BREAKING NEWS

Rabu, September 30, 2015

Skema Liberalisasi Pendidikan di Indonesia: Dalam Kajian Ekonomi Politik Internasional (Bagian ke-2)



B.     Situasi Ekonomi Politik Internasional Sebelum Tahun 90-an dan Pasca Tahun 90-an.
Periode Pasca Perang Dunia Ke-II
Pada akhir perang dunia II 1945, negara-negara sekutu sebagai pihak pemenang perang mulai mengambil upaya untuk membenahi sistem perekonomian dan perdagangan internasional. Berbagai analisis telah dilakukan untuk mencegah terulangnya fragmentasi yang terjadi dalam sistem perekonomian dunia pada tahun 1930-an. Negara-negara sekutu menghendaki kembali penerapan elemen-elemen positif yang terdapat pada periode zaman keemasan perdagangan internasional dengan menanamkan landasan-landasan yang memungkinkan peningkatan kegiatan perdagangan internasional yang lebih terbuka. Mereka bermaksud untuk menciptakan organisasi-organisasi internasional yang dapat secara aktif turut menciptakan aturan main dalam perdagangan internasional berdasarkan kerjasama antar negara.
Mereka sepakat untuk menerapkan sistem hubungan internasional yang lebih teratur dan lebih menjamin perdamaian dan kesejahteraan ekonomi dan sosial. Secara minimal yang ingin di capai adalah pencegahan ekses-ekses tindakan sepihak yang tidak menguntungkan bagi masyarakat dunia, seperti tindakan-tindakan negatif yang diambil dalam periode antara kedua perang dunia oleh banyak negara, yang akibatnya membawa sistem perekonomian kearah malapetaka ekonomi, politik, sosial. Dibidang politik dan sosial telah diciptakan Perserikatan bangsa-bangsa, PBB, sengan serangkaian badan-badan dibawahnya.
Penanganan masyarakat internasional dibidang keuangan dan moneter relatif cepat dengan di setujuinya pembentukan International Monetery Fund atau IMF dalam waktu yang singkat dalam konfrensi Bretton Woods tahun 1944. Dalam waktu yang bersamaan, masih dalam rangka perjanjian di Bretton Wood, masyarakat internasional juga berhasil mendirikan Bank Dunia atau International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) yang bertujuan mangadakan rekonstruksi bagi negara-negara yang mengalami kerusakan akibat perang dunia ke-II.
Berbeda dengan bidang finansial dan keuangan, perkembangan institusional dibidang perdagangan internasional tidak terlampau lancar. Negara-negara peserta konvensi tidak berhasil mendirikan organisasi internasional. Rencana pendirian International Trade Organization (ITO) yang diharapkan akan menjadi wadah untuk menangani masalah perdagangan internasional pun tidak mencapai kata sepakat. Karena berbagai pertimbangan politis, utamanya karena penolakan kongres AS atas pendirian ITO mengakibatkan terjadinya kekosongan institusional di bidang perdagangan.
Dengan kekosongan institusional tersebut, maka GATT yang semula merupakan perjanjian interim menjadi satu-satunya perjanjian di bidang perdagangan yang telah mendapatkan disepakati. Maka pada tahun 1947, GATT menjadi satu-satunya organisasi internasional yang mengatur masalah perdagangan internasional, sekurang-kurangnya bagi negara-negara yang menjadi anggota. Karena perdagangan antar negara anggota telah merupakan 80% dari perdagangan di seluruh dunia.
Pada periode antara tahun 1950-1973, sistem perdagangan internasional menjadi lebih terbuka dan telah banyak menghasilkan kesejahteraan ekonomi. Laju pertumbuhan ekspor lebih tinggi dari pada laju pertumbuhan PDB. Dengan demikian, perkembangan setelah tahun 1973 menimbulkan kehawatiran dibandingkan periode sebelumnya.
Melemahnya pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya pengangguran di negara maju menjadi sebuah kekhawatiran secara politis, bahwa akan ada pihak-pihak dari negara maju tersebut yang akan menghendaki proteksionisme, sehingga kemajuan dalam liberalisasi pada periode sebelum 1973 akan dirusak. Dari sinilah timbul upaya memperkuat sistem multilateral yang dapat meningkatkan kesejahteraan semua negara di dui;unia. Upaya tersebut terwujudkan dalam serangkaian perundingan Uruguay round yang telah berhasil merumuskan serangkain perjanjian perdagangan multilateral.
Periode Pasca Perang Dingin
Pada awal tahun 1990-an pemikiran bahwa mekanisme pasar merupakan instrument yang efesien untuk melakukan kegiatan ekonomi semakin diterima secara global. Selain itu, semakin ada kesadaran mengenai terbatasnya kemampuan sektor pemerintah untuk memecahkan semua masalah ekonomi.
Dibidang ekonomi, perkembangan di Asia Timur telah mengubah peta dan berangsur pusat kegiatan ekonomi yang dinamis mulai semakin lebih terpusat di Asia, atau minimal di Asia pasifik dengan perkembangan hubungan ekonomi yang semakin intensif, baik hubungan transpasifik antar Asia pada satu pihak dan Amerika Utara pada pihak lain, maupun hubungan intra Asia–Pasifik yang juga semakin meningkat.
