Gambar: HuMa
Ditengah karut-marutnya kondisi
bangsa saat ini, kita dikejutkan dengan peristiwa yang sungguh miris. Salim
Kancil, seorang petani kecil di Kabupaten Lumajang meninggal dibantai oleh sekelompok
orang. Ia meninggal ditengah perjuangannya menyuarakan penolakan terhadap
penambangan pasir besi ilegal di desa Selok Awar-Awar yang mencemari lingkungan,
termasuk lahan dari para petani. Ia dibunuh oleh orang-orang yang pro terhadap
penambangan tersebut. Ia dibunuh bak binatang, dipukul dengan batu, senjata
tajam, disetrum, hingga digorok lehernya menggunakan gergaji. Hingga hari ini
polisi telah menetapkan tersangka sebanyak 37 orang, termasuk di dalamnya juga
ada aparat yang terlibat.[1]
Peristiwa yang dialami Salim Kancil hanya sebagian kecil dan ia hanya salah
satu korban dari peristiwa besar yang telah berlangsung lama dan tak kunjung
usai, yakni Konflik Agraria.
Selain kasus Salim Kancil
sebenarnya masih banyak kasus-kasus lain
berkaitan dengan konflik agraria sebelum ini, seperti kekerasan terhadap
ibu-ibu petani di Rembang, Kasus Mesuji, Bima hingga Dharmakradenan, Ajibarang
dan masih banyak lagi konflik yang terjadi. Laporan kekerasan dan konflik
agraria yang dikeluarkan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada 2013 menyebut,
terdapat 369 kasus konflik agraria di Indonesia.[2]
Berbagai macam konflik agraria
timbul sebagai akibat dari adanya ketimpangan penguasaan dan peruntukan, serta
tumpang tindihnya berbagai regulasi terkait dengan sumber daya agraria. Padahal
Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 mengamanatkan bahwa sumberdaya alam yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan digunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun yang terjadi sebaliknya, negara
sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk memberikan kemakmuran kepada rakyatnya justru mengkhianati amanat
konstitusi.
Negara melakukan perampasan
tanah-tanah rakyat yang dilakukan dengan cara-cara represif dan digunakan bagi
kepentingan pemilik kapital.
Perkembangan
konflik agraria di Indonesia
Konflik agraria di Indonesia
sebenarnya telah berlangsung lama bahkan sejak masa kolonialisme dan dalam
perkembangannya semakin meluas ke seluruh penjuru tanah air. Pada masa kolonial
konflik agraria bersumber dari penerapan Agrarische
Wet pada tahun 1870 yang sangat merugikan bagi rakyat Indonesia. Namun
setelah masa kemerdekaan Agrarische Wet
dihapus dan diganti dengan UUPA pada tahun 1960. Bahkan rezim Soekarno telah
mencanangkan program land reform atau
reforma agraria melalui bagi rakyat Indonesia. Dalam perkembangannya program land reform belum berhasil dijalankan
secara sempurna dan rezim Soekarno keburu digulingkan. Penggantinya,
Pemerintahan Orde Baru justru melaksanakan kebijakan yang berkebalikan dengan
apa yang dicanangkan oleh rezim Soekarno. Gagasan reforma agraria sama sekali
tidak dilaksanakan di era Orde Baru. Kebijakan-kebijakan rezim Orde Baru di
bidang agraria secara manipulatif telah menyalahgunakan aturan hukum yang
tercantum dalam Pasal 33 UUD 1945, yang turunannya termuat dalam Pasal 1 UUPA,
yaitu mengenai hak menguasai oleh negara. Dalam bagian penjelasan sangat jelas
dinyatakan bahwa hak menguasai bukanlah hak memiliki melainkan hanya wewenang
untuk mengatur. Oleh pemerintah orde baru kewenangan mengatur itu bukannya
dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat akan tetapi untuk
“sejauh-jauhnya memfasilitasi modal asing”.[3]
Disamping itu rezim Orde Baru
juga memaknai secara keliru fungsi sosial atas tanah. Tanah-tanah rakyat
dirampas dengan dalih akan digunakan untuk pembangunan kepentingan umum, namun
yang terjadi justru untuk dijadikan pusat industri, jalan tol bandara dan
fasilitas lain yang justru lebih condong kepada kepentingan pemilik modal.
Setelah rezim Orde Baru runtuh pada tahun 1998, gagasan land reform kembali disuarakan, yang akhirnya melahirkan TAP MPR
Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Di era reformasi konflik agraria belum juga mereda dan justru terus meningkat
setiap tahunnya. Selama SBY memimpin (2004-2013) terjadi sebanyak 987 kasus, 21
petani tewas, 30 orang tertembak 130 orang dianiaya dan 239 orang ditahan oleh
aparat keamanan. Ini data yang berhasil dihimpun oleh KPA. Tentu masih ada
kemungkinan masih banyak kasus yang belum dilaporkan.
