BREAKING NEWS

Selasa, Desember 22, 2015

Hari Ibu 22 Desember : Apakah Para Ibu Hari Ini Sudah Merdeka?


Hari Ibu : Apakah Para Ibu Hari Ini Sudah Merdeka?

oleh : Ghea Nurhanifah (Koor. Divisi Pendidikan FMN Unsoed)
Septi Dwi (Koor. Divisi Perempuan FMN Unsoed)

Selamat Hari Ibu untuk seluruh ibu di dunia kawan-kawan. Di hari ibu ini semoga kita selalu senantiasa memberikan yang terbaik untuk ibu kita dan terus berjuang.

Setiap mendengar kata ibu pasti hal yang kita fikirkan adalah tentang sosok perempuan yang telah melahirkan dan membesarkan kita hingga sekarang.Tapi tahukah kawan-kawan sebenarnya apa saja yang telah dilakukan ibu kita untuk membesarkan kita? Tentu  yang dilakukan oleh ibu sangatlah banyak, apalagi di tengah kondisi Indonesia yang sangat memprihatinkan ditambah lagi dengan budaya Indonesia yang di dominasi oleh budaya patriarki.

Kondisi perempuan secara umum di Indonesia saat ini sangat berada di bawah ketertindasan. Ibu sebagai kaum perempuan tentu mengalami hal yang sama. Di hari ibu ini kita akan merefleksi sesosok ibu yang bisa kita jadikan contoh dari ketertindasan perempuan. Martini alias Yu Mar adalah seorang ibu asal Bobotsari, Purbalingga dengan tiga orang anak yang dikenal sebagai penjual pecel yang biasa mencari pendapatan di lingkungan FISIP Unsoed. Yu Mar  dikenal sebagai sosok penjual yang ramah, baik hati dan digemari oleh mahasiswa FISIP. Di balik kebaikan hatinya ternyata beliau memiliki banyak beban yang harus ditanggung.

Di balik sosok Yu Mar yang terlihat baik dan ramah ternyata tidak banyak orang yang mengetahui bahwa Yu Mar mengidap penyakit yang menyebabkan beliau tidak dapat berjualan dalam waktu lima bulan terakhir ini. Namun dengan kondisinya, beliau tetap berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.Saat ini beliau sedang dalam pengobatan rawat jalan di Rumah Sakit DKT dengan jadwal terapi  2 kali seminggu dengan biaya 51.000 rupiah per minggunya.

Terlihat jelas dari biaya BPJS denganjumlah 51.000 per minggu, artinya beliau mengeluarkan biaya sebesar 204.000 dalam satu bulan.Padahal dalam memenuhi kehidupan sehari-hari saja seperti biaya makan dan keperluan rumah lainnya Yu Mar harus menjual barang apa saja yang bisa di jual.

Dalam kasus Yu Mar, beliau hanya salah satu contoh kasus dari ketidakmampuan negara dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia. DalamPasal 1 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan menjelaskan bahwa, “Kesehatan merupakan kondisi sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang produktif secara ekonomis”. Artinya Yu Mar sebagai warga negara belum terperuhi hak-haknya.

Dalam kegiatan kesehariannya yaitu berjualan pecel keliling kampus FISIP dengan memanggul barang dagangannya, hal tersebut tidak mengikis rasa kepeduliaannya terhadap orang lain. Yu Mar adalah sesesok perempuan yang sangat peduli terhadap mahasiswa FISIP. Tahun 2004 saat ada pergerakan FA Pungli, beliau menyumbangan semangat dan makanan kepada massa aksi. Hal tersebut membuat mahasiwa FISIP memberikan penghargaan kepada Yu Mar dengan membentuk Krigan Yu Mar pada tahun 2012 dan 2014 untuk mendukung Yu Mar.