Di Eropa barat proses integrasi ekonomi dan politik yang berjalan sejak akhir perang dunia II telah mewujudkan masyarakat Eropa yang semakin terintegrasi dengan perjajanjian Maastricht, yang membuat Eropa barat semakin mengarah kepada unifikasi politik maupun ekonomi. Eropa tengah, negara-negara yang pada periode perang dingin merupakan bagian dari Uni Soviet (Hongaria, Polandia, Cekoslovakia) juga semakin terintegrasi ke dalam sistem Eropa barat. Begitu pula dengan negara-negara di kawasan Baltik yang semakin masuk kedalam zona Deutsche mark kedalam kegiatan ekonominya.
Dengan demikian maka kekuatan ekonomi pada periode ini terpusat pada tiga kekuatan besar, yakni Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang yang pada gilirannya akan diimbangi oleh Cina. Pada periode ini, kemudian timbul rivalitas baru antara negara-negara, namun dalam bidang ekonomi.
Pada periode pasca perang dingin ini ada kesempatan sistem perekonomian dunia untuk dapat menikmati kebebasan transaksi yang pernah terwujud pada waktu zaman keemasan perdagangan dunia pada abad ke-19, dimana dunia menyaksikan kebebasan gerak dibidang: (a) Barang-barang,(b) Jasa-jasa. (c) Modal, (d) Teknologi dan, (e) Migrasi tenaga kerja. Terjadinya kebebasan gerak bagi berbagai faktor produksi untuk mencari kesempatan melakukan kegiatan yang rentable telah menimbulkan laju pertumbuhan perdagangan yang tinggi.
Sistem yang berkembang dalam GATT dan WTO akan menunjang upaya kearah perkembangan sistem perdagangan dunia yang bersifat global dengan aturan permainan yang ditentukan secara multilateral.
Pro Kontra Mengenai Liberalisasi
Liberalisasi perdagangan dunia menuai pro dan kontra dikalangan ahli hingga masyarakat internasional. Para pendukung tiap kubu, mengajukan pendapat dan argumentasinya untuk menunjukkan kebenaran mengenai apa yang mereka yakini terhadap akibat liberalisasi.
Sebagaimana yang disebutkan pada awal-awal tulisan ini, Adam Sminth sebagai pendukung utama liberalisasi, menunjukkan bahwa perdagangan internasional merupakan stimulus bagi pertumbuhan melalui perluasan pasar bagi produsen domestik serta melalui bertambahnya kesempatan pembagian kerja serta diperkenalkannya teknologi baru. Dampak dinamik ketiga dikemukakan oleh Mill yang menekannkan bahwa diperkenalkannya perdagangan akan meningkatkan insentif bagi pemilik-pemilik faktor produksi di negara-negara berkembang untuk produksi lebih banyak lagi.
Kesimpulan–kesimpulan teori klasik dan neo klasik bahwa perdagangan bebas merangsang pertumbuhan dan meningkatkan pembangunan telah ditentang oleh banyak sarjana. Mereka menunjukkan rendahnya tingkat kesejahteraan di negara-negara ini yang telah cukup lama berpartisipasi dalam perdagangan Internasional.
Para sarjana yang berpandangan export pesimism berpendapat bahwa perdagangan internasional akan semakin menurunkan tingkat kesejahteraan negara-negara berkembang yang berperan serta didalamnya dan menghambat pembangunan.
Para sarjana yang termasuk ke dalam kelompok export pessimists seperti Gunner Myrdal dan Prebisch, menekankan kegagalan pasar untuk menciptakan pertumbuhan dan perbaikan structural dinegara-negara berkembang lewat perdagangan internasional. Stagnasi di negara miskin, distribusi perolehan dari perdagangan yang tidak seimbang. Kritik Prebisch terhadap gagasan perdagangan akan mendorong pertumbuhan industrial antara lain didasari oleh penelitian seorang ekonom, Eugene Stanley, pada awal tahun 1960-an, telah meneliti statistik yang dikumpulkan oleh GATT dan menunjukkan bahwa nilai tukar barang yang diekspor negara-negara kurang berkembang semakin lama semakin merosot dibandingkan dengan barang industrial yang mereka impor. Berpuluh-puluh tahun mereka harus mengekspor barang yang jumlahnya semakin lama semakin besar hanya untuk membayar impor dalam volume yang sama. Diperkuat oleh statistik dari British Board of Trade, ilmuan tersebut diatas menunjukkan bahwa sejak 75 tahun sebelumnya nilai tukar komoditi primer terus merosot dibandingkan dengan barang manufaktur.
Pemikiran-pemikiran para sarjana export pessimistic kemudian mendapatkan kritik balik dari para pendukung aliran liberalisasi perdagangan ini. mereka juga lalu mengajukan bukti-bukti empiris yang mengakibatkan perdebatan mengenai manfaat liberalisasi perdagangan terus berlanjut.
Hata dalam bukunya mengungkapkan data yang dikeluarkan oleh sekretariat WTO, bahwa negara-negara Berkembang sebagai kelompok telah menigkatkan pangsa pasar mereka di pasar dunia. Mereka kini memegang bagian 25% dari perdagangan dunia. Kunci keberhasilan ini adalah meningkatnya pangsa negara-negara berkembang di pasaran dunia dalam perdagangan produk manufaktur. Suatu kenaikan dua kali lipat dari satu dasawarsa yang lalu dan empat kali lipat dari tahun 1963.
Satu hal lagi yang perlu dikemukakan disini bahwa meskipun liberalisasi perdagangan kadang dikatakan menguntungkan negara-negara industri, namun negara-negara industri masih melakukan tindakan-tindakan proteksi terselubung. Negara negara maju senantiasa menerapkan isu-isu baru yang sangat memberatkan negara-negara berkembang termasuk Indonesia, seperti standar ketenagakerjaan, isu lingkungan hidup, dipertahankannya kuota tekstil, proteksi bidang pertanian, dan aturan investasi.
