Periode Pasca Perang
Dunia Ke-II
Pada
akhir perang dunia II 1945, negara-negara sekutu sebagai pihak pemenang perang
mulai mengambil upaya untuk membenahi sistem perekonomian dan perdagangan
internasional. Berbagai analisis telah dilakukan untuk mencegah terulangnya
fragmentasi yang terjadi dalam sistem perekonomian dunia pada tahun 1930-an.
Negara-negara sekutu menghendaki kembali penerapan elemen-elemen positif yang
terdapat pada periode zaman keemasan perdagangan internasional dengan
menanamkan landasan-landasan yang memungkinkan peningkatan kegiatan perdagangan
internasional yang lebih terbuka. Mereka bermaksud untuk menciptakan
organisasi-organisasi internasional yang dapat secara aktif turut menciptakan
aturan main dalam perdagangan internasional berdasarkan kerjasama antar negara.
Mereka
sepakat untuk menerapkan sistem hubungan internasional yang lebih teratur dan
lebih menjamin perdamaian dan kesejahteraan ekonomi dan sosial. Secara minimal
yang ingin di capai adalah pencegahan ekses-ekses tindakan sepihak yang tidak
menguntungkan bagi masyarakat dunia, seperti tindakan-tindakan negatif yang
diambil dalam periode antara kedua perang dunia oleh banyak negara, yang
akibatnya membawa sistem perekonomian kearah malapetaka ekonomi, politik,
sosial. Dibidang politik dan sosial telah diciptakan Perserikatan
bangsa-bangsa, PBB, sengan serangkaian badan-badan dibawahnya.
Penanganan
masyarakat internasional dibidang keuangan dan moneter relatif cepat dengan di
setujuinya pembentukan International Monetery Fund atau IMF dalam waktu yang
singkat dalam konfrensi Bretton Woods tahun 1944. Dalam waktu yang bersamaan,
masih dalam rangka perjanjian di Bretton Wood, masyarakat internasional juga
berhasil mendirikan Bank Dunia atau International Bank for Reconstruction and
Development (IBRD) yang bertujuan mangadakan rekonstruksi bagi negara-negara
yang mengalami kerusakan akibat perang dunia ke-II.
Berbeda
dengan bidang finansial dan keuangan, perkembangan institusional dibidang
perdagangan internasional tidak terlampau lancar. Negara-negara peserta
konvensi tidak berhasil mendirikan organisasi internasional. Rencana pendirian
International Trade Organization (ITO) yang diharapkan akan menjadi wadah untuk
menangani masalah perdagangan internasional pun tidak mencapai kata sepakat.
Karena berbagai pertimbangan politis, utamanya karena penolakan kongres AS atas
pendirian ITO mengakibatkan terjadinya kekosongan institusional di bidang
perdagangan.
Dengan
kekosongan institusional tersebut, maka GATT yang semula merupakan perjanjian
interim menjadi satu-satunya perjanjian di bidang perdagangan yang telah
mendapatkan disepakati. Maka pada tahun 1947, GATT menjadi satu-satunya
organisasi internasional yang mengatur masalah perdagangan internasional,
sekurang-kurangnya bagi negara-negara yang menjadi anggota. Karena perdagangan
antar negara anggota telah merupakan 80% dari perdagangan di seluruh dunia.
Pada
periode antara tahun 1950-1973, sistem perdagangan internasional menjadi lebih
terbuka dan telah banyak menghasilkan kesejahteraan ekonomi. Laju pertumbuhan
ekspor lebih tinggi dari pada laju pertumbuhan PDB. Dengan demikian,
perkembangan setelah tahun 1973 menimbulkan kehawatiran dibandingkan periode
sebelumnya.
Melemahnya
pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya pengangguran di negara maju menjadi sebuah
kekhawatiran secara politis, bahwa akan ada pihak-pihak dari negara maju
tersebut yang akan menghendaki proteksionisme, sehingga kemajuan dalam
liberalisasi pada periode sebelum 1973 akan dirusak. Dari sinilah timbul upaya
memperkuat sistem multilateral yang dapat meningkatkan kesejahteraan semua
negara di dui;unia. Upaya tersebut terwujudkan dalam serangkaian perundingan
Uruguay round yang telah berhasil merumuskan serangkain perjanjian perdagangan
multilateral.
