“Ubi
Societas ibi ius” (Cicero)
Pembicaraan dalam tulisan ini ada dimulai dari kita
membahas mengenai hukum secara esensial yang oleh Cicero disederhanakan dalam
adagiumnya yaitu ubi societas ibi ius (dimana
ada masyarakat disitu ada hukum).
Hukum
Masyarakat
Masyarakatlah yang menjadi awal penentu
kehadiran hukum sebagai alat ketertiban sosial.[1]
Pandangan ini dapat dibenarkan ketika secara ringkas kita misalkan dalam hutan
hidup seorang manusia saja kita anggap A, entah apa yang akan ia perbuat dan ia
lakukan adalah menjadi hal yang tidak dipermasalahkan karena memang tidak ada
individu lain didalam hutan tersebut. Namun berbeda halnya ketika telah muncul
manusia lain kita angap B didalam hutan tersebut yang mengawali kemunculan
masyarakat dengan segala permasalahannya, maka jelaslah manusia pertama A dan B
akan melakukan interaksinya sesuai dengan kebutuhan mereka, dan yang semula A
dapat berbuat seenaknya dan semaunya dengan kehadiran B, A tidak akan bisa
berbuat semaunya dan seenaknya karena kebebasan yang dimiliki oleh A akan
selalu berbenturan dengan kebebasan yang dimiliki oleh B. Nah, posisi disinilah
muncul hukum yang akan mengatur hubungan antara A dan B agar ada ketertiban
dalam hubungan sosial mereka. Jelaslah hukum yang ada dalam hubungan sosial
antara A dan B adalah hukum yang muncul atas kehendak sadar atau tidak sadar A
dan B dengan berdasarkan kesepakatan yang baik sadar maupun tidak mereka
sepakati (kesepakatan dalam penentuan hukum antara A dan B adalah bentuk
keadilan dlam hukum A dan B).
Perkembangan hubungan sosial antara A
dan B pun menjadikan hukum yang digunakan untuk mengatur antara A dan B pun
akan berkembang menyesuaikan dengan kondisi hubungan A dan B. Misal pada awal
pergaulan A dan B adalah pergaulan layaknya masyarakat yang bersifat
tradisional dengan permisalan A dan B adalah petani tradisional, maka hukum
yang ada pun adalah hukum yang berkaitan dengan kehidupan petani yang
tradisional pula (bukan hukum nelayan ataupun hukum industri, karena A dan B
tidak bekerja dalam bidang tersebut). Namun dengan berkembangannya pemikiran
mereka, yang awalnya hanya petani tradisional dengan bekerja menggunakan
alat-alat manual menjadi petani modern dengan alat-alat yang modern pula, maka
hukum yang ada-pun akan berkembang menjadi hukum yang bersifat modern dengan
tetap mengatur hubungan pertanian antara A dan B. Perkembangan hukum yang
muncul seiring dengan perkembangan hubungan sosial antara A dan B pun adalah
hukum yang oleh A dan B kehendaki sadar atau tidak.
Perkembangan hukum didalam masyarakat
sangat terpengaruh oleh bagaimana keadaan atau kondisi sosial masyarakatnya,
konstruksi tersebut berakar pada hubungan individu satu dengan individu lainnya
yang mempengaruhi hukum yang berasal. Sehingga konstruksi hukum adalah bermula
pada kesepakatan (sadar atau tidak sadar) antara individu satu dengan individu
lainnya atau kesepakatan masyarakat (dalam konteks yang lebih luas). Dengan
munculnya kesepakatan tersebut baik dengan sadar ataupun tidak menandai telah
muncul adanya hukum didalam masyarakat tersebut. Ketika hukum yang ada adalah
tidak berawal dari sebuah keseapakatan, maka yang terjadi adalah pemaksaan
dengan kekuasaan hukum sepihak. Misal A membuat hukum AB dengan tanpa
kesepakatan B, maka A dalam menerapkan hukum ke B adalah sebagai sebuah
pemaksaan hukum atau penindasan hukum.
