BREAKING NEWS

Jumat, Desember 04, 2015

Beberapa Kasus Pelanggaran HAM di Banyumas


Sekilas Sejarah Hari HAM Sedunia
Hak asasi manusia dilatarbelakangi berkemuknya perang Negara imperialis atau yang lebih dikenal dengan sebutan Perang Dunia I dan II. HAM sendiri mulai dideklarasikan secara universal melalui lembaga internasional oleh PBB. Deklarasi tesebut lebih dikenal dengan Universal Declaration of Human Right atau deklarasi universal hak asasi manusia (DUHAM).
 Ternyata dalam sejarah pengakuan hak asasi manusia sudah lama ditetapkan dan diberlakukan oleh beberapa masyarakat dibelahan dunia.  Seperti, piagam madinah yang dilaksanakan oleh umat Islam pada awal Abad ke VII. Isi piagam tersebut adalah toleransi antar umat beragama dan persamaan hak manusia tanpa memandang kelas budak ataupun majikan. Lalu diikuti, Magna Charta atau Piagam Agung yang ditetapkan pada 15 Juni 1215 di Ingris yang isinya adalah membatasi kesewenang-wenangan raja-tuan tanah dalam memungut pajak kepada rakyat-kaum tani. Ada pula PETITION OF RIGHTS  yang ditetapkan pada tahun 1628 yang isinya penetapan pajak dan pungutan yang dilakukan oleh raja-tuan tanah harus berdasarkan kesepakatan. Terakhir Bill of Rights yang ditetapkan tahun 1689 yang isinya bahwa setiap orang berhak mengeluarkan pendapat, aspirasi, berorganisasi, dan penetapan pajak harus berdasarkan undang-undang.
Sedangkan isi dari UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS  yang dideklarasikan pada tanggal 10 Desember 1948, berisi tentang  hak-hak untuk:
Hidup; Kemerdekaan dan keamanan badan; Diakui kepribadiannya; Memperoleh pengakuan yang sama dengan orang lain menurut hukum untuk mendapat jaminan hokum dalam perkara pidana, seperti diperiksa di muka umum, dianggap tidak bersalah kecuali ada bukti yang sah; Masuk dan keluar wilayah suatu Negara; Mendapatkan asylum; Mendapatkan suatu kebangsaan; Mendapatkan hak milik atas benda; Bebas mengutarakan pikiran dan perasaan; Bebas memeluk agama; Mengeluarkan pendapat; Berapat dan berkumpul; Mendapat jaminan sosial; Mendapatkan pekerjaan; Berdagang; Mendapatkan pendidikan; Turut serta dalam gerakan kebudayaan dalam masyarakat; Menikmati kesenian dan turut serta dalam kemajuan keilmuan.[1]

