"Aksara" secara etimogis berasal dari bahasa
Sanskerta yaitu akar kata "a-" 'tidak' dan "kshara"
'termusnahkan'[1]. Secara sederhana, aksara
dapat didefinisikan sebagai sistem simbol yang ditujukan untuk mengekspresikan
bahasa. Penggunaan aksara ditujukan agar manusia dapat mendeskripsikan suatu
hal, sehingga dapat dipahami dan dipelajari. Untuk itu, aksara diwujudkan dalam
bentuk sistem simbol tetentu agar dapat dipahami (huruf, kata, kalimat, tanda
baca, dsb).
Karena aksara memiliki tujuan untuk dipahami dan dipelajari,
memahami aksara (dikenal dengan istilah melek aksara) bukanlah sekedar
kemampuan menghafal huruf demi huruf hingga terangkai sebuah kata dan kalimat,
tapi juga mampu mengidentifikasi,
mengerti, menerjemahkan, membuat, mengkomunikasikan dan mengolah isi dari
rangkaian teks. Ketidak-mampuan akan hal tersebut dikenal dengan istilah buta
aksara. Sehingga, pemberantasan buta aksara juga perlu diiringi sistem pendidikan
yang baik, yang dapat membawa manusia pada pemahaman dan pembelajaran. Dengan
memahami aksara, manusia mampu mengembangkan dirinya dan masyarakat melalui
pendidikan, menuju taraf kehidupan yang
lebih baik. Selain itu Tinggi
rendahnya buta aksara akan menjadi penentu utama tinggi-rendahnya kualitas
pembangunan manusia Indonesia atau human development index (HDI). Angka buta aksara menyumbang dua pertiga dalam
penentuan HDI, sepertiga dalam pendidikan, dan lainnya ekonomi serta kesehatan.[2]
Persoalan
Buta Aksara di Indonesia
Di
Indonesia saat ini masih terdapat lebih dari 9 juta jiwa (kurang lebih 4% dari
total penduduk) yang dikategorikan sebagai buta aksara.[3].Kebanyakan
terdiri dari masyarakat adat dan masyarakat pinggiran. Selain itu, terdapat kurang
lebih 880.000 anak berpotensi buta aksara[4].
Potensi buta aksara ini hadir akibat kemampuan keaksaraan yang jarang diasah,
dan kebanyakan dialami oleh anak-anak Indonesia yang putus sekolah.
Secara
umum, kondisi buta aksara di Indonesia dipengaruhi oleh sempitnya akses pendidikan.
Pada awal 2014, masih terdapat 173 Kabupaten/Kota yang belum menerapkan wajib
belajar sembilan tahun[5].
Bahkan kini setiap tahunnya, terdapat sekitar 300 ribu murid SD yang putus
sekolah[6].
Pada awal 2015 kemarin, BPS juga merilis data yang memprihatinkan, yaitu masih
terdapat 10.985 desa di Indonesia yang belum memiliki SD. Selain itu, terdapat
2.438 desa yang jarak tempuh ke SD terdekatnya sejauh tiga kilometer[7].
Berbagai data yang memprihatinkan tersebut menunjukkan bahwa masih banyak anak-anak
Indonesia yang sulit menikmati bangku pendidikan. Kondisi ini jelaslah akan
berdampak pada rendahnya kemampuan aksara anak-anak Indonesia di
pelosok-pelosok desa. Problem ini jelas membawa efek domino hingga ke persoalan
lapangan pekerjaan, kualitas hidup, kesehatan, hingga ke persoalan kemiskinan. Semua akibat hak atas pendidikan yang gagal
dipenuhi oleh pemerintah.
Dalam
konteks masyarakat adat, buta aksara yang dimaksud oleh pemerintah adalah
ketidakmampuan menguasai aksara yang secara nasional diterapkan, yaitu Bahasa
Indonesia. Menurut data dari Direktorat Jenderal Komunitas Adat
Terpencil (KAT) di Indonesia terdapat 365 kelompok ethnik
dan sub-etnik dengan jumlah populasi 1,192,164 jiwa.
