Meneropong Unsoed Selama Tahun 2015
(Dari
pencerabutan hak demokratis hingga kemenangan mahasiswa)
oleh :
Adam Kuncoro (KA. Dept. Dikprop FMN Unsoed)
Rizki B. Aritonang (Divisi Kajian & Riset FMN Unsoed)
Tak terasa kita sudah
memasuki penghujung bulan Desember 2015. Sebentar lagi kita akan memasuki
lembaran baru di tahun 2016. Sudah menjadi suatu hal yang umum, setiap
pergantian tahun kerap kali dijadikan “momen” untuk saling berkumpul, entah itu
dengan keluarga, kerabat terdekat, maupun melalui perayaan ditempat umum. Tentunya,
dengan semakin dekat-nya momentum pergantian tahun ini sangat sayang dilewatkan
hanya untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat euforia saja.
Sebagai bagian dari
civitas akademika di Universitas Jenderal Soedirman, mari kita refleksikan
sejenak terkait apa saja yang sudah kita lalui semenjak awal tahun 2015
hingga beranjak akhir Desember ini. Masihkah terjadi praktek pungutan liar
(pungli)? Masihkah terdapat ancaman terhadap
hak demokratis mahasiswa? Dan masih adakah kebijakan birokrat kampus yang
merugikan di pihak mahasiswa lainnya? Jika iya, artinya selama periode ini
2015, masih banyak persoalan-persoalan yang hadir di kampus UNSOED. Dan
tentunya sangat penting bagi kita untuk terus memblejeti dan mengusut setiap
kebijakan kampus yang tidak berpihak kepada kita. Berikut adalah beberapa catatan penting terkait
persoalan-persoalan yang ada di UNSOED pada tahun 2015.
AUDIENSI UKT 2014 “CACAT
HUKUM”
Jika kita tarik dari awal
tahun 2015, masih teringat kah dibenak kita bagaimana persoalan UKT 2014 yang
ternyata “cacat hukum”? patut kita cermati bahwa kebijakan UKT di tahun 2014
yang cacat hukum tersebut tentunya sangat merugikan Mahasiswa UNSOED khususnya
angkatan 2014. Hal ini tentunya mendapat respon dari mahasiswa untuk yang
mempersoalkan legalitas dari UKT 2014. Karena dibutuhkan wadah bersama untuk
mengusut persoalan tersebut, terbentuklah SOMASI UNSOED (Solidaritas Mahasiswa
UNSOED). Selama 6 bulan lamanya, SOMASI
UNSOED terus konsisten melawan salah satu bentuk komersialisasi pendidikan ini.
Setelah 6 bulan berjalan, kemenangan pun dapat diraih oleh pihak mahasiswa.
Tepatnya diawal tahun 2015, yakni 9 Januari 2015. Tuntutan dari SOMASI UNSOED
untuk menyelenggarakan forum audiensi kepada rektorat akhirnya dikabulkan.
Adapun
tuntutan yang dibawa oleh SOMASI UNSOED antara lain:
1.
Cabut
pemberlakuan Uang Kuliah Tunggal (UKT) Unsoed 2014 yang CACAT HUKUM dan
kembalikan pengaturannya pada Permendikbud Nomor 55 Tahun 2013 Tentang Biaya
Kuliah Tunggal dan Uang Kuliah Tunggal pada Perguruan Tinggi Negeri pada
Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan;
2.
Terapkan
UKT pada mahasiswa 2014 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
dan kemampuan ekonomi mahasiswa;
3.
Hapuskan
pungutan liar dan kembalikan seluruh uang mahasiswa yang telah di pungut diluar
UKT;
4.
Perjelas
dan permudah pengaturan dan mekanisme keringanan biaya kuliah.
Forum audiensi berjalan
alot. Watak rektorat UNSOED yang “setengah hati” untuk menyelesaikan persoalan
UKT 2014 semakin terlihat. Terlihat dari proses berjalannya forum yang sangat
tidak demokratis. Pelarangan pers masuk dan meliput jalannya audiensi, serta tindakan
intimidatif dari rektor terhadap mahasiswa semakin mencerminkan
rektorat UNSOED yang “kolot” dan tidak demokratis. Dalam proses audiensi,
rektorat UNSOED juga masih enggan untuk mengabulkan tuntutan yang diajukan oleh
SOMASI. Setelah melalui proses
perdebatan yang panjang antara mahasiswa dan rektorat, terdapat beberapa
kemenangan yang dicapai oleh kawan-kawan SOMASI UNSOED. Hal ini bisa kita lihat
dari statement rektor UNSOED, Ahmad Iqbal berikut ini ;.