Terlepas dari semua hal itu liberalisasi perdagangan kini tak bisa dielakkan lagi dan Indonesia secara Khusus sebagai anggota WTO harus menghadapinya siap atau tidak siap. Meskipun negara-negara berkembang sebenarnya masih belum siap.
Sejarah Singkat GATT (General Agreement on Tarif and Trade)
Persetujuan umum mengenai tarif dan perdagangan (General agreement on tarrif and trade) yang kemudian disingkat dengan GATT merupakan suatu perjanjian perdagangan multilateral yang disepakati pada tahun 1948, yang tujuan pokoknya ialah untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan guna tercapainya kesejahteraan umat manusia. Lebih lanjut GATT bertujuan untuk menjaga agar perdagangan dunia dapat menjadi semakin terbuka supaya arus perdagangan dapat berkembang dengan mengurangi hambatan-hambatan dalam bentuk tarif maupun non tarif.
Keterbukaan pasar yang semakin luas akan meningkatkan arus perdagangan yang pada gilirannya akan menunjang kegiatan ekonomi semua anggota yang selanjutnya akan meningkatkan kesejahteraan ekonomi masing-masing negara.
Sebagai langkah untuk menangani masalah perdagangan internasional, pada bulan februari 1946, ECOSOC, suatu badan dibawah PBB, pada sidang pertamanya telah mengambil resolusi untuk mengadakan konfrensi guna menyusun piagam internasional dibidang perdagangan. Pada waktu yang hampir bersamaan, pemerintah AS mengeluarkan suatu draft atau konsep mengenai piagam untuk Internasional Trade Organization ( yang selanjutnya disingkat ITO).
Pada tahun 1947, para perunding di Jenewa melaksanakan persiapan untuk merumuskan piagam ITO yang kemudian diserahkan kepada delegasi negara-negara peserta pada konfrensi Havana 1948. Disamping mempersiapkan teks piagam ITO (International Trade Organization), para perunding di Jenewa juga melakukan perundingan untuk menurunkan bea masuk atau tarif yang kemudian menjadi annex dalam perjanjian GATT dan secara formal merupakan bagian integral dari perjanjian GATT. Dapat ditambahkan bahwa hal ini berlaku untuk seterusnya dalam GATT bahwa setiap rangkaian perundingan di bidang tarif makan hasilnya menjadi bagian integral dari perjanjian GATT.
Secara struktur GATT diciptakan sebagai suatu perjanjian multilateral dan bukan suatu “organisasi”. Dalam kata lain resminya GATT mempunyai status yang sama dengan berbagai perjanjian perdagangan bilateral sebelumnnya. Tetapi dilihat dari substansi, pada waktu perundingan diadakan untuk merumuskan perjanjian GATT, substansi, prinsip, dan sistem yang terkandung dalam perjanjian dibayangkan supaya kemudian beroperasi dibawah payung ITO.
Pada tahun 1948, piagam teks ITO selesai dirumuskan. Tetapi ITO tidak dapat terwujud karena kongres AS tidak dapat menyetujuinya ketika presiden AS menyerahkan teks kepada kongres untuk memperoleh persetujuan. Setelah berulang kali diusahakan oleh pihak eksekutif AS, maka pada tahun 1951, pertanda semakin menunjukkan secara jelas bahwa kongres tidak akan menyetujuinya. Dengan demikian maka presiden AS Harry Truman menarik kembali usulan ratifikasi piagam Havana.
Dengan tidak berhasilnya masyarakat internasional dalam mewujudkan ITO, maka GATT menjadi satu satunya instrumen hukum yang menjadi lembaga utama dalam perdagangan internasional. Namun kemudian yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kemudian GATT menjadi sebuah lembaga utama dalam perdagangan, sedangkan ia belum pernah secara sah diwujudkan sebagai organisasi internasional dan sebelumnya dirancang sebagai perjanjian interinasional?
Menurut H.S Kartadjoemena, bahwa jawaban terhadap pertanyaan itu adalah penempuhan jalan yuridis fiktif dengan adanya protocol of provisional application yang secara teknis dapat segera menerapkan perjanjian GATT secara provisional dan darurat. Dalam mekanisme penerapan ketentuan yuridis ini, dapat dikemukakan bahwa GATT, sebagai suatu perjanjian, telah selesai perumusannya pada tahun 1947, sebelum perjanjian ITO yang di rencanakan sebagai patung dapat terwujud.
Pada waktu itu,terdapat perbedaan pandangan mengenai ratifikasi GATT dengan ITO sebagai payungnya di satu pihak dan urgensi untuk menerapkan dan meresmikan perjanjian bila telah selesai. Maka di terapkanlah Protocol of provisional application (PPA) bagi negara yang memerlukan GATT segera untuk disetujui dan bagi negara yang ingin meratifikasi GATT dan ITO secara bersamaan dapat menunggu hingga kedua perjanjian tersebut rampung.
Dalam kenyataanya, ITO akhirnya tak pernah berlaku dan GATT berdiri secara independen hingga terbentuknya secara resmi World Trade Organisation (WTO) pada 15 April 1994 sejalan dengan keberhasilan Uruguay round, sebagai pengganti ITO dan menjadi payung baru bagi GATT.

