Sekilas
Sejarah Hari HAM Sedunia
Hak asasi manusia dilatarbelakangi
berkemuknya perang Negara imperialis atau yang lebih dikenal dengan sebutan
Perang Dunia I dan II. HAM sendiri mulai dideklarasikan secara universal
melalui lembaga internasional oleh PBB. Deklarasi tesebut lebih dikenal dengan Universal Declaration of Human Right atau
deklarasi universal hak asasi manusia (DUHAM).
Ternyata dalam sejarah pengakuan hak asasi
manusia sudah lama ditetapkan dan diberlakukan oleh beberapa masyarakat
dibelahan dunia. Seperti, piagam madinah
yang dilaksanakan oleh umat Islam pada awal Abad ke VII. Isi piagam tersebut
adalah toleransi antar umat beragama dan persamaan hak manusia tanpa memandang kelas
budak ataupun majikan. Lalu diikuti, Magna
Charta atau Piagam Agung yang ditetapkan pada 15 Juni 1215 di Ingris yang
isinya adalah membatasi kesewenang-wenangan raja-tuan tanah dalam memungut pajak
kepada rakyat-kaum tani. Ada pula PETITION
OF RIGHTS yang ditetapkan pada tahun
1628 yang isinya penetapan pajak dan pungutan yang dilakukan oleh raja-tuan
tanah harus berdasarkan kesepakatan. Terakhir Bill of Rights yang ditetapkan tahun 1689 yang isinya bahwa setiap
orang berhak mengeluarkan pendapat, aspirasi, berorganisasi, dan penetapan
pajak harus berdasarkan undang-undang.
Sedangkan isi dari UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS yang dideklarasikan pada tanggal 10
Desember 1948, berisi tentang hak-hak
untuk:
Hidup;
Kemerdekaan dan keamanan badan; Diakui kepribadiannya; Memperoleh pengakuan
yang sama dengan orang lain menurut hukum untuk mendapat jaminan hokum dalam
perkara pidana, seperti diperiksa di muka umum, dianggap tidak bersalah kecuali
ada bukti yang sah; Masuk dan keluar wilayah suatu Negara; Mendapatkan asylum; Mendapatkan suatu kebangsaan;
Mendapatkan hak milik atas benda; Bebas mengutarakan pikiran dan perasaan;
Bebas memeluk agama; Mengeluarkan
pendapat; Berapat dan berkumpul; Mendapat jaminan sosial; Mendapatkan
pekerjaan; Berdagang; Mendapatkan pendidikan; Turut serta dalam gerakan
kebudayaan dalam masyarakat; Menikmati kesenian dan turut serta dalam kemajuan
keilmuan.[1]
Sejarah Pelanggaran HAM di Indonesia
Pada masa kolonial imperialisme Belanda dan fasis Jepang
menguasai seluruh kekayaan alam dan manusia Indonesia semenjak abad 17, sudah
pasti praktek pelanggaran hak asasi manusia sangat berat dilanggengkan. Karena
pada hakekatnya watak dasar imperialisme yang eksploitasi, ekspansif dan
akumulasi modal, senantiasa akan menjalankan penghisapan dan penindasan
terhadap rakyat-rakyat dunia di negara jajahannya maupun pada perkembangannya
di negara setengah jajahan seperti Indonesia saat ini. Seluruh kekayaan alam dimonopoli oleh kolonial
dengan tuan-tuan tanah/raja-raja lokal
untuk mobilisasi tanah dan hasil produksi petani untuk dijual di pasar
internasional. Selain mereka mendapat keuntungan dari monopoli hasil kekayaan
alam yang dirampas di Indonesia, kolonial juga lantas menggunakan rakyat
Indonesia menjadi tenaga-tenaga untuk bekerja secara paksa dalam perkebunan dan
industri kolonial imperialis Belanda. Kita mengenal di jaman Belanda sistem tanam paksa yang sangat menyiksa
dan mematikan bagi rakyat. Rakyat pribumi dipaksa untuk bekerja selama 66 hari
atau bahkan seumur hidupnya untuk mengikuti sistem tanam paksa yang seluruh
hasilnya dikuasai oleh Belanda. Demikian zaman kolonial fasis Jepang yang
menerapkan Sistem Romusha. Selain
rakyat disuruh bekerja untuk menghasilkan pangan bagi Jepang, rakyat juga
dimobilisasi sebagai tentara-tentara untuk berperang menghadapi imperialisme
blok Inggris, AS dalam perang dunia ke-2. Jelas saat Indonesia di bawah
kolonial imperialis Jepang dan fasis Jepang, telah melakukan pelanggaran HAM
berat dengan merampas seluruh kekayaan alam dan menjadikan masyarakat Indonesia
sebagai tenaga kerjanya yang diikuti dengan berbagai kekerasan yang menyebabkan
rakyat miskin, kelaparan, terserang penyakit hingga kematian.