Yang selanjutnya setelah ada konstruksi
kesepakatan dan terbentuk hukum, maka yang selanjut muncul adalah kekuasaan
hukum. Dimana hukum punya kekuasaan untuk membatasi tindakan para individu
didalam masyarakat yang terikat oleh hukum tersebut. Kekuasaan yang dipaksakan
kepada salah satu anggota atau individu ketika ada pelanggaran hukum, tidak bisa
dianggap sebagai penindasan atau pemaksaaan. Karena kekuasaannya pun berasal dari kesepakatan individu tersebut
dengan masyarakat lainnya.
Demikianlah yang penulis maksud sebagai
hukum yang esensial yang memang muncul dalam kehidupan masyarakat (selanjutnya
disebut sebagai hukum masyarakat, dengan tahapan kesepakatan à hukum à kekuasaan hukum
untuk menerapkan hukum) dan yang selanjutnya akan digunakan sebagai landasan
berpikir dalam perdebatan selanjutnya.
Intervensi
Negara dalam Masyarakat
Hubungan masyarakat yang secara
sederhana dalam tulisan ini digambarkan dalam hubungan A dan B telah
mempengaruhi corak hukum dalam masyarakat tersebut. A dan B yang akan semakin
berkembang dalam hal kehidupan sosialnya akan terus mempengaruhi hukum yang ada
dalam kehidupan masyarakat A dan B. Hingga pada akhirnya muncul suatu lembaga
yang disebut sebagai negara, yang melalukan intervensi dalam kehidupan pegaulan
individu dengan individu dalam masyarakat dan hubungan antar masyarakat.
Kemunculan negara[2] sebagai bentuk
intervensi dalam masyarakat ada dua kemungkinan, yang pertama adalah negara
yang dikehendaki oleh beberapa kelompok masyarakat itu sendiri sebagai lembaga
yang akan digunakan untuk mengatur hubungan individu satu dengan individu lain
dalam masyarakat dan mengatur hubungan antar masyarakat didalam negara
tersebut. Yang kedua adalah negara dengan kemunculannya tanpa kehendak dari
beberapa kelompok masyarakat, semisal negara dengan bentuk monarki absolut.
Dengan kekuatannya, orang yang nantinya aka memimpin melakukan sebuah tindakan
penjajahan dengan kekuatannya untuk memaksakan kepada masyarakat hingga
akhirnya terciptalah sebuah negara yang tidak dikehendaki oleh beberapa
kelompok masyarakat tersebut.
Logika Munculnya Hukum Positif Negara
Terkait dengan hubungan antara
masyarakat dan negara dalam hal ini juga ternyata ada sebuah hukum yang
mengatur didalamnya yang kita sebut sebagai hukum negara atau hukum positif
dalam sebuah negara, yang mana ini senyatanya digunakan untuk mengatur hubungan
individu dengan individu didalam masyarakat dan antar masyarakat didalam negara
dan hubungan masyarakat dengan negara pula. Sebagaimana kemunculan hukum yang
telah dibahas diatas (yang berawal dari adanya hubungan masyarakat atau dua
individu atau lebih), maka seharusnya pula hukum sebagai pengatur hubungan
didalam kehidupan bernegara berawal dari kehendak negara dan kehendak
masyarakat yang nantinya akan mencerminkan keadilan. Yang artinya pula
seharusnya dalam penetuan hukum negara ini adalah berangkat dari hubungan
sosial antara negara dan masyarakat (gejala sosial) baik secara sadar atau
tidak sadar yang juga hukum ini adalah dikehendaki oleh negara dan masyarakat.[3]
Yang artinya pula kedudukan antara negara dan masyarakat harus mempunyai
kedudukan yang sama dan tidak saling menindas, agar hukum yang tercipta
bukanlah sebuah bentuk hukum yang menindas dan dikehendaki oleh kedua belah
pihak (negara dan masyarakat).
Namun dalam kenyataannya negara selalu
mempunyai kedudukan dan kekuatan yang lebih besar dari pada masyarakatnya.
