Sebentar
lagi kita akan merayakan Hari Buruh Migrant Internasional yang akan jatuh pada Tanggal 18 Desember 2015. Hari tersebut merupakan momen penting bagi Buruh Migrant Internasional karena di hari itulah dideklarasikannya konvensi internasional tentang “perlindungan hak-hak seluruh pekerja migran dan anggota
keluarganya melalui resolusi no. 45/158 di New York, Amerika Serikat pada 18 Desember 1990. Resolusi tersebut berisi tentang hak-hak
buruh migrant yang harus di jalankan oleh negara asal dan penempatan buruh
migrant. Hak tersebut meliputi :
- Hak mendapat perlindungan negara.
- Hak atas pekerjaan layak,
- Hak atas upah layak,
- Hak bebas dari penganiayaan, penyiksaan, dan kriminalisasi,
- Hak berserikat di negara tempat bekerja,
- Hak untuk hidup,
- Hak terbebas dari perbudakan manusia,
- Hak untuk sama dihadapan hukum, dan
- Hak atas jaminan kesejahteraan bagi keluarganya.
Namun apakah kita tahu siapa Buruh Migrant itu ?
Buruh Migrant merupakan manusia yang menjual tenaga kerjanya kepada individu,
kelompok, maupun organisasi di luar wilayah kewarganegaraanya, dengan harapan
akan mendapatkan upah yang lebih baik di bandingkan negara asalnya. Mereka
tercipta karena adanya perampasan
dan monopoli tanah di pedesaan
serta ketiadaan lapangan pekerjaan yang disediakan pemerintah di dalam negeri dan
tidak demokratisnya pendidikan bagi usia produktif, dimana hal tersebut membuat
tenaga-tenaga kerja usia produktif terpaksa bekerja di luar negeri untuk tetap dapat
mempertahankan kebutuhan hidup dan keluarganya. Mayoritasnya adalah
pemuda-pemudi produktif yang seharusnya masih dituntut untuk mengembangkan
potensinya lewat pendidikan. Seperti yang terjadi pada kasus Buruh Migran
Erwiana asal Ngawi yang tidak bisa melanjutkan ke studinya perguruan tinggi
yang dicita-citakanya paska lulus SMA/Sederajat dan terpaksa harus memilih menjadi buruh
migran untuk menyambung perekonomian keluarganya, tapi majikan tempatnya
bekerja berkata lain, dia memaksanya bekerja selama 21 jam, tidak di beri upah,
serta mengalami penyiksaan selama 8 bulan
dan tidak di perbolehkan berobat. Pihak agen yang menempatkanpun tidak
bertanggung jawab atas intimidasi yang dilakukan majikan Erwiana[1].
Indonesia baru
menandatangani konvesi
international tentang buruh migrant 14 tahun setelah dideklarasikannya pada 22 September 2004,
sungguh ironis sekali mengingat selama periode 1967-2004 banyak sekali warga
Indonesia yang menjadi Buruh Migrant, dan tidak sedikit mengalami kekerasan. Berikut data Buruh Migran tahun 1967-2002 [2].
Perkembangan Buruh Migran Indonesia
Berdasarkan Gender Tahun 1967-2002
Periode/Tahun
|
Perempuan
|
Laki-laki
|
Total
|
Pelita I: 1967-74
|
-
|
-
|
5624
|
Pelita II: 1974-79
|
3,817
|
12,235
|
16,052
|
Pelita III: 1979-84
|
55,000
|
41,410
|
96,410
|
Pelita IV: 1984-89
|
198,735
|
93,527
|
292,262
|
Pelita V: 1989-94
|
442,310
|
209,962
|
651,272
|
1994-1997
|
503,980
|
310,372
|
814,352
|
1999-2002
|
972,198
|
383,496
|
1,355,694
|
Sumber :
olahan dari Kantor Depnakertrans RI; *) data pemilahan gender tidak tersedia;
**) data 1998 tidak tersedia
Sebagai salah satu penyumbang Buruh Migran terbesar di dunia. Diperkirakan ada 4,5 juta orang warga Indonesia yang
bekerja sebagai Buruh Migran. Mayoritas diantaranya adalah perempuan, yang
mengambil pekerjaan domestik sebagai pembantu rumah tangga[3].
