Oleh: Leo Frederick Barus
(Kepala Departemen Kampanye Massa dan Pelayanan Rakyat
FMN Cabang Purwokerto)
Tulisan kali ini akan membedah mengenai skema liberalisasi pendidikan dalam kajian ekonomi politik internasional, dimana keberadaan ekonomi politik internasional yang secara nyata telah mempengaruhi posisi ekonomi Indonesia hari ini. Keberadaan Imperialisme AS yang masih kuat pengaruhnya akibat penghambaan negara (Pemerintahan) sebagai negara boneka berpengaruh besar terhadap tidak ilmiah, tidak demokratis dan tidak mengabdinya pendidikan hari ini.
Tulisan ini terdiri dari dua bagian yang tak terpisahkan, dimana bagian pertama akan membedah tentang sistem pendidikan nasional secara kesejarahan, kemudian tulisan bagian kedua akan membedah mengenai ekonomi politik internasional dan pengaruhnya terhadap liberalisasi pendidikan nasional.
Selamat membaca dan mari belajar, berorganisasi dan berjuang bersama !!!
I.
Pendahuluan
Menurut
pandangan Paulo Freire pendidikan adalah proses pembelajaran dengan hakikat
tujuannya adalah pembebasan. Hakikat pendidikan adalah kemampuan untuk mendidik
diri sendiri. Dengan demikian hakikat pendidikan adalah sangat ditentukan oleh
nilai-nilai, motivasi dan tujuan dari pendidikan itu sendiri. Peserta
didik, anak manusia, tidak hidup secara terisolasi tetapi dia hidup dan
berkembang di dalam suatu masyarakat tertentu, yang berbudaya, yang mempunyai
visi terhadap kehidupan di masa depan, termasuk kehidupan pasca kehidupan.
Peserta
didik adalah anggota masyarakat. Dalam sejarah perkembangan manusia kita lihat
bahwa tuntutan masyarakat tidak selalu etis. Versi yang lain dari pandangan ini
ialah developmentalism. Proses
pendidikan diarahkan kepada pencapaian target-target tersebut dan tidak jarang
nilai-nilai kemanusiaan disubordinasikan untuk mencapai target pembangunan.
Pengalaman pembangunan Indonesia selama Orde Baru telah mengarah kepada paham developmentalism yang menekan kepada
pencapaian pertumbuhan yang tinggi, target pemberantasan buta huruf, target
pelaksanaan wajib belajar 9 dan 12 tahun. Salah satu pandangan sosiologisme
yang sangat populer adalah konsiensialisme yang dikumandangkan oleh ahli pikir
pendidikan terkenal Paulo Freire.
Paulo
Freire di dalam pendidikan pembebasan melihat fungsi atau hakikat pendidikan
sebagai pembebasan manusia dari berbagai penindasan. Sekolah adalah lembaga
sosial yang pada umumnya mempresentasi kekuatan-kekuatan sosial politik yang
ada agar menjaga status quo hukum
membebaskan manusia dari tirani kekuasaan. Qua
atau di dalam istilah Paulo Freire “kapitalisme yang licik”. Sekolah harus
berfungsi membangkitkan kesadaran bahwa manusia adalah bebas.
Masyarakat
dunia modern sangat menyadari pentingnya pendidikan. Pernyataan ini disimpulkan
dari observasi terhadap fenomena real
yang ada pada masyarakat sosial khususnya masyarakat Indonesia. Setiap Negara
mempunyai konsep pendidikan yang berbeda-beda sesuai alasan dan dasar pemikiran
mereka terhadap sistem pendidikan mereka masing-masing. Seperti halnya
Indonesia, tentu saja memiliki konsep pendidikan tersendiri sebagaimana
yaitu tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bicara mengenai Sistem Pendidikan Nasional
tentunya hal ini pun berpengaruh dengan situasi Internasional yang
mempengaruhinya. Sistem Pendidikan Nasional merupakan syarat terbentuknya
konsep liberalisasi pendidikan di Indonesia.