Penindasan, kemiskinan dan kebodohan yang dijalankan
penjajah sudah pasti mendapatkan tentangan dengan perlawanan sengit dan militan
dari rakyat. Tanpa mengenal ampun, seluruh rakyat Indonesia mengempur kolonial
untuk dilenyapkan di Indonesia. Akan tetapi perkembangannya, penjajah kembali
bercongkol dalam bentuk baru (Neo-kolonialisme) di Indonesia yang ditandai
dengan pengkhianatan Hatta/Sjarir dalam konferensi meja bundar 1949. Rakyat
kembali dalam cengkraman penindasan imperialisme khususnya AS dan feodalisme
yang menjadikan Indonesia sebagai negeri setengah jajahan setengah feodal
hingga saat ini. Sesuai dengan perkembangan dunia, psca perang dunia ke-2. Di
bawah pemerintahan Soekarno, praktek feodalisme untuk menguasai hak ekonomi
rakyat khususnya atas tanah masih saja berlangsung. Penguasaan atas tanah baik
dalam bentuk perkebunan, pertambangan, ditujukan untuk melayani kepentingan
tuannya imperialis AS. Namun, karakter Soekarno yang nasionalis membuat
imperialis AS dan feodalisme terhambat untuk menguasai sepenuh-penuhnya
kekayaan alam dan mengeksploitasi rakyat Indonesia. Apalagi, saat itu kekuatan
unsur rakyat yang progresif terbilang besar yang konsisten melawan imperialis
AS dan feodalisme sebagai wujud menuntaskan revolusi agustus 1945.
Akan tetapi, ketika Soekarno jatuh dan pengambilan-alih
pemerintahan oleh Soeharto melalui rekayasa kekuasaan yang ditopang langsung
AS, pelanggaran HAM semakin berat dirasakan rakyat, dan nantinya selama 32 tahun Soeharto menjadi
rejim boneka setia imperialis AS. Bahkan saat pengambil-alihan pemerintahan
dari tangan Soekarno, Soeharto telah melakukan praktek pelanggaran HAM berat
yakni pembantaian kurang lebih 1,5 juta rakyat. Tujuan pembantaian massal ini
hanya ingin menghancurkan kekuatan rakyat yang konsisten menjalankan perjuangan
atas landreform sejati dan industri nasional. Akan tetapi hingga saat ini,
pembantaian massal yang merupakan pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh
Negara di bawah kuasa Soeharto tidak (akan) penah diakui oleh pemerintahan di
Indonesia hingga Rejim Jokowi-JK berkuasa saat ini.
Selain pembataian massal, praktek pelanggaran HAM semakin
dimasifkan oleh Soeharto. Perampasan dan monopoli tanah petani dijalankan
secara meluas untuk diserahkan pada kepentingan feodalisme dan imperialis AS.
Seluruh potensi Pertambangan semacam minyak, gas, emas dan sebagainya, turut
diserahkan kepada borjuasi besar komprador dan khususnya kepada imperialis AS
(PT. Freeport, Chevron, dll). Sementara praktek penindasan dan penghisapan
terhadap buruh tani dan tani miskin yang membuat penderitaan akut, menjadi
pelanggaran HAM atas ekonomi oleh Soeharto. Demikian klas buruh Indonesia
dijadikan sebagai pasar tenaga kerja murah bagi imperialis AS dan feodalisme
untuk mengembangkan industri manufaktur/rakitan di Indonesia. Sedangkan HAK atas budaya baik pendidikan dan kesehatan
dirampas dan kemudian dijadikan sebagai komoditas ibarat barang yang
dikomersialisasikan untuk memberikan keuntungan yang bsar bagi kekuasaannya dan
feodalisme khususnya bagi imperialis AS. Pembangunan ekonomi nasional yang
dikenal dengan program Repelita disandarkan pada investasi asing dan utang dari
imperialis AS.
Sedangkan secara politik, Soeharto kemudian memberangus atau
merampas Hak asasi manusia untuk memiliki kebebasan berpendapat, berkumpul dan
berorganisasi. Alhasil, organisasi yang berdiri di seluruh sektor rakyat hanya
serikat-serikat plat kuning. Sementara organisasi-organisasi rakyat diberangus
dengan tindasan fasisnya. Demikian
selama 32 tahun pemerintahan fasis Soeharto yang melanggengkan kekuasaan
fasisme terutama militer untuk menindas atau merampas seluruh HAM rakyat baik
secara ekonomi, politik, sosial dan budaya. Pasca kekuatan rakyat khususnya
mahasiswa bangkit menumbangkan kekuasaan 32 Tahun Seoharto yang dikenal dengan
sebutan gerakan reformasi 1998, setidaknya memberikan angin segar bagi kebebasan
rakyat yang meliputi pula orientasi penegakkan HAM maupun demokrasi bagi rakyat
Indonesia. Berbagai kebijakan diambil yang disebut-sebut untuk menegakkan HAM
baik secara ekonomi, politik, sosial dan budaya. Reformasi pemilihan langsung,
kebijakan otonomi daerah, pembentukan lembaga independen , melawan korupsi, dan sebagainya. Tapi
nyatanya, rejim ke rejim yang lahir semasa produk reformasi tidak jauh berbeda
dengan pemerintahan Soeharto. Mulai dari pemerintahan Habibie hingga Jokowi-Jk
saat ini, masih saja melanggengkan praktek pelanggaran-pelanggaran HAM yang
terus-menerus merampas hak-hak ekonomi, politik, sosial dan budaya.
