Kaum perempuan sejatinya adalah penentu bagi kehidupan. Tentunya, tanpa ada perempuan tidak akan ada kehidupan, karena perempuanlah yang melahirkan manusia-manusia sebagai generasi penerus bangsa. Terkadang kita terkecoh untuk menyebutkan sosok perempuan. Kita menyebutnya perempuan atau wanita ? Disebut perempuan atau wanita sebenarnya sama saja karena perempuan dan wanita sama-sama memiliki rahim. Tapi saya lebih sepakat jika menyebutnya “perempuan”.
Secara terminologis, kata perempuan berasal dari kata “mpu” yang artinya pemilik peradaban. Perempuan disebut pemilik peradaban karena ia memiliki rahim yang berfungsi untuk menghasilkan keturunan. Keturunan yang nantinya akan meneruskan kehidupan. Sedangkan, wanita secara terminologis berasal dari kata wani dan ditata, wani ditata yang artinya mudah diatur. Terminologi ini adalah hasil dari pemikiran dari pengalaman yang patriarki, dimana menempatkan sosok perempuan sebagai orang yang mudah diatur oleh kaum lelaki. Pandangan tersebutlah yang menempatkan perempuan sebagai orang nomer dua, sehingga dianggap gampang diatur (wani ditata). Sehingga terminologi wanita tidak selayaknya digunakan untuk perempuan, karena secara pengalaman dan prakteknya adalah bentuk dari kebudayaan patriarki, yang mnempatkan perempuan sebagai orang nomor dua (ter sub-ordinat).
Kondisi perempuan hari ini yang berada dalam negara setengah jajahan setengah feodal, sesungguhnya mengalami ketertindasan. Sama halnya dengan laki-laki pun mengalami ketertindasan. Namun, perempuan lebih mengalami ketertindasan berganda. Sayangnya, ketertindasan itu tidak disadari oleh kaum perempuan lainnya. Mereka terlena dengan kehidupan sekarang yang serba moderenitas. Karena serba moderenitas itu banyak kaum perempuan yang berusaha dengan segala cara untuk memenuhi berbagai kebutuhan moderinitasnya. Salah satu caranya dengan bergantung pada laki-laki.
Tulisan kali ini akan berbicara mengenai penindasan perempuan. Tidak perlu terlalu dalam dan rumit untuk membahasnya. Kita akan membahas mengenai penindasan perempuan yang sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Hal-hal yang dekat dan ada di kehidupan kita lah yang tanpa disadari merupakan bagian dari penindasan perempuan.
Penindasan Perempuan dalam Keluarga yang Diwariskan dari Kebudayaan Turun-Temurun
Penindasan perempuan pertama kali sesungguhnya dilakukan di dalam ruang lingkup keluarga yang merupakan relasi terdekat serta tempat kita bersosialisasi pertama kali. Namun penindasan justru terjadi dan diajarkan pertama kali di ruang lingkup keluarga. Di dalam keluarga biasanya mengadopsi nilai-nilai serta norma-norma yang sudah dilakukan turun-temurun. Ada pewarisan kebudayaan di dalamnya. Apalagi dalam kondisi negara yang setengah jajahan setengah feodal, dimana feodalisme masih kental dalam kehidupan masyarakat. Tentunya pewarisan budaya dan nilai-nilai serta norma-norma yang ada dari dulu dijadikan suatu patokan kebenaran.
Contoh kecilnya ialah seringkali didalam keluarga ada perbedaan perlakuan antara anak laki-laki dan anak perempuan. Sedikit mengulas budaya zaman feodalisme, pada zaman feodalisme (kerajaan), anak laki-laki selalu diberikan ruang gerak yang lebih dibandingkan anak perempuan. Pada dasarnya anak laki-laki memiliki potensi untuk menjadi raja sehingga ia perlu belajar bagaimana menjadi seorang pemimpin atau raja. Bahkan anak laki-laki diberi pendidikan, sedangkan perempuan tidak. Karena saat itu kaum laki-lakilah yang pantas menjadi seorang pemimpin atau raja. Sedangkan anak perempuan hanya memiliki ruang gerak di sektor domestik. Nantinya ketika sudah dewasa seorang anak perempuan akan diproyeksikan sebagai pendamping raja laki-laki dan lebih mengurusi hal-hal di sektor domestik.