Sehingga sangat mungkin terjadi penindasan hukum oleh negara terhadap
masyarakat yaitu adanya pemaksaan kehendak
negara terhadap kehendak masyarakat untuk mengikuti hukum yang telah dibuat
secara sepihak oleh negara dengan tujuan mempertahankan status quo negara terhadap masyarakat. Hal inil adalah pengingkaran
terhadap esensi hukum yang telah dibahas diatas, yaitu hukum berasal dari
kesepakatan (sadar atau tidak sadar).
Penindasan
Hukum Negara oleh Legitimasi Negara terhadap Hukum Masyarakat
Dianggap sebagai sebuah penindasan hukum
oleh negara terhadap masyarakat karena hukum yang dibuat secara sepihak oleh
negara tanpa ada kesepakatan dengan masyarakat memaksakan kehendaknya terhadap
hukum yang ada didalam masyarakat. Hukum masyarakat Madura misalnya, untuk
tetap mempertahankan harga diri dan kewibawaannya masyarakat hukum setempat
melakukan upaya carok (atau duel
sampai ada yang mati). Keadaan hukum yang seperti ini adalah keadaan dimana
hukum yang dimasyarakat setempat inginkan untuk menyelesaikan permasalahan mereka
dengan tujuan tercapainya ketertiban dan tetap mejaga keharmonisan serta
keseimbangan didalam masyarakat. Namun disisi lain negara dengan hukum positif
negara mempersalahkan tindakan carok
masyarakat madura yang dianggap adalah sebagai sebuah perbuatan yang tercela
dan bahkan dianggap sebagai perbuatan kau barbarism. Pertentangan ini lah yang
manjadi awal penindasan hukum oleh negara terhadap masyarakat, dimana
masyarakat dituntut melaksanakan dan menjalankan secara patuh hukum yang telah
dibuat oleh negara meskipun secara kenyataannya hukum negara yang ada adalah
tidak sesuai dengan hukum yang berada dimasyarakat.
Lalu bagaimana pertentangan antara hukum
negara dan hukum yang ada didalam masyarakat yang berlandaskan pada kebiasaan
dan kesepakatan masyarakat dapat terjadi? Hal ini harus diruntutkan secara
jelas mengenai landasan apa yang digunakan dalam merumuskan hukum negara dan hukum
masyarakat.
Hukum masyarakat sebagaimana diatas
telah dijelaskan berakar dari kesepakatan dan kebiasaan yang ada didalam
masyarakat. Hukum yang hidup didalam masyarakat berlandaskan pada kepatutan
atau yang disebut dengan norma kesopanan.[4]
Disisi lain hukum yang dibuat oleh
negara atau hukum positif dalam sebuah negara berlandaskan pada dua
kemungkinan. Kemungkinan yang pertama adalah hukum yang akan diterapkan dan
dipaksakan adalah hukum yang sudah ada didalam masyarakat itu sendiri atau berlandaskan
pada kepatutan didalam masyarakat. Sehingga posisi negara adalah hanya sebagai
alat pemaksa bagaimana ketika ada seseorang atau beberapa kelompok orang
melanggar hukum, maka negara akan menghukum orang atau kelompok tersebut dengan
hukum yang ada didalam masyarakat itu pula atau posisi hukum hanyalah
mendeskripsikan hukum yang ada didalam masyarakat dan lalu bagaimana
menerapkannya secara konsisten. Nah, mengenai kemungkinan inipun sebenarnya
masih menjadi pertanyaan, apakah masyarakat butuh negara dalam menerapkan hukum
yang ada didalam masyarakat (karena posisi negara hanya mendeskripsikan hukum
masyarakat dan menghukum si pelanggar)? Dalam kasus carok yang terjadi di Madura, masyarakat Madura tidak perlu meminta
bantuan negara untuk mengkoordinir dan memfasilitasi arena tarung untuk carok. Karena hal tersebut senyatanya
yang terjadi dimasyarakat. Atau dengan permisalan antara A, B dan C punya hukum
picis jika antara keduanya ada yang
mendapat makanan dan tidak dibagikan, maka jika A mendapat makanan dan tidak
dibagikan kepada B dan C maka A telah melanggar hukum masyarakat tersebut,
hingga akhirnya A harus dihukum picis. Dalam
menerapkan hukuman kepada A, masyarakat atau dalam hal ini B dan C tidak
membutuhkan intervensi dari masyarakat luar atau negara, karena A adalah bagian
dari warga masyarakat A, B dan C.[5]
Kemungkinan kedua dalam perumusan adalah
dengan model preskriptif atau negara menentukan hukum baru yang berlandasarkan
pada norma susila atau norma yang kebenarannya dianggap bersifat universal
dengan tetap memperhatikan masyarakat atau dengan tanpa memperhatikan
masyarakat (secara sepihak). Sehingga posisi negara dalam model ini adalah
sebagai penentu atau pembuat hukum baru yang berbeda dengan hukum yang ada
didalam masyarakat dan menegakkan hukum tersebut dengan kekuatannya. Landasan
mengapa negara membuat hukum baru atau dengan melandaskan pada norma yang
bersifat universal adalah dengan dalih agar masyarakatnya tidak hidup dengan
hanya berlandasakan pada kebiasaan yang terkadang dalam sudut pandang norma
susila adalah bertentangan (contoh: carok,
hukum picis, dll).