Sejarah Pelanggaran HAM di Indonesia
Pada masa kolonial imperialisme Belanda dan fasis Jepang menguasai seluruh kekayaan alam dan manusia Indonesia semenjak abad 17, sudah pasti praktek pelanggaran hak asasi manusia sangat berat dilanggengkan. Karena pada hakekatnya watak dasar imperialisme yang eksploitasi, ekspansif dan akumulasi modal, senantiasa akan menjalankan penghisapan dan penindasan terhadap rakyat-rakyat dunia di negara jajahannya maupun pada perkembangannya di negara setengah jajahan seperti Indonesia saat ini.  Seluruh kekayaan alam dimonopoli oleh kolonial dengan  tuan-tuan tanah/raja-raja lokal untuk mobilisasi tanah dan hasil produksi petani untuk dijual di pasar internasional. Selain mereka mendapat keuntungan dari monopoli hasil kekayaan alam yang dirampas di Indonesia, kolonial juga lantas menggunakan rakyat Indonesia menjadi tenaga-tenaga untuk bekerja secara paksa dalam perkebunan dan industri kolonial imperialis Belanda. Kita mengenal di jaman Belanda sistem tanam paksa yang sangat menyiksa dan mematikan bagi rakyat. Rakyat pribumi dipaksa untuk bekerja selama 66 hari atau bahkan seumur hidupnya untuk mengikuti sistem tanam paksa yang seluruh hasilnya dikuasai oleh Belanda. Demikian zaman kolonial fasis Jepang yang menerapkan Sistem Romusha. Selain rakyat disuruh bekerja untuk menghasilkan pangan bagi Jepang, rakyat juga dimobilisasi sebagai tentara-tentara untuk berperang menghadapi imperialisme blok Inggris, AS dalam perang dunia ke-2. Jelas saat Indonesia di bawah kolonial imperialis Jepang dan fasis Jepang, telah melakukan pelanggaran HAM berat dengan merampas seluruh kekayaan alam dan menjadikan masyarakat Indonesia sebagai tenaga kerjanya yang diikuti dengan berbagai kekerasan yang menyebabkan rakyat miskin, kelaparan, terserang penyakit hingga kematian.
Penindasan, kemiskinan dan kebodohan yang dijalankan penjajah sudah pasti mendapatkan tentangan dengan perlawanan sengit dan militan dari rakyat. Tanpa mengenal ampun, seluruh rakyat Indonesia mengempur kolonial untuk dilenyapkan di Indonesia. Akan tetapi perkembangannya, penjajah kembali bercongkol dalam bentuk baru (Neo-kolonialisme) di Indonesia yang ditandai dengan pengkhianatan Hatta/Sjarir dalam konferensi meja bundar 1949. Rakyat kembali dalam cengkraman penindasan imperialisme khususnya AS dan feodalisme yang menjadikan Indonesia sebagai negeri setengah jajahan setengah feodal hingga saat ini. Sesuai dengan perkembangan dunia, psca perang dunia ke-2. Di bawah pemerintahan Soekarno, praktek feodalisme untuk menguasai hak ekonomi rakyat khususnya atas tanah masih saja berlangsung. Penguasaan atas tanah baik dalam bentuk perkebunan, pertambangan, ditujukan untuk melayani kepentingan tuannya imperialis AS. Namun, karakter Soekarno yang nasionalis membuat imperialis AS dan feodalisme terhambat untuk menguasai sepenuh-penuhnya kekayaan alam dan mengeksploitasi rakyat Indonesia. Apalagi, saat itu kekuatan unsur rakyat yang progresif terbilang besar yang konsisten melawan imperialis AS dan feodalisme sebagai wujud menuntaskan revolusi agustus 1945.
Akan tetapi, ketika Soekarno jatuh dan pengambilan-alih pemerintahan oleh Soeharto melalui rekayasa kekuasaan yang ditopang langsung AS, pelanggaran HAM semakin berat dirasakan rakyat, dan  nantinya selama 32 tahun Soeharto menjadi rejim boneka setia imperialis AS. Bahkan saat pengambil-alihan pemerintahan dari tangan Soekarno, Soeharto telah melakukan praktek pelanggaran HAM berat yakni pembantaian kurang lebih 1,5 juta rakyat. Tujuan pembantaian massal ini hanya ingin menghancurkan kekuatan rakyat yang konsisten menjalankan perjuangan atas landreform sejati dan industri nasional. Akan tetapi hingga saat ini, pembantaian massal yang merupakan pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh Negara di bawah kuasa Soeharto tidak (akan) penah diakui oleh pemerintahan di Indonesia hingga Rejim Jokowi-JK berkuasa saat ini.
Selain pembataian massal, praktek pelanggaran HAM semakin dimasifkan oleh Soeharto. Perampasan dan monopoli tanah petani dijalankan secara meluas untuk diserahkan pada kepentingan feodalisme dan imperialis AS. Seluruh potensi Pertambangan semacam minyak, gas, emas dan sebagainya, turut diserahkan kepada borjuasi besar komprador dan khususnya kepada imperialis AS (PT. Freeport, Chevron, dll). Sementara praktek penindasan dan penghisapan terhadap buruh tani dan tani miskin yang membuat penderitaan akut, menjadi pelanggaran HAM atas ekonomi oleh Soeharto. Demikian klas buruh Indonesia dijadikan sebagai pasar tenaga kerja murah bagi imperialis AS dan feodalisme untuk mengembangkan industri manufaktur/rakitan di Indonesia. Sedangkan  HAK atas budaya baik pendidikan dan kesehatan dirampas dan kemudian dijadikan sebagai komoditas ibarat barang yang dikomersialisasikan untuk memberikan keuntungan yang bsar bagi kekuasaannya dan feodalisme khususnya bagi imperialis AS. Pembangunan ekonomi nasional yang dikenal dengan program Repelita disandarkan pada investasi asing dan utang dari imperialis AS.
Sedangkan secara politik, Soeharto kemudian memberangus atau merampas Hak asasi manusia untuk memiliki kebebasan berpendapat, berkumpul dan berorganisasi. Alhasil, organisasi yang berdiri di seluruh sektor rakyat hanya serikat-serikat plat kuning. Sementara organisasi-organisasi rakyat diberangus dengan tindasan fasisnya.  Demikian selama 32 tahun pemerintahan fasis Soeharto yang melanggengkan kekuasaan fasisme terutama militer untuk menindas atau merampas seluruh HAM rakyat baik secara ekonomi, politik, sosial dan budaya. Pasca kekuatan rakyat khususnya mahasiswa bangkit menumbangkan kekuasaan 32 Tahun Seoharto yang dikenal dengan sebutan gerakan reformasi 1998, setidaknya memberikan angin segar bagi kebebasan rakyat yang meliputi pula orientasi penegakkan HAM maupun demokrasi bagi rakyat Indonesia. Berbagai kebijakan diambil yang disebut-sebut untuk menegakkan HAM baik secara ekonomi, politik, sosial dan budaya. Reformasi pemilihan langsung, kebijakan otonomi daerah, pembentukan lembaga independen  , melawan korupsi, dan sebagainya. Tapi nyatanya, rejim ke rejim yang lahir semasa produk reformasi tidak jauh berbeda dengan pemerintahan Soeharto. Mulai dari pemerintahan Habibie hingga Jokowi-Jk saat ini, masih saja melanggengkan praktek pelanggaran-pelanggaran HAM yang terus-menerus merampas hak-hak ekonomi, politik, sosial dan budaya.
Dalam masa kepemimpin Jokowi-JK selama lebih setahun ini, Jokowi-JK telah memperlihatkan watak aslinya sebagai rejim yang berwatak fasis dan anti penegakan HAM di Indonesia. Serentetan kebijakan-kebijakan yang diambil hanya semakin memperburuk kehidupan rakyat Indonesia. pencabutan dan pemotongan berbagai subsidi rakyat, BBM, TDL, Pendidikan, maupun Kesehatan adalah bentuk nyata bahwa Jokowi-JK telah secara terencana untuk merampas Hak hidup sejahtera dari rakyat Indonesia. Segala skema ini sesunggunya bertujuan untuk membuktikan dirinya sebagai pelayan setia dari imperialis AS dan feodalisme.
