Selamat Hari Ibu !!!

Perempuan terbukti telah
menorehkan sejarah yang panjang dalam perjuangan massa pada khususnya maupun
peradaban umat manusia pada umumnya. Lahirnya hari ibu pada 22 Desemner tidak
serta-merta lahir tanpa adanya “kejadian” yang melata belakanginya. Konggres
perempuan pertama yang dilaksanakan di Yogyakarta pada 22 Desember menjadi
deklarasi perempuan Indonesia bahwa perempuan ikut berpartisipasi dalam
perjuangan melawan kolonialisme Belanda sebagai salah satu skema penghisapan
kepada rakyat Indonesia. Deklarasi ini sebagai wujud nyata keterlibatan
perempuan dalam perjuangan massa bersama dengan laki-laki.
Upaya-upaya “perendahan”
perempuan tidak sedikit terjadi di tengah-tengah masyarakat, termasuk terhadap
hari ibu. Mulai dari dogma-dogma agama yang menyatakan bahwa hari ibu sesat
adanya dan merusak aqidah, hingga pembelokan makna hari ibu menjadi mothers day sebagai upaya domestikisasi
perempuan-perempuan dalam
masyarakat. Permasalahan ini semakin menguras energi perempuan-perempuan
progresif manakala momentum hari ibu diperingati sebagai sarana konsolidasi
perempuan, ataupun hanya sebagai perayaan semata. Namun hal ini tidak
menyurutkan semangat perempuan progresif untuk bangkit, berorganisasi, dan
berjuang dalam membebaskan massa dan perempuan khususnya. Bagaimanapun, hal
yang pokok bagi perempuan adalah membangun kekuatan dirinya sebagai mesin
penggerak perjuangan massa bersama-sama dengan laki-laki.
Berbicara perempuan, maka
tidak akan terlepas dengan pembangunan serta interaksinya dengan laki-laki.
Bersama dengan laki-laki perempuan terlibat pembangunan maupun perjuangan. Pola
interaksi gender-nya pun akan mempengaruhi
kedudukan serta pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan. Sebagian
kalangan beranggapan bahwa ketertindasan perempuan adalah akibat dari pengekangan
yang dilakukan oleh laki-laki, oleh karena itu solusi yang ditawarkan adalah membuka
pintu bagi keterlibatan perempuan dalam ranah publik. Sektor pembangunan yang
melibatkan perempuan terbukti hanya mengeksploitasi perempuan dalam
industri-industri yang berupah minim, maupun pekerjaan-pekerjaan residual untuk kaum perempuan.
Akibatnya, beban kerja ganda mengintai perempuan ketika dirinya harus bekerja
diluar rumah maupun ketika dirinya melakukan pekerjaan domestik di rumah. Pada
kondisi yang demikian, laki-laki kembali diuntungkan dengan dibantunya tugas
pokok dirinya dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Perempuan yang pulang dengan
membawa upah sudah pasti sangat membantu laki-laki, apalagi ketika tugas rumah
tangga tetap dilaksanakan oleh perempuan tanpa adanaya kolektifisme tugas rumah
tangga bersama dengan laki-laki. Sebagai konsekuensi logis, perempuan akan
membentuk organisasi perempuan yang hanya sebatas berbicara isu-isu perempuan
seperti perkosaan, menikah dengan paksaan maupun isu-isu lainnya yang berkutat
pada permasalahan selangkangan manusia. Kondisi yang demikian membuat
perempuan, begitu juga dengan laki-laki menjadi lupa terhadap permasalahan
pokok masyarakat seperti perampasan tanah yang secara langsung pasti dirasakan laki-laki
maupun perempuan maupun kecilnya upah buruh yang jelas berpengaruh terhadap
daya beli masyarakat. Pada kondisi yang demikian, perempuan dihadapkan pada
musuhnya yakni laki-laki yang dituduh menindas perempuan. Keterlibatan
perempuan pada sektor publik, pada kondisi yang demikian terbukti tidak mampu
membebaskan perempuan dari ketertindasan bergandanya.
