BREAKING NEWS

Rabu, Agustus 26, 2015

Pembangunan Ekonomi dan Pelibatan TNI dalam OSPEK : Situasi Menuju “Indonesia di bawah Sepatu Lars Jilid II ?”

Keterangan : Ospek Universitas Telkom tahun 2014 oleh Militer

Jika perpeloncoan atau ontgroening saat STOVIA dulu bertujuan untuk menghilangkan ke-hijau-an/groen (kepolosan) mahasiswa baru agar menjadi lebih dewasa dan peka terhadap lingkungan sosialnya[1], maka pada 2016 mendatang giliran TNI yang akan memelonco mahasiswa di kampus lewat ruang OSPEK[2]. Seragam loreng hijau dan sepatu Lars TNI akan menghiasi kampus di seluruh Indonesia, sehingga Mahasiswa menjadi sangat-sangat hijau dan polos kala menghadapi kebijakan rejim (Negara) yang anti rakyat. TNI (ABRI) di zaman rezim fasis soeharto memang alat yang efektif untuk membungkam sikap kritis rakyat dan kini akan terdengar kembali ‘Derap sepatu Lars’ di kampus-kampus.

Di era rejim fasis Soeharto tepatnya tahun 1977 paska peristiwa malari, TNI menduduki kampus, karena mahasiswa dianggap mengganggu ketertiban dan keamanan serta menghambat pembangunan ekonomi, sebagai contoh di kampus ITB, TNI dengan gagah mengepung kampus dengan ribuan personil serta peralatan lengkap militer dan membariskan mahasiswa lalu memopor senjata dan menginjakkan sepatu Lars-nya ke mahasiswa-mahasiswa ITB, gambaran mengerikan ini selanjutnya yang membungkam gerakan Mahasiswa kala itu. Tak sampai disitu, beberapa mahasiswa ditahan dan diadili di meja hijau dengan dalih “penghinaan presiden” karena telah mengkritisi kebijakan presiden yang anti rakyat[3]. Hal yang serupa terkait penghinaan presiden, pemerintah Jokowi mengusulkan kembali pasal itu untuk dimasukkan dalam draft RUU KUHP yang belakangan menjadi topik panas ditengah massa rakyat.

Tidak hanya pada saat orde baru, Bahkan represifitas TNI terhadap Mahasiswa terjadi di era Jokowi ini seperti pada tanggal 22 Agustus 2015 saat Mahasiswa melakukan aksi damai menolak kedatangan Jokowi di Pontianak karena kebutuhan pokok yang menyangkut hajat kehidupan rakyat harganya terus naik dan tidak terkendali seperti beras, gas elpiji, dan BBM[4].

Tindakan fasis niscaya ada pada Negara setengah-jajahan dan setengah-feodal seperti Indonesia dengan wujud yang bermacam-macam demi menjaga stabilitas keamanan serta ketertiban yang menjadi syarat masuknya investasi korporasi-korporasi besar dunia bahkan sejatinya merupakan bentuk perampasan terhadap Upah, tanah dan kerja rakyat. Sebut saja Megaproyek MP3EI[5] (Masterplan Perluasan dan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia) sebagai kebijakan anti rakyat yang membuat semakin massif-nya perampasan dan monopoli atas tanah di Indonesia, bentuk riil-nya bisa kita temui pada pembangunan pabrik-pabrik semen, pengerukan habis pertambangan, pembangunan infrastruktur (seperti pembangkit listrik, jalan tol, rel kereta api, bandara) untuk kelancaran produksi maupun distribusi barang dan jasa dari pulau ke pulau di Indonesia, dan tak kalah penting semuanya disokong oleh modal besar Imperialisme pimpinan AS, bahkan nilai Investasi MP3EI jika ditotal mencapai Rp 4.934,8 Triliun dengan cakupan sekitar 4.632 proyek[6]. Ditambah lagi proyek MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) sebagai bentuk perampasan tanah rakyat secara besar-besaran dan mengantongi HGU hingga 5 juta hektare, alih-alih membangun lumbung pangan dunia di merauke proyek MIFEE malah menciptakan kelaparan ‘akut’ disana khususnya suku malind yang telah lama menghuni hutan  dan tanah merauke. Perpanjangan kontrak karya PT Freeport di Papua oleh Jokowi-JK, pembangunan pabrik semen (seperti kasus rembang dan ajibarang) dan lain sebagainya juga semakin menambah penderitaan rakyat tiada habis.

Tindakan fasis yang baru-baru ini dilakukan oleh rejim Jokowi-JK lewat alat reaksinya yakni TNI juga memperparah keadaan, Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) mencatat belum genap satu tahun Pemerintahan Jokowi-JK setidaknya sudah 89 orang petani ditangkap dan 52 orang diantaranya dikriminalisasikan, 29 orang mengalami kekerasan, dan 3 orang meninggal, ini belum termasuk penyerangan petani di Kebumen (urut sewu) beberapa waktu lalu dan penyerangan serta penggusuran paksa warga kampung pulo Jakarta.