C.    Liberalisasi Pendidikan Merupakan Salah Satu Skema Dari GATT
Tahun 2000 menjadi tempat Putaran Doha WTO yang membahas mengenai liberalisasi perdagangan dunia. Dalam putaran ini membahas mengenai liberalisasi 12 sektor jasa terhadap Negara-negara anggota, salah satunya adalah jasa pendidikan. Namun Indonesia masih belum menyetujui liberalisasi jasa pendidikan karena Indonesia menawarkan 5 jasa selain jasa pendidikan untuk diliberalisasi, yaitu jasa konstruksi, jasa telekomunikasi, jasa bisnis, jasa angkutan laut, jasa pariwisata, dan jasa keuangan.[4] Putaran ini menjadi awal ratifikasinya GATS (General Agreement on Trade in Service) yang mencakup liberalisasi 12 sektor jasa.

Tindak lanjut dari Putaran Doha menghasilkan terbentuknya UU No.20 tahun 2003 mengenai Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional). UU ini mengatur akan harus adanya otonomi dalam hal lembaga pendidikan. UU ini pun menuai banyak kontroversi, salah satunya pada pasal 50 ayat 6 dalam UU Sisdiknas yang mengatakan “Perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya.” Serta dalam pasal 53 nya membahas mengenai BHP (Badan Hukum Pendidikan). Meskipun dalam pasal 53 tentang BHP disebut nirlaba namun kenyataan bahwa Perguruan Tinggi mengelola keuangannya secara mandiri memberikan konsekuensi besar bahwa dana pendidikan yang menjadi tanggung jawab orang tua seperti yang dijelaskan dalam pasal 46 ayat 1 tersebut menjadi semakin besar dan lebih besar akibat adanya otonomi pendidikan yang merupakan bentuk liberalisasi pendidikan.