Dalam masa kepemimpin Jokowi-JK
selama lebih setahun ini, Jokowi-JK telah memperlihatkan watak aslinya sebagai
rejim yang berwatak fasis dan anti penegakan HAM di Indonesia. Serentetan
kebijakan-kebijakan yang diambil hanya semakin memperburuk kehidupan rakyat
Indonesia. pencabutan dan pemotongan berbagai subsidi rakyat, BBM, TDL,
Pendidikan, maupun Kesehatan adalah bentuk nyata bahwa Jokowi-JK telah secara
terencana untuk merampas Hak hidup sejahtera dari rakyat Indonesia. Segala
skema ini sesunggunya bertujuan untuk membuktikan dirinya sebagai pelayan setia
dari imperialis AS dan feodalisme.
Pada perkembangannya, rejim Jokowi-JK juga terus melancarkan
program perampasan tanah dan upah terhadap kaum tani dan klas buruh yang
merupakan praktek nyata perampasan HAM atas ekonomi mayoritas rakyat Indonesia.
Pembangunan ekonomi yang digagas Jokowi-JK persis sama dengan masa Soeharto
yakni bersandarkan pada investasi asing dan utang luar negeri sebagai
manifestasi untuk melayani kepentingan imperialis AS untuk mengeksport
kapitalnya. Ini bisa dilihat dari RPJMN 2014 -2019 yang menjadi kredo pembangunan
nasional selama Jokowi-JK nanti menjabat. Jelas,sebagian besar pembiayaan yang
akan dijalankan bersadarkan pada investasi dan utang luar negeri. Contohnya; pembangunan infrastruktur semacam
bandara dan pelabuhan internasional, jalan, tol laut, waduk, Pembangkit
listrik, seluruhnya akan didanai investasi asing dan ULN. Dari megaproyek
infrastuktur ini negara telah memfasilitasi imperialis AS yang sedang krisis
untuk meraup keuntungan (Super-Profit). Ironinya, seluruh pembangunan
infrastuktur ini bukanlah untuk kemajuan pertanian rakyat atau mempunyai
orientasi industri nasional yang mandiri dan berdaulat, namun tentu ini akan
mengabdi pada kepentingan imperialis AS dan feodalisme.
Dalam
sektor perburuhan, rejim Jokowi-JK juga tidak pernah absen dalam menjalankan
skema penghisapan dan enindasan kepada klas buruh Indonesia. selama periode
kepemimpinannya ini, selain dari serentetan pencabutan dan pemotongan subsidi
untuk rakyat, problem BPJS kesehatan dan ketenagakerjaan juga merupakan
instrumen dari rejim untuk melakukan perampasan upah klas buruh Indonesia.
dalam hal ini, skema BPJS sejatinya adalah bentuk lain dari asuransi yang
dilegalkan dan dijalankan langsung oleh negara. Pemerintah melakukan pemerasan
dan pemaksaan kepada rakyat, khususnya klas buruh untuk diperas melalui skema
iuran wajib untuk jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan. Hal ini menyebabkan
klas burug Indonesia yang hari ini upahnya masih sangat rendah semakin
terhimpit dan terjepit karena perampasan upah ini.
Selain
itu, belum lama rejim Jokowi-JK kembali melakukan bentuk perampasan HAM ekonomi
kepada buruh Indonesia dengan politik upah murah melalui kebijakan PP No 78
Tahun 2015 Tentang Pengupahan (PP Pengupahan). PP Pengupahan merupakan pukulan
telak bagi klas buruh Indonesia. Pasalnya semenjak masih menjadi RPP
Pengupahan, gelombang protes dan penolakan sudah terjadi dimana-mana, dan
bahkan tidak hanya dilakukan klas buruh, namun seluruh rakyat Indonesia,
termasuk pemuda mahasiswa. Perjuangan atas penolakan PP Pengupahan dilakukan
akibat kebijakan ini semakin mempraktekkan politik upah murah yang akan semakin
memiskinkan klas buruh.