Sehingga dengan latar belakang atau
landasan yang berbeda antara penetuan hukum masyarakat yang lebih kearah muncul
akibat gelaja sosial atau sifatnya yang deskriptif (berlandaskan pada
kebiasaan, kepatutan dan norma kesopanan) dengan hukum negara yang berlandaskan
pada sifatnya yang preskriptif (berlandaskan pada norma-norma yang dianggap
bersifat universal). Hal ini-lah yang terkadang didalam realita-nya sering
terjadi apa yang disebut kesenjangan antara das
solen dengan das sein. Hal
tersebut adalah menjadi wajar, karena apa yang disebut sebagai das solen atau hukum negara dengan
landasannya norma susila coba diterapkan dan dipaksakan dengan jalan sosial enginering didalam kehidupan
masyarakat senyatanya atau das sein.
Karena latar belakang dan landasan yang berbeda antara keduanya, dimana das sein yang bersifat preskriptif
ternyata menentukan hukum baru yang berbeda dengan yang ada didalam masyarakat
karena negara menganggap bahwa didalam masyarakat ada suatu permasalahan hukum
(hal ini wajar karena norma kepatutan dipandang dalam sudut pandang norma
susila atau dengan selain norma kepatutan). Sedangkan didalam realitanya
masyarakat tidak ada sebuah permasalahan hukum (dalam sudut pandang norma
kepatutan), jalan penyelesaian ketika A melanggar hukum yang telah dibuat oleh
A, B dan C sebenarnya telah ada didalm masyarakat itu sendiri yaitu dengan
jalan misal hukum picis.
Apa yang sekarang kita anggap sebagai
permasalahan hukum adalah ketika masyarakat tidak mengikuti hukum negara atau
terjadi kesenjangan antara hukum positif yang ada dengan tindakan masyarakat.
Hal ini akan menjadi wajar karena ternyata hukum negara yang bersifat
preskriptif adalah tidak sebagai apa yang masyarakat inginkan dan butuhkan.
Karena pada dasarnya adalah masyarakat akan bertindak sesuai dengan
kebiasaannya (dan kebiasaan ini akan terus berkembang seiring denga
berkembangnya kondisi sosial masyarakat). Namun ketika masyarakat dipaksa untuk
berbuat diluar kebiasaannya, maka yang terjadi adalah dua kemungkinan, yaitu masyarakat akan
bergerak atau bertindak dengan paksaan negara atau masyarakat akan menolak dan
tetap dengan kebiasaanya. Namun, kedua hal tersebut adalah masih dalam tahapan
apa yang disebut sebagai penjajahan hukum kepada masyarakat, karena pada
dasarnya apa yang menjadi hukum untuk mengatur masyarakat adalah bukan berasal
dari kesepakatan dan kebiasaan didalam masyarakat.