Periode Pasca Perang Dingin
Pada
awal tahun 1990-an pemikiran bahwa mekanisme pasar merupakan instrument yang
efesien untuk melakukan kegiatan ekonomi semakin diterima secara global. Selain
itu, semakin ada kesadaran mengenai terbatasnya kemampuan sektor pemerintah
untuk memecahkan semua masalah ekonomi.
Dibidang
ekonomi, perkembangan di Asia Timur telah mengubah peta dan berangsur pusat
kegiatan ekonomi yang dinamis mulai semakin lebih terpusat di Asia, atau
minimal di Asia pasifik dengan perkembangan hubungan ekonomi yang semakin
intensif, baik hubungan transpasifik antar Asia pada satu pihak dan Amerika
Utara pada pihak lain, maupun hubungan intra Asia–Pasifik yang juga semakin
meningkat.
Di
Eropa barat proses integrasi ekonomi dan politik yang berjalan sejak akhir
perang dunia II telah mewujudkan masyarakat Eropa yang semakin terintegrasi
dengan perjajanjian Maastricht, yang membuat Eropa barat semakin mengarah
kepada unifikasi politik maupun ekonomi. Eropa tengah, negara-negara yang pada
periode perang dingin merupakan bagian dari Uni Soviet (Hongaria, Polandia, Cekoslovakia)
juga semakin terintegrasi ke dalam sistem Eropa barat. Begitu pula dengan
negara-negara di kawasan Baltik yang semakin masuk kedalam zona Deutsche mark
kedalam kegiatan ekonominya.
Dengan
demikian maka kekuatan ekonomi pada periode ini terpusat pada tiga kekuatan
besar, yakni Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang yang pada gilirannya akan
diimbangi oleh Cina. Pada periode ini, kemudian timbul rivalitas baru antara
negara-negara, namun dalam bidang ekonomi.
Pada
periode pasca perang dingin ini ada kesempatan sistem perekonomian dunia untuk
dapat menikmati kebebasan transaksi yang pernah terwujud pada waktu zaman
keemasan perdagangan dunia pada abad ke-19, dimana dunia menyaksikan kebebasan
gerak dibidang: (a) Barang-barang,(b) Jasa-jasa. (c) Modal, (d) Teknologi dan,
(e) Migrasi tenaga kerja. Terjadinya kebebasan gerak bagi berbagai faktor
produksi untuk mencari kesempatan melakukan kegiatan yang rentable telah
menimbulkan laju pertumbuhan perdagangan yang tinggi.
Sistem
yang berkembang dalam GATT dan WTO akan menunjang upaya kearah perkembangan
sistem perdagangan dunia yang bersifat global dengan aturan permainan yang
ditentukan secara multilateral.
Pro Kontra Mengenai Liberalisasi
Liberalisasi
perdagangan dunia menuai pro dan kontra dikalangan ahli hingga masyarakat
internasional. Para pendukung tiap kubu, mengajukan pendapat dan argumentasinya
untuk menunjukkan kebenaran mengenai apa yang mereka yakini terhadap akibat
liberalisasi.
Sebagaimana
yang disebutkan pada awal-awal tulisan ini, Adam Sminth sebagai pendukung utama
liberalisasi, menunjukkan bahwa perdagangan internasional merupakan stimulus
bagi pertumbuhan melalui perluasan pasar bagi produsen domestik serta melalui
bertambahnya kesempatan pembagian kerja serta diperkenalkannya teknologi baru.
Dampak dinamik ketiga dikemukakan oleh Mill yang menekannkan bahwa
diperkenalkannya perdagangan akan meningkatkan insentif bagi pemilik-pemilik
faktor produksi di negara-negara berkembang untuk produksi lebih banyak lagi.
Kesimpulan–kesimpulan
teori klasik dan neo klasik bahwa perdagangan bebas merangsang pertumbuhan dan
meningkatkan pembangunan telah ditentang oleh banyak sarjana. Mereka
menunjukkan rendahnya tingkat kesejahteraan di negara-negara ini yang telah
cukup lama berpartisipasi dalam perdagangan Internasional.