Pada perkembangannya, rejim Jokowi-JK juga terus melancarkan program perampasan tanah dan upah terhadap kaum tani dan klas buruh yang merupakan praktek nyata perampasan HAM atas ekonomi mayoritas rakyat Indonesia. Pembangunan ekonomi yang digagas Jokowi-JK persis sama dengan masa Soeharto yakni bersandarkan pada investasi asing dan utang luar negeri sebagai manifestasi untuk melayani kepentingan imperialis AS untuk mengeksport kapitalnya. Ini bisa dilihat dari RPJMN 2014 -2019 yang menjadi kredo pembangunan nasional selama Jokowi-JK nanti menjabat. Jelas,sebagian besar pembiayaan yang akan dijalankan bersadarkan pada investasi dan utang luar negeri.  Contohnya; pembangunan infrastruktur semacam bandara dan pelabuhan internasional, jalan, tol laut, waduk, Pembangkit listrik, seluruhnya akan didanai investasi asing dan ULN. Dari megaproyek infrastuktur ini negara telah memfasilitasi imperialis AS yang sedang krisis untuk meraup keuntungan (Super-Profit). Ironinya, seluruh pembangunan infrastuktur ini bukanlah untuk kemajuan pertanian rakyat atau mempunyai orientasi industri nasional yang mandiri dan berdaulat, namun tentu ini akan mengabdi pada kepentingan imperialis AS dan feodalisme.
Dalam sektor perburuhan, rejim Jokowi-JK juga tidak pernah absen dalam menjalankan skema penghisapan dan enindasan kepada klas buruh Indonesia. selama periode kepemimpinannya ini, selain dari serentetan pencabutan dan pemotongan subsidi untuk rakyat, problem BPJS kesehatan dan ketenagakerjaan juga merupakan instrumen dari rejim untuk melakukan perampasan upah klas buruh Indonesia. dalam hal ini, skema BPJS sejatinya adalah bentuk lain dari asuransi yang dilegalkan dan dijalankan langsung oleh negara. Pemerintah melakukan pemerasan dan pemaksaan kepada rakyat, khususnya klas buruh untuk diperas melalui skema iuran wajib untuk jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan. Hal ini menyebabkan klas burug Indonesia yang hari ini upahnya masih sangat rendah semakin terhimpit dan terjepit karena perampasan upah ini.
Selain itu, belum lama rejim Jokowi-JK kembali melakukan bentuk perampasan HAM ekonomi kepada buruh Indonesia dengan politik upah murah melalui kebijakan PP No 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan (PP Pengupahan). PP Pengupahan merupakan pukulan telak bagi klas buruh Indonesia. Pasalnya semenjak masih menjadi RPP Pengupahan, gelombang protes dan penolakan sudah terjadi dimana-mana, dan bahkan tidak hanya dilakukan klas buruh, namun seluruh rakyat Indonesia, termasuk pemuda mahasiswa. Perjuangan atas penolakan PP Pengupahan dilakukan akibat kebijakan ini semakin mempraktekkan politik upah murah yang akan semakin memiskinkan klas buruh.
Setali tiga uang dengan sektor tani dan buruh, pemuda mahasiswa juga tidak luput dari praktek menghilangkan HAM yang dilakukan oleh rejim Jokowi-JK. Dalam hal ini permasalahan pokoknya adalah aspek pendidikan dan lapangan pekerjaan. Pendidikan yang merupakan hak asasi manusia di bidang kebudayaan malah tetap dirampas Jokowi-JK melalui praktek komersialisasi, liberalisasi dan privatisasi. Khusus untuk pendidikan tinggi Jokowi-JK tetap menjalankan UU PT sebagai payung hukum tertinggi yang mengatur pendidikan tinggi di Indonesia. bahkan, rejim Jokowi-JK terus menunjukan dirinya sebagai rejim yang yang memerosotkan rakyatnya dengan terus menaikan biaya kuliah melalui sistem biaya kuliah di swasta maupun  di universitas negeri. 
Jokowi-JK tidak segan-segan pula melakukan tindasan keji berupa represifitas yang menunjukan watak fasis dan anti penegakkan HAM. Tercatat oleh AGRA setidaknya belum genap satu tahun pemerintahan Jokowi-JK, sudah 89 orang petani ditangkap dan 52 orang di antaranya dikriminalisasikan, 29 orang mengalami kekerasan, dan 3 orang meninggal ditembak. Ini merupakan bukti nyata pengabdiannya rejim Jokowi-JK kepada imperialis AS, tuan tanah besar dan kapitalis birokrat. Usaha intimidasi dan fasisme terus dilakukan di desa-desa melalui program babinsa atau tentara masuk desa yang disebut-sebut untuk menyukseskan reforma agraria dan kedaulatan pangan di Indonesia. kebijakan TNI masuk ke desa, sama halnya mengingatkan kita kembali kepada zaman rejim fasis Soeharto. TNI dijadikan sebagai alat reaksioner negara untuk memastikan perampasan dan monopoli tanah berjalan serta menghancurkan kebebasan berekspresi dan berorganisasi bagi gerakan tani di pedesaan.  Demikian pula di kawasan-kawasan industry, pemerintahan jokowi semakin meningkatkan pengamanan TNI untuk membendung aksi-aksi protes maupun gerakan buruh yang telah sadar dan bangkit atas penindasan dan penghisapan yang dilanggengkan Jokowi.
Selain itu, rejim Jokowi-JK juga tidak segan merenggut nyawa rakyat Indonesia. seperti yang menimpa kawan Salim Kancil seorang aktivis Tani dari Lumajang Jawa Timur yang meninggal akibat tindakan fasis rejim. Sebelumnya Salim kancil bersama kaum tani lainnya secara masif melakukan kampanye penolakan pertambangan di desanya. Mereka menganggap bahwa pertambangan tersebut akan merusak lingkungan serta mengancam terampasnya tanah kaum tani. Namun salim kancil harus dibunuh (26/09) secara mengenaskan oleh sejumlah preman suruhan pertambangan. Berdasarkan paparan istrinya, Salim Kancil dijemput dari rumahnya secara paksa yang disertai pemukulan, pembacokan yang dilakukan sejumlah preman. Kemudian Salim kancil yang di bawah ke balai desa, terus mengalami kekerasaan. Di balai desa Salim disetrum secara kejam, yang pada akhirnya Salim Kancil harus menghembuskan nafas terakhir.[2]
Selanjutnya rejim Jokowi-JK melakukan manuver fasisnya dengan membuat program Bela Negara. Program bela negara ini akan dikategorikan menjadi 3 jenis. Pertama, kader pembina yang dilatih selama 1 bulan di markas-markas TNI yang akan mendapatkan materi bela negara dan cinta tanah air yang meliputi nilai-nilai kebangsaan, wawasan nusantara dan tentang pertahanan. Kader pembina ini nantinya akan menjadi team sosialisasi untuk  mentransformasi nilai-nilai dokrinisasi militer di tengah rakyat Indonesia. Kedua, adalah kader bela negara. Peserta program akan dilatih selama satu minggu. Kader ini diharapkan mampu memahami, mengerti dan mengimplementasikan nilai bela negara dalam kehidupan sehari hari. Untuk kader dengan kategori ini, peserta diajarkan tentang konsep bela negara untuk dirinya sendiri dan mensosialisasikan kepada orang lain. Sedangkan kategori ketiga, yakni kader muda bela negara. Kader muda akan mendapat pelatihan selama tiga hari. Waktu yang lebih sedikit akan memberikan kemudahan bagi peserta program yang memiliki aktivitas penting lain, misalnya pelajar yang masih bersekolah.
Program ini tentunya menjadi cerminan bagaimana rejim Jokowi-JK terus melakukan upaya kanalisasi dan melakukan upaya benturan horizontal anatara sesama rakyat. program bela negara sebenarnya adalah upaya untuk menanamkan kebencian pada aktivitas rakyat yang semakin masif untuk melakukan perlawanan pada seluruh kebijakan rejim yang hanya menghisap dan menindas ke depannya. Bela Negara melalui pendidikan wajib milter yang diberikan kepada seluruh rakyat menjadi wujud nyata rejim boneka Jokowi-JK  bukanlah pemerintahan yang demokratis dan melindungi HAM di Indonesia, akan tetapi dirinya adalah rejim fasisme yang tentu akan menguatkan militer juga untuk menindas rakyat guna melanggengkan kepentingan imperialis AS dan feodalisme di Indonesia.