Pada Desember 2005, Indonesia menyetujui liberalisasi 12 sektor jasa dengan meratifikasi GATS. Pada ratifikasi GATS pada Konferensi Tingkat Menteri di Hongkong ini pun secara resmi membuat Indonesia kehilangan kedaulatannya akan 12 sektor jasa, yakni; 1) jasa bisnis, 2)jasa komunikasi, 3) jasa konstruksi dan teknik terkait, 4)jasa distribusi, 5)jasa pendidikan, 6)jasa lingkungan, 7)jasa keuangan, 8)jasa kesehatan dan sosial, 9)jasa wisata dan perjalanan, 10)jasa rekreasi, budaya dan olahraga, 11)jasa transportasi, dan 12)jasa-jasa lain yang belum tercantum.

Undang-Undang Perguruan Tinggi yang sedang dibahas pemerintah dan DPR saat ini mendapat kritik dari sejumlah kalangan. UU PT ini terkait dengan pembolehan penyelenggaraan pendidikan asing di Indonesia. Ada beberapa ketentuan yang diatur dalam UU PT di antaranya, disyaratkan PT asing yang beroperasi di Indonesia harus terakreditasi di negaranya. Selain itu, PT asing di Indonesia wajib bekerja sama dengan penyelenggara PT Indonesia, serta mengikutsertakan dosen dan tenaga kependidikan warga negara Indonesia. Sebenarnya jika dirunut kebelakang, munculnya RUU PT ini merupakan akibat dari bergabungnya Indonesia dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sejak tahun 1994.
Dengan diterbitkannya Undang-Undang No 7 tahun 1994 tanggal 2 November tentang pengesahan ratifikasi “Agreement Astablising The World Trade” maka Indonesia secara resmi telah menjadi anggota dari WTO dan semua persetujuan yang ada di dalamnya telah sah menjadi legaslasi nasional.

WTO merupakan badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antarnegara dengan prinsip leberalisasi. Persetujuan-persetujuan dalam WTO mencakup barang/goods (General Agreement on Tariff and Trade/GATT), Jasa/services (General Agreement on Trade and Services/ GATS), kepemilikan intelektual (Trade-Related Aspects of Intellectual Properties/TRIPs) dan Penyelesaian sengketa (Dispute Settlements).
Beberapa tahun lalu negara-negara anggota WTO termasuk Indonesia menandatangani General Agreement on Trade and Services (GATS) yang mengatur liberalisasi 12 sektor jasa, salah satu di antaranya adalah l
iberalisasi pendidikan. 
Liberalisasi jasa dalam GATS dilakukan dengan model intial offer dan intial request. Setiap negara boleh mengirimkan initial request yaitu daftar sektor jasa yang diinginkan dibuka di negara-negara lain. Negara diwajibkan meliberalisasi sektor-sektor tertentu yang dipilihnya sendiri atau disebut intial offerDalam liberalisasi pendidikan, WTO telah mengidentifikasi 4 mode yaitu, (1) cross-border supply, institusi PT luar negeri menawarkan kuliah melalui internet, (2) consumptions abroad, mahasiswa belajar di PT luar negeri, (3) commersial presence, kehadiran PT luar negeri dengan membentuk partnership, subsidiary, twinning arrangement dengan PT lokal, (4) presence of natural persons, pengajar asing mengajar pada PT lokal.