Para
sarjana yang berpandangan export pesimism berpendapat bahwa perdagangan
internasional akan semakin menurunkan tingkat kesejahteraan negara-negara
berkembang yang berperan serta didalamnya dan menghambat pembangunan.
Para
sarjana yang termasuk ke dalam kelompok export pessimists seperti Gunner Myrdal
dan Prebisch, menekankan kegagalan pasar untuk menciptakan pertumbuhan dan
perbaikan structural dinegara-negara berkembang lewat perdagangan
internasional. Stagnasi di negara miskin, distribusi perolehan dari perdagangan
yang tidak seimbang. Kritik Prebisch terhadap gagasan perdagangan akan
mendorong pertumbuhan industrial antara lain didasari oleh penelitian seorang
ekonom, Eugene Stanley, pada awal tahun 1960-an, telah meneliti statistik yang
dikumpulkan oleh GATT dan menunjukkan bahwa nilai tukar barang yang diekspor
negara-negara kurang berkembang semakin lama semakin merosot dibandingkan
dengan barang industrial yang mereka impor. Berpuluh-puluh tahun mereka harus
mengekspor barang yang jumlahnya semakin lama semakin besar hanya untuk
membayar impor dalam volume yang sama. Diperkuat oleh statistik dari British
Board of Trade, ilmuan tersebut diatas menunjukkan bahwa sejak 75 tahun
sebelumnya nilai tukar komoditi primer terus merosot dibandingkan dengan barang
manufaktur.
Pemikiran-pemikiran
para sarjana export pessimistic kemudian mendapatkan kritik balik dari para
pendukung aliran liberalisasi perdagangan ini. mereka juga lalu mengajukan
bukti-bukti empiris yang mengakibatkan perdebatan mengenai manfaat liberalisasi
perdagangan terus berlanjut.
Hata
dalam bukunya mengungkapkan data yang dikeluarkan oleh sekretariat WTO, bahwa
negara-negara Berkembang sebagai kelompok telah menigkatkan pangsa pasar mereka
di pasar dunia. Mereka kini memegang bagian 25% dari perdagangan dunia. Kunci
keberhasilan ini adalah meningkatnya pangsa negara-negara berkembang di pasaran
dunia dalam perdagangan produk manufaktur. Suatu kenaikan dua kali lipat dari
satu dasawarsa yang lalu dan empat kali lipat dari tahun 1963.
Satu
hal lagi yang perlu dikemukakan disini bahwa meskipun liberalisasi perdagangan
kadang dikatakan menguntungkan negara-negara industri, namun negara-negara
industri masih melakukan tindakan-tindakan proteksi terselubung. Negara negara
maju senantiasa menerapkan isu-isu baru yang sangat memberatkan negara-negara
berkembang termasuk Indonesia, seperti standar ketenagakerjaan, isu lingkungan
hidup, dipertahankannya kuota tekstil, proteksi bidang pertanian, dan aturan
investasi.
Terlepas
dari semua hal itu liberalisasi perdagangan kini tak bisa dielakkan lagi dan
Indonesia secara Khusus sebagai anggota WTO harus menghadapinya siap atau tidak
siap. Meskipun negara-negara berkembang sebenarnya masih belum siap.
Sejarah Singkat GATT (General Agreement on Tarif and Trade)
Persetujuan
umum mengenai tarif dan perdagangan (General agreement on tarrif and trade)
yang kemudian disingkat dengan GATT merupakan suatu perjanjian perdagangan
multilateral yang disepakati pada tahun 1948, yang tujuan pokoknya ialah untuk
menciptakan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan guna tercapainya kesejahteraan
umat manusia. Lebih lanjut GATT bertujuan untuk menjaga agar perdagangan dunia
dapat menjadi semakin terbuka supaya arus perdagangan dapat berkembang dengan
mengurangi hambatan-hambatan dalam bentuk tarif maupun non tarif.