Budaya seperti itu dilanggengkan sampai saat ini. Dalam keluarga diwariskan budaya turun-temurun yang dijadikan patokan kebenaran perilaku. Akhirnya orang tua melakukan diskriminasi antara memperlakukan anak laki-laki dan anak perempuan. Perbedaan perlakuan itu pasti pernah diterapkan oleh orang tua kita masing-masing. Contohnya, anak laki-laki cenderung diberi ruang yang luas untuk dirinya bersosialisasi tanpa dibatasi waktu. Ketika anak laki-laki banyak melakukan aktifitas di luar rumah dan pulang ke rumah larut malam diatas jam 10 malam, orang tua tidak pernah mempermasalahkan. Lain halnya dengan anak perempuan. Ketika ia pulang ke rumah diatas jam 10 malam, bahkan jam 9 malam belum pulang ke rumah, tentu orang tua akan panik. Akhirnya orang tua selalu menghubungi anak perempuannya dan memarahinya ketika ia pulang ke rumah.
Labeling masyarakat pun berbeda terhadap anak laki-laki dan anak perempuan. Ketika anak laki-laki pulang larut malam, ia tidak pernah memberikan label bahwa “anak itu anak nakal”, “anak brutal”, “anak malam”, dsb. Tapi lain halnya dengan labeling masyarakat pada anak perempuan. Masyarakat pasti akan menganggap bahwa anak perempuan yang pulang larut malam, pasti diberi label “perempuan ga bener”, “perempuan malam”, “kupu-kupu malam”, dsb. Labeling masyarakat pun hadir karena budaya-budaya yang diwariskan dari zaman feodalisme. Budaya-budaya yang dilanggengkan itu dianggap sesuatu yang benar atau patokan kebenaran perilaku yang seharusnya dilakukan individu. Di zaman feodal (kerajaan), perempuan tidak ada yang keluar malam, karena ruang gerak perempuan sendiri dibatasi. Hanya anak laki-laki yang diberi ruang gerak yang lebih luas. Diskriminasi perilaku tersebut menyebabkan ketertindasan pada perempuan.
Dalam keluarga pun sering diajarkan bahwa “perempuan itu harus bisa masak”, “perempuan itu harus bisa bersih-bersih”, “jadi perempuan itu harus rapih”, “kalau perempuan tidak bisa masak, tidak bisa bersih-bersih, tidak rapih, nanti suaminya ga senang dan cari istri lagi gimana?”. Kata-kata seperti itu seringkali disampaikan oleh seorang ibu kepada anak perempuannya. Apalagi ketika anak perempuannya ingin menikah pasti kata-kata seperti itu lebih gencar diucapkan. Ada istilah menyebutkan woman womeni lupus yang artinya perempuan adalah serigala bagi perempuan lainnya. Maksudnya yakni yang menularkan penindasan pada perempuan itu adalah dari kaum perempuannya sendiri. Contohnya seorang ibu yang mengajarkan bagaimana menjadi seorang perempuan yang seharusnya dari perspektif patriarki.
Terkait tentang “perempuan itu harus bisa masak”, “perempuan itu harus bisa bersih-bersih”, “jadi perempuan itu harus rapih”, “kalau perempuan tidak bisa masak, tidak bisa bersih-bersih, tidak rapih, nanti suaminya ga senang dan cari istri lagi gimana?” dari statement seperti itu jelas telah menempatkan perempuan pada posisi yang tertindas. Perempuan dianggap harus bisa memuaskan calon suaminya kelak dengan lebih memanfaatkan banyak waktunya di sektor domestik.