Setali tiga uang dengan sektor tani dan buruh, pemuda
mahasiswa juga tidak luput dari praktek menghilangkan HAM yang dilakukan oleh
rejim Jokowi-JK. Dalam hal ini permasalahan pokoknya adalah aspek pendidikan
dan lapangan pekerjaan. Pendidikan yang merupakan hak asasi manusia di bidang
kebudayaan malah tetap dirampas Jokowi-JK melalui praktek komersialisasi,
liberalisasi dan privatisasi. Khusus untuk pendidikan tinggi Jokowi-JK tetap
menjalankan UU PT sebagai payung hukum tertinggi yang mengatur pendidikan
tinggi di Indonesia. bahkan, rejim Jokowi-JK terus menunjukan dirinya sebagai
rejim yang yang memerosotkan rakyatnya dengan terus menaikan biaya kuliah
melalui sistem biaya kuliah di swasta maupun
di universitas negeri.
Jokowi-JK tidak segan-segan pula melakukan tindasan keji berupa
represifitas yang menunjukan watak fasis dan anti penegakkan HAM. Tercatat oleh AGRA
setidaknya belum genap satu tahun pemerintahan Jokowi-JK,
sudah 89 orang petani ditangkap dan 52 orang di antaranya dikriminalisasikan,
29 orang mengalami kekerasan, dan 3 orang meninggal ditembak. Ini merupakan bukti nyata pengabdiannya
rejim Jokowi-JK kepada imperialis AS, tuan tanah besar dan kapitalis birokrat. Usaha intimidasi dan fasisme terus dilakukan di desa-desa melalui
program babinsa atau tentara masuk desa yang disebut-sebut untuk menyukseskan
reforma agraria dan kedaulatan pangan di Indonesia. kebijakan TNI masuk ke
desa, sama halnya mengingatkan kita kembali kepada zaman rejim fasis Soeharto.
TNI dijadikan sebagai alat reaksioner negara untuk memastikan perampasan dan
monopoli tanah berjalan serta menghancurkan kebebasan berekspresi dan
berorganisasi bagi gerakan tani di pedesaan.
Demikian pula di kawasan-kawasan industry, pemerintahan jokowi semakin
meningkatkan pengamanan TNI untuk membendung aksi-aksi protes maupun gerakan
buruh yang telah sadar dan bangkit atas penindasan dan penghisapan yang
dilanggengkan Jokowi.
Selain itu, rejim Jokowi-JK juga tidak segan merenggut nyawa
rakyat Indonesia. seperti yang menimpa kawan Salim Kancil seorang aktivis Tani
dari Lumajang Jawa Timur yang meninggal akibat tindakan fasis rejim. Sebelumnya
Salim kancil bersama kaum tani lainnya secara masif melakukan kampanye
penolakan pertambangan di desanya. Mereka menganggap bahwa pertambangan
tersebut akan merusak lingkungan serta mengancam terampasnya tanah kaum tani.
Namun salim kancil harus dibunuh (26/09) secara mengenaskan oleh sejumlah preman
suruhan pertambangan. Berdasarkan paparan istrinya, Salim Kancil dijemput dari
rumahnya secara paksa yang disertai pemukulan, pembacokan yang dilakukan
sejumlah preman. Kemudian Salim kancil yang di bawah ke balai desa, terus
mengalami kekerasaan. Di balai desa Salim disetrum secara kejam, yang pada
akhirnya Salim Kancil harus menghembuskan nafas terakhir.[2]
Selanjutnya rejim Jokowi-JK melakukan manuver fasisnya
dengan membuat program Bela Negara. Program bela negara ini akan dikategorikan
menjadi 3 jenis. Pertama, kader
pembina yang dilatih selama 1 bulan di markas-markas TNI yang akan mendapatkan
materi bela negara dan cinta tanah air yang meliputi nilai-nilai kebangsaan,
wawasan nusantara dan tentang pertahanan. Kader pembina ini nantinya akan
menjadi team sosialisasi untuk
mentransformasi nilai-nilai dokrinisasi militer di tengah rakyat
Indonesia. Kedua, adalah kader bela
negara. Peserta program akan dilatih selama satu minggu. Kader ini diharapkan
mampu memahami, mengerti dan mengimplementasikan nilai bela negara dalam
kehidupan sehari hari. Untuk kader dengan kategori ini, peserta diajarkan
tentang konsep bela negara untuk dirinya sendiri dan mensosialisasikan kepada
orang lain. Sedangkan kategori ketiga,
yakni kader muda bela negara. Kader muda akan mendapat pelatihan selama tiga
hari. Waktu yang lebih sedikit akan memberikan kemudahan bagi peserta program
yang memiliki aktivitas penting lain, misalnya pelajar yang masih bersekolah.
