya, tindakan yang harus dilakukan adalah
operasi pemasangan ring pada jantung almarhum dengan resiko kematian yang
besar. Peristiwa ini pun berujung pada meninggalnya suami Ibu Iing ( Zaki, 2015
dalam Harian Indoprogress.com ). [3]
Dalam
Momentum Hari Ibu ini, Para Ibu tentunya terus berjuang untuk mendapatkan
hak-haknya sebagai rakyat Indonesia untuk mewujudkan kesejahteraan dirinya,
anak-anaknya serta keluarganya. Para Ibu pun pada akhirnya bisa memerdekakan
dirinya dan rakyat dari penindasan dan penghisapan yang terus dilakukan oleh
Imperialisme dan Kapitalisme melalui kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh
Pemerintah sebagai kaki tangan Imperialisme. Ketika kaum perempuan bersatu
untuk berjuang melawan penindasan bersama dengan rakyat lainnya, maka rakyat
bisa mendesak pemerintah untuk berhenti menjadi kaki tangan imperialisme dan
mengusir dominasi imperialisme dari Indonesia. Maka sejatinya pemerintah harus
mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang demokratis dan pro terhadap rakyat!
Selamat Hari Ibu untuk Para Ibu dan Para
Calon Ibu di Indonesia! Tetap semangat dalam memperjuangkan hak-hak kita
sebagai rakyat Indonesia yang telah dirampas! Hidup Rakyat Indonesia! Jayalah
Perjuangan Massa!
SALAM
DEMOKRASI!!
[1]
Wawancara dengan Yu Mar pada hari Senin, 21 Desember 2015 pukul 19.30 di
rumahnya.
[2]
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_9_1960.htm (diakses pada hari Selasa, 22
Desember 2015, pukul 21.30)
[3]http://indoprogress.com/2015/07/bpjs-kesehatan-perlindungan-kesehatan-atau-jasa-keuangan-negara/
(diakses pada hari Selasa, 22 Desember 2015, pukul 21.30)
Penulis
:
Ghea
Nurhanifah
Septi
Dwi Hariyanti


Posting Komentar