1.
Rektor Mengakui, pihaknya tidak berwenang
menetapkan tarif level 1-7 untuk mahasiswa 2014, dan juga mengakui KECACATAN
HUKUM dalam tindakannya mengeluarkan SK UKT 2014 Nomor Kept :KEPT.1081/UN23/PP.01.00/2014
2.
UKT 2014 dikembalikan menjadi level 1-5 dengan
menggunakan landasan hukum Permendikbud no. 55 tahun 2013. Selisih penarikan
level 6 dan 7 yang sudah terlanjur dilakukan pada UKT 2014 semester 1, akan
dikompensasikan ke semester 2.
3.
Level 1 dan 2 UKT 2014 yang sebelumnya hanya
menampung kuota 1,9% dan 8%, akan diterapkan menjadi 20% kuota.
4.
Rektor ber-statement bahwa tidak boleh ada pungli
atau penarikan diluar UKT.
Statement rektor
tersebut merupakan bentuk kemenangan kecil yang diraih mahasiswa setelah
berdebat panjang dengan pihak birokrasi. Meskipun rektor Unsoed tidak memenuhi
seluruh tuntutan SOMASI UNSOED, setidaknya ada capaian dari perjuangan
mahasiswa Unsoed. Penting untuk
menjadi catatan, bahwa kemenangan yang dicapai bukanlah serta merta bentuk
kebaikan hati rektorat UNSOED, melainkan merupakan buah perjuangan SOMASI
UNSOED yang terus konsisten untuk mengusut persoalan UKT 2014. Meskipun
pihak rektorat masih enggan untuk memenuhi seluruh tuntutan SOMASI UNSOED, bukan
berarti gerak SOMASI berhenti begitu saja.
Pasca audiensi, SOMASI UNSOED masih tetap konsisten untuk mengusut
persoalan UKT 2014 karena tuntutan utama dari SOMASI UNSOED belum dikabulkan
oleh pihak rektorat.
PENGAMBILALIHAN OSPEK
Belum tuntas persoalan terkait
UKT 2014, pada pertengahan tahun 2015, persoalan baru kembali muncul. Tepatnya
pada awal agustus, bulan yang berdekatan dengan penerimaan mahasiwa UNSOED
2015. Persoalan baru yang muncul yakni kebijakan tentang pengambilalihan OSPEK
oleh pihak kampus. Menurut pihak rektorat, kebijakan ini mengacu pada SE Nomor 01/DJ-Belmawa/SE/VII/2015 Tentang Pengenalan
Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB) yang dikeluarkan oleh
KEMENRISTEKDIKTI (Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi). Dalam Surat Edaran
tersebut dinyatakan bahwa OSPEK atau PKKMB merupakan “program institusi, bukan program Mahasiswa”.
Lantas, apa imbas dari pemberlakuan peraturan
tersebut kepada mahasiswa? Apakah kebijakan ini juga merugikan mahasiswa? Dampak
dari peraturan tersebut akan membuat mahasiswa tidak dapat lagi
menyelenggarakan OSPEK secara Independen. Tentunya, kebijakan ini akan menghambat
kebebasan dan ruang mimbar akademik Mahasiswa. Adapun peran yang diemban oleh
mahasiswa ketika kebijakan tersebut sudah dilaksanakan, hanya akan sebatas
sebagai EO (Event Organizer) semata.
Seharusnya,
Kampus atau Universitas sebagai ruang akademik dan
ruang menempa diri lewat belajar, berorganisasi dan
berkegiatan. Dan sudah sepatutnya pula UNSOED memberikan kebebasan akademik dan kegiatan diluar akademik (organisasi) bagi mahasiswa, bukan malah sebaliknya!
Apalagi
jika mengacu pada Pasal 28C ayat
(1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mengembangkan
diri dan mendapat pendidikan serta memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan.