Seharusnya tidak hanya perempuan yang bisa masak, tidak hanya perempuan yang harus bisa bersih-bersih dan tidak hanya perempuan yang harus rapih. Laki-laki pun harus bisa masak, harus bisa bersih-bersih, harus rapih, karena nantinya laki-laki dan perempuan dalam berumah tangga harus bisa melakukan pembagian kerja. Jadi tidak hanya perempuan yang mengerjakan sektor domestik, laki-laki pun harus mengerjakan sektor domestik. Karena prinsipnya perekonomian keluarga dipegang oleh laki-laki dan perempuan. Ketika laki-laki dan perempuan bekerja di luar dan yang melakukan pekerjaan rumah juga harus laki-laki dan perempuan. Ketika perempuannya tidak bekerja di luar, laki-laki dan perempuan pun seharusnya melakukan pekerjaan rumah bersama-sama. Karena jika perempuannya hanya bekerja di sektor domestik dan laki-lakinya bekerja di sektor publik tanpa membantu perempuannya mengurus domestik artinya perekonomian dimonopoli oleh laki-laki dan laki-laki akan menganggap ia memberi imbalan berupa biaya hidup kerja perempuannya bekerja di sektor domestik. Itulah yang dinamakan budaya patriarki. Ketika laki-laki yang mendominasi dan segala keputusan ada di tangan laki-laki.
Penindasan Perempuan Pada Relasi Laki-laki dan Perempuan yang Dipengaruhi Media
Di sisi lain, media pun sering menampilkan tayangan berupa film, iklan, sinetron, ftv, bahkan tweet atau quotes yang menunjukan bias gender yang mengarah pada ketertindasan perempuan. Namun hal-hal itu adalah hal-hal yang tidak disadari masyarakat bahwa apa yang ada di media banyak sekali menampilkan penindasan perempuan. Karena media mengemas penindasan perempuan dengan kemasan yang menyenangkan. Prinsipnya media menayangkan penindasan perempuan yang dikemas dengan bentuk yang menyenangkan karena untuk dikomodifikasi demi keuntungan kapitalis.
Contohnya, seperti tayangan iklan-iklan sabun. Dalam iklan-iklan tersebut, perempuan ditampilkan dengan kemasan yang cantik, sexy, berkulit putih, berbadan langsing. Dan hal-hal itu dijadikan parameter untuk menjadi seorang perempuan yang cantik dan ideal pada zaman sekarang. Kaitannya dengan iklan-yang iklan sabum, perempuan berbadan langsing, berkulit putih, berwajah cantik dan mulus, menggunakan sabun yang membuat kulitnya menjadi putih dan halus. Karena kulitnya yang putih dan halus itu akhirnya bisa memikat lelaki sebagai pria yang ada di iklan itu. Akhirnya iklan itu menempatkan perempuan sebagai objek. Laki-laki memandang perempuan dari tampilan fisik yang dia miliki sebagai first impression-nya. Penempatan perempuan sebagai objek itu merupakan bentuk dari patriarki dan masuk ke dalam penindasan perempuan.
Bentuk patriarki di media dikemas sangat menarik. Perempuan mana yang tidak ingin dirinya cantik ? Media menampilkan itu semua agar perempuan mempercantik dirinya dengan membeli produk-produk yang diiklankan. Bukannya tidak memperbolehkan perempuan untuk tampil cantik. Namun, tampil dengan kemampuan dan passion yang kita miliki itu jauh lebih baik. Sejatinya, laki-laki pun seharusnya memandang perempuan dari kemampuannya, bukan dari tampilan fisiknya. Artinya, memandang perempuan janganlah sebagai objek, tapi sebagai subjek.
Tak hanya itu, dalam film, sinetron dan ftv pun sering ditampilkan bagaimana relasi antara laki-laki dan perempuan. Dalam konteks relasi terdekat atau biasa kita sebut pacaran, proses “pedekate” menuju pacaran, hingga yang sudah masuk pada jenjang pelaminan, perempuan ditempatkan pada posisi yang “enak”. Sebenarnya posisi “enak” itu adalah bentuk dari patriarki yang menindas perempuan. Patriarki tidak bersifat keras yang selalu berbau KDRT, kekerasan fisik, dsb. Tapi patriarki kini disuguhkan dengan kemasan yang sangat halus dan lembut, sehingga membuat kaum perempuan tidak sadar bahwa dirinya sedang tertindas.