Keterbukaan
pasar yang semakin luas akan meningkatkan arus perdagangan yang pada gilirannya
akan menunjang kegiatan ekonomi semua anggota yang selanjutnya akan
meningkatkan kesejahteraan ekonomi masing-masing negara.
Sebagai
langkah untuk menangani masalah perdagangan internasional, pada bulan februari
1946, ECOSOC, suatu badan dibawah PBB, pada sidang pertamanya telah mengambil
resolusi untuk mengadakan konfrensi guna menyusun piagam internasional dibidang
perdagangan. Pada waktu yang hampir bersamaan, pemerintah AS mengeluarkan suatu
draft atau konsep mengenai piagam untuk Internasional Trade Organization ( yang
selanjutnya disingkat ITO).
Pada
tahun 1947, para perunding di Jenewa melaksanakan persiapan untuk merumuskan
piagam ITO yang kemudian diserahkan kepada delegasi negara-negara peserta pada
konfrensi Havana 1948. Disamping mempersiapkan teks piagam ITO (International
Trade Organization), para perunding di Jenewa juga melakukan perundingan untuk
menurunkan bea masuk atau tarif yang kemudian menjadi annex dalam perjanjian
GATT dan secara formal merupakan bagian integral dari perjanjian GATT. Dapat
ditambahkan bahwa hal ini berlaku untuk seterusnya dalam GATT bahwa setiap
rangkaian perundingan di bidang tarif makan hasilnya menjadi bagian integral
dari perjanjian GATT.
Secara
struktur GATT diciptakan sebagai suatu perjanjian multilateral dan bukan suatu
“organisasi”. Dalam kata lain resminya GATT mempunyai status yang sama dengan
berbagai perjanjian perdagangan bilateral sebelumnnya. Tetapi dilihat dari
substansi, pada waktu perundingan diadakan untuk merumuskan perjanjian GATT,
substansi, prinsip, dan sistem yang terkandung dalam perjanjian dibayangkan
supaya kemudian beroperasi dibawah payung ITO.
Pada
tahun 1948, piagam teks ITO selesai dirumuskan. Tetapi ITO tidak dapat terwujud
karena kongres AS tidak dapat menyetujuinya ketika presiden AS menyerahkan teks
kepada kongres untuk memperoleh persetujuan. Setelah berulang kali diusahakan
oleh pihak eksekutif AS, maka pada tahun 1951, pertanda semakin menunjukkan
secara jelas bahwa kongres tidak akan menyetujuinya. Dengan demikian maka
presiden AS Harry Truman menarik kembali usulan ratifikasi piagam Havana.
Dengan
tidak berhasilnya masyarakat internasional dalam mewujudkan ITO, maka GATT
menjadi satu satunya instrumen hukum yang menjadi lembaga utama dalam
perdagangan internasional. Namun kemudian yang menjadi pertanyaan adalah
bagaimana kemudian GATT menjadi sebuah lembaga utama dalam perdagangan,
sedangkan ia belum pernah secara sah diwujudkan sebagai organisasi
internasional dan sebelumnya dirancang sebagai perjanjian interinasional?
Menurut
H.S Kartadjoemena, bahwa jawaban terhadap pertanyaan itu adalah penempuhan
jalan yuridis fiktif dengan adanya protocol
of provisional application yang secara teknis dapat segera menerapkan
perjanjian GATT secara provisional dan darurat. Dalam mekanisme penerapan
ketentuan yuridis ini, dapat dikemukakan bahwa GATT, sebagai suatu perjanjian,
telah selesai perumusannya pada tahun 1947, sebelum perjanjian ITO yang di
rencanakan sebagai patung dapat terwujud.
Pada
waktu itu,terdapat perbedaan pandangan mengenai ratifikasi GATT dengan ITO
sebagai payungnya di satu pihak dan urgensi untuk menerapkan dan meresmikan
perjanjian bila telah selesai. Maka di terapkanlah Protocol of provisional application (PPA) bagi negara yang
memerlukan GATT segera untuk disetujui dan bagi negara yang ingin meratifikasi
GATT dan ITO secara bersamaan dapat menunggu hingga kedua perjanjian tersebut
rampung.
