BREAKING NEWS

Senin, Oktober 19, 2015

Pernyataan Sikap FMN Cabang Purwokerto terhadap Kebijakan Bela Negara

Tolak Wajib Militer Berkedok Pendidikan Bela Negara !

“Bukan kenaikan harga BBM, melainkan penyesuaian harga BBM. Bukan krisis ekonomi, melainkan perlambatan ekonomi. Bukan wajib militer melainkan latihan bela negara”. Begitulah Jokowi selalu memutarbalik kata setiap dimintai keterangan terkait kondisi Indonesia selama 1 tahun kepemimpinannya."


Pada awal Oktober 2015, rakyat Indonesia diberikan kado dari pemerintahan Jokowi-JK, yaitu program bela negara. Program tersebut digadang-gadang Kementerian Pertahanan sebagai program untuk meningkatkan rasa nasionalisme rakyat Indonesia di tengah berbagai permasalahan yang menimpa rakyat Indonesia. Menurut Direktur Bela Negara Kementerian Pertahanan Laksamana Pertama TNI M Faisal, program bela negara ini merupakan wujud dari program Revolusi Mental Jokowi-JK[1]. Kementerian Pertahanan berencana program ini diselenggarakan di 45 kabupaten dan kota, pada 19 Oktober mendatang. Kemenhan pun menargetkan sebanyak 100 juta jiwa masyarakat yang akan mengikuti pelatihan militer hingga 2019. Seluruh warga negara yang berusia di bawah 50 tahun, diwajibkan mengikuti pendidikan militer ini. Termasuk di dunia pendidikan, pendidikan akan diberikan kepada semua jenjang pendidikan mulai dari TK hingga Perguruan Tinggi[2]. Program inipun menuai kontroversi di tengah rakyat. Sebenarnya, bagaimana konsep bela negara yang diusung Jokowi-JK? Untuk membedah hal tersebut, kita perlu meninjau keberpihakan Jokowi-JK selama memimpin Indonesia selama 1 tahun ini.

Apakah Jokowi-JK Pantas Mengajarkan “Bela Negara” pada Rakyat?
Berbicara bela negara, maka kita akan berbicara soal keberpihakan terhadap rakyat dari kepentingan-kepentingan yang anti terhadap rakyat. Namun selama 1 tahun ini, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Jokowi-JK justru sangat berpihak pada investasi asing. Mulai dari pembangunan infrastruktur hingga pembangunan kawasan ekonomi, pemerintahan Jokowi-JK telah menunjukkan loyalitasnya kepada korporasi dunia yang siap mengeruk sumber daya alam dan manusia Indonesia. Dalam RPJMN 2015-2019 pemerintah menargetkan investasi untuk pembangunan baik dari pemerintah pusat dan daerah sebesar Rp 3.989 triliun, sementara kebutuhannya adalah Rp 26. 797,9 triliun.[3] Kekurangan ini akan ditutupi dengan menarik hutang luar negeri dan pembukaan pintu investasi seluas-luasnya. Artinya kurang lebih 70% dana pembangunan Indonesia didapatkan dari investasi asing. Belum lagi ditambah berbagai perusahaan asing yang sudah lama menikmati berbagai kekayaan di Indonesia. Lalu, dari skema diatas, apakah rejim Jokowi-JK telah menunjukkan sikap bela negaranya? Apakah membiarkan dominasi imperialisme di tanah Indonesia merupakan bentuk dari nasionalisme? Lalu bela negara macam apa yang dikehendaki Jokowi-JK?
Selama 1 tahun ini, program pembangunan dan investasi asing besar-besaran telah mengakibatkan perampasan tanah besar-besaran dan mengakibatkan rakyat tergusur dari ruang hidupnya. Pembangunan Giant Sea Wall (GSW) telah mengancam hidup 16.855 nelayan di sekitar pantai utara Jakarta, pembangunan MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) juga telah menggusur ribuan orang suku Malind di Merauke, dan pembangunan waduk Jatigede yang diperuntukkan bagi perusahaan-perusahaan di sekitaran Jawa Barat telah menggusur 40.000 rakyat Jatigede. Jumlah ini belumlah ditambah dengan megaproyek di daerah lain yang melibatkan perusahaan semen, batu bara, sawit, hingga tambang. Tak hanya masyarakat di pedesaan yang merasakan kesulitan hidup di bawah rejim Jokowi-JK, namun juga rakyat di perkotaan. Belakangan ini sudah hampir 200.000 Buruh Indonesia di-PHK dengan alasan efisiensi akibat krisis. Alhasil, per semester 2015, telah tercatat sekitar 7,45 juta rakyat Indonesia menjadi pengangguran. Dari angka tersebut, ada sekitar 1 juta pengangguran dari lulusan perguruan tinggi.. Dari berbagai kasus perampasan tanah dan PHK diatas, jelas-jelas Jokowi-JK telah merugikan ribuan rakyat Indonesia melalui kebijakannya yang pro imperialisme. Lalu dimana program Nawacita dan Trisakti yang digembar-gemborkan sebagai kebijakan yang nasionalis? Lalu dimana sisi “bela negara” yang telah ditunjukkan Jokowi-JK? Jelaslah selama 1 tahun ini Jokowi-JK sama sekali tidak menunjukkan pandangan nasionalisme. Sehingga, atas dasar apa Jokowi-JK menyerukan seluruh rakyat untuk bela negara, sementara pemerintah saat ini tidak menunjukkan keberpihakannya kepada rakyat.