Sebuah survei yang diadakan pada tahun 1993 menunjukkan bahwa industri jasa yang paling menonjol orientasi ekspornya adalah jasa komputasi, pendidikan dan pelatihan. Pada tahun 1993 Australia menghasilkan 1,2 miliar dolar Australia dari kommersialisasi jasa pendidikan ini, Amerika mencapai USD 14 miliar atau 126 triliun rupiah pada tahun 2000, dan Inggris mendapat 4% sumbangan dari ekspor jasa pendidikan. Sehingga tak heran jika liberalisasi pendidikan ini disinyalir berada di belakang kepentingan-kepentingan negara maju. Yang pada akhirnya konsep universal pendidikan sebagai bentuk pelayanan sosial akan berubah menjadi hitungan untung rugi dalam logika bisnis.

Sebagai negara yang memiliki 235 juta penduduk, Indonesia ternyata menjadi incaran negara eksportir jasa pendidikan dan pelatihan. Beberapa negara seperti Australia, Amerika Serikat, Jepang, China, Korea, dan Selandia Baru telah meminta Indonesia untuk membuka sektor jasa pendidikan, yaitu pendidikan tinggi, pendidikan seumur hayat, dan pendidikan vokasi dan profesi. China bahkan minta Indonesia membuka pintu untuk pendidikan kedokteran China. Yang kemudian terwujud dengan munculnya RUU PT tersebut.
Liberalisasi pendidikan merupakan hal yang wajar dalam ranah internasional dan globalisasi saat ini. Di samping itu pula jika dirujuk ke WTO, liberalisasi pendidikan membuka peluang bagi negara anggota WTO untuk saling bersaing dalam pasar pendidikan. Tetapi liberalisasi pasar, merupakan interdependensi yang tidak simetris antarnegara, lembaga, dan aktornya. Karena itu interdependesi antar negara yang seperti tersebut lebih menguntungkan negara yang memiliki keunggulan ekonomi dan teknologi.

Pendidikan Indonesia dibandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN yang tergabung dalam Asean University Network (AUN) ataupun Association of Southeast Asia Institute of Higher Learning (ASAIHL), seperti Malaysia, Thailand, Filipina dan Singapura, Indonesia jauh tertinggal dalam tingkat partisipasi pendidikan tinggi atau mutu akademik. Pada tahun 2004, tingkat partisipasi pendidikan tinggi Indonesia baru mencapai 14%, jauh tertinggal dari Malaysia dan Filipina yang sudah mencapai 38-40%. Sehingga liberalisasi pendidikan jika diterapkan tentu akan merugikan Indonesia karena dari segi kualitas, pendidikan Indonesia masih belum siap untuk bersaing dengan PT asing. Walaupun dengan aturan seperti dalam RUU PT yang kehadiran PT luar negeri dilakukan dengan cara membentuk partnership, subsidiary, twinning arrangement dengan PT lokal.

Di samping itu pula liberalisasi pendidikan yang berorientasi for-profit bertentangan dengan amanat konstitusi yang terkandung dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945 yang menegaskan pemerintah negara Indonesia berkewajiban untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1 dan 2 ditegaskan bahwa pendidikan adalah hak seluruh rakyat Indonesia. Karena itu adalah sangat bijak seandainya pemerintah tidak terburu-buru dalam membuka sektor jasa pendidikan untuk diliberalisasikan.

Pertemuan Konferensi Tingkat Menteri di Putaran Hongkong itupun menjadi awal Indonesia meliberalisasi jasa pendidikan, yaitu dengan meliberalisasi; 1) jasa pendidikan menengah teknikal dan advokasi, 2) jasa pendidikan tinggi tehnikal dan advokasi, 3) jasa pendidikan tinggi, 4) jasa pelatihan dan kursus bahasa, 5) jasa pendidikan dan pelatihan sepakbola dan catur. Persis setelah Indonesia membuka selebar-lebarnya pada dunia akan liberalisasi pendidikannya, langsung ada 6 negara yang menawarkan Indonesia kerjasama dalam bidang pendidikan, yaitu Australia, AS, Jepang, Cina, Korsel, dan Selandia Baru. Mengingat saat itu populasi Indonesia sejumlah 210 juta jiwa dan yang terserap di Perguruan Tinggi hanya 14% dari jumlah umur 19-24 tahun.