Dalam
kenyataanya, ITO akhirnya tak pernah berlaku dan GATT berdiri secara independen
hingga terbentuknya secara resmi World Trade Organisation (WTO) pada 15 April
1994 sejalan dengan keberhasilan Uruguay
round, sebagai pengganti ITO dan menjadi payung baru bagi GATT.
C.
Liberalisasi
Pendidikan Merupakan Salah Satu Skema Dari GATT
Tahun 2000 menjadi tempat Putaran
Doha WTO yang membahas mengenai liberalisasi perdagangan dunia. Dalam putaran
ini membahas mengenai liberalisasi 12 sektor jasa terhadap Negara-negara
anggota, salah satunya adalah jasa pendidikan. Namun Indonesia masih belum
menyetujui liberalisasi jasa pendidikan karena Indonesia menawarkan 5 jasa
selain jasa pendidikan untuk diliberalisasi, yaitu jasa konstruksi, jasa
telekomunikasi, jasa bisnis, jasa angkutan laut, jasa pariwisata, dan jasa
keuangan.[4] Putaran ini menjadi awal ratifikasinya GATS (General Agreement on Trade in Service) yang mencakup liberalisasi
12 sektor jasa.
Tindak lanjut dari Putaran Doha
menghasilkan terbentuknya UU No.20 tahun 2003 mengenai Sisdiknas (Sistem
Pendidikan Nasional). UU ini mengatur akan harus adanya otonomi dalam hal
lembaga pendidikan. UU ini pun menuai banyak kontroversi, salah satunya pada
pasal 50 ayat 6 dalam UU Sisdiknas yang mengatakan “Perguruan tinggi menentukan
kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya.” Serta
dalam pasal 53 nya membahas mengenai BHP (Badan Hukum Pendidikan). Meskipun
dalam pasal 53 tentang BHP disebut nirlaba namun kenyataan bahwa Perguruan
Tinggi mengelola keuangannya secara mandiri memberikan konsekuensi besar bahwa
dana pendidikan yang menjadi tanggung jawab orang tua seperti yang dijelaskan
dalam pasal 46 ayat 1 tersebut menjadi semakin besar dan lebih besar akibat
adanya otonomi pendidikan yang merupakan bentuk liberalisasi pendidikan.
Pada Desember 2005, Indonesia
menyetujui liberalisasi 12 sektor jasa dengan meratifikasi GATS. Pada
ratifikasi GATS pada Konferensi Tingkat Menteri di Hongkong ini pun secara
resmi membuat Indonesia kehilangan kedaulatannya akan 12 sektor jasa, yakni; 1)
jasa bisnis, 2)jasa komunikasi, 3) jasa konstruksi dan teknik terkait, 4)jasa
distribusi, 5)jasa pendidikan, 6)jasa lingkungan, 7)jasa keuangan, 8)jasa
kesehatan dan sosial, 9)jasa wisata dan perjalanan, 10)jasa rekreasi, budaya
dan olahraga, 11)jasa transportasi, dan 12)jasa-jasa lain yang belum tercantum.
Undang-Undang
Perguruan Tinggi yang sedang dibahas pemerintah dan DPR saat ini mendapat
kritik dari sejumlah kalangan. UU PT ini terkait dengan pembolehan penyelenggaraan pendidikan asing di
Indonesia. Ada beberapa ketentuan yang diatur dalam UU PT di antaranya,
disyaratkan PT asing yang beroperasi di Indonesia harus terakreditasi di
negaranya. Selain itu, PT
asing di Indonesia wajib bekerja sama dengan penyelenggara PT Indonesia, serta
mengikutsertakan dosen dan tenaga kependidikan warga negara Indonesia.
Sebenarnya jika dirunut kebelakang, munculnya RUU PT ini merupakan akibat dari
bergabungnya Indonesia dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sejak tahun
1994.
Dengan
diterbitkannya Undang-Undang No 7 tahun 1994 tanggal 2 November tentang
pengesahan ratifikasi “Agreement
Astablising The World Trade” maka Indonesia secara resmi telah menjadi
anggota dari WTO dan semua persetujuan yang ada di dalamnya telah sah menjadi
legaslasi nasional.