Lalu, “Bela Negara ala Jokowi-JK” Untuk Kepentingan Siapa?
            Selama 1 tahun kepemimpinan Jokowi-JK, perlawanan rakyat terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang merugikan. Mulai dari gerakan rakyat di Rembang, Kampung Pulo, Jatigede, Urut Sewu, hingga gerakan rakyat #MelawanAsap serta gerakan rakyat di berbagai daerah lainnya, terus bermunculan untuk menolak dominasi imperialisme dan feodalisme di tanah Indonesia. Gerakan rakyat ini tentu saja akan merugikan bagi borjuasi komprador, tuan tanah besar, dan kapitalis birokrat di seluruh penjuru negeri. Untuk itu, keamanan nasional menjadi hal penting yang perlu diperketat negara agar investasi asing dan monopoli tanah dapat berjalan dengan lancar.
            Selama 1 tahun memimpin Indonesia, Jokowi-JK makin menunjukkan sikapnya yang anti-kritik. Terlihat dari wacana menghidupkan peraturan mengenai “penghinaan presiden” yang sebenarnya telah dibatalkan MK pada tahun 2006. Wacana menghidupkan kembali RUU Kamnas (Kemanan Nasional) pada 2016 juga digelontorkan pemerintah agar dapat meredam gerakan rakyat. Bahkan, sebelum dua wacana tersebut ditetapkan menjadi peraturan, pemerintah Jokowi-JK telah melakukan pembungkaman terhadap gerakan rakyat di berbagai daerah. Tercatat oleh AGRA setidaknya selama 1 tahun pemerintahan Jokowi-JK, sudah 89 orang petani ditangkap akibat melawan monopoli dan perampasan tanah. 53 orang petani dikriminalisasikan, 34 orang mengalami kekerasan, dan 3 orang meninggal ditembak dan bahkan 1 orang petani meninggal dianiaya di tempat publik! Tindakan represif ini jelaslah merupakan bentuk tindakan anti-demokrasi yang bertujuan untuk melanggengkan dominasi imperialisme dan feodalisme di Indonesia. Tak hanya berhenti disitu, dalam RAPBN 2016, Kementerian Pertahanan mendapatkan anggaran terbesar kedua, yaitu 95,9 triliun rupiah[4]. Padahal, kita semua tahu bahwa Indonesia tidak sedang berada dalam kondisi perang, akan tetapi “keamanan” tetap saja menjadi kementerian yang mendapat anggaran terbesar kedua di RAPBN 2016. Hal ini sejalan dengan berbagai kebijakan internasional-nasional yang ditandatangani oleh Indonesia seperti US-Indonesia Comprehensive Partnership, COIN (Counter of Insurgency), hingga MoU Indonesia-Jepang dalam hal pertahanan, yang semuanya bertujuan untuk memperkuat militer Indonesia untuk memperlancar hubungan bisnis antar negara seperti Amerika Serikat dan Jepang.
            Dari skema diatas jelaslah bahwa program keamanan dan pertahanan di Indonesia diorientasikan untuk mengamankan kerjasama antar MNC/TNC dengan pengusaha dan tuan tanah besar di Indonesia dari gerakan rakyat. Sehingga program bela negara jelaslah ditujukan untuk meredam gerakan rakyat, meningkatkan kepercayaan terhadap pemerintahan, agar megaproyek besar di Indonesia bisa berjalan dengan lancar.