Dalam kondisi Yu Mar yang seadanya, Yu Mar tetap berharap anaknya dapat mendapatkan pendidikan tinggi sehingga dapat meningkatkan taraf hidup keluarga di masa depan. Namun harapan itu pupus seketika setelah menghadapi kenyataan bahwa biaya kuliah sekarang tidak dapat diakses oleh semua kalangan termasuk Yu Mar. [1]

            Pembahasan mengenai sosok Yu Mar merupakan salah satu contoh dari kaum perempuan Indonesia yang mengalami ketertindasan sebagai rakyat Indonesia. Sejatinya, aum perempuan saat ini mengalami ketertindasan sama seperti laki-laki. Tetapi perempuan hari ini lebih mengalami ketertindasan berganda. Hari ini 22 Desember 2015 diperingati sebagai hari Ibu, tetapi kondisi para ibu hari ini apakah sudah merdeka ? Tentu jawabannya belum. Kondisi perempuan hari ini masih dibelenggu oleh budaya patriarki yang merupakan budaya sisa-sisa feodal yang terus dilanggengkan oleh imperialisme untuk terus menindas dan menghisap kaum perempuan.

Dalam kehidupan rumah tangga, saat ini para ibu sudah banyak yang ikut membantu perekonomian keluarga dengan cara ia bekerja demi memenuhi perekonomian keluarga. Namun, para ibu pun harus tetap bekerja dalam rumah tangga sebagai bentuk tanggung jawab mereka sebagai seorang ibu atau istri. Merekalah yang membereskan rumah, mengurus anak, mencuci pakaian, memasak, dll. Artinya, kaum perempuan saat ini mengalami beban kerja ganda yang merupakan penindasan untuk kaum perempuan.

            Para ibu ikut bekerja demi memenuhi kebutuhan perekonomian keluarga pun sesungguhnya belum bisa mewujudkan kesejahteraan untuk keluarganya. Karena saat ini pemerintah terus mengeluarkan kebijakan yang anti rakyat dan anti demokrasi. Sehingga hal itu membuat para ibu semakin sulit untuk mewujudkan kesejahteraan kehidupan dirinya dan keluarganya. Pemerintah sejatinya masih mengabdi pada imperialisme dan kapitalisme, maka tidak akan pernah mengeluarkan kebijakan yang pro rakyat yang membuat kesejahteraan bagi rakyat. Biaya pendidikan semakin mahal, karena pendidikan saat ini telah dikomersialisasikan. Kemudian, haga bahan pokok pun terus melonjak, sementara gaji atau upah yang didapat tidak sesuai dengan kebutuhan yang ada karena UMR yang ditetapkan pemerintah tidak sebanding dengan harga bahan pokok yang ada di pasaran. Dan masih banyak kebijakan pemerintah lainnya yang tidak berpihak pada rakyat.

            Selain itu, beban kerja ganda yang dialami oleh para ibu juga tentunya berdampak pada kesehatannya dan kesejahteraannya. Ia sudah bekerja untuk membantu perekonomian keluarga, tetapi tetap bekerja sebagai ibu rumah tangga yang pekerjaannya jauh lebih berat dan lebih menyita waktu. Akhirnya, kesehatan seorang ibu pun terancam. Namun, peran pemerintah sampai saat ini masih belum mampu menyelesaikan permasalahan terkait kesehatan umumnya untuk masyarakat dan khususnya untuk para ibu.

            Kebijakan pemerintah saat ini belum menunjukan kebijakan yang pro terhadap rakyat. Artinya, kebijakan pemerintah terutama tentang kesehatan saat ini masih anti rakyat dan anti demokrasi. Padahal Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Kesehatan,  Pasal 1 menyebutkan bahwa Tiap-tiap warga negara berhak memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dan perlu diikut-sertakan dalam usaha-usaha kesehatan Pemerintah. Serta di pasal 5 menyebutkan bahwa pemerintah berusaha mencukupi keperluan rakyat yang pokok untuk hidup sehat, yang terdiri dari sandang-pangan, perumahan dan lain-lain, serta melakukan usaha-usaha untuk mempertinggi kemampuan ekonomi rakyat.[2] Namun, pada praktiknya tidak sesuia dengan apa yang telah disebutkan undang-undang.