Tulisan ini
menjelaskan bagaimana skema kebijakan liberalisasi pendidikan di Indonesia menjadi
strategi negara dalam menyikapi situasi ekonomi dan politik internasional dari
tahun 1995 sampai hari ini. Skema tersebut dibahas melalui pendekatan
sosiologis, politik, dan juga ekonomi tanpa mengurangi maksud dari penulisan
ini. Orientasi pendidikan di Indonesia yang sebelumnya untuk menyelesaikan
permasalahan rakyat kini mengalami disorientasi menuju sebagai barang komoditas
di sektor jasa. Artinya pendidikan mengalami pergeseran makna yang seharusnya
menjadi hak seluruh warga negara kini menjadi milik perseorangan dengan syarat
dan ketentuan tertentu atau dengan kata lain ada prasyarat atas akses
pendidikan yang secara tidak langsung mengamini adanya pembatasan atas
aksestabilitas pendidikan di Indonesia.
II.
Pembahasan
A. Sistem Pendidikan di Indonesia Pada
Masa Pra-Kemerdekaan Hingga Tahun 90-an.
Pendidikan
sudah sepatutnya menentukan masa depan suatu negara. Bila visi pendidikan tidak
jelas, yang dipertaruhkan adalah kesejahteraan dan kemajuan bangsa. Visi
pendidikan harus diterjemahkan ke dalam sistem pendidikan yang memiliki sasaran
jelas, dan tanggap terhadap masalah-masalah bangsa. Karena itu, perubahan dalam
subsistem pendidikan merupakan suatu hal yang sangat wajar, karena kepedulian
untuk menyesuaikan perkembangan yang disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Sudah seyogyanya sistem pendidikan tidak boleh jalan di tempat, namun setiap
perubahan juga harus disertai dan dilandasi visi yang mantap dalam menjawab
tantangan zaman.
Di
Indonesia, berubahnya subsistem pendidikan (kurikulum, UU) biasanya tidak
ditanggapi dengan antusias, namun malah sebaliknya membuat masyarakat ragu seberapa
signifikan visi pendidikan yang diusung. Visi pendidikan diharapkan mampu
menentukan tujuan pendidikan yang jelas. Karena, tujuan pendidikan yang jelas
pada gilirannya akan mengarahkan ke pencapaian kompetensi yang dibutuhkan serta
metode pembelajaran yang efektif. Dan pada akhirnya, kelak pendidikan mampu
menjawab tuntutan untuk mensejahterakan masyarakat dan kemajuan bangsa.[1]
Setidaknya ada empat tujuan yang menjadi idealisme pendidikan:
1. Perolehan
pengetahuan dan keterampilan (kompetensi) atau kemampuan menjawab permintaan
pasar.
2. Orientasi
humanistik
3. Menjawab
tantangan-tantangan sosial, ekonomi, serta masalah keadilan.
4. Kemajuan
ilmu itu sendiri.
Dari
keempat tujuan pendidikan di atas, setidaknya poin nomor dua yang berorientasi
pada tujuan memanusiakan manusia atau humanistis, menjadi poin yang penting
dalam proses pendidikan, dan sudah sepatutnya bahwa pendidikan harus menjunjung
hak-hak peserta didik dalam memperoleh informasi pengetahuan.
1.