Beberapa Kasus Pelanggaran HAM di Banyumas
Sejarah pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah Pusat sebagai rezim boneka yang menabdika dirinya pada Imperialisme AS sebagaimana dipaparkan diatas selalu beragam macamnya dari pelanggaran hak atas pekerjaan layak dijawab dengan upah murah dan tidak ada jaminan pekerjaan yang layak, hak atas tanah yang dijawab dengan perampasan tanah, hak atas kebebasan berpendapat dan berorganisasi dijawab dengan pelarangan dan tindakan pengekangan, hak ata rasa aman yang juga dijawab dengan tindakan-tindakan yang tidak membawa rasa aman, bahkan melakukan upaya-upaya kekerasa melalui alat negaranya, yaitu TNI dan Polri. Dari bentuknya yang beragam sebagaimana telah dipaparkan diatas tidak luput dari watak asli dari rezim yang membawa watak dari Imperalisme sebagai tuannya, yaitu watak fasisme yang selalu ditunjukkan kepada rakyat untuk selalu melakukan upaya-upaya represifitas terhadap rakyat dan gerakan-gerakan rakyat untuk menolak segala bentuk monopoli yang dilakukan oleh Imperialisem, Feodalisme dan Kapitalis Birokrat.
Skema pengabdian dari rezim hari ini kepada tuannya Imperialisme AS juga terwujud dari paradigma pembangunan ekonomi yang terejawantahkan didalam MP3EI, dimana didalam skema pembangunan yang ada di dalam MP3EI salah satunya adalah terkait dengan pembagian koridor-koridor ekonomi. Dimana hal ini juga berdampak pada proses pembangunan di daerah yang tentunya tidak terlepas dari konsep pembangunan yang dibawa oleh MP3EI, dan juga akan melakukan skema pembangunan  a la MP3EI juga, dimana selalu melakukan perampasan-perampasan tanah rakyat untuk kepentingan pembangunan yang menguntungkan bagi para pemodal besar, yang mana itu juga adalah pelanggaran HAM.
Dari data Komnas HAM, bahwa Pemerintah Daerah menjadi aktor ketiga paling banyak melakukan pelanggaran HAM.[3] Hal tersebut tidak lepas dari watak pemerintah baik di pusat maupun didaerah yang sama-sama merupakan kapitalis birokrat yang mengabdikan dirinya pada kepentingan borjuasi komprador dan tuan tanah-tuan tanah besar, dan melakukan pelanggaran-pelanggaran hak rakyat.
Praktek pelanggaran HAM di daerah, khsuusnya di Banyumas, tidak lepas dari skema-skema pembangunan di daerah-daerah yang juga terintegrasi secara nasional lewat MP3EI, dimana pemerintah daerah akan selalu menjadi kepanjangan tangan dari pemerintah pusat yang sama-sama sebagai kapitalis birokrat dan selalu menjadi boneka dari kepentingan borjuasi komprador dan tuan-tuan tanah besar. Sehingga tindasan-tindasan terhadap rakyat adalah menjadi keharus yang akan selalu dilakukan demi memenuhi kepentingan tuannya yaitu pemenuhan upah yang murah untuk buruh dan tanah-tanah untuk pembangunan, dari hal tersebutlah pemerintah selalu melakukan perampasa-perampasan hak-hak rakyat mulai dari hak atas tanah, hak atas hidup yang layak, sampai pada hak untuk berorganisasi dan berpendapat selalu mendapatkan pelanggaran yang tidak lain dan tidak bukan pelaku untamanya adalah para kapitalis birokrat lewat apatarur negaranya sebagai bentuk pengabdiannya kepada tuannya, Imperialisme AS.
Berikut adalah beberapa hal pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Pemeritah Daerah terhadap rakyat Banyumas, mulai dari Hak atas tanah sampai hak untuk berorganisasi:


1Konflik Agraria Darmakradenan
Pada tahun 1890-an. di era kolonial Belanda, pemerintah kolonial menerapkan pajak yang begitu tinggi kepada warga Darmakradenan. Pajak yang diberlakukan berupa pajak tanah sebesar 30sen per 7000m2. Pajak yang tinggi itu menyebabkan rakyat tidak mampu membayar pajak, karena bahkan pajak tersebut lebih besar daripada penghasilan rakyat itu sendiri. Akhirnya seorang pengusaha Belanda bernama Maryon memanfaatkan hal ini untuk menguasai tanah di sana melalui hak erfpacht[2], selama 75 tahun seluas 230,10 Ha pada 15 Juli 1892. Kemudian pada 1930-an perkebunan tersebut diserahkan pengelolaannya kepada Babah Thong Pho dalam naungan perusahaan Thing Pho & Co dan kemudian diserahkan lagi ke pihak lain bernama Tan Giok Kien.
Peristiwa pembunuhan massal dan teror 1965 yang diperintahkan oleh Soeharto menimbulkan Tan Giok Kien melarikan diri, karena SARBUPRI, organisasi buruh yang bekerja di perkebunannya “dibubarkan” oleh TNI. Kolonel Ngaspin dari Kodam Diponegoro memanfaatkan hal ini untuk melakukan pengamanan atas lahan tersebut.
Kemudian pada 1967, Yayasan Rumpun Diponegoro, suatu unit bisnis bentukan Kodam Diponegoro membentuk PT. Rumpun untuk mengoperasikan lahan di Darmakreadenan. Pada tahun 1980 PT. Rumpun berubah menjadi PT. Rumpun Antan. Sampai pada 1990 PT.Rumpun Antan bekerjasama dengan PT. Astro Agro Niaga dengan pembagian saham masing-masing 40% untuk PT. Rumpun Antan dan 60% untuk PT. Astro Niaga, dan mengubah nama menjadi PT. Rumpun Sari Antan. Adapun PT. Rumpun Sari Antan masih eksis sampai sekarang, dan memliki sertifikat HGU (Hak Guna Usaha) sebagai tanda bukti hak sampai tahun 2018.
Pada 1998, berdiri sebuah organisasi tani bernama Setan Ampera (Serikat Tani Amanat Penderitaan Rakyat). Beberapa kali Stan Ampera melakukan kampanye dan bentrok untuk merebut kembali (reclaiming) lahan. Salah satu capaian tertinggi Stan Ampera ialah memperoleh lahan hingga menyisakan bagi PT. RSA hanya sekitar 20 hektar. Akan tetapi kemudian pada September 2014 pada Insiden Hotel Horison, Stan Ampera dijebak dan membuat dipaksa kesepakatan agar hanya mengelola 110 hektar di area yang curam. Saat ini Stan Ampera sedang membenahi ulang organisasi, dimulai dengan restrukturisasi pimpinan-pimpinannya, yang dibantu oleh AGRA Jateng.
Sebagaimana kita ketahui bahwa tanah adalah menjadi ha katas rakyat, khusunya petani (diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani), akan tetapi yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah tidak ada itikad baik untuk memberikan jaminan atas bertani kepada para petani Darmakradenan, bahkan membiarkan dan melakukan perampasan ha katas tanah dengan tetap membelakukan ijin HGU dari PT. RSA.