Contoh konkritnya, dalam ftv, film maupun sinetron, dalam relasi antara laki-laki dan perempuan, perempuan selalu diantar jemput oleh laki-laki. Mulai dari diantar jemput dengan kendaraan yang biasa, sampai kendaraan yang paling mewah. Kemudian, saat berpergian perempuan pun selalu dibayarin oleh laki-lakinya, selalu dibelikan barang-barang, dan dibelikan bunga. Dalih-dalih laki-laki dianggap sebagai pemimpin keluarga, maka laki-laki harus bisa menghidupi perempuannya. Hal-hal seperti itu selalu ditayangkan di media dan akhirnya pada realitasnya perempuan menganggap perlakuan laki-laki kepada perempuan sudah seharusnya seperti itu.
Hal seperti itu adalah sesuatu yang keliru. Bahkan ada yang pernah menyebutkan, tugas perempuan adalah mempercantik diri dan tugas laki-laki adalah memperkaya diri. Ini merupakan bentuk patriarki yang menindas perempuan. Ketika laki-laki mampu membelikan sesuatu, mau mengantar jemput, menghidupi dia dari segala materi yang dimiliki oleh laki-laki itu dan perempuan membayarnya dengan kecantikan yang ia miliki, dengan “memuaskan” laki-laki secara pandangan mata, bahkan seksual maka perempuan itu sama saja seperti dibeli yang artinya ditindas. Pada dasarnya ketika laki-laki yang memonopoli alat produksi ( dalam hal relasi laki-laki dan perempuan, alat produksi adalah materi atau uang ), maka perempuan sudah pasti tertindas. Kemudian perempuan pun akan dianggap murahan dan gampangan oleh laki-laki, ketika ia menerima perlakuan indah dari laki-laki yang memberikan sesuatu, mengantar jemput, mengiming-iming materi.
Karena budaya yang demikian membuat perempuan akhirnya tidak memiliki posisi tawar dihadapan laki-laki. Ketika perempuan hanya bisa berlindung dibawah ketiak laki-laki dengan menggantungkan hidupnya pada laki-laki yang menguasai materi, maka laki-laki pun pasti menuntut imbalan dari apa yang telah ia berikan kepada perempuan. Secara sederhana, laki-laki memberikan uang, perempuan memberikan tubuhnya, entah itu dalam bentuk kecantikan fisik atau bahkan memberikan secara seksual. Sama halnya dengan seorang perempuan yang menjadi pelacur, ia memberikan tubuhnya dan laki-laki memberikan uangnya. Pelacuran merupakan bentuk penindasan perempuan yang paling ekstrim.
Hak Seksualitas Perempuan
Perempuan memang mempunyai hak seksualitas, tapi bukan berarti kita menggunakannya secara liberal. Ada batasan-batasan di dalamnya yang harus kita taati. Namun, posisi perempuan hari ini adalah ia dibebankan dengan beban keperawanan sampai ia menikah dan simbol keperawanan perempuan adalah selaput dara. Ketika ada pasangan yang baru menikah dan mereka melakukan hubungan intim pertama kali, namun laki-lakinya terkejut karena perempuannya tidak mengeluiarkan darah saat hubungan intim. Mayoritas laki-laki langsung menganggap bahwa perempuannya sudah tidak perawan dan tidak bisa menjaga kehormatannya, karena selaput daranya sudah sobek (sudah berhubungan intim). Padahal belum tentu semua perempuan yang tidak mengeluarkan darah saat hubungan intim itu dikarenakan sudah pernah melakukan hubungan intim.