WTO merupakan badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antarnegara dengan prinsip leberalisasi. Persetujuan-persetujuan dalam WTO mencakup barang/goods (General Agreement on Tariff and Trade/GATT), Jasa/services (General Agreement on Trade and Services/ GATS), kepemilikan intelektual (Trade-Related Aspects of Intellectual Properties/TRIPs) dan Penyelesaian sengketa (Dispute Settlements).
Beberapa tahun lalu negara-negara anggota WTO termasuk Indonesia menandatangani General Agreement on Trade and Services (GATS) yang mengatur liberalisasi 12 sektor jasa, salah satu di antaranya adalah liberalisasi pendidikan. Liberalisasi jasa dalam GATS dilakukan dengan model intial offer dan intial request. Setiap negara boleh mengirimkan initial request yaitu daftar sektor jasa yang diinginkan dibuka di negara-negara lain. Negara diwajibkan meliberalisasi sektor-sektor tertentu yang dipilihnya sendiri atau disebut intial offer. Dalam liberalisasi pendidikan, WTO telah mengidentifikasi 4 mode yaitu, (1) cross-border supply, institusi PT luar negeri menawarkan kuliah melalui internet, (2) consumptions abroad, mahasiswa belajar di PT luar negeri, (3) commersial presence, kehadiran PT luar negeri dengan membentuk partnership, subsidiary, twinning arrangement dengan PT lokal, (4) presence of natural persons, pengajar asing mengajar pada PT lokal.
Sebuah survei yang diadakan pada tahun 1993 menunjukkan bahwa industri jasa yang paling menonjol orientasi ekspornya adalah jasa komputasi, pendidikan dan pelatihan. Pada tahun 1993 Australia menghasilkan 1,2 miliar dolar Australia dari kommersialisasi jasa pendidikan ini, Amerika mencapai USD 14 miliar atau 126 triliun rupiah pada tahun 2000, dan Inggris mendapat 4% sumbangan dari ekspor jasa pendidikan. Sehingga tak heran jika liberalisasi pendidikan ini disinyalir berada di belakang kepentingan-kepentingan negara maju. Yang pada akhirnya konsep universal pendidikan sebagai bentuk pelayanan sosial akan berubah menjadi hitungan untung rugi dalam logika bisnis.
WTO merupakan badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antarnegara dengan prinsip leberalisasi. Persetujuan-persetujuan dalam WTO mencakup barang/goods (General Agreement on Tariff and Trade/GATT), Jasa/services (General Agreement on Trade and Services/ GATS), kepemilikan intelektual (Trade-Related Aspects of Intellectual Properties/TRIPs) dan Penyelesaian sengketa (Dispute Settlements).
Beberapa tahun lalu negara-negara anggota WTO termasuk Indonesia menandatangani General Agreement on Trade and Services (GATS) yang mengatur liberalisasi 12 sektor jasa, salah satu di antaranya adalah liberalisasi pendidikan. Liberalisasi jasa dalam GATS dilakukan dengan model intial offer dan intial request. Setiap negara boleh mengirimkan initial request yaitu daftar sektor jasa yang diinginkan dibuka di negara-negara lain. Negara diwajibkan meliberalisasi sektor-sektor tertentu yang dipilihnya sendiri atau disebut intial offer. Dalam liberalisasi pendidikan, WTO telah mengidentifikasi 4 mode yaitu, (1) cross-border supply, institusi PT luar negeri menawarkan kuliah melalui internet, (2) consumptions abroad, mahasiswa belajar di PT luar negeri, (3) commersial presence, kehadiran PT luar negeri dengan membentuk partnership, subsidiary, twinning arrangement dengan PT lokal, (4) presence of natural persons, pengajar asing mengajar pada PT lokal.
Sebuah survei yang diadakan pada tahun 1993 menunjukkan bahwa industri jasa yang paling menonjol orientasi ekspornya adalah jasa komputasi, pendidikan dan pelatihan. Pada tahun 1993 Australia menghasilkan 1,2 miliar dolar Australia dari kommersialisasi jasa pendidikan ini, Amerika mencapai USD 14 miliar atau 126 triliun rupiah pada tahun 2000, dan Inggris mendapat 4% sumbangan dari ekspor jasa pendidikan. Sehingga tak heran jika liberalisasi pendidikan ini disinyalir berada di belakang kepentingan-kepentingan negara maju. Yang pada akhirnya konsep universal pendidikan sebagai bentuk pelayanan sosial akan berubah menjadi hitungan untung rugi dalam logika bisnis.