Program Bela Negara Jokowi-JK Merupakan Wajib Militer
“Bukan wajib militer, melainkan latihan bela negara”, begitulah ungkapan dari jajaran menteri dibawah kepemimpinan Jokowi-JK. Program bela negara ini dinilai berbeda dengan wajib militer, karena program ini dititikberatkan pada penanaman nilai-nilai nasionalisme. Padahal, di beberapa daerah yang telah melaksanakan program bela negara, pelatihan-pelatihan militer seperti pengenalan senjata dan latihan fisik dimasukkan dalam rangkaian program tersebut[5]. Pendidikan militer bela negara ini jelas hanya menjadi usaha pemerintah untuk mengekang dan merampas kebebasan rakyat dalam berdemokrasi. Apalagi kebijakan ini dijalankan hanya untuk membendung perjuangan rakyat untuk menuntut hak-hak dasarnya baik atas hidup layak, pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Sehingga program bela negara ini jelaslah merupakan bentuk militerisme yang kembali dihidupkan oleh Jokowi-JK, setelah sebelumnya berhasil ditumbangkan oleh pemuda mahasiswa di tahun 1998.
Untuk itu, kami dari Front Mahasiswa Nasional Cabang Purwokerto dengan tegas menolak program wajib militer dengan bungkus bela negara! Kami menolak tegas  apabila pemerintahan Jokowi-JK dan Menteri Pertanahan tetap menjalankan wajib pendidikan militer yang mengatasnamakan program Bela Negara pada 19 Oktober 2015. Jangan ajari rakyat soal bela negara, karena rakyat telah bekerja keras mempertahankan dan memperjuangkan tanah air dan hak hidupnya dari skema imperialisme dan feodalisme yang mengganggu kedaulatan kita. Pemerintah Jokowi-JK sampai saat inilah yang justru menunjukkan ketidakcintaannya pada tanah air dengan kepatuhannya terhadap imperialisme dan mengorbankan rakyatnya sendiri.
Jayalah Perjuangan Massa!
Salam Demokrasi!
#TolakMiliterisme
#JagaDemokrasi
#BelaNegaraBuatApa



Ketua Cabang
Front Mahasiswa Nasional Purwokerto




Fachrurrozi Hanafi







[1] https://news.detik.com/berita/3042893/kemhan-program-bela-negara-bagian-dari-revolusi-mental diakses pada 18 Oktober 2015 pukul 08:15
[2] http://nasional.kompas.com/read/2015/08/12/21464011/Menhan.Targetkan.Rekrut.100.Juta.Kader.Bela.Negara diakses pada 18 Oktober 2015 pukul 09:12
[3]  Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. 2014. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Buku I Agenda Pembangunan Nasional. Hal 60.
[4] http://finansial.bisnis.com/read/20150815/9/462798/rapbn-2016-ini-10-kementerian-pemilik-anggaran-terbesar diakses pada 19 Oktober 2015 pukul 07:23
[5] http://news.detik.com/berita/3043588/yang-ingin-tahu-begini-model-latihan-bela-negara-di-rindam-jaya diakses pada 18 Oktober 2015 pukul 11:23

Share this:

Posting Komentar

 
Back To Top
Copyright © 2018 Soeara Massa. Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Templates