Program ini tentunya menjadi cerminan bagaimana rejim
Jokowi-JK terus melakukan upaya kanalisasi dan melakukan upaya benturan
horizontal anatara sesama rakyat. program bela negara sebenarnya adalah upaya
untuk menanamkan kebencian pada aktivitas rakyat yang semakin masif untuk
melakukan perlawanan pada seluruh kebijakan rejim yang hanya menghisap dan
menindas ke depannya. Bela Negara melalui pendidikan wajib milter yang
diberikan kepada seluruh rakyat menjadi wujud nyata rejim boneka Jokowi-JK bukanlah pemerintahan yang demokratis dan
melindungi HAM di Indonesia, akan tetapi dirinya adalah rejim fasisme yang
tentu akan menguatkan militer juga untuk menindas rakyat guna melanggengkan
kepentingan imperialis AS dan feodalisme di Indonesia.
Beberapa Kasus Pelanggaran HAM di Banyumas
Sejarah pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh pemerintah Pusat sebagai rezim boneka yang menabdika dirinya
pada Imperialisme AS sebagaimana dipaparkan diatas selalu beragam macamnya dari
pelanggaran hak atas pekerjaan layak dijawab dengan upah murah dan tidak ada
jaminan pekerjaan yang layak, hak atas tanah yang dijawab dengan perampasan
tanah, hak atas kebebasan berpendapat dan berorganisasi dijawab dengan
pelarangan dan tindakan pengekangan, hak ata rasa aman yang juga dijawab dengan
tindakan-tindakan yang tidak membawa rasa aman, bahkan melakukan upaya-upaya
kekerasa melalui alat negaranya, yaitu TNI dan Polri. Dari bentuknya yang
beragam sebagaimana telah dipaparkan diatas tidak luput dari watak asli dari
rezim yang membawa watak dari Imperalisme sebagai tuannya, yaitu watak fasisme
yang selalu ditunjukkan kepada rakyat untuk selalu melakukan upaya-upaya
represifitas terhadap rakyat dan gerakan-gerakan rakyat untuk menolak segala
bentuk monopoli yang dilakukan oleh Imperialisem, Feodalisme dan Kapitalis
Birokrat.
Skema pengabdian dari rezim hari ini
kepada tuannya Imperialisme AS juga terwujud dari paradigma pembangunan ekonomi
yang terejawantahkan didalam MP3EI, dimana didalam skema pembangunan yang ada
di dalam MP3EI salah satunya adalah terkait dengan pembagian koridor-koridor
ekonomi. Dimana hal ini juga berdampak pada proses pembangunan di daerah yang
tentunya tidak terlepas dari konsep pembangunan yang dibawa oleh MP3EI, dan
juga akan melakukan skema pembangunan a la MP3EI juga, dimana selalu melakukan
perampasan-perampasan tanah rakyat untuk kepentingan pembangunan yang
menguntungkan bagi para pemodal besar, yang mana itu juga adalah pelanggaran
HAM.
Dari data Komnas HAM, bahwa
Pemerintah Daerah menjadi aktor ketiga paling banyak melakukan pelanggaran HAM.[3]
Hal tersebut tidak lepas dari watak pemerintah baik di pusat maupun didaerah
yang sama-sama merupakan kapitalis birokrat yang mengabdikan dirinya pada
kepentingan borjuasi komprador dan tuan tanah-tuan tanah besar, dan melakukan
pelanggaran-pelanggaran hak rakyat.
Praktek pelanggaran HAM di daerah,
khsuusnya di Banyumas, tidak lepas dari skema-skema pembangunan di
daerah-daerah yang juga terintegrasi secara nasional lewat MP3EI, dimana
pemerintah daerah akan selalu menjadi kepanjangan tangan dari pemerintah pusat
yang sama-sama sebagai kapitalis birokrat dan selalu menjadi boneka dari
kepentingan borjuasi komprador dan tuan-tuan tanah besar. Sehingga
tindasan-tindasan terhadap rakyat adalah menjadi keharus yang akan selalu
dilakukan demi memenuhi kepentingan tuannya yaitu pemenuhan upah yang murah
untuk buruh dan tanah-tanah untuk pembangunan, dari hal tersebutlah pemerintah
selalu melakukan perampasa-perampasan hak-hak rakyat mulai dari hak atas tanah,
hak atas hidup yang layak, sampai pada hak untuk berorganisasi dan berpendapat
selalu mendapatkan pelanggaran yang tidak lain dan tidak bukan pelaku untamanya
adalah para kapitalis birokrat lewat apatarur negaranya sebagai bentuk
pengabdiannya kepada tuannya, Imperialisme AS.