Sekitar 700.000 pekerja migran Indonesia pergi ke luar negeri setiap tahunnya
untuk mencari penghasilan yang lebih baik di timur tengah, asia tenggara dan
asia timur. Dari 100 persen pekerja migran Indonesia, sekitar 80 persen
merupakan perempuan yang bekerja sebagai pekerja domestik di luar negeri [4]. Pemasukan kedua devisa
negara setelah minyak dan gas adalah dari remitansi Buruh Migrant sebesar Rp 105,9
trilyun[5], namun negara melepas
tanggung jawabnya terhadap buruh migrant Indonesia lewat UU No 39/ 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKILN) karena tanggung jawab
pemerintah telah diserah-penuhkan kepada pihak swasta yakni Perusahaan
Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS). Ini merupakan bentuk pencideraan terhadap deklrarasi konvesi
hak Buruh Migrant. Dampak dari pelepasan
tanggungjawab negara tersebut adalah terjadinya berbagai kasus penganiayaan-penyiksaan-dan kekerasan bahkan hukuman
pidana hingga hukuman mati bagi buruh migrant indonesia di luar negeri. Tercatat
bahwa setidaknya ada sebanyak 281 buruh migran Indonesia terancam hukuman mati.
Sebanyak 212 orang di Malaysia, 36 orang di Arab Saudi, 1 orang di Singapura,
28 orang di China, 1 orang di Qatar, 1 orang di UEA, dan 1 orang di Taiwan [6].
Pendidikan
yang tidak ilmiah, tidak demokratis, serta tidak di orientasikan untuk mengabdi
pada rakyat, juga menjadikan mayoritas Buruh Migrant yang tercipta hanya
bekerja sebagai pekerja domestic dan jika terjadi tindakan intimidasi maupun penganiyayaan, mereka tidak mampu melawan secara hukum karena
latar belakang pendidikan yang kurang . Berbeda dengan negara-negara dengan
system pendidikan yang sudah ilmiah dan demokratis seperti di pemerintahan
reformis tiongkok, buruh migrant bekerja sebagai buruh industry modern, dan
ketika mereka menerima intimidasi mampu melawannya secara hukum karena sudah
dibekali dengan pendidikan yang Ilmiah. Tapi bukan berarti buruh dari tiongkok sejahtera, dengan adanya ekspor tenaga kerja telah menunjukan
pemerintah tiongkok yang reformis tidak mampu memberikan lapangan pekerjaan di
negaranya.
Di
Banyumas sendiri merupakan salah satu daerah penyumbang Buruh Migrant terbesar
di Indonesia. Pada tahun 2014 tercatat lebih dari 5.642 orang terpaksa memilih
menjadi Buruh Migrant [7]. Mayoritas Buruh Migrant
berasal dari kecamatan gumelar dan lumbir. Mereka menjadi Buruh Migrant
terpaksa merelakan meninggalkan keluarganya dan membayar penempatan kerja pada
agen serta kapitalis birokrat lewat Kredit Usaha Rakyat yang cukup tinggi. Mayoritas Buruh Migrant tersebut merupakan pemuda-pemudi yang masih produktif. Lagi –
lagi mereka terpaksa menjadi Buruh Migrant karena tidak demokratisnya
pendidikan di banyumas, dan sempitnya lapangan pekerjaan yang tidak diimbangi
dengan jumlah penduduk. Buruh Migrant Banyumas merupakan penyumbang APBD Banyumas sebesar 328 milyar per tahun, ini lebih besar di bandingkan dengan Pendapatan Asli Daerah Banyumas yang hanya sebesar 148 milyar per tahun.
Maraknya
perampasan dan monopoli tanah yang di lakukan oleh imperialisme bersama
feodalisme lewat kapitalis birokrat merupakan masalah yang dihadapi Buruh Migrant serta sektor lainya seperti mahasiswa. Oleh karena kepentingan BMI juga sama dengan
pemuda mahasiswa yaitu menghancurkan
Imperialisme, feodalisme, dan kapitalis birokrat di negeri SJSF Indonesia. untuk menciptakan
lapangan pekerjaan yang layak di dalam negeri serta mewujudkan pendidikan yang
ilmiah, demokratis, dan mengabdi pada rakyat. Maka perjuangannya yang tepat juga adalah demokratis-nasional
dengan perjuangan pokok Reforma Agraria sejati dan Industrilisasi Nasional dibawah aliansi dasar klas buruh dan kaum tani dengan pimpinan klas
buruh.