Pendidikan
Pra Kemerdekaan
Pendidikan
modern di Indonesia dimulai sejak akhir abad ke-18, ketika belanda mengakhiri
politik “tanam paksa” menjadi politik etis, sebagai akibat kritik dari kelompok
sosialis di negeri Belanda yang mengecam praktik tanam paksa yang menyebabkan
kesengsaraan maha dasyat di Hindia Belanda. Pendidikan “ongko loro” diperkenalkan bukan saja sebagai elaborasi terhadap
desakan kaum sosialis di negeri Belanda, namun juga didasari kebutuhan
pemerintah pendudukan untuk mendapatkan pegawai negeri jajaran rendah di dalam
administrasi pendudukannya. Pendidikan yang digerakkan oleh penjajah belanda
kamudian ditiru kembangkan oleh kaum nasionalis Indonesia.[2]
Sejarah
pendidikan di Indonesia modern dimulai dengan lahirnya gerakan Boedi Oetomo di
tahun 1908, “Pagoeyoeban Pasoendan”
di tahun 1913, dan Taman Siswa di tahun 1922. Perjuangan kemerdekaan menghasilkan
kemerdekaan RI tahun 1945. Soekarno, presiden pertama Indonesia membawa
semangat “nation and character building”
dalam pendidikan Indonesia. Di seluruh pelosok tanah air didirikan sekolah, dan
anak-anak dicari untuk disekolahkan tanpa dibayar. Untuk meningkatkan kualitas
guru, didirikan pendidikan guru yang diberi nama KPK-PKB, SG 2 tahun,
SGA/KPG, kursus B-1 dan kursus B-2.[3]
Masa
prakemerdekaan begitu banyak persoalan yang menerpa dunia pendidikan di
Indonesia. Pendidikan pada saat itu masih dipengaruhi oleh kolonialisme,
alhasil bangsa ini dididik untuk mengabdi kepada penjajah atau setelah pasca
kemerdekaan adalah untuk kepentingan para penguasa pada saat itu. Karena, pada
saat penjajahan semua bentuk pendidikan dipusatkan untuk membantu dan mendukung
kepentingan penjajah. Pendidikan di zaman penjajah adalah pendidikan yang
menjadikan penduduk Indonesia bertekuk lutut di bawah ketiak kolonialis. Bangsa
ini tidak diberikan ruang yang lebar guna membaca dan mengamati banyak realitas
pahit kemiskinan yang sedemikian membumi di bumi pertiwi. Dalam pendidikan
kolonialis, pendidikan bagi bangsa ini bertujuan membutakan bangsa ini terhadap
eksistensi dirinya sebagai bangsa yang seharusnya dan sejatinya wajib
dimerdekakan.
Konsep
ideal pendidikan kolonialis adalah pendidikan yang sedemikian mungkin mampu
mencetak para pekerja yang dapat dipekerjakan oleh penjajah pula, bukan lagi
untuk memanusiakan manusia sebagaimana dengan konsep pendidikan yang ideal itu
sendiri. Tujuan pendidikan kolonial tidak terarah pada pembentukan dan
pendidikan orang muda untuk mengabdi pada bangsa dan tanah airnya sendiri, akan
tetapi dipakai untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat penjajah
agar dapat ditransfer oleh penduduk pribumi dan menggiring penduduk pribumi
menjadi budak dari pemerintahan kolonial.[4]
Selain itu, agar penduduk pribumi menjadi pengikut negara yang patuh pada
penjajah, bodoh, dan mudah ditundukkan serta dieksploitasi, tidak memberontak,
dan tidak menuntut kemerdekaan bangsanya.
2.
Pendidikan
Pasca Kemerdekaan dan Masa Orde Lama
Tidak
jauh berbeda setelah masa kemerdekaan, pendidikan di masa pascakolonial
melahirkan beberapa hal diantaranya:[5]
Terdapat
banyak sikap hidup yang bisu dan kelu. Kebudayaan bisu dan budaya pedagogi yang
hanya mengandalkan memori otak sehingga menjadikan sekolah hanya sebagai tempat
untuk mendengarkan guru ceramah tanpa siswa diberikan kesempatan untuk berpikir
kritis. Pada saat ini siswa tidak memiliki pilihan untuk tidak mengikuti metode
ceramah ini, karena guru diposisikan sebagai subjek sentral yang harus
dihormati oleh murid.
![]() |
| Sekolah di era orde lama |
Penduduk
di pinggiran kota (di kampung-kampung kumuh) ternyata belum mampu berkembang dan
belum dapat diikutsertakan dalam proses pendidikan. Model sekolah yang
mengikuti model barat ternyata belum hilang bekas-bekas pengaruhnya dalam
mengalami kegagalan. Di sekolah-sekolah, bahasa ibu (bahasa daerah asli)
didiskualifikasi secara sistematis, diganti dengan bahasa intelektual dan
artifisial penguasa di bidang politik.