Artinya, penyelenggarkan OSPEK secara independen juga merupakan bentuk kemerdekaan atau kebebasan berserikat dan berkumpul bagi
mahasiswa. Di kampus UNSOED, kebijakan pengambilalihan
OSPEK ini telah membuat mahasiswa beberapa fakultas tidak bisa menjalankan Ospek secara
independen. Kondisi ini terjadi di kampus ekonomi, Peternakan, FIB (Fakultas
Ilmu Budaya) dan beberapa kampus lainnya. Alhasil, di beberapa fakultas, para
panitia ospek melakukan berbagai macam bentuk protes kepada birokrasi kampus.
Protes ini adalah bentuk kekecewaan mahasiswa terhadap birokrasi kampus yang
telah membatasi ruang belajar mahasiswa.
Tak berhenti sampai
disitu, pada Agustus 2015, kawan-kawan mahasiswa Unsoed mendapatkan kabar bahwa
pada tahun 2016, OSPEK akan diisi oleh pihak TNI. Kabar inipun kembali
meresahkan mahasiswa Unsoed. Menurut mahasiswa, TNI dianggap akan membatasi
ruang demokrasi di kampus. Padahal, pada tahun 1998, mahasiswa telah berusaha
keras untuk menolak kehadiran TNI di dalam kampus, karena dianggap sebagai
bentuk pengekangan hak demokratis mahasiswa. Namun di tahun 2016, Jokowi-JK berupaya
untuk mengembalikan TNI masuk kedalam kampus. Kasus ini pun masih menjadi
perbincangan di kalangan mahasiswa.
PENGURANGAN KUOTA BIDIKMISI
Mulai masuk tahun ajaran baru 2015-2016, lagi-lagi
UNSOED mengeluarkan kebijakan yang merugikan pihak mahasiswa. Kebijakan
tersebut adalah pengurangan kuota bidikmisi Mahasiswa 2015. Secara kronologis, kejadian
tersebut terjadi pada hari jumat tanggal 18 september 2015. Pada
tanggal tersebut, 40 mahasiswa mendapat pemberitahuan dari UNSOED via SMS untuk
datang ke rektorat pada keesokan harinya. Oleh seorang pejabat Kampus (Kassubag
Akademik dan Evaluasi) Unsoed, diberitahukan kepada 40 Mahasiswa tersebut bahwa
bidikmisinya dicabut.
Menurut keterangan pejabat kampus tersebut,
kuota bidikmisi yang dibuat oleh UNSOED melebihi kuota yang diberikan oleh pusat
(KEMENRISTEKDIKTI). Jumlah Mahasiwa Bidikmisi angkatan 2015 adalah 615 orang
sedangkan kuota yang ditetapkan Dirjen dikti sebanyak 575 orang. Dalih tersebut
dijadikan Unsoed untuk melegitimasi pencabutan bidikmisi pada 40 orang
mahasiswa 2015.
Pemberitaan tersebut khususnya membawa kecemasan
bagi ke-40 mahasiswa. Hal ini karena menyangkut tentang bagaimana nasib
perkuliahan mereka kedepannya. Ditambah lagi tidak adanya kepastian hukum bagi
615 mahasiswa yang mendapatkan Bidikmisi tersebut. Kepastian hukum yang
dimaksud adalah SK penetapan bidikmisi. Dan dampaknya adalah terhambatnya
pemberian alokasi dana kepada 615 mahasiswa bidikmisi.
Padahal, jika mengacu
pada UU Nomor 12 tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi, setiap universitas
negeri harus memberikan kuota bidik misi sebanyak 20% dari jumlah mahasiswa
baru. Jika dilihat jumlah mahasiswa tahun 2015 sebanyak 4.519 orang, seharusnya
jumlah mahasiswa yang mendapatkan bidikmisi sebesar 909 mahasiswa. Akan tetapi
hingga akhir tahun 2015 masih belum terpenuhinya kuota bidikmisi sebanyak 20%
tersebut. Artinya, jika UNSOED tetap keukeuh
untuk mengurangi kuota bidikmisi mahasiswa 2015, sama saja UNSOED secara
sadar telah melakukan pengebirian terhadap hak katas pendidikan tinggi kepada
40 mahasiswa tersebut.