Pada hakekatnya,
ketertindasan perempuan yang disebabkan oleh 2 hal, yakni karena dirinya adalah
perempuan, dan ketertindasan perempuan dan laki-laki karena keduanya tidak
menguasai alat-alat produksi maupun hasil-hasil produksinya. Permasalahan
demikian yang melilit perempuan tidak mungkin akan terselesaikan hanya dengan
semata-mata mengeluarkan perempuan ke ruang-ruang publik, karena bahkan laki-laki
yang sudah berada diruang publik selama berabad-abadpun nyatanya-pun masih tertindas. Bahkan
laki-laki justru dijadikan mesin utama ekonomi baik oleh negara maupun oleh
keluarga, meskipun dalam hal ini laki-laki adakalanya menindas perempuan,
itulah mengapa laki-laki hanya tertindas 1 kali, sedangkan perempuan tertindas
2 kali. Poinnya adalah, mengeluarkan perempuan semata-mata ke sektor publik
tidak semata-mata menjadi solusi atas ketertindasan perempuan. Paradigma
pembangunan yang demikian ini jelas sudah usang dan dimakan zaman seiring
dengan gerak materi penghisapan yang semakin nyata dibawan imperialisme,
feodalisme, dan kapitalis birokrat.
Lahirnya
pandangan-pandangan baru terhadap gerakan perempuan melahirkan suatu tesis
baru. Pembacaan atas kondisi masyarakat menjadi krusial adanya sebelum
menawarkan solusi terhadap permasalahan perempuan. Kondisi Indonesia yang
dibawah cengekeraman imperailisme, melahirkan keadaan Setengah Jajahan Setengah
Feodal. Penindasan berganda perempuan menjadi suatu keniscayaan atas kondisi
perekonomian yang ditopang oleh kondisi sosial politik yang ikut menindasnya.
Maka, bergeserlah paradigma yang memandang bahwa musuh utama perempuan yaitu
laki-laki yaitu menjadi imperialisme, feodalisme, dan kapitalis birokrat.
Sinergi perjuangan antara laki-laki dan perempuan mutlak diperlukan, karena
bagaimanapun mereka tertindas secara bersama-sama. Semangat konggres perempuan pertama harus
senantiasa mengilhami perempuan modern nan progresif dalam memperjuangkan
hak-haknya. Perjuangan perempuan indonesia sudah seharusnya kembali ke semangat
awalnya yakni untuk membebaskan massa rakyat dari penindasan dan penghisapan,
bukan semata-mata perayaan ucapan kepada perempuan-perempuan terdekat.
Perjuangan massa yang berkesinambungan sudah pasti akan menghasilkan
kemenangan-kemenangan kecil untuk kemudian tercapai kemenangan rakyat. Hal ini
membutuhkan semangat perempuan pula di dalamnya. Tidak mungkin kemengan akan
dicapai tanpa keterlibatan kaum perempuan didalamnya, dan tidak mungkin pula kaum
perempuan akan ikut menikmati kemenangan apabila dirinya tidak mungkin berjuang
bersama rakyat.
Kaum perempuan, sudah
semestinya bangkit dari ketertindasan untuk “melososkan” dirinya yang tertindas
secara berganda berabad-abad untuk kemudian berorganisasi membentuk organisasi
yang maju yang tidak hanya berbicara tentang isu-isu seputar selangkangan, dan
berjuang memperjuangan hak-haknya bersama-sama dengan laki-laki dalam
menghadapi 3 musuh rakyat yakni imperialisme, fodalisme, dan kapitalis
birokrat.
Hari ibu 22 Desember
diperingati sebagai momentum konsolidasi perempuan Indonesia untuk bangkit,
berorganisasi, dan berjuang melawan 3 musuh rakyat.
Perempuan memang selama ini
tersingkir, tetapi dialah arwah sesungguhnya dari peradaban umat manusia!!!
Oleh: Nuni Silvana, SH, MH [2]
[1] Tulisan dalam rangka hari
ibu 2015 ini dipersembahkan untuk ibunda tercinta Fatwa Zuhaena, seorang
perempuan luar biasa yang aku tak mampu
menceritakannya dalam kata. Nanti, akan kuabadaikan namamu dalam karya-karyaku.
[2] Alumni Front Mahasiswa
Nasional Cabang Purwokerto dan LPM Pro Justitia, anggota magang Serikat
Perempuan Indonesia
Posting Komentar