Penerapan hukum yang bersifat
preskriptif ini adalah menjadi sebuah hal yang wajar ketika masih ada intervensi
diluar kelompok masyarakat tersebut atau dengan jalan adanya negara dan negara berkehendak
menerapkan hukum yang memang benar-benar diluar dari kebiasaan masyarakat.
Misalkan dalam sebuah masyarakat A, B dan C yang padahal telah punya hukum
pancung ketika salah satu dari mereka melanggar kesepakatan, D atau negara akan
menerapkan hukum pidana kurungan penjara kepada si pelanggar. Hal ini adalah
apa yang disebut sebagai penjajahan hukum negara oleh legitimasi negara
terhadap hukum yang telah ada didalam masyarakat. (Dalam kasus tersebut padahal
masyarakat A, B dan C dapat menghukum pancung (sesuai dengan kesepakatan) bagi
si pelanggar).
Sifat
Preskriptif Hukum[6]
Hukum yang
bersifat preskriptif yaitu hukum yang muncul akibat adanya anggapan bahwa didalam
masyarakat ada sebuah permasalahan hukum dan bagaimana seolah hukum negara
dapat men-solusikan-nya, hal ini adalah wajar ketika masih ada anggapan adanya pertentangan
antara das solen dengan das sein atau pertentangan antara hukum
negara dengan kenyataan didalam masyarakat yang tindakannya berladaskan pada
kebiasaan hidup didalam masyarakat. Dimana
telah dijelaskan diatas bahwa pertentangan antara das solen dengan das sein adalah
akibat dari penjajahan hukum negara oleh legitimasi negara tehadap hukum
masyarakat (masyarakat), masyarakat yang berjalan dengan kebiasaan atau hukum
masyarakat mereka sendiri dipaksa untuk melakukan yang diluar kebiasaan mereka
atau dipaksa untuk mengikuti perintah negara dengan jalan adanya hukum negara.
Hingga pada akhirnya ketika ada masyarakat yang berbuat (das sein) dan tidak melaksanakan apa yang ada didalam hukum negara
(das sollen), ini dianggap sebagai
sebuah permasalahan hukum dan bagaimana dicarikan solusi dengan jalan
menentukan hukum baru. Ditentukannya hukum baru inipun adalah bagian dari sifat
preskriptif ilmu hukum selanjutnta, yang padahal dari awal adanya anggapan
didalam masyarakat dan hukum negara harus men-solusi-kannya telah dibantah dan
pada akhirnya masyarakat sebenarnya tidak membutuhkan negara. Sehingga ketika
hukum yang baru ini tetap muncul sebagai hukum negara atau hukum yang bersifat
preskriptif, maka yang selanjutnya terjadi-pun adalah penindasan hukum negara terhadap
hukum masyarakat karena perbedaan latar belakang dan landasan kedua hal
tersebut.
Yang padahal
didalam masyarakat sendiri, permasalahan yang dilakukan oleh salah satu
individu atau beberapa individu dalam masyarakat dengan melakukan pelanggaran
dan mengganggu keseimbangan masyarakat telah ada hukum yang mengatur itu, yaitu
hukum masyarakat mereka sendiri.[7]
Pandangan dalam
sudut pandang ilmu hukum yang bersifat preskriptif adalah hanya akan menjadikan
selalu adanya sebuah kesenjangan antara das
sollen dan das sein, antara hukum
negara yang dibuat dengan sudut pandang norma susila dengan tindakan masyarakat
atau hukum masyarakat yang terbentuk atas dasar kebiasaan masyarakat atau norma
kesopanan dalam masyarakat. Atau yang oleh Peter Mahmud[8]
sampaikan mengenai penolakan kajian empiris dalam hukum atau ilmu hukum, karena
kajian daripada hukum atau ilmu hukum itu sendiri adalah aturan-aturan yang
ditetapkan oleh penguasa (pemerintahan negara), putusan-putusan yang diambil
dari sengketa yang timbul, dan doktrin-doktrin yang dikembangkan ilmu hukum,
hal tersebut muncul adalah sebagai konsekuensi adanya negara, kekuasaan negara,
dan hukum negara (hukum positif negara). Yang mana dalam penentuan dan
perumusan hukum negara ini seperti yang telah dijelaskan sebelumnya telah
mengingkari hukum yang bersifat esensial yang berasal dari kesepakatan dan
kebiasaan masyarakat dan juga hukum negara selalu bertentangan dengan keadaan
yang ada didalam masyarakat, karena apa yang dilakukan masyarakat dengan berlandaskan
pada kebiasaan berbeda dengan hukum negara yang berlandaskan dengan aturan atau
norma susila.