Petani-petani di Indonesia harus
rela tanah-tanahnya di rampas oleh negara demi kepentingan pemilik modal. Dan
para petani yang hanya memegang cangkul harus menghadapi senjata laras panjang,
inilah bentuk represifitas negara terhadap rakyatnya. Tidak hanya itu saja
upaya untuk mencekik petani-petani miskin dilakukan dengan berbagai regulasi
yang sama sekali tidak pro-rakyat seperti UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya
Air, UU No. 4/2009 tentang Minerba, UU No.25/ 2007 tentang Penanaman Modal, UU
No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan
berbagai regulasi lainnya.
Bukti bahwa saat ini konflik
agraria terus meningkat setiap tahunnya ada pada grafik dibawah ini :
Dari grafik diatas kita tentu
melihat bahwa konflik agraria dari tahun ke tahun terus meningkat dan hari ini
berpotensi untuk terus meningkat. Apalagi dengan orientasi kebijakan rezim
Jokowi yang terus mengembangkan pembangunan infrastruktur. Potensi pembebasan
lahan untuk pembangunan infrastruktur kemungkinan akan meningkat yang tentunya
akan terus memperpanjang konflik agraria di Indonesia. Aliansi Gerakan Reforma
Agraria (AGRA) mencatat, selama pemerintahan Jokowi-JK setidaknya 89 orang
petani ditangkap dan 52 orang diantaranya dikriminalisasikan, 29 orang
mengalami kekerasan dan 3 orang meninggal.[4]
Ini sebelum kasus Salim Kancil terjadi dan tidak termasuk kasus Kampung Pulo.
Kapan
Usai?
Jawaban untuk pertanyaan diatas
jelas sudah kita temukan, Reforma Agraria jawabannya. Konflik agraria akan usai
jika telah dilaksanakan reforma agraria yang sejati. Namun untuk menyelesaikan
konflik-konflik agraria dan melaksanakan reforma agraria di Indonesia agaknya
merupakan sesuatu yang maha sulit. Kompleks, multidimensi serta lintas sektoral
merupakan potret konflik agraria di Indonesia.
Upaya untuk mewujudkan reforma
agraria pernah dilakukan di rezim SBY. Pada tanggal 31 Januari 2007 Presiden
SBY berencana memulai pelaksanaan reformasi agraria dengan prinsip tanah untuk
keadilan dan kesejahteraan rakyat. Sebelumnya pada 28 September 2006 SBY
memanggil Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian dan Kepala Badan Pertanahan
Nasional RI untuk menetapkan 18,5 juta hektar hutan produksi konversi
dialokasikan bagi program reformasi agraria untuk mengatasi kemiskinan dan
pengangguran.[5] Namun
hal ini tidak trealisasi secara maksimal. Dari 4,8 juta hektar tanah terlantar
yang terindikasi oleh BPN RI baru 37.223 hektar yang ditetapkan sebagai tanah
terlantar dan parahnya lagi, tanah terlantar yang ditetapkan ini belum sempat
diredistribusikan kepada masyarakat. Petani pun kecewa.
Rezim Jokowi-JK pun tak
ketinggalan. Jokowi berencana membagikan 9 juta hektar lahan pertanian untuk
dibagikan kepada masyarakat. Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup mengatakan
Jokowi menginstruksikan reformasi agraria melalui redistribusi lahan pertanian
tersebut mengingat penguasaan lahan Indonesia hanya sekitar 0,8 hektar lahan
per orang.[6]
Nampaknya ini hanya sekedar wacana karena yang terjadi justru sebaliknya,
perampasan tanah-tanah rakyat terus dilakukan oleh rezim Jokowi-JK, kasus
Kampung Pulo merupakan contoh konkret.
Berkaca dari hal tersebut kita
tentu dapat menarik kesimpulan bahwa di setiap rezim pemerintahan selalu
diwacanakan mengenai reforma agraria, namun tidak pernah diimplementasikan
sehingga konflik-konflik agraria tetap membara hingga kini. Kita juga kemudian
dapat berkesimpulan bahwa negara sejatinya tidak menginginkan terwujudnya
reforma agraria. Oleh karena itu sudah saatnya petani-petani di Indonesia harus
dikonsolidasi untuk melakukan gerakan-gerakan massa, dan melakukan
tuntutan-tuntutan kepada negara sehingga reforma agraria yang sejati akan
terwujud, cepat atau lambat.
Penulis: Faizal Ashari
(Anggota FMN Komite Hukum Ranting Unsoed)
[1]
http://m.okezone.com/read/2015/10/08/337/1228172/ada-dalang-lain-dalam-pembunuhan-salim-kancil?=utm_source=br
[2]
http://www.sajogyo-institute.or.id/artikel.php?link=art&id=67//
[3]
Ibid, hlm. 67
[4]
http://www.soearamassa.com/2015/08/mengutuk-dan-mengecam-pemukulan-petani.html?m=0//
[5]
http://indoprogress.com/2013/09/aliansi-kelas-pekerja-dan-reformasi-agraria-di-indonesia//
[6]
http://m.cnnindonesia.com/ekonomi/20150309143822-92-37746/bagikan-lahan-jokowi-dianggap-tak-paham-reformasi-agraria/



Posting Komentar