BREAKING NEWS

Selasa, Desember 22, 2015

Hari Ibu sebagai Momentum Konsolidasi Gerakan Perempuan Indonesia [1]


Selamat Hari Ibu !!!


Perempuan terbukti telah menorehkan sejarah yang panjang dalam perjuangan massa pada khususnya maupun peradaban umat manusia pada umumnya. Lahirnya hari ibu pada 22 Desemner tidak serta-merta lahir tanpa adanya “kejadian” yang melata belakanginya. Konggres perempuan pertama yang dilaksanakan di Yogyakarta pada 22 Desember menjadi deklarasi perempuan Indonesia bahwa perempuan ikut berpartisipasi dalam perjuangan melawan kolonialisme Belanda sebagai salah satu skema penghisapan kepada rakyat Indonesia. Deklarasi ini sebagai wujud nyata keterlibatan perempuan dalam perjuangan massa bersama dengan laki-laki.

Upaya-upaya “perendahan” perempuan tidak sedikit terjadi di tengah-tengah masyarakat, termasuk terhadap hari ibu. Mulai dari dogma-dogma agama yang menyatakan bahwa hari ibu sesat adanya dan merusak aqidah, hingga pembelokan makna hari ibu menjadi mothers day sebagai upaya domestikisasi perempuan-perempuan dalam masyarakat. Permasalahan ini semakin menguras energi perempuan-perempuan progresif manakala momentum hari ibu diperingati sebagai sarana konsolidasi perempuan, ataupun hanya sebagai perayaan semata. Namun hal ini tidak menyurutkan semangat perempuan progresif untuk bangkit, berorganisasi, dan berjuang dalam membebaskan massa dan perempuan khususnya. Bagaimanapun, hal yang pokok bagi perempuan adalah membangun kekuatan dirinya sebagai mesin penggerak perjuangan massa bersama-sama dengan laki-laki.

Berbicara perempuan, maka tidak akan terlepas dengan pembangunan serta interaksinya dengan laki-laki. Bersama dengan laki-laki perempuan terlibat pembangunan maupun perjuangan. Pola interaksi gender-nya pun akan mempengaruhi kedudukan serta pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan. Sebagian kalangan beranggapan bahwa ketertindasan perempuan adalah akibat dari pengekangan yang dilakukan oleh laki-laki, oleh karena itu solusi yang ditawarkan adalah membuka pintu bagi keterlibatan perempuan dalam ranah publik. Sektor pembangunan yang melibatkan perempuan terbukti hanya mengeksploitasi perempuan dalam industri-industri yang berupah minim, maupun pekerjaan-pekerjaan residual untuk kaum perempuan. Akibatnya, beban kerja ganda mengintai perempuan ketika dirinya harus bekerja diluar rumah maupun ketika dirinya melakukan pekerjaan domestik di rumah. Pada kondisi yang demikian, laki-laki kembali diuntungkan dengan dibantunya tugas pokok dirinya dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Perempuan yang pulang dengan membawa upah sudah pasti sangat membantu laki-laki, apalagi ketika tugas rumah tangga tetap dilaksanakan oleh perempuan tanpa adanaya kolektifisme tugas rumah tangga bersama dengan laki-laki. Sebagai konsekuensi logis, perempuan akan membentuk organisasi perempuan yang hanya sebatas berbicara isu-isu perempuan seperti perkosaan, menikah dengan paksaan maupun isu-isu lainnya yang berkutat pada permasalahan selangkangan manusia. Kondisi yang demikian membuat perempuan, begitu juga dengan laki-laki menjadi lupa terhadap permasalahan pokok masyarakat seperti perampasan tanah yang secara langsung pasti dirasakan laki-laki maupun perempuan maupun kecilnya upah buruh yang jelas berpengaruh terhadap daya beli masyarakat. Pada kondisi yang demikian, perempuan dihadapkan pada musuhnya yakni laki-laki yang dituduh menindas perempuan. Keterlibatan perempuan pada sektor publik, pada kondisi yang demikian terbukti tidak mampu membebaskan perempuan dari ketertindasan bergandanya.