Selama masih dengan sudut pandang yang sangat sempit
dalam memandang ilmu hukum hanya dari sifat yang preskriptif (yang jelas ini
bukan yang diinginkan dan dibutuhkan masyarakat, karena masyarakat punya hukum
masyarakat yang mampu menyelesaikan permasalahan mereka), daripada melihat
hukum secara holistik atau secara
menyeluruh, maka yang terjadi adalah akan terus terjadinya penindasan hukum
negara oleh negara itu sendiri terhadap masyarakatnya. Yang padahal menurut Satjipto
Rahadjo hukum adalah untuk manusia itu sendiri, dengan kehadiran negara dan
menerapkan hukum yang preskriptif dan bahkan amat normatif, maka hukum hanya
akan bermain diranahnya sendiri (hukum) dan yang terjadi adalah penindasan
hukum terhadap masyarakat. Sehingga yang perlu dilakukan adalah dengan tetap
menerapkan hukum yang muncul secara esensial yang ada didalam masyarakat atau
yang disebut sebagai hukum masyarakat (adat, kebiasaan atau kesepakatan
masyarakat).
Kondisi Hukum dalam Masyarakat Setengah Jajahan
Setengah Feodal
Setelah diatas dipaparkan tentang
logika penindasan yang dilakukan terhadap hukum masyarakat oleh hukum Negara,
dalam bab ini akan diuraikan tentang posisi hukum dalam kondisi masyarakat
setengah jajahan dan setengah feodal.
Keberadaan Negara yang hanya
berposisi sebagai rezim boneka dari Imperialisme AS dan selalu mengabdikan
dairinya pada Imperialsime AS serta terus melakukan upaya untuk mendukung
dominasi Imperialisme AS di Indonesia untuk melakukan eksploitasi terhadap
sumber daya alam, memperoleh sokongan buruh murah dan merampas tanah rakyat
untuk dimonopoli. Dengan keadaan yang demikian, posisi Negara pada akhirnya
akan selalu memperlihatkan wataknya untuk terus menghambakan dirinya pada
kepentingan Imperialisme AS dengan melaksanakan kebijakan-kebijakan yang pro
terhadap Imperialisme AS dan selalu merugikan rakyat disisi lainnya. Bahkan,
dalam kebijakan hukum yang dikeluarkan oleh Negara sebagai bentuk pelakasanaan
pemerintahan, Negara hari ini tidak menunjukkan niatan untuk mendukung
kepentingan rakyat, dan bahkan melakukan likuidasi atas hukum yang berkembang
dimasyarakat dengan memberlakukan peraturan perundang-undangan yang anti
terhadap kesejahteraan rakyat dan bertentangan dengan prinsip keadilan dan
kesejahteraan masyarakat yang dipertahankan dalam hukum adat (hukum yang hidup
dan berkembang di dalam masyarakat).
Kondisi banyaknya peraturan
perundang-undangan yang bertentangan dengan kepentingan masyarakat dan
berposisi melakukan penindasan atas hukum yang hidup dalam masyarakat sudah
terjadi sejak lama, bahkan dimasa kepemimpinan Soeharto telah muncul peraturan
sekelas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing yang memberikan
keleluasan dan legitimasi terhadap pihak asing, Imperialisme AS khususnya untuk
mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia, dimana hal ini jelas bertentangan
dengan hukum adat masyarakat Indonesia yang coba diakui dan diberi ruang
pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria. Hal
tersebut memperlihatkan bahwasanya Negara lebih melihat kepentingan Imperialsme
AS daripada kepentingan masyarakat Indonesia, yang mana hal tersebut berdampak
pada munculnya bentuk penindasan hukum atas hukum masyarakat Indonesia oleh
hukum Negara. Bahkan parahnya, dalam UUPA yang mengakui keberadaan hukum adat
sebagai sumber hukum, dipertentangkan dan seolah tidak berlaku dengan munculnya
UU Penanaman Modal Asing tersebut.