Sebagai negara yang memiliki 235 juta penduduk, Indonesia ternyata menjadi incaran negara eksportir jasa pendidikan dan pelatihan. Beberapa negara seperti Australia, Amerika Serikat, Jepang, China, Korea, dan Selandia Baru telah meminta Indonesia untuk membuka sektor jasa pendidikan, yaitu pendidikan tinggi, pendidikan seumur hayat, dan pendidikan vokasi dan profesi. China bahkan minta Indonesia membuka pintu untuk pendidikan kedokteran China. Yang kemudian terwujud dengan munculnya RUU PT tersebut.
Liberalisasi
pendidikan merupakan hal yang wajar dalam ranah internasional dan globalisasi
saat ini. Di samping itu pula jika dirujuk ke WTO, liberalisasi pendidikan
membuka peluang bagi negara anggota WTO untuk saling bersaing dalam pasar pendidikan.
Tetapi liberalisasi pasar, merupakan interdependensi yang tidak simetris
antarnegara, lembaga, dan aktornya. Karena itu interdependesi antar negara yang
seperti tersebut lebih menguntungkan negara yang memiliki keunggulan ekonomi
dan teknologi.
Pendidikan Indonesia dibandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN yang tergabung dalam Asean University Network (AUN) ataupun Association of Southeast Asia Institute of Higher Learning (ASAIHL), seperti Malaysia, Thailand, Filipina dan Singapura, Indonesia jauh tertinggal dalam tingkat partisipasi pendidikan tinggi atau mutu akademik. Pada tahun 2004, tingkat partisipasi pendidikan tinggi Indonesia baru mencapai 14%, jauh tertinggal dari Malaysia dan Filipina yang sudah mencapai 38-40%. Sehingga liberalisasi pendidikan jika diterapkan tentu akan merugikan Indonesia karena dari segi kualitas, pendidikan Indonesia masih belum siap untuk bersaing dengan PT asing. Walaupun dengan aturan seperti dalam RUU PT yang kehadiran PT luar negeri dilakukan dengan cara membentuk partnership, subsidiary, twinning arrangement dengan PT lokal.
Di samping itu pula liberalisasi pendidikan yang berorientasi for-profit bertentangan dengan amanat konstitusi yang terkandung dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945 yang menegaskan pemerintah negara Indonesia berkewajiban untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1 dan 2 ditegaskan bahwa pendidikan adalah hak seluruh rakyat Indonesia. Karena itu adalah sangat bijak seandainya pemerintah tidak terburu-buru dalam membuka sektor jasa pendidikan untuk diliberalisasikan.
Pertemuan Konferensi Tingkat Menteri di Putaran Hongkong itupun menjadi awal Indonesia meliberalisasi jasa pendidikan, yaitu dengan meliberalisasi; 1) jasa pendidikan menengah teknikal dan advokasi, 2) jasa pendidikan tinggi tehnikal dan advokasi, 3) jasa pendidikan tinggi, 4) jasa pelatihan dan kursus bahasa, 5) jasa pendidikan dan pelatihan sepakbola dan catur. Persis setelah Indonesia membuka selebar-lebarnya pada dunia akan liberalisasi pendidikannya, langsung ada 6 negara yang menawarkan Indonesia kerjasama dalam bidang pendidikan, yaitu Australia, AS, Jepang, Cina, Korsel, dan Selandia Baru. Mengingat saat itu populasi Indonesia sejumlah 210 juta jiwa dan yang terserap di Perguruan Tinggi hanya 14% dari jumlah umur 19-24 tahun.
III.