2. PKL Alun-Alun
Pada Mei 2015, FMN berkorespondensi dengan Lusi dari PKL Alun-Alun, dan mendapat beberapa informasi tentang penggusuran PKL Alun-Alun. Semenjak Husein memerintah Kabupaten Banyumas, Alun-Alun dijadikan kawasan anti PKL. Namun karena banyaknya orang yang ingin berdagang di sana, maka meskipun secara aturan masih dilarang, PKL boleh berjualan di area barat. Sepenuturan Lusi, beberapa kali PKL kerap mengalami adu mulut hingga bentrok melawan Satpol PP. Bentrokan terbaru terjadi pada 15 Juli 2015, tepat dua hari sebelum hari raya Idul Fitri. Bupati Banyumas melalui Satpol PP nya melakukan tindakan represif, yaitu melakukan penggusuran secara paksa terhadap para PKL yang sedang berjualan di sekitar Alun-alun Purwokerto. Tindakan keji dan amoral ini dilakukan sekitar pukul 19:00, setelah adzan Maghrib berkumandang di kota Banyumas. Sekitar 15 orang Satpol PP dengan sewenang-wenang datang dan memaksa PKL untuk membubarkan diri. Satpol PP diperintahkan oleh Bupati Banyumas untuk menggusur para PKL karena melanggar Perda tentang Tata kota, dan mengganggu keindahan Alun-Alun.
Dari pemaparan tersebut dapat dilihat bahwa sebenarnya di Kabupaten Banyumas sendiri tidak ada jaminan pekerjaan yang layak, sehingga para pedagang rela untuk terus digusur agar bisa mendapatkan penghasilan yang dapat memnuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini adalah bentuk dari tidak adan jaminan pelindungan HAM mengenai jaminan kehidupan dan pekerjaan yang layak. Selain itu juga pemerintah daerah terus melakukan upaya-upaya represifitas dan penggusuran, bahkan tindakan pemukulan  terhadap PKL di daerah Alun-Alun, tindakan tersebut jelaslah bertentangan dengan hak rakyat untuk mendapatkan rasa aman.