Kaum
elit dan intelektual yang mendapatkan pendidikan dari luar negeri ternyata
tidak akrab dengan masyarakat pribumi. Oleh karena itu, secara garis besar
pendidikan di awal kemerdekaan diupayakan untuk dapat menyamai dan mendekati
sistem pendidikan di negara-negara maju, khususnya dalam mengejar
keserbaterbelakangan di berbagai sektor kehidupan.
Secara
umum pendidikan orde lama sebagai wujud interpretasi pasca kemerdekaan di bawah
kendali kekuasaan Soekarno cukup memberikan ruang bebas terhadap pendidikan.
Pemerintahan yang berasaskan sosialisme menjadi rujukan dasar bagaimana
pendidikan akan dibentuk dan dijalankan demi pembangunan dan kemajuan bangsa
Indonesia di masa mendatang. Pada prinsipnya konsep sosialisme dalam pendidikan
memberikan dasar bahwa pendidikan merupakan hak semua kelompok masyarakat tanpa
memandang kelas sosial.[6]
Pada masa ini Indonesia mampu mengekspor guru ke negara tetangga, dan banyak
generasi muda yang disekolahkan di luar negeri dengan tujuan agar mereka kelak
dapat kembali ke tanah air untuk mengaplikasikan ilmu yang telah mereka dapat.
Tidak ada halangan ekonomis yang merintangi seseorang untuk belajar di sekolah,
karena diskriminasi dianggap sebagai tindakan kolonialisme. Pada saat inilah
merupakan suatu era di mana setiap orang merasa bahwa dirinya sejajar dengan
yang lain, serta setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan.
Orde
lama berusaha membangun masyarakat sipil yang kuat, yang berdiri di atas
demokrasi, kesamaan hak dan kewajiban antara sesama warga negara, termasuk
dalam bidang pendidikan. Sesungguhnya, inilah amanat UUD 1945 yang menyebutkan
salah satu cita-cita pembangunan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Banyak pemikir-pemikir yang lahir pada masa itu, sebab ruang kebebasan
betul-betul dibuka dan tidak ada yang mendikte peserta didik. Tidak ada nuansa
kepentingan politik sektoral tertentu untuk menjadikan pendidikan sebagai alat
negara maupun kaum dominan pemerintah. Seokarno pernah berkata:
“…sungguh alangkah hebatnya kalau tiap-tiap guru di perguruan taman siswa itu satu persatu adalah Rasul Kebangunan! Hanya guru yang dadanya penuh dengan jiwa kebangunan dapat ‘menurunkan’ kebangunan ke dalam jiwa sang anak,”[7]
Dari
perkataan Soekarno itu sangatlah jelas bahwa pemerintahan orde lama menaruh
perhatian serius yang sangat tinggi untuk memajukan bangsanya melalui
pendidikan.
Di
bawah menteri pendidikan Ki Hadjar Dewantara dikembangkan pendidikan dengan
sistem “among” berdasarkan asas-asas
kemerdekaan, kodrat alam, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanuasiaan yang dikenal
sebagai “Panca Dharma Taman Siswa” dan semboyan “ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”
pada 1950 diundangkan pertama kali peraturan pendidikan nasional yaitu UU No.
4/1950 yang kemudian disempurnakan menjadi UU No. 12/1954 tentang dasar-dasar
pendidikan dan pengajaran di sekolah. Pada 1961 diundangkan UU No. 22/1961
tentang Pendidikan Tinggi, dilanjutkan dengan UU No.14/1965 tentang Majelis
Pendidikan Nasional, dan UU No. 19/1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan
Nasional Pancasila. Pada masa akhir pendidikan Presiden Soekarno, 90 % bangsa
Indonesia berpendidikan SD.[8]
Posisi
Siswa sebagai Subjek dalam Kurikulum Orde Lama
Jika
kita berbicara tentang kurikulum, maka sudah sepatutnya kita membicarakan
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran
serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum pada era Orde Lama dibagi
manjadi 2 kurikulum di antaranya:
- Rentang Tahun 1945-1968
Kurikulum
pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah dalam bahasa Belanda “leer plan” artinya rencana pelajaran.