Disisi lain, nasib pemuda
mahasiswa pun sama-sama tidak terjaminnya atas jaminan menadaptkan
pekerjaan yang layak ditengah kondisi Indonesia yang setengah jajahan dan
setengah feodal. Dimana hari ini pekerjaan dan nasib setelah lulus adalah masih
menjadi momok yang terus ada dalam benak mahasiswa karena memang skema dari
negara hari yang tidak mampu memberikan lapangan pekerjaan yang layak dan
selalu melakukan skema menciptakan tenaga kerja yang murah dan terdidik dari
kalangan lulusan perguruan tinggi. Dari
data yang dirilis Direktorat Pendidikan Tinggi Islam (Diktis) Departemen Agama
RI menunjukkan, jumlah pengangguran perguruan tinggi mencapai 80 persen,
menunjukkan bahwa pemuda mahasiswa hari ini akan selalu dibayangi pada masa
depan yang tidak terjamin, yaitu dalam mendapatkan pekerjaan yang layak[8]. Semakin
banyaknya pengangguran yang tiap tahun makin bertambah[9], maka
akan semakin lancar pula penciptaan skema buruh murah yang terdidik yang selalu
dilakukan oleh Imperialisme AS terhadap Indonesia sebagai kepentingannya untuk
mendapatkan buruh murah dalam menghadapi krisis dalam tubuh Imperialisme AS.
Perjuangan pemuda
mahasiswa juga hari ini sebagai wujud dukungan terhadap perampasan hak dan
tindakan kekerasan terhadap buruh migrant adalah tidak terlepas dari perjuangan
pemuda mahasiswa kedepannya untuk memberikan jaminan pasca lulus kuliah,
begitupun sama halnya dengan perjuangan dari buruh migrant untuk mendapatkan
pendidikan yang layak. Keberadaan Buruh Migrant tidak lah lepas dari tidak
hadirnya negara dalam menjamin pekerjaan yang layak bagi warga negaranya, dan
bahkan selalu melakukan upaya-upaya perampasan tanah dan monopoli atas tanah,
sehingga semakin sempit lapangan pekerjaan di desa yang menimbulkan tidak
adanya pilihan lain untuk mencari pekerjaan di kota maupun menjadi buruh migrant
yang bekerja di luar negeri. Saat ini perkebunan besar paling
dominan dengan tanaman komoditas dengan luas lahan perkebunan besar
diantaranya; kelapa sawit (9.074.621 Ha), perkebunan besar karet (3.484.073
Ha), perkebunan besar kelapa (3.787.724 Ha), Perkebunan besar Kakao (1.732.954
Ha), Perkebunan Kopi (1.233.982 Ha) atau pangan lainnya.[10]
Semuanya adalah komoditas pasar untuk ekspor yang dipersembahkan untuk
kepentingan imperialisme AS, bukan untuk kebutuhan domestik rakyat Indonesia.
Sementara persebaran penguasaan Negara
atas tanah dijalankan secara luas dengan bentuk Taman nasional (TN). Di
seluruh kawasan Indonesia TN
berjumlah 50, dengan total luasan 16.209.393 Ha yang tersebar di seluruh wilayah
Indonesia[11]. Dan dalam bentuk PTPN, Negara juga melakukan monopoli tanah seluas ± 1,5
Juta Ha yang tersebar di seluruh
Indonesia, yang terdiri dari PTPN I sampai XIV. Sedangkan Inhutani I-V melakukan monopoli tanah
seluas ± 899.898[12]. Sementara
borjuasi besar- tuan tanah besar swasta, seperti PT. Salim Group (penguasaan areal kelapa sawit), sekitar 1.155.745 Ha. Kemudian Wilmar International Group, sekitar 210.000 Ha. Sementara
Sinar Mas Group menguasai tanah 2.309.511 hektar, Riau
Pulp Grup 1.192.387 hektar, Kayu Lapis Indonesia (KLI) Grup 1.445.300 Hektar,
Alas Kusuma Grup 1.157.700 Hektar, Barito Pasifik Grup 1.036.032, Korindo Grup
951.120 hektar, Jati Grup 965.410 dan Suma Lindo Lestari jaya Grup 515.000
Hektar. Jika dilihat penguasaan
tanah oleh tuan tanah dan borjuasi besar komprador sangat-sangat timpang atas
monopoli tanah yang mereka lakukan. Perkebunan milik borjuasi besar komprador
atau tuan tanah besar menguasai kurang lebih 20 juta Ha tanah di Indonesia.
Sementara monopoli atas tanah dalam bentuk Taman nasional, PTPN, Ihutani,
Perhutani, Hampir menguasai 21 juta Ha. Sementara yang dikuasai oleh borjuasi
asing atau imperialis (Freeport, Newmont, Blok Cepu, Chevron, Bin Laden Group,
dll) hampir 10 juta Ha. Dan seluruh orientasi atas penguasaan dan monopoli tanah
ini hanya untuk memenuhi kepentingan bahan baku industri imperialis bukan untuk
memenuhi kebutuhan domestik.