3. Pabrik Semen Ajibarang 
\    PT Sinar Tambang Arthalestari (STAR), produsen Semen Bima, meresmikan unit pabriknya, di Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah. Pabrik ini mulai dibangun pada 2012 dan akan selesai pada Oktober 2015. Pada Mei 2015, terjadi protes dari masyarakat desa sekitar pabrik yang menuntut penyerapan tenaga kerja lokal, fasilitas air bersih, dan pengaspalan. Saat ini, masyarakat desa di sekitar pabrik sedang melakukan konsolidasi untuk menyikapi pabrik semen ini. Pemilik perusahaan ini adalah Suwandi Bing Andi.
   Permasalahan yang terjadi dengan keberadaan dari pabrik ini adalah beragam dari mulai permasalahan lingkungan, ketenagakerjaan, masalah kesehatan sampai dengan masalah konflik agrarian.
      Permaslahan lingkungan dan masalah kesehatan yang diakibatkan keberadaan pabrik semen di Desa Darmakradenan karena pembangunan pabrik semen akan berdampak kepada kerusakan lingkungan, sehingga di Desa Darmakradenan oleh masyarakat yang peduli akan masalah dibentuk suatu gerakan masyarakat yang berorientasi pada pelestarian lingkungan yaitu, Masyarakat Pecinta Lingkungan (MPL Darmakradenan). Selain itu keberadaan pabrik semen yang dekat dengan rumah sakit, juga mendapat penolakan karena mengganggu aktivitas dari pelayanan rumah sakit yang berada di daerah sekita pabrik.
   Masalah yang lain adalah masalah ketenagakerjaan, yaitu ketika diawal pembangunannya, perusahan menjanjikan akan mengutamakan pekerja-pekerja lokal yang berada disekitar pabrik semen. Bahkan telah ada MoU yang berisi tentang kemudahan untuk mendaftar menjadi pekerja di pabrik semen Bima tanpa syarat. Namun berjalannya waktu, masyarakat yang ada disekitar pabrik semen tidak diutamakan untuk menjadi pegawai atau pekerja di pabrik semen Bima tersebut, sehingga beberapa kali warga masyarakat pernah melakukan aksi untuk menuntut janji perusahaan yang akan mengutamakan pekerj-pekerja lokal.
      Dari apa yang dijelaskan diatas dapat dilihat banyaknya bentuk pelanggaran-pelanggaran HAM rakyat, mulai dari perampasan tanah rakyat, kemudian juga tidak adanya jaminan yang diberikan oleh Pemerintah Banyumas kepada warga sekitar Pabrik Semen sehingga harus menuntut bekerja di Perusahaan yang telah merampas tanaha mereka.