Penutup
Konsekuensi
dari keputusan pemerintah tersebut adalah masuknya modal asing dalam
pengelolaan pendidikan Indonesia, mulai dari pendidikan dasar, menengah,
tinggi, dan non-formal. Dengan demikian nantinya akan ada sekolah-sekolah yang
dimiliki oleh asing, dan dikelola sesuai dengan tujuan diinvestasikannya modal
tersebut. Tentu karena tujuan investasi modal tersebut adalah untuk mendapatkan
laba, maka institusi pendidikan menjadi sebuah institusi bisnis yang proses
pengelolaannya akan berorientasi kepada laba. Bermunculannya sekolah-sekolah
yang dimiliki oleh asing akan mendorong persaingan yang tajam dengan
sekolah-sekolah swasta dalam negeri. Di satu sisi persaingan tersebut bersifat
positif, karena sekolah swasta Indonesia akan dipacu untuk meningkatkan
kualitas penyelenggaraan pendidikan secara lebih baik.
Namun di sisi
lain, persaingan tersebut akan membuat perubahan yang sangat signifikan dalam
orientasi pembangunan pendidikan di Indonesia. Sekolah-sekolah swasta akan
dipacu menjadi sebuah institusi bisnis yang harus mendatangkan laba, supaya
mampu meningkatkan kualitas pendidikannya melalui pengembangan berbagai
fasilitas pendidikan. Tujuannya agar dengan peningkatan fasilitas sekolah yang
semakin bagus, akan mampu bersaing dengan sekolah yang memiliki modal yang
kuat. Kondisi ini akan menciptakan persaingan yang membuat pendidikan menjadi
mahal dan makin tidak terjangkau oleh seluruh masyarakat. Hanya lapisan
masyarakat yang mampu dan kaya akan mendapatkan pendidikan yang berkualitas,
sedangkan masyarakat yang miskin semakin tidak memiliki akses terhadap
pendidikan yang berkualitas.
Pendidikan,
dengan demikian, akhirnya menjadi sebuah bisnis yang tidak lagi mengemban misi
sosial untuk perubahan kultur masyarakat, tetapi mengemban misi bisnis global.
Sehingga kepentingan pemilik modal akan menentukan dan mengarahkan bagaimana
bentuk dan tujuan pendidikan tersebut. Dan kepentingan pemilik modal selalu
terkait dengan laba. Liberalisasi pendidikan akan berpotensi menciptakan
kesenjangan yang luar biasa terhadap akses ke pendidikan, karena “korporasi”
pendidikan akan menciptakan suatu proses pendidikan yang akan berorientasi
kepada pasar semata. Sementara jutaan masyarakat lainnya tidak memiliki
kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik.
DAFTAR
PUSTAKA
A Ball, Donald
(dkk).2004. Bisnis Internasional, Salemba Empat.Jakarta
Arifin,
R. Winantyo (dkk)(ed).2007. Integrasi keuangan dan moneter di Asia Timur:
peluang dan tantangan bagi Indonesia. PT Elex Media Komputindo., Jakarta
Arifin,
Sjamsul (dkk). 2004. Kerja sama perdagangan Internasional: peluang dan
tantangan bagi Indonesia.PT Elex Media Komputindo. Jakarta
Budiman,
Aida s, (Dkk).2008. Masyarakat Ekonomi Asean 2015 . PT Elex Media
Komputindo: Jakarta
Cipto, Bambang. 2010. Hubungan Internasional di Asia Tenggara.
Pustaka P Egger,Peter dan Rainer Lanz. The Determinants of GATS Commitment
Coverage, The World Economy, Vol 31, Issue 12, December 2008
Sumanti, Silvi Ch. Perkembangan Asean Framework Agreement on service dan
Kesiapan Indonesia, Buletin KPI, Kementrian Perdagangan, Edisi 001/KPI/BUL/2011
Sunardi
Sri. 2012. Strategi Indonesia dalam menghadapi liberalisasi jasa Telekomunikasi
dalam kerangka Asean Framework Agreement on Service (AFAS),Tesis, Fakultas
Teknik Universitas Indonesia, Jakarta Pelajar:Yogyakarta
Penulis:
Leo Frederick Barus
Leo Frederick Barus
(Kepala Departemen Kampanye Massa dan Pelayanan Rakyat FMN Cabang Purwokerto)

Posting Komentar