Pada hakekatnya, ketertindasan perempuan yang disebabkan oleh 2 hal, yakni karena dirinya adalah perempuan, dan ketertindasan perempuan dan laki-laki karena keduanya tidak menguasai alat-alat produksi maupun hasil-hasil produksinya. Permasalahan demikian yang melilit perempuan tidak mungkin akan terselesaikan hanya dengan semata-mata mengeluarkan perempuan ke ruang-ruang publik, karena bahkan laki-laki yang sudah berada diruang publik selama berabad-abadpun nyatanya-pun masih tertindas. Bahkan laki-laki justru dijadikan mesin utama ekonomi baik oleh negara maupun oleh keluarga, meskipun dalam hal ini laki-laki adakalanya menindas perempuan, itulah mengapa laki-laki hanya tertindas 1 kali, sedangkan perempuan tertindas 2 kali. Poinnya adalah, mengeluarkan perempuan semata-mata ke sektor publik tidak semata-mata menjadi solusi atas ketertindasan perempuan. Paradigma pembangunan yang demikian ini jelas sudah usang dan dimakan zaman seiring dengan gerak materi penghisapan yang semakin nyata dibawan imperialisme, feodalisme, dan kapitalis  birokrat.

Lahirnya pandangan-pandangan baru terhadap gerakan perempuan melahirkan suatu tesis baru. Pembacaan atas kondisi masyarakat menjadi krusial adanya sebelum menawarkan solusi terhadap permasalahan perempuan. Kondisi Indonesia yang dibawah cengekeraman imperailisme, melahirkan keadaan Setengah Jajahan Setengah Feodal. Penindasan berganda perempuan menjadi suatu keniscayaan atas kondisi perekonomian yang ditopang oleh kondisi sosial politik yang ikut menindasnya. Maka, bergeserlah paradigma yang memandang bahwa musuh utama perempuan yaitu laki-laki yaitu menjadi imperialisme, feodalisme, dan kapitalis birokrat. Sinergi perjuangan antara laki-laki dan perempuan mutlak diperlukan, karena bagaimanapun mereka tertindas secara bersama-sama.  Semangat konggres perempuan pertama harus senantiasa mengilhami perempuan modern nan progresif dalam memperjuangkan hak-haknya. Perjuangan perempuan indonesia sudah seharusnya kembali ke semangat awalnya yakni untuk membebaskan massa rakyat dari penindasan dan penghisapan, bukan semata-mata perayaan ucapan kepada perempuan-perempuan terdekat. Perjuangan massa yang berkesinambungan sudah pasti akan menghasilkan kemenangan-kemenangan kecil untuk kemudian tercapai kemenangan rakyat. Hal ini membutuhkan semangat perempuan pula di dalamnya. Tidak mungkin kemengan akan dicapai tanpa keterlibatan kaum perempuan didalamnya, dan tidak mungkin pula kaum perempuan akan ikut menikmati kemenangan apabila dirinya tidak mungkin berjuang bersama rakyat.

Kaum perempuan, sudah semestinya bangkit dari ketertindasan untuk “melososkan” dirinya yang tertindas secara berganda berabad-abad untuk kemudian berorganisasi membentuk organisasi yang maju yang tidak hanya berbicara tentang isu-isu seputar selangkangan, dan berjuang memperjuangan hak-haknya bersama-sama dengan laki-laki dalam menghadapi 3 musuh rakyat yakni imperialisme, fodalisme, dan kapitalis birokrat.

Hari ibu 22 Desember diperingati sebagai momentum konsolidasi perempuan Indonesia untuk bangkit, berorganisasi, dan berjuang melawan 3 musuh rakyat.

Perempuan memang selama ini tersingkir, tetapi dialah arwah sesungguhnya dari peradaban umat manusia!!!




Oleh: Nuni Silvana, SH, MH [2]




[1] Tulisan dalam rangka hari ibu 2015 ini dipersembahkan untuk ibunda tercinta Fatwa Zuhaena, seorang perempuan luar biasa  yang aku tak mampu menceritakannya dalam kata. Nanti, akan kuabadaikan namamu dalam karya-karyaku.
[2] Alumni Front Mahasiswa Nasional Cabang Purwokerto dan LPM Pro Justitia, anggota magang Serikat Perempuan Indonesia 

Share this:

Posting Komentar

 
Back To Top
Copyright © 2018 Soeara Massa. Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Templates