Berikut adalah beberapa hal
pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Pemeritah Daerah terhadap
rakyat Banyumas, mulai dari Hak atas tanah sampai hak untuk berorganisasi:
1. Konflik Agraria Darmakradenan
Pada
tahun 1890-an. di era kolonial Belanda, pemerintah kolonial menerapkan pajak
yang begitu tinggi kepada warga Darmakradenan. Pajak yang diberlakukan berupa
pajak tanah sebesar 30sen per 7000m2. Pajak yang tinggi itu menyebabkan rakyat
tidak mampu membayar pajak, karena bahkan pajak tersebut lebih besar daripada
penghasilan rakyat itu sendiri. Akhirnya seorang pengusaha Belanda bernama
Maryon memanfaatkan hal ini untuk menguasai tanah di sana melalui hak
erfpacht[2],
selama 75 tahun seluas 230,10 Ha pada 15 Juli 1892. Kemudian pada 1930-an
perkebunan tersebut diserahkan pengelolaannya kepada Babah Thong Pho dalam
naungan perusahaan Thing Pho & Co dan kemudian diserahkan lagi ke pihak
lain bernama Tan Giok Kien.
Peristiwa pembunuhan massal dan teror 1965 yang diperintahkan oleh Soeharto
menimbulkan Tan Giok Kien melarikan diri, karena SARBUPRI, organisasi buruh
yang bekerja di perkebunannya “dibubarkan” oleh TNI. Kolonel Ngaspin dari Kodam
Diponegoro memanfaatkan hal ini untuk melakukan pengamanan atas lahan tersebut.
Kemudian pada 1967, Yayasan Rumpun Diponegoro, suatu unit bisnis bentukan Kodam
Diponegoro membentuk PT. Rumpun untuk mengoperasikan lahan di Darmakreadenan.
Pada tahun 1980 PT. Rumpun berubah menjadi PT. Rumpun Antan. Sampai pada 1990
PT.Rumpun Antan bekerjasama dengan PT. Astro Agro Niaga dengan pembagian saham
masing-masing 40% untuk PT. Rumpun Antan dan 60% untuk PT. Astro Niaga, dan
mengubah nama menjadi PT. Rumpun Sari Antan. Adapun PT. Rumpun Sari Antan masih
eksis sampai sekarang, dan memliki sertifikat HGU (Hak Guna Usaha) sebagai
tanda bukti hak sampai tahun 2018.
Pada 1998, berdiri sebuah organisasi tani bernama Setan
Ampera (Serikat Tani Amanat Penderitaan Rakyat). Beberapa kali Stan Ampera
melakukan kampanye dan bentrok untuk merebut kembali (reclaiming) lahan. Salah satu capaian tertinggi Stan Ampera ialah
memperoleh lahan hingga menyisakan bagi PT. RSA hanya sekitar 20 hektar. Akan
tetapi kemudian pada September 2014 pada Insiden Hotel Horison, Stan Ampera
dijebak dan membuat dipaksa kesepakatan agar hanya mengelola 110 hektar di area
yang curam. Saat ini Stan Ampera sedang membenahi ulang organisasi, dimulai
dengan restrukturisasi pimpinan-pimpinannya, yang dibantu oleh AGRA Jateng.
Sebagaimana kita ketahui bahwa tanah
adalah menjadi ha katas rakyat, khusunya petani (diatur dalam UU No. 13 Tahun
2003 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani), akan tetapi yang dilakukan
oleh Pemerintah Daerah tidak ada itikad baik untuk memberikan jaminan atas
bertani kepada para petani Darmakradenan, bahkan membiarkan dan melakukan
perampasan ha katas tanah dengan tetap membelakukan ijin HGU dari PT. RSA.
2. PKL
Alun-Alun
Pada Mei 2015, FMN
berkorespondensi dengan Lusi dari PKL Alun-Alun, dan mendapat beberapa
informasi tentang penggusuran PKL Alun-Alun. Semenjak Husein memerintah
Kabupaten Banyumas, Alun-Alun dijadikan kawasan anti PKL. Namun karena
banyaknya orang yang ingin berdagang di sana, maka meskipun secara aturan masih
dilarang, PKL boleh berjualan di area barat. Sepenuturan Lusi, beberapa kali
PKL kerap mengalami adu mulut hingga bentrok melawan Satpol PP. Bentrokan
terbaru terjadi pada 15 Juli 2015, tepat dua hari
sebelum hari raya Idul Fitri. Bupati
Banyumas melalui Satpol PP nya melakukan tindakan represif, yaitu melakukan penggusuran secara paksa terhadap para
PKL yang sedang berjualan di sekitar Alun-alun Purwokerto. Tindakan keji dan
amoral ini dilakukan sekitar pukul 19:00, setelah adzan Maghrib berkumandang di
kota Banyumas. Sekitar 15 orang Satpol PP dengan sewenang-wenang
datang dan memaksa PKL untuk membubarkan diri. Satpol PP diperintahkan oleh
Bupati Banyumas untuk menggusur para PKL karena melanggar Perda
tentang Tata kota,
dan mengganggu keindahan Alun-Alun.