Dari
data tersebut bisa kita lihat monopoli atas tanah yang dilakukan oleh Negara,
Tuan Tanah Besar dan klas komprador yang telah menimbulkan tidak adanya lahan
yang dapat dimafaatkan oleh masyarakat untuk dapat mencukupi kebutuhan hidup
dari masyarakat, apalagi ditengah masih dominannya lapangan pekerjaan dari
masyarakat Indonesia yang masih petani. Kaum tani Indonesia yang berjumlah 65%
dari total penduduk Indonesia, lebih dari 50% menggantungkan hidupnya pada luas
lahan yang kurang dari 0,5 Ha dengan penghasilan kurang dari Rp.
Rp.400.000-600.000. Dan dari hal
tersebutlah yang pada akhirnya menimbulkan semakin banyaknya pengangguran
bahkan dipedesaan yang memaksa masyarakat harus berbondong-bondong ke kota
maupun ke luar negeri untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Inilah yang
menjadikan banyaknya buruh migrant dari Indonesia yang harus rela bekerja ke
luar negeri dan juga selalu harus dibayangi akan penyiksaan dan kekerasan yang
dilakukan oleh perusahaan yang bersangkutan maupun pada saat sudah bekerja
karena tidak adanya jaminan perlindungan yang diberikan oleh negara.
Tidak ada jaminan akan pekerjaan
yang layak yang muncul akibat dari skema yang dilakukan oleh Imperialisme AS
untuk terus menciptakan buruh-buruh murah telah merampas hak atas pekerjaan
yang layak bagi pemuda mahasiswa dan buruh migrant. Sehingga perjuangan yang
harus terus dilancarkan adalah perjuangan untuk terciptanya lapangan pekerjaan
yang layak yaitu dengan melakukan reforma agraria dan menciptakan Industri
nasional dengan terus melancarkan perjuangan demokrasi nasional.
Penulis: Cendekia Nuur khoolik
(Divisi Pelayanan Rakyat dan Advokasi, Departemen Pelayanan Rakyat dan Kampanye Massa FMN Cabang Purwokerto)
[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Erwiana_Sulistyaningsih
[2] http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2014/02/BURUH-MIGRAN-PEKERJA-RUMAH-TANGGA-TKW-PRT-INDONESIA.pdf
[3]
http://www.berdikarionline.com/presiden-jokowi-dan-nasib-buruh-migran-prt/,
diakses pada 15 Desember 2015.
[4]
http://www.ilo.org/jakarta/info/public/pr/WCMS_120726/lang--en/index.htm,
diakses pada 15 Desember 2015.
[5]
http://www.bnp2tki.go.id/read/9887/BI-Mencatat-Remitansi-TKI-Tahun-2014-Sebesar-Rp-1059-Trilyun,
diakses pada 15 Desember 2015.
[6] http://nasional.sindonews.com/read/1052073/13/buruh-migran-terancam-hukuman-mati-puncak-kegagalan-pemerintah-1444494338
[7] http://www.bnp2tki.go.id/readfull/9801/Sepanjang-2014-BNP2TKI-Mencatat-Penempatan-TKI-429.872-Orang
[8]
Indeksmedia.com, http://www.indeksmedia.com/pendidikan/80-persen-sarjana-tak-berkerja.html,
diakses pada 16 Desember 2015.
[9]
Berdasarkan data Badan
Pusat Statistik (BPS), jumlah penganguran terdidik lulusan universitas pada
2013 sebanyak 434.185 meningkat menjadi 495.143 pada 2014. Dikutip dari Harian
Nasional, http://www.harnas.co/2015/02/06/495143-sarjana-menganggur, diakses pada 16 Desember 2015.
[10]
Sumber : Direktorat Jenderal
Perkebunan 2012
[11]
http://alamendah.org/2010/04/11/daftar-taman-nasional-di-indonesia/,
Diakses pada tanggal 01 Agustus 2014, pukul 17.54 WIB
[12]www.inhutani1.co.id/, www.bumn.go.id/inhutani2/en/,
www.inhutani3.com/, www.inhutani4.co.id/, www.inhutani5.co.id/,
diakses pada tanggal 02 Agustus 2014, pukul 09.30-20.00 WIB .

Posting Komentar