4. Insiden Sekber 65
Sekber 65 adalah perhimpunan keluarga korban 65. Kebanyakan dari mereka beranggotakan orang-orang yang sudah lansia. Pada 9 Agustus 2015, Sekber 65 hendak menyelenggarakan acara sosialisasi BPJS yang dibantu oleh LPSK dan Komnas HAM di Pendopo Si Panji. Namun di hari yang sama, pada pagi hari, sekitar 150 orang mendatangi Pendopo Si Panji untuk membubarkan acara Sekber 65. Menurut sepenuturan Kesbangpol tidak jelas identitasnya. namun insiden itu dipimpin oleh Satpol PP. Kelompok ini kemudian membuat “Deklarasi Banyumas Menolak Komunisme Gaya Baru”. Acara Sekber 65 pun akhirnya mau tidak mau dihentikan.
Tidak adanya jaminan kebebasan berpendapat dan berorganisasi yang diberikan kepada warga Banyumas oleh Pemerintah Daerah Banyumas menjadikan kasus seperti diatas dapat terjadi.

5. Pungli di Sekolah
Beberapa sekolah negeri di Purwokerto mewajibkan calon siswa barunya membayar sumbangan dana pengembangan pendidikan Rp 5 juta, SPP bulan pertama Rp 250 ribu dan uang seragam Rp 825 ribu. Sumbangan tersebut harus dibayarkan dalam waktu yang sudah ditetapkan pihak sekolah. Jika tidak dapat memenuhinya, maka calon siswa tersebut dinyatakan gugur dan akan digantikan calon siswa la in. Kedok yang paling umum adalah alasan penambahan gedung, ruang belajar, sarpras dan sebagainya.Ombudsman Jateng-DIY menyatakan bahwa hal tersebut merupakan pungli.
Kasus seperti diatas merupakan wujud dimana tidak ada jaminan pendidikan yang layak, yang padahal oleh undang-undang sudah ditetapka mengenai anggaran minimal 20% untuk pembiayaan pendidikan baik di pusat maupun didaerah (APBD). Hal iin menunjukkan tidak diwujudkannya anggaran minimal 20% untuk pendidikan di daerah, Banyumas khususnya sehingga pelajarlah yang harus membayar melalui pungutan liar untuk dapat memenuhi kebutuhan yang diharuskan oleh pihak sekolah. Hal tersebut tentu adalah pelanggaran HAM sebagaimana telah diatur di dalam UUD 1945 mengenai hak untuk mendapat pendidikan. Akan tetapi kenyataannya, bahwa pendidikan seolah menjadi barang yang diperdagangkan tanpa memperhatikan apakah pendidikan merupakan haka tau bukan. Menjaid jelas bahwa disektor pendidikan juga Pemerintah Banyumas tidak memeberikan jaminan perlindungan HAM anak-anak Banyumas untuk dapat mengakses pendidikan.

Dan banyak kasus-kasus pelanggaran lainnya disektor buruh, tani, pendidikan dan bahkan masalah-masalah pelanggaran rakyat disektor rakyat lainnya merupakan hal yang tidak terlepas dari problem yang dialami rakyat, dimana pemerintah daerah pun menjadi aktor yang tidak pernah mencoba menjawab problem pelanggaran HAM mulai dari pemenuhan hak atas tanah, hak atas pekerjaan yang layak, hak atas pendidikan bagi anak-anak Banyumas, dan bahkan hak untuk berpendapat dan berorganisasi.
Hal ini dapat dilihat dari tidak digubrisnya tuntutan-tuntutan rakyat Banyumas ketika melakukan aksi ke Kantor Pemerintahan Daerah sampai beberapa kali untuk menuntut hak rakyat (Hak atas tanah – Kasus Darmakradenan). Pemerintah Daerah malah enggan menemui rakyat Banyumas yang melakukan aksi untuk menuntut haknya yang belum terpenuhi dan bahkan dilanggar oleh pihak-pihak tertentu.


Materi disampaikan untuk Materi Diskusi Hari HAM Internasional oleh FMN Cabang Purwokerto, Minggu 6 Desember 2015.




[1] Declaration of human rights. United Nation. December 10, 1948.
[2] http://www.pp-frontmahasiswanasional.org/2015/09/pernyataan-sikap-pp-fmn-kematian-salim.html. diakses pada 23 Nopember 2015. Pukul 16.46 Wib.

Share this:

1 komentar :

  1. http://www.soearamassa.com/2015/12/beberapa-kasus-pelanggaran-ham-di.html

    BalasHapus

 
Back To Top
Copyright © 2018 Soeara Massa. Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Templates