Dari pemaparan tersebut dapat dilihat bahwa sebenarnya
di Kabupaten Banyumas sendiri tidak ada jaminan pekerjaan yang layak, sehingga
para pedagang rela untuk terus digusur agar bisa mendapatkan penghasilan yang
dapat memnuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini adalah bentuk dari tidak adan jaminan
pelindungan HAM mengenai jaminan kehidupan dan pekerjaan yang layak. Selain itu
juga pemerintah daerah terus melakukan upaya-upaya represifitas dan
penggusuran, bahkan tindakan pemukulan
terhadap PKL di daerah Alun-Alun, tindakan tersebut jelaslah
bertentangan dengan hak rakyat untuk mendapatkan rasa aman.
3. Pabrik Semen Ajibarang
\ PT Sinar Tambang
Arthalestari (STAR), produsen Semen Bima, meresmikan unit pabriknya, di
Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah. Pabrik ini mulai dibangun pada 2012 dan akan
selesai pada Oktober 2015. Pada Mei 2015, terjadi protes dari masyarakat desa
sekitar pabrik yang menuntut penyerapan tenaga kerja lokal, fasilitas air
bersih, dan pengaspalan. Saat ini, masyarakat desa di sekitar pabrik sedang
melakukan konsolidasi untuk menyikapi pabrik semen ini. Pemilik perusahaan ini
adalah Suwandi Bing Andi.
Permasalahan
yang terjadi dengan keberadaan dari pabrik ini adalah beragam dari mulai
permasalahan lingkungan, ketenagakerjaan, masalah kesehatan sampai dengan
masalah konflik agrarian.
Permaslahan
lingkungan dan masalah kesehatan yang diakibatkan keberadaan pabrik semen di
Desa Darmakradenan karena pembangunan pabrik semen akan berdampak kepada
kerusakan lingkungan, sehingga di Desa Darmakradenan oleh masyarakat yang
peduli akan masalah dibentuk suatu gerakan masyarakat yang berorientasi pada
pelestarian lingkungan yaitu, Masyarakat Pecinta Lingkungan (MPL
Darmakradenan). Selain itu keberadaan pabrik semen yang dekat dengan rumah
sakit, juga mendapat penolakan karena mengganggu aktivitas dari pelayanan rumah
sakit yang berada di daerah sekita pabrik.
Masalah yang
lain adalah masalah ketenagakerjaan, yaitu ketika diawal pembangunannya,
perusahan menjanjikan akan mengutamakan pekerja-pekerja lokal yang berada
disekitar pabrik semen. Bahkan telah ada MoU yang berisi tentang kemudahan
untuk mendaftar menjadi pekerja di pabrik semen Bima tanpa syarat. Namun
berjalannya waktu, masyarakat yang ada disekitar pabrik semen tidak diutamakan
untuk menjadi pegawai atau pekerja di pabrik semen Bima tersebut, sehingga
beberapa kali warga masyarakat pernah melakukan aksi untuk menuntut janji
perusahaan yang akan mengutamakan pekerj-pekerja lokal.
Dari apa yang
dijelaskan diatas dapat dilihat banyaknya bentuk pelanggaran-pelanggaran HAM
rakyat, mulai dari perampasan tanah rakyat, kemudian juga tidak adanya jaminan
yang diberikan oleh Pemerintah Banyumas kepada warga sekitar Pabrik Semen
sehingga harus menuntut bekerja di Perusahaan yang telah merampas tanaha
mereka.
4. Insiden Sekber 65
Sekber 65 adalah perhimpunan keluarga korban 65. Kebanyakan dari mereka beranggotakan orang-orang yang sudah lansia. Pada 9 Agustus 2015, Sekber 65 hendak menyelenggarakan acara sosialisasi BPJS yang dibantu oleh LPSK dan Komnas HAM di Pendopo Si Panji. Namun di hari yang sama, pada pagi hari, sekitar 150 orang mendatangi Pendopo Si Panji untuk membubarkan acara Sekber 65. Menurut sepenuturan Kesbangpol tidak jelas identitasnya. namun insiden itu dipimpin oleh Satpol PP. Kelompok ini kemudian membuat “Deklarasi Banyumas Menolak Komunisme Gaya Baru”. Acara Sekber 65 pun akhirnya mau tidak mau dihentikan.
Tidak adanya jaminan kebebasan
berpendapat dan berorganisasi yang diberikan kepada warga Banyumas oleh
Pemerintah Daerah Banyumas menjadikan kasus seperti diatas dapat terjadi.
5. Pungli di Sekolah
Beberapa sekolah negeri di Purwokerto mewajibkan calon siswa barunya membayar sumbangan dana pengembangan pendidikan Rp 5 juta, SPP bulan pertama Rp 250 ribu dan uang seragam Rp 825 ribu. Sumbangan tersebut harus dibayarkan dalam waktu yang sudah ditetapkan pihak sekolah. Jika tidak dapat memenuhinya, maka calon siswa tersebut dinyatakan gugur dan akan digantikan calon siswa la in. Kedok yang paling umum adalah alasan penambahan gedung, ruang belajar, sarpras dan sebagainya.Ombudsman Jateng-DIY menyatakan bahwa hal tersebut merupakan pungli.