Permasalahan tersebut
telah menggerakkan mahasiswa untuk membuat petisi guna menolak kebijakan
pencabutan bidikmisi Unsoed 2015. Pada pertengahan 2015, kawan-kawan FMN
membuat petisi online yang bertujuan untuk menolak pencabutan bidikmisi
terhadap 40 mahasiswa Unsoed. Sebanyak 409 orang menandatangani petisi online
tersebut. Akhirnya pada Desember 2015, mahasiswa Unsoed mendapatkan kabar dari
Rektorat, bahwa pihak kampus tidak jadi mencabut beasiswa bagi 40 mahasiswa
Unsoed. Bahkan rektorat Unsoed akhirnya menambahkan kuota bidikmisi sebanyak 12
orang. Hal ini merupakan salah satu kemenangan kecil lainnya yang berhasil
diraih mahasiswa. Namun, kendati telah menambah kuota bidikmisinya, Unsoed
masih belum memenuhi syarat 20% kuota bidikmisi di Unsoed.
Apa yang harus kita refleksikan ?
Dari persoalan-persoalan
yang telah diangkat diatas, tentunya bukan sekedar uraian yang ditujukan untuk
mengungkap ”sisi buruk” UNSOED semata. Akan tetapi yang lebih utama adalah kita
mendudukan kembali, sejauh mana UNSOED telah memenuhi hak-hak mahasiswanya? Apakah
benar pihak mahasiswa kerap dirugikan oleh kebijakan yang dikeluarkan? Dan
apakah kita (mahasiswa UNSOED) pernah menjadi korban yang dirugikan oleh pihak
kampus?
Melalui
pertanyaan-pertanyaan tersebutlah yang bisa kita jadikan bahan refleksi tentang
sejauh mana pula kita mengerti akan hak kita sebagai mahasiswa. Adapun contoh
hak-hak tersebut seperti hak mengajukan kritik, hak meminta transparansi, hak
atas fasilitas yang layak hingga mendapat kebebasan dalam mimbar akademik. Dan
tentunya UNSOED sebagai institusi pendidikan tinggi tempat kita kuliah, sangat
berkewajiban untuk memenuhi setiap hak-hak peserta didiknya (tanpa terkecuali).
Justru melalui setiap momentum di tahun 2015
yang telah kita lewati, kita bisa memetik pembelajaran. Terutama dalam hal
sejauh mana upaya kita untuk dapat merebut hak kita ketika muncul kebijakan
yang merugikan kita. Melalui momentum pergantian tahun ini, mari merefleksikan
secara mendalam terkait capaian apa yang dapat kita raih dan hambatan apa yang
kita temui dalam usaha memperjuangkan hak kita. Adapun dengan mengingat kembali
persoalan-persoalan yang kita hadapi di tahun 2015, bisa menjadi cambuk bagi
kita untuk terus semangat dalam setiap usaha-usaha memperjuangkan hak kita
sebagai mahasiswa di tahun 2016. Selain itu, jangan lupa untuk intropeksi
terkait di titik mana kelemahan kita dalam upaya menuntut hak, dan hal-hal apa
yang membuat upaya kita belum bisa meraih capaian yang maksimal.
Patut digarisbawahi,
dengan memberanikan diri untuk mengkritik pihak kampus atas kebijakan yang
merugikan mahasiswa, secara tidak langsung telah menyelamatkan nama kampus kita
dari segala tindak penyelewengan kebijakan oleh pejabat kampus. Dengan
memperjuangkan hak kita, secara tidak langsung kita telah membantu meringankan
beban orang tua kita yang telah bekerja keras membiayai kuliah kita. Oleh
karena itu,mari kita terus mengawal, memblejeti dan menuntut setiap kebijakan
kampus yang merugikan pihak mahasiswa. Karena tidak menutup kemungkinan di
periode 2016 nanti, persoalan-persoalan yang berpotensi membawa kerugian di
pihak mahasiswa akan muncul kembali. Dan ketika persoalan-persoaln tersebut
benar-benar muncul, mari menghimpun diri dan berjuang bersama merebut hak-hak
kita !
Selamat Tahun Baru !!

Posting Komentar