Mereka memiliki struktur aksara tersendiri yang berbeda dengan Indonesia dan
hidup secara tradisional. Persoalan yang hadir pada suku-suku adat di berbagai
belahan Indonesia adalah persoalan ruang hidup yang dirampas oleh pembangunan. Ruang
hidup masyarakat adat kini sangat terancam dengan berbagai macam megaproyek
pembangunan infrastruktur dan investasi. Ditengah ketidakmampuan mereka
menguasai aksara Indonesia, mereka dihadapkan pada peraturan hukum, surat-surat,
hal ihwal administratif dan persoalan legal formal untuk mempertahankan tanah
mereka. Sementara semua hal tersebut membutuhkan kemampuan yang lebih dari sekedar
menguasai aksara Indonesia. Hal ini jelas merupakan bentuk diskriminasi terhadap
masyarakat adat Indonesia, padahal seharusnya pemerintah menghormati dan
mengakui keberadaan masyarakat adat sebagai bagian dari rakyat Indonesia yang
beragam.
Berbagai persoalan tersebut menunjukkan bahwa
persoalan buta aksara bukan hanya sekedar ketidakmampuan membaca dan menulis.
Buta aksara merupakan dampak dari dirampasnya hak atas pendidikan. Buta aksara
mengakibatkan masyarakat yang buta aksara menjadi sulit mengembangkan
kehidupannya yang kini membutuhkan kemampuan aksara (sekolah, kerja, hidup
keseharian dsb.). Dengan demikian, negara telah memarginalkan masyarakat yang
buta aksara. Oleh karena itu, pemberantasan buta aksara sejatinya bukanlah
sekedar program mekanis, yang hanya “menyodorkan” huruf-huruf kepada mereka
yang dikategorikan buta aksara. Pemberantasan buta aksara dimulai dari membuka
selebar-lebarnya akses pendidikan secara nasional. Pemberantasan buta aksara
berarti membangun fasilitas pendidikan di seluruh pelosok desa dan kota.
Pemberantasan buta aksara membutuhkan suatu sistem pendidikan yang ilmiah,
demokratis, dan mengabdi pada kepentingan rakyat, agar mampu menyelesaikan
persoalan rakyat. Sehingga, rakyat mampu memahami dan mengembangkan pengetahuan
dan kebudayaannya ke taraf yang lebih maju. Itulah tugas Negara yang telah
termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Dan
semua persoalan pendidikan di Indonesia akibat kebijakan komersialisasi,
privatisasi, dan liberalisasi pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah,
perlulah menjadi tanda tanya kita semua. Untuk siapa negara ini mengabdi?
*Penulis: Fachrurozi Hanafi
(Ketua Front Mahasiswa Nasional Cabang Purwokerto)
(Ketua Front Mahasiswa Nasional Cabang Purwokerto)
[1] Wikipedia Eniklopedia Bebas, Aksara, https://id.wikipedia.org/wiki/Aksara,
diakses pada 8 September 2015.
[2]Siti Muyassarotul Hafidzoh, Pemberantasan
Buta Aksara, Rebublika, http://www.republika.co.id/berita/koran/opini-koran/14/09/09/nbmb8h13-pemberantasan-buta-aksara,
diakses pada 8 September 2015.
[3]
Data BPS tahun 2014
[4]Republika Online, 880 Anak Indonesia
berpotensi Buta Aksara, http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/berita/10/07/09/123928-880-ribu-anak-indonesia-berpotensi-buta-aksara,
diakses pada 8 September 2015.
[5]Kantor Berita Pendidikan.net, 173 Daerah
Belum Tuntaskan Wajar, http://kantorberitapendidikan.net/173-daerah-belum-tuntaskan-wajar/,
diakses pada 8 eptember 2015.
[6]Republika Online, Setiap Tahun 300 ribu
Siswa SD Putus Sekolah, http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/06/09/npo61n-setiap-tahun-300-ribu-siswa-sd-putus-sekolah,
diakses pada 8 September 2015.
[7]Viva.co.id, 10.985 Desa di Indonesia tak
punya Sekolah Dasar, http://nasional.news.viva.co.id/news/read/590575-10-985-desa-di-indonesia-tak-punya-sekolah-dasar,
diakses pada 8 September 2015.
Posting Komentar