Selain itu banyak sekali aturan yang
berkaitan dengan masalah hukum adat, akan tetapi tidak memberi ruang berlakunya
hukum adat, akan tetapi malah melakukan penindasan hukum masyarakat, peraturan
perundang-undangan tersebut antara lain:
- Pasal tentang Hak Guna Usaha didalam UU Pokok Agraria[9]
- Undang-undang No. 25/2007 tentang Penanaman Modal, UU tentang pengadaan tanah untuk pembangunan[10]
- UU No. 18/2003 tentang Perkebunan, UU No 7/2004 Sumber Daya Air[11]
- UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan UU No. 4/2009 tentang Mineral dan Batubara[12]
- UU No.7 Tahun 1994 tanggal 2 Nopember 1994 tentang pengesahan (ratifikasi) “Agreement Establising the World Trade Organization”.[13]
- Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 yang kemudian diganti menjadi Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional[14]
- Tap MPRS No. XXII tentang pembaharuan Kebijakan Landasan Ekonomi Keuangan dan Pembangunan negara Indonesia mulai membuka kerjasama dengan IMF (International Monetary Fund) tahun 1967 untuk memperoleh hutang melalui LoI (Letter of Intent)[15]
- UU No. 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan[16]
- Pasal 27 UU No. 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan[17]
- PP No. 18 Tahun 2010 Tentang Budidaya Tanaman.[18]
- UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.[19]
- PP No. 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha.
- Peraturan Menteri Negara Agraria No.2 Tahun 1993 Tentang Izin Lokasi.
- UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan.[20]
- UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
- UU No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi.
- UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan.
- UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
- UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
- UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
- UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.
- UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
- UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
- UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
- dll.
Dari
paparan tersebut menunjukkan bahwa Negara hari ini telah benar-benar melakukan
bentuk penindasan atas hukum masyarakat dengan tidak memberikan ruang untuk
masyarakat dapat hidup dan sejahtera atas dasar kemandiriannya, akan tetapi
selalu ditindas dalam segaala segi, ekonomi, budaya dan bahkan hukum. Hukum yang
ada hanya akan dijadikan sebagai alat penindas masyarakat dengan melahirkan
peraturan-perundang-undangan yang tidka memihak terhadap rakyat dan terus
berpihak pada kepentingan Imperialisme AS. Dominasi Imperialisme AS terhadap Negara
Indonesia yang setengah jajahan dan setangah feudal diterjemahkan oleh Negara dengan
melakukan upaya-upaya penghisapan dan penindasan, dan bahkan kekerasan
(fasisme) untuk merepresi rakyat dan segala bentuk perlawanan rakyatnya. Penindasan
ini juga dilaksanakan dalam bidang hukum (ranah legal formal) untuk menindas
rakyat dan melikuidasi aturan dan norma yang hidup di dalam masyarakat sebagai
wujud pengabdian Negara pada Imperialisme AS.
Hal
tersebut sepada dengan teori bahwa Negara dan hukum yang ada di dalam
masyarakat sebagai tatanan suprastruktur akan terus digunakan untuk menindas
dan menghisap rakyatnya serta mempertahankan sistem ekonomi dan politik
(basisstruktur) yang menghisap dan menindas meskipun telah usang, yaitu sistem
setengah jajahan dan setengah feodal.
Penulis: Cipto Prayitno
(Kepala Departemen Pendidikan dan Propaganda FMN Purwokerto)
[1] Dalam pandangan Marxistme: ekonomi, sosial dan politik adalah sebagai Basic Structur dan hukum (salah satunya)
adalah sebagai Supra Structur didalam
perkembangan masyarakat. Jelaslah bahwa hukum sebagai Supra Structur dalam masyarakat akan mengikuti atau dipengaruhi
oleh ekonomi, sosial dan politik sebagai Basic
Structur didalam masyarakat tersebut.