Perubahan arah pendidikan lebih bersifat politis, dari orientasi pendidikan
Belanda ke kepentingan nasional. Sedangkan, asas pendidikan ditetapkan
Pancasila. Kurikulum yang berjalan saat itu dikenal dengan sebutan “Rencana
Pelajaran 1947”, yang baru dilaksanakan pada tahun 1950. Orientasi Rencana
Pelajaran 1947 tidak menekankan pada pendidikan pikiran. Yang diutamakan adalah:
pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat.
Pada
masa tersebut siswa lebih diarahkan bagaimana cara bersosialisasi dengan
masyarakat. Proses pendidikan sangat kental dengan kehidupan sehari-hari. Aspek
afektif dan psikomotorik lebih ditekankan dengan pengadaan pelajaran kesenian
dan pendidikan jasmani. Oleh karena itu, yang lebih penting adalah bagaimana
menumbuhkan kesadaran bela negara.
- Rencana Pelajaran Terurai 1952
Kurikulum
ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut “Rencana Pelajaran Terurai
1952”. Silabus mata pelajarannya jelas sekali, dan seorang guru mengajar satu
mata pelajaran. Pada masa ini memang kebutuhan peserta didik akan ilmu
pengetahuan lebih diperhatikan, dan satuan mata pelajaran lebih dirincikan.
Namun, dalam kurikulum ini siswa masih diposisikan sebagai objek karena guru
menjadi subjek sentral dalam transformasi ilmu pengetahuan. Guru yang
menentukan apa saja yang akan diperoleh siswa di kelas, dan guru pula yang
menentukan standar-standar keberhasilan siswa dalam proses pendidikan.
- Kurikulum 1964
Fokus
kurikulum 1964 adalah pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan
moral (Panca wardhana). Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok
bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keterampilan, dan
jasmaniah. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan
fungsional praktis. Pada kurikulum 1964 ini, arah pendidikan mulai merambah
lingkup praksis. Dalam pengertian bahwa setiap pelajaran yang diajarkan
disekolah dapat berkorelasi positif dengan fungsional praksis siswa dalam
masyarakat.
3.
Pendidikan
Masa Orde Baru
Orde
baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998, dan dapat dikatakan sebagai era
pembangunan nasional. Dalam bidang pembangunan pendidikan, khususnya pendidikan
dasar, terjadi suatu loncatan yang sangat signifikan dengan adanya Instruksi
Presiden (Inpres) Pendidikan Dasar. Namun, yang disayangkan adalah
pengaplikasian inpres ini hanya berlangsung dari segi kuantitas tanpa diimbangi
dengan perkembangan kualitas. Yang terpenting pada masa ini adalah menciptakan
lulusan terdidik sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan kualitas pengajaran dan
hasil didikan.
Pelaksanaan
pendidikan pada masa orde baru ternyata banyak menemukan kendala, karena
pendidikan orde baru mengusung ideologi “keseragaman” sehingga memampatkan
kemajuan dalam bidang pendidikan. EBTANAS, UMPTN, menjadi seleksi penyeragaman
intelektualitas peserta didik. Selain itu, masa ini juga diwarnai dengan
ideologi militeralistik dalam pendidikan yang bertujuan untuk melanggengkan status quo penguasa. Pendidikan
militeralistik diperkuat dengan kebijakan pemerintah dalam penyiapan
calon-calon tenaga guru negeri.[9]
| Di zaman orde baru Upacara bendera adalah bentuk dari 'pendisiplinan' siswa ajar |
Pada
pendidikan orde baru kesetaran dalam pendidikan tidak dapat diciptakan karena
unsur dominatif dan submisif masih sangat kental dalam pola pendidikan orde
baru. Pada masa ini, peserta didik diberikan beban materi pelajaran yang banyak
dan berat tanpa memperhatikan keterbatasan alokasi kepentingan dengan
faktor-faktor kurikulum yang lain untuk menjadi peka terhadap lingkungan.[10]
Beberapa hal negatif lain yang tercipta pada masa ini adalah:
1. Produk-produk
pendidikan diarahkan untuk menjadi pekerja. Sehingga, berimplikasi pada
hilangnya eksistensi manusia yang hidup dengan akal pikirannya (tidak
memanusiakan manusia).