Menurut Dr. Ryan Thamrin yang merupakan seorang dokter spesialis seksologi dan kesehatan reproduksi mengatakan bahwa darah yang keluar saat hubungan intim pertama kali merupakan tanda keperawanan itu hanyalah mitos. Dikutip dari situs blognya ryanthamrin.com , ia mengatakan bahwa :
“Wanita yang tidak mendapatkan rangsangan yang cukup dari pasangannya terlebih disaat pertama kali akan melakukan hubungan intim atau sedang berada dalam tekanan psikogenik (kejiwaan dan genetika) bisa saja mengalami pendarahan ketika ia memaksakan untuk tetap melakukan hubungan intim. Namun begitu, bagi wanita yang benar-benar terangsang hasratnya dan terbebas dari beban psikologis, secara biologis otot-otot vagina yang bersifat elastis akan bekerja secara maksimal yang dibantu dengan produksi lubrikasi vagina sehingga akibat dari pergesekan antara penis dengan dinding vagina bisa saja tidak menimbulkan pendarahan vagina meski ia melakukan hubungan seks untuk pertama kalinya. Oleh sebab itu, sangat jelas dan tidak diragukan lagi bahwa istilah darah perawan hanyalah mitos belaka..”
Kemudian menurut dr. Ryan Thamrin pun mengatakan bahwa pecahnya selaput dara menjadi tanda keperawanan itu juga hanya mitos belaka. Secara medis robeknya selaput dara tidak selamanya diikuti dengan keluarnya bercak darah. Menurut, dr. Ryan Thamrin dikutip dari blog pribadinya mengatakan bahwa :
“Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab robek atau tidak robeknya selaput dara diantaranya;
1. Selaput dara terlalu rapuh, bisa jadi selaput dara itu sudah robek sebelumnya saat melakukan aktifitas berat karena terlalu rapuh.
2. Kelewat elastis. Tidak adanya bercak darah di malam pertama mungkin saja disebabkan belum robeknya selaput dara karena sifatnya sangat elastis. Harap diketahui, membran ini sangat fleksibel. Pada beberapa kasus ditemukan bahwa elastisitas selaput dara memungkinkannya tidak robek pada waktu pertama kali berhubungan seksual. Bahkan ada yang baru robek setelah wanita tersebut melahirkan.
3. Darahnya tidak banyak, atau bisa saja sebenarnya keluar bercak darah, tapi karena sangat sedikit sehingga tidak mudah terlihat oleh mata. Hal ini tergantung dari sedikit atau banyaknya pembuluh darah yang pecah di dalam vagina. Banyak orang yang mengira kalau selaput dara robek akan keluar banyak darah. Padahal karena sedemikian tipisnya, selaput dara yang robek tidak selalu menyebabkan keluar darah dalam jumlah banyak.
4. Tidak punya selaput dara, perkembangan teknologi memungkinkan dilakukannya penelitian tentang selaput dara secara mendalam. Hasilnya ternyata sangat mengejutkan karena dalam penelitian yang dilakukan para seksolog ditemukan beberapa perempuan yang sejak lahir memang tidak memiliki membran ini. Pada kasus ini keberadaan selaput dara tidak selalu membuktikan bahwa wanita belum pernah melakukan hubungan seksual. “
Berdasarkan data tersebut, maka darah dan selaput dara bukanlah penentu keperawanan seorang perempuan. Tidak adil bagi perempuan jika dia memiliki beban keperawanan sampai ia menikah. Karena ada kondisi-kondisi yang tiba-tiba menyebabkan seorang perempuan menjadi tidak perawan. Namun, lain halnya dengan perempuan yang tidak perawan karena memang dia telah melakukan hubungan intim pada saat sebelum menikah. Ia telah menggunakan hak seksualitasnya, namun titik salahnya adalah menggunakan hak seksualitas secara liberal. Tapi hal tersebut bukan juga dijadikan alasan laki-laki tidak mau menerima perempuan yang sudah tidak perawan. Karena laki-laki pun belum tentu bisa menjaga keperjakaannya. Banyak laki-laki yang tidak bisa menjaga keperjakaannya, walaupun masih banyak juga yang bisa menjaga keperjakaannya. Perempuan dituntut untuk perawan sampai menikah, tapi laki-lakinya sudah perawanin perempuan sebelum menikah.Posisi ini sangat tidak adil bagi perempuan.