[2] Menurut G.
Jellinek, terjadinya negara melalui 4 tahapan (Fase) yaitu : 1). Fase
Persekutuan manusia, 2). Fase Kerajaan, 3). Fase Negara, 4). Fase Negara
demokrasi dan Diktatur. Disadur dari DimasTaufik, Asal Mula Terjadinya Negara Berdasarkan Fakta dan Teoritis, http://dhimastaufik.wordpress.com/2013/06/11/asal-mula-terjadinya-negara-berdasarkan-fakta-dan-teoritis/, diakses pada 18 Desember 2013. Sedangkan
dalam teori kenegaran terjadinya negara berdasarkan: 1). Teori Ketuhanan
(Theokrasi), 2). Teori Kekuasaan, 3). Teori Perjanjian Masyarakat (Du Contract Sosial), 4). Teori Hukum
Alam. Disadur dari Asal
Mula Terjadinya Negara, http://fisipunsil.blogspot.com/2013/05/asal-mula-terjadinya-negara.html, diakses pada 20 Desember 2013.
[3] Mengenai kemunculan hukum negara atau hukum positif negara akan dibahas
lebih lanjut dalam bab selanjutnya tentang Sifat
Preskriptif Hukum. Dan dalam bab ini akan dijelaskan mengenai kesalahan
dalam postulat dasar penentuan hukum negara atau hukum positif negara.
[4] Sudikno
Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu
Pengantar, 2007, Yogyakarta: Penerbit Liberty.
[5] Yang artinya dalam konteks penegakan hukum yang esensial yang ada
didalam masyarakat, negara tidak dibutuhkan sebagai penegak hukum didalam
masyarakat tersebut.
[6] Disiplin preskriptif adalah menyorot sesuatu (objek) yang
dicita-citakan atau yang seharusnya, sedangkan disiplin analitis menyorot
sesuatu (objek) sebagai kenyataan. Atas dasar itulah maka terdapat dua disiplin
hukum yaitu disiplin preskriptif dan disiplin analitis. Hukum yang dirumuskan
dalam undang-undang merupakan hukum dalam norma atau kaedah yang di dalamnya
memuat sesuatu yang dicita-citakan, sebaliknya hukum adat merupakan bentuk
kebiasaan yang hidup dalam masyarakat, merupakan kenyataan atau realitas hukum.
Disadur dari pendapat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, 1990, Jakarta: Rajawali Press, hal. 2.
[7] Dalam posisi ini sebenarnya masyarakat tidak membutuhkan negara dalam
menerapkan hukum masyarakat seperti yang telah dijelaskan diatas.
[8] Arbani Tenkeliwai, Ilmu Hukum, http://bani1989.blogspot.com/2012/11/ilmu-hukum.html,
diakses pada 30 Desember 2013.
[9]Azmi Fajar Maulana, Petani Jangan
Dibunuh: Refleksi Nasib Tani, http://sandalkiri.blogspot.com/2013/04/petani.html,
diakses pada 1 Januari 2014.
[10] bid.,
[11] Ibid.,
[12] Ibid.
[13]Azmi Fajar Maulana, Dari Gumamku: Sedikit Sejarah Kelam Pendidikan, http://www.soearamassa.com/2013/04/dari-gumamanku-sedikit-sejarah-kelam.html,
diakses pada 1 Januari 2014.
[14] Ibid.
[15] Ibid.,
[16] Opcit., Aliansi Gerakan
Reforma Agraria (AGRA), hal 25.
[17] Ibid., hal 24-25.
[18] Ibid., hal 25.
[19] Ibid., hal 25.
[20] Kurnia
Warman, Peta Perundang-undangan tentang
Pengakuan Hak Masyarakat Hukum Adat, http://procurement-notices.undp.org/view_file.cfm?doc_id=39284, diakses pada 28 Agustus
2015, hlm. 5.

Ayoo belajar, berjuang dan berorganisasi
BalasHapus