2. Lahirnya
kaum terdidik yang tumpul akan kepekaan sosial, dan banyaknya anak muda yang
berpikiran positivistik
3. Hilangnya
kebebasan berpendapat.
Pemerintahan
Orde Baru yang dipimpin Soeharto mengedepankan moto “membangun manusia
Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia”. Pada tahun 1969-1970
diadakan Proyek Penilaian Nasional Pendidikan (PPNP) dan menemukan empat
masalah pokok dalam pendidikan di Indonesia: pemerataan, mutu, relevansi, dan
efisiensi pendidikan. Dan hasilnya digunakan untuk membentuk Badan Penelitian
dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan (BP3K).[11]
pada masa orde baru dibentuk BP-7 yang menjadi pusat pengarus utamaan
(mainstreaming) pancasila dan UUD 1945 dengan produknya mata ajar Pendidikan
Moral Pancasila (PMP) dan penataran P-4. Ditahun 1980 mulai timbul masalah
pendidikan di Indonesia. Salah satunya adalah “pengangguran terdidik”[12].
Depdiknas di bawah Menteri Wardiman Djojohadiningrat (kabinet pembangunan VI)
mengedepankan wacana pendidikan “link and match”[13]
sebagai upaya untuk memperbaiki pendidikan Indonesia pada masa itu.[14]
Posisi Siswa Sebagai Subjek dalam
Era Orde Baru
Telah
dipaparkan sebelumnya bahwa pada masa ini seluruh bentuk pendidikan ditujukkan
untuk memenuhi hasrat penguasa, terutama untuk pembangunan nasional. Siswa
sebagai peserta didik, dididik untuk menjadi manusia “pekerja” yang kelak
akan berperan sebagai alat penguasa dalam menentukan arah kebijakan negara.
Pendidikan bukan ditujukan untuk mempertahankan eksistensi manusia, namun untuk
mengeksploitasi intelektualitas mereka demi hasrat kepentingan penguasa.
- Kurikulum 1968
Kelahiran
Kurikulum 1968 bersifat politis, mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang
dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Dengan suatu pertimbangan untuk tujuan
pada pembentukan manusia Pancasila sejati. Kurikulum 1968 menekankan pendekatan
organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar,
dan kecakapan khusus. Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tidak
mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan.
Pada
masa ini siswa hanya berperan sebagai pribadi yang masif, dengan hanya
menghapal teori-teori yang ada, tanpa ada pengaplikasian dari teori tersebut.
Aspek afektif dan psikomotorik tidak ditonjolkan pada kurikulum ini. Praktis,
kurikulum ini hanya menekankan pembentukkan peserta didik hanya dari segi
intelektualnya saja.
- Kurikulum 1975
Kurikulum
1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efektif dan efisien berdasar
MBO (management by objective). Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci
dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), yang dikenal
dengan istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan
bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci menjadi : tujuan instruksional
umum (TIU), tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat
pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi.
Pada
kurikulum ini peran guru menjadi lebih penting, karena setiap guru wajib untuk
membuat rincian tujuan yang ingin dicapai selama proses belajar-mengajar
berlangsung. Tiap guru harus detail dalam perencanaan pelaksanaan program
belajar mengajar. Setiap tatap muka telah di atur dan dijadwalkan sedari awal.
Dengan kurikulum ini semua proses belajar mengajar menjadi sistematis dan
bertahap.