Kasus seperti diatas merupakan wujud dimana tidak ada jaminan pendidikan yang layak, yang padahal oleh undang-undang sudah ditetapka mengenai anggaran minimal 20% untuk pembiayaan pendidikan baik di pusat maupun didaerah (APBD). Hal iin menunjukkan tidak diwujudkannya anggaran minimal 20% untuk pendidikan di daerah, Banyumas khususnya sehingga pelajarlah yang harus membayar melalui pungutan liar untuk dapat memenuhi kebutuhan yang diharuskan oleh pihak sekolah. Hal tersebut tentu adalah pelanggaran HAM sebagaimana telah diatur di dalam UUD 1945 mengenai hak untuk mendapat pendidikan. Akan tetapi kenyataannya, bahwa pendidikan seolah menjadi barang yang diperdagangkan tanpa memperhatikan apakah pendidikan merupakan haka tau bukan. Menjaid jelas bahwa disektor pendidikan juga Pemerintah Banyumas tidak memeberikan jaminan perlindungan HAM anak-anak Banyumas untuk dapat mengakses pendidikan.
5. Pungli di Sekolah
Beberapa sekolah negeri di Purwokerto mewajibkan calon siswa barunya membayar sumbangan dana pengembangan pendidikan Rp 5 juta, SPP bulan pertama Rp 250 ribu dan uang seragam Rp 825 ribu. Sumbangan tersebut harus dibayarkan dalam waktu yang sudah ditetapkan pihak sekolah. Jika tidak dapat memenuhinya, maka calon siswa tersebut dinyatakan gugur dan akan digantikan calon siswa la in. Kedok yang paling umum adalah alasan penambahan gedung, ruang belajar, sarpras dan sebagainya.Ombudsman Jateng-DIY menyatakan bahwa hal tersebut merupakan pungli.
Kasus seperti diatas merupakan wujud dimana tidak ada jaminan pendidikan yang layak, yang padahal oleh undang-undang sudah ditetapka mengenai anggaran minimal 20% untuk pembiayaan pendidikan baik di pusat maupun didaerah (APBD). Hal iin menunjukkan tidak diwujudkannya anggaran minimal 20% untuk pendidikan di daerah, Banyumas khususnya sehingga pelajarlah yang harus membayar melalui pungutan liar untuk dapat memenuhi kebutuhan yang diharuskan oleh pihak sekolah. Hal tersebut tentu adalah pelanggaran HAM sebagaimana telah diatur di dalam UUD 1945 mengenai hak untuk mendapat pendidikan. Akan tetapi kenyataannya, bahwa pendidikan seolah menjadi barang yang diperdagangkan tanpa memperhatikan apakah pendidikan merupakan haka tau bukan. Menjaid jelas bahwa disektor pendidikan juga Pemerintah Banyumas tidak memeberikan jaminan perlindungan HAM anak-anak Banyumas untuk dapat mengakses pendidikan.
Dan banyak kasus-kasus pelanggaran lainnya disektor buruh, tani, pendidikan dan bahkan masalah-masalah pelanggaran rakyat disektor rakyat lainnya merupakan hal yang tidak terlepas dari problem yang dialami rakyat, dimana pemerintah daerah pun menjadi aktor yang tidak pernah mencoba menjawab problem pelanggaran HAM mulai dari pemenuhan hak atas tanah, hak atas pekerjaan yang layak, hak atas pendidikan bagi anak-anak Banyumas, dan bahkan hak untuk berpendapat dan berorganisasi.
Hal ini dapat dilihat dari tidak
digubrisnya tuntutan-tuntutan rakyat Banyumas ketika melakukan aksi ke Kantor
Pemerintahan Daerah sampai beberapa kali untuk menuntut hak rakyat (Hak atas
tanah – Kasus Darmakradenan). Pemerintah Daerah malah enggan menemui rakyat
Banyumas yang melakukan aksi untuk menuntut haknya yang belum terpenuhi dan
bahkan dilanggar oleh pihak-pihak tertentu.
Materi disampaikan untuk Materi Diskusi Hari HAM Internasional oleh FMN Cabang Purwokerto, Minggu 6 Desember 2015.
[1] Declaration
of human rights. United Nation. December 10, 1948.
[2] http://www.pp-frontmahasiswanasional.org/2015/09/pernyataan-sikap-pp-fmn-kematian-salim.html.
diakses pada 23 Nopember 2015. Pukul 16.46 Wib.
[3] http://www.radarbanyumas.co.id/pemda-pelanggar-ham-nomor-tiga/, diakses pada 4 Desember 2015.

http://www.soearamassa.com/2015/12/beberapa-kasus-pelanggaran-ham-di.html
BalasHapus