Pelayanan kesehatan saat ini belum tersebar secara merata. Masih banyak daerah-daerah di Indonesia yang belum ada fasilitas pelayanan kesehatan. Sehingga, apabila masyarakatnya sakit, mereka akan berobat sangat jauh dan tentu membutuhkan biaya yang besar. Selain masalah kesulitan akses fasilitas pelayanan kesehatan, masalah lain yang dihadapi juga tentang mahalnya biaya pelayanan kesehatan. Walaupun saat ini sudah ada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, namun masih banyak masalah-masalah yang terjadi sehingga adanya BPJS Kesehatan dianggap belum mampu menjawab permasalahan kesehatan rakyat Indonesia.

            Salah satu permasalahan dalam BPJS Kesehatan yakni adanya diskriminasi pelayanan kesehatan yang menyebabkan fasilitas pelayanan yang buruk bagi pasien yang mengenakan BPJS Kesehatan terutama bagi warga miskin yang menjadi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI). Pihak rumah sakit enggan menggunakan fasilitasnya yang baik untuk para pasien BJS Kesehatan yang PBI karena pihak rumah sakit tidak ingin fasilitasnya dibayar murah. Seperti yang dialami oleh Ibu Ling ( Siti Jamilah ) yang suaminya meninggal dunia akibat terlambat didiagnosa menderita penyakit jantung. Almarhum selalu menerima diagnosa yang tidak tepat dari rumah sakit yang dikunjunginya bersama istrinya dengan menggunakan BPJS Kesehatan bagi peserta PBI. Pihak rumah sakit enggan menggunakan alat yang tepat untuk melakukan diagnosa. Kemudian, almarhum bersama istri mengunjungi rumah sakit yang kesekian kalinya yang akhirnya menggunakan alat yang bisa mendiagnosa dengan tepat. Ternyata, diketahui fungsi jantung almarhum sudah menurun hingga hanya 30 persen. Akhirnya, tindakan yang harus dilakukan adalah operasi pemasangan ring pada jantung almarhum dengan resiko kematian yang besar. Peristiwa ini pun berujung pada meninggalnya suami Ibu Iing ( Zaki, 2015 dalam Harian Indoprogress.com ). [3]

            Dalam Momentum Hari Ibu ini, Para Ibu tentunya terus berjuang untuk mendapatkan hak-haknya sebagai rakyat Indonesia untuk mewujudkan kesejahteraan dirinya, anak-anaknya serta keluarganya. Para Ibu pun pada akhirnya bisa memerdekakan dirinya dan rakyat dari penindasan dan penghisapan yang terus dilakukan oleh Imperialisme dan Kapitalisme melalui kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah sebagai kaki tangan Imperialisme. Ketika kaum perempuan bersatu untuk berjuang melawan penindasan bersama dengan rakyat lainnya, maka rakyat bisa mendesak pemerintah untuk berhenti menjadi kaki tangan imperialisme dan mengusir dominasi imperialisme dari Indonesia. Maka sejatinya pemerintah harus mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang demokratis dan pro terhadap rakyat! 

Selamat Hari Ibu untuk Para Ibu dan Para Calon Ibu di Indonesia! Tetap semangat dalam memperjuangkan hak-hak kita sebagai rakyat Indonesia yang telah dirampas! Hidup Rakyat Indonesia! Jayalah Perjuangan Massa!

SALAM DEMOKRASI!!

[1] Wawancara dengan Yu Mar pada hari Senin, 21 Desember 2015 pukul 19.30 di rumahnya.
[2] http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_9_1960.htm (diakses pada hari Selasa, 22 Desember 2015, pukul 21.30)


Penulis :
Ghea Nurhanifah
Septi Dwi Hariyanti










oleh : Septi Dwi (Koor Divisi Perempuan, Departemen Organisasi FMN Ranting Unsoed)

Share this:

Posting Komentar

 
Back To Top
Copyright © 2018 Soeara Massa. Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Templates