- Kurikulum 1984
Kurikulum
1984 mengusung “process skill approach”. Proses menjadi lebih penting dalam
pelaksanaan pendidikan. Peran siswa dalam kurikulum ini menjadi mengamati
sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut
Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL). CBSA
memposisikan guru sebagai fasilitator, sehingga bentuk kegiatan ceramah tidak
lagi ditemukan dalam kurikulum ini. Pada kurikulum ini siswa diposisikan
sebagai subjek dalam proses belajar mengajar. Siswa juga diperankan dalam pembentukkan
suatu pengetahuan dengan diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat,
bertanya, dan mendiskusikan sesuatu.
- Kurikulum 1994
Kurikulum
1994 merupakan hasil upaya untuk memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya,
terutama kurikulum 1975 dan 1984. Pada kurikulum ini bentuk opresi kepada siswa
mulai terjadi dengan beratnya beban belajar siswa, dari muatan nasional sampai
muatan lokal. Materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah
masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan
lain-lain.
Berbagai
kepentingan kelompok-kelompok masyarakat juga mendesak agar isu-isu tertentu
masuk dalam kurikulum. Akhirnya, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum
super padat. Siswa dihadapkan dengan banyaknya beban belajar yang harus mereka
tuntaskan, dan mereka tidak memiliki pilihan untuk menerima atau tidak terhadap
banyaknya beban belajar yang harus mereka hadapi.
Bersambung.......
[1] Haryatmoko, “Menuju Orientasi Pendidikan Humanis dan Kritis”,
dalam buku Menemukan Kembali Kebangsaan dan Kebangsaan,
(Jakarta: Departemen Komunikasi dan Informatika, 2008), hlm. 67.
[2] Rianti Nugroho, Pendidikan Indonesia: Harapan, Visi,dan
Strategi, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm.15-16.
[3] Ibid, 2008, hlm. 16.
[4] Kartini Kartono, Tujuan Pendidikan Holistik Mengenai Tujuan
Pendidikan Nasional, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1997),
hlm 49-50.
[5] Ibid, 1997, hlm 53-58.
[6] Moh. Yamin, Menggugat Pendidikan Indonesia.
(Jogjakarta: Ar Ruz, 2009), hlm. 87.
[7] Ibid, 2009, hlm. 92.
[8] Ibid.
[9] Sejak T,B Silalahi menjadi Menteri Penertiban Aparatur Negara
(PAN), latihan prajabatan calon-calon guru pegawai negeri sipil (PNS) tidak di
bawah penanganan pakar akademisi, peneliti, atau pekerja sosial, yang dekat
dengan profesi guru, melainkan di bawah instruksi militer. Dengan sendirinya
wacana yang ditawarkan bukanlah soal perluasan ilmu pengetahuan dan pendalaman
filosofi pendidikan, melainkan direduksi menjadi aktivitas fisik, dengan asumsi
bahwa seorang guru perlu memiliki stamina (fisik) yang kuat untuk menjalankan
tugasnya.
[10] Ibid, 2009, hlm.99.
[11] Ibid.
[12] Pengangguran terdidik adalah orang yang belum atau tidak bekerja,
namun memiliki latar belakang pendidikan yang cukup memadai, hal ini disebabkan
oleh belum adanya lapangan kerja yang dapat menampung mereka. Pada Rakernas
Depdiknas 1983, presiden Soeharto sempat memberikan pernyataan “jangan sampai
kita menghasilkan tenaga terdidik melebihi tenaga yang diperlukan.
[13] “Link and match” merupakan upaya pemerintah pada waktu itu untuk
mengurangi pengangguran terdidik, dengan maksud untuk menyesuaikan antara
jumlah lulusan dengan kebutuhan pasar. Hal ini dijelaskan dalam UU yang dibuat
pada tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berisi “pendidikan
sebagai usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik…bagi peranannya di masa yang
akan datang”.
[14] Ibid, 2008, hlm.20.


Posting Komentar