 III.            Penutup
Konsekuensi dari keputusan pemerintah tersebut adalah masuknya modal asing dalam pengelolaan pendidikan Indonesia, mulai dari pendidikan dasar, menengah, tinggi, dan non-formal. Dengan demikian nantinya akan ada sekolah-sekolah yang dimiliki oleh asing, dan dikelola sesuai dengan tujuan diinvestasikannya modal tersebut. Tentu karena tujuan investasi modal tersebut adalah untuk mendapatkan laba, maka institusi pendidikan menjadi sebuah institusi bisnis yang proses pengelolaannya akan berorientasi kepada laba. Bermunculannya sekolah-sekolah yang dimiliki oleh asing akan mendorong persaingan yang tajam dengan sekolah-sekolah swasta dalam negeri. Di satu sisi persaingan tersebut bersifat positif, karena sekolah swasta Indonesia akan dipacu untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan secara lebih baik.
Namun di sisi lain, persaingan tersebut akan membuat perubahan yang sangat signifikan dalam orientasi pembangunan pendidikan di Indonesia. Sekolah-sekolah swasta akan dipacu menjadi sebuah institusi bisnis yang harus mendatangkan laba, supaya mampu meningkatkan kualitas pendidikannya melalui pengembangan berbagai fasilitas pendidikan. Tujuannya agar dengan peningkatan fasilitas sekolah yang semakin bagus, akan mampu bersaing dengan sekolah yang memiliki modal yang kuat. Kondisi ini akan menciptakan persaingan yang membuat pendidikan menjadi mahal dan makin tidak terjangkau oleh seluruh masyarakat. Hanya lapisan masyarakat yang mampu dan kaya akan mendapatkan pendidikan yang berkualitas, sedangkan masyarakat yang miskin semakin tidak memiliki akses terhadap pendidikan yang berkualitas.
Pendidikan, dengan demikian, akhirnya menjadi sebuah bisnis yang tidak lagi mengemban misi sosial untuk perubahan kultur masyarakat, tetapi mengemban misi bisnis global. Sehingga kepentingan pemilik modal akan menentukan dan mengarahkan bagaimana bentuk dan tujuan pendidikan tersebut. Dan kepentingan pemilik modal selalu terkait dengan laba. Liberalisasi pendidikan akan berpotensi menciptakan kesenjangan yang luar biasa terhadap akses ke pendidikan, karena “korporasi” pendidikan akan menciptakan suatu proses pendidikan yang akan berorientasi kepada pasar semata. Sementara jutaan masyarakat lainnya tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik.


DAFTAR PUSTAKA
A Ball, Donald (dkk).2004. Bisnis Internasional, Salemba Empat.Jakarta
Arifin, R. Winantyo (dkk)(ed).2007. Integrasi keuangan dan moneter di Asia Timur: peluang dan tantangan bagi Indonesia. PT Elex Media Komputindo., Jakarta
Arifin, Sjamsul (dkk). 2004. Kerja sama perdagangan Internasional: peluang dan tantangan bagi Indonesia.PT Elex Media Komputindo. Jakarta
Budiman, Aida s, (Dkk).2008. Masyarakat Ekonomi Asean 2015 . PT Elex Media Komputindo: Jakarta
Cipto, Bambang. 2010. Hubungan Internasional di Asia Tenggara. Pustaka P Egger,Peter dan Rainer Lanz. The Determinants of GATS Commitment Coverage, The World Economy, Vol 31, Issue 12, December 2008
Sumanti, Silvi Ch. Perkembangan Asean Framework Agreement on service dan Kesiapan Indonesia, Buletin KPI, Kementrian Perdagangan, Edisi 001/KPI/BUL/2011
Sunardi Sri. 2012. Strategi Indonesia dalam menghadapi liberalisasi jasa Telekomunikasi dalam kerangka Asean Framework Agreement on Service (AFAS),Tesis, Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Jakarta Pelajar:Yogyakarta

Penulis: 
Leo Frederick Barus
(Kepala Departemen Kampanye Massa dan Pelayanan Rakyat FMN Cabang Purwokerto)

Share this:

Posting Komentar

 
Back To Top
Copyright © 2018 Soeara Massa. Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Templates