Ketika keperawanan seorang perempuan masih menjadi pertimbangan laki-laki untuk berelasi atau menikah, maka artinya perempuan masih dipandang sebagai objek. Dia tidak akan ada artinya jika ia sudah tidak perawan. Padahal, dibalik ketidakperawanannya, perempuan memiliki berbagai kemampuan yang menjadi kebanggaan serta keberartian dirinya. Pandanglah perempuan sebagai subjek, yang artinya kita memandang dari kemampuan yang ia miliki. Karena sejatinya kondisi perempuan masih perawan atau sudah tidak perawan sama sekali tidak berpengaruh pada kemampuan yang dimilikinya. Untuk itu, saling memahami kondisi satu sama lain antara laki-laki dan perempuan sangatlah diperlukan agar bisa mengeluarkan perempuan dari ketertindasan terkait seksualitas.
Resolusi
Penindasan perempuan sesungguhnya dialami di setiap elemen kehidupannya. Namun, hal itu tidak disadari oleh kita karena penindasan perempuan banyak sekali yang berwujud halus dan lembut. Untuk itu, kaum perempuan harus sadar dan bangun dari mimpi buruk yang panjang ini. Kondisi kaum perempuan saat ini sedang tertindas dan kita perlu bangkit untuk keluar dari penindasan. Terlebih lagi penindasan yang diwariskan melalui budaya feodal yang turun-temurun telah dimanfaatkan oleh imperialisme dan kapitalisme untuk meraup keuntungan. Mereka banyak menggunakan objektifitas perempuan, eksploitasi tubuh perempuan, bias gender, subordinasi dan marjinalisasi yang mereka konstruk demi profit yang mereka raih. Mereka menciptakan konstruksi sosial yang melanggengkan penindasan perempuan. Maka, penyebab dari penindasan perempuan saat ini bukanlah laki-laki, tetapi imperialisme dan kapitalisme. Laki-laki turut menjadi korban dari imperialisme dan kapitalisme yang mengkonstruk realitas dan laki-laki dikambing hitamkan karena dianggap menindas perempuan.
Resolusi untuk membuat perempuan keluar dari belenggu penindasan adalah dengan jalan perempuan harus berserikat, perempuan harus memiliki alat perjuangan untuk kaumnya sendiri, gerakan perempuan untuk mengeluarkan kaumnya dari penindasan harus digencarkan. Perempuan tidak bisa bebas dari penindasan, apabila ia hanya bergerak sendirian. Seluruh kaum perempuan perlu disadarkan dan diorganisir agar mau sama-sama berjuang untuk pembebasan dari penindasan. Sejatinya, perempuan pun harus berjalan beriringan dengan laki-laki untuk mewujudkan kesetaraan. Perempuan dan laki-laki harus bersatu, berpartner, bekerja sama untuk sama-sama lepas dari penindasan, terutama penindasan yang dialami perempuan Karena sesungguhnya perempuan dan laki-laki memiliki musuh yang sama yang menyebabkan dirinya berada dalam ketertindasan, yakni Imperialisme dan Kapitalisme.
Hancurkan Imperialisme!!
Musnahkan Feodalisme!!
Perempuan Bangkit Melawan Penindasan!!
Jayalah Perjuangan Massa!!
SALAM DEMOKRASI!!
Penulis: Ghea Nurhanifah
(Departemen Pendidikan dan Propaganda, Divisi Pendidikan FMN Ranting Unsoed)

Yaaa, artikelnya keren banget 👍👍👍
BalasHapusDan keadaan pembatasan ruang gerak, label, hal yang paling dirasakan ketika menginjak usia seperti sekarang.
Apa karena latar belakang adat jawa sebagai putri solo? Atau agama?
"Perempuan lebih baik diam di rumah"
"Perempuan sebaiknya tidak menjadi pemimpin"
Dan quote quote di sosmed tentang perempuan, seakan kalau perempuan itu cengeng, lemah, dan egois.
Terkadang ga adil cuma perempuan saja yg dijadikan objek bercandaan
sangat mengerikan kondisi perempuan hari ini ya, sudah tertindas secara ekonomi, tertindas pula kebudayaan dan politiknya, dimana selalu berada dibalik laki-laki. Selalu menempatkan perempuan dalam posisi kedua.
BalasHapushttp://www.soearamassa.com/2015/12/kaum-perempuan-sadarkah-jika.html
BalasHapus