Sekali lagi setelah orde baru, fasisme membuka wajahnya tanpa malu. Rejim fasis (Jokowi-JK) menggunakan TNI sebagai alat reaksi untuk membungkam rakyat. Mereka (TNI) masuk ke desa-desa, muncul ditengah kota, masuk ke kampus-kampus, kerumah-rumah, hingga menjerat mimpi yang sudah sembunyi, tak berlebihan jika kita sebut “Indonesia dibawah sepatu Lars Jilid II.

Berangkat dari Doktrin “Pembangunan” yang menjadi dasar diciptakannya keamanan dan ketertiban atau dengan kata lain keadaan yang “kondusif” diperlukan. OSPEK pun kini akan diambil alih oleh TNI untuk menciptakan situasi kondusif itu. Padahal Institusi Pendidikan sangatlah riskan digunakan sebagai corong propaganda kebudayaan yang anti rakyat seperti dikatakan oleh Gramsci bahwa institusi sosial (Negara) termasuk pendidikan berperan dalam mendukung dan memperkuat hegemoni atau kekuasaan yang ada[7].

Mengapa mesti Institusi Pendidikan juga di rasuki oleh TNI ? karena Pada tahun 2020-2030 Indonesia akan mendapatkan surplus pemuda atau istilahnya ‘bonus demografi yaitu jumlah penduduk Indonesia berada dalam periode transisi struktur penduduk usia produktif. Maka sektor Pemuda Mahasiswa kini akan senantiasa diarahkan oleh rejim untuk mengabdikan diri pada kepentingan pemodal besar. sebagai contoh Megaproyek MP3EI yang ditafsirkan mencapai puncaknya bertepatan dengan hal ini, sehingga Potensi Pemuda Mahasiswa sebagai Sumber Daya Manusia (SDM) secara otomatis diarahkan untuk menyokong kebijakan MP3EI. misalnya lewat salah satu program andalan yaitu Penprinas (Penelitian Prioritas Nasional) yang melibatkan perguruan tinggi dengan kolaborasi bersama dunia Industri beserta pemerintah, untuk melakukan penelitian dan hasilnya sebagai landasan pelaksanaan MP3EI, Konkretnya ditunjuk beberapa pimpinan (rektor) perguruan Tinggi sebagai koordinator pelaksana penprinas[8]. Alhasil semua penelitian dosen dan mahasiswa diarahkan untuk itu, belum lagi gembar-gembor Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) tahun 2025 sebagai ‘ilusi pasar bebas’ yang sejatinya adalah monopoli Imperialisme AS di Asia Tenggara semakin membuat Institusi pendidikan di setir untuk mendorongnya. Sebagai bumbu Pelengkap terdapat kebijakan terbaru dari pemerintah lewat Permendikbud Nomor 49 tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi terkait batasan kuliah S1 selama 5 tahun dan akhirnya ada perpadatan Kurikulum dan SKS Kuliah yang alhasil membentuk mahasiswa tak mengenal kegiatan atau Organisasi bahkan terpaku pada akademik semata dan menjauhkannya kepada realitas sosial, ditambah lagi Normalisasi Kampus (NKK/BKK) yang secara materiil masih diterapkan di kampus-kampus.

Masuknya TNI ke kampus lewat OSPEK khususnya di Unsoed merupakan salah satu kebijakan represif dan fasis yang akan diterapkan oleh rektor sebagai pemangku kebijakan dan pelaksana penyelenggara pendidikan tinggi di Unsoed. Kebijakan pelarangan kegiatan mahasiswa di malam hari (jam malam), pembatasan penggunaan ruangan atau fasilitas kampus di beberapa fakultas atau jurusan merupakan kebijakan yang akan semakin mempersempit ruang gerak mahasiswa dalam melakukan kegiatan. Budaya mahasiswa yang apatis, individualis dan pragmatis bahkan asosial itulah tujuan dari semua kebijakan Rejim Fasis Jokowi-JK untuk Disebar-tanamkan kepada Pemuda Mahasiswa.

Jalan Keluar Melawan Bahaya Laten Fasisme

‘Bahaya laten fasisme’ muncul dan masuk kedalam Kampus lewat pintu OSPEK, maka tak ada jalan keluar selain menolaknya dan senantiasa mengkampanyekan secara luas di Unsoed karena sangat besar peluang Rektor Unsoed melaksanakan kebijakan fasis ini di tahun 2016 mendatang sesuai arahan dari pemerintah (kemenristekdikti). Namun, hal itu tak cukup jika tidak menghimpun diri dan menyatukan pandangan untuk menolaknya.

Selain menyatukan pandangan, mengampanyekan bahaya laten Fasisme dan melakukan penolakan keras terhadapnya, langkah yang dapat dan perlu kita lakukan adalah mengambil alih kembali OSPEK dari jerat birokrasi kampus (rektor) dan menciptakan OSPEK yang anti terhadap tindakan Fasis. Artinya OSPEK seyogyanya digunakan untuk menyerukan persoalan rakyat akibat dari kebijakan Rezim Boneka Imperialisme (Jokowi-JK). Di samping itu penting juga menggunakan ruang OSPEK sebagai ruang konsolidasi serta membangkitkan kesadaran Mahasiswa baru tentang problem pokoknya yakni pendidikan yang tidak ilmiah, tidak berorientasi kepada rakyat dan tidak demokratis karena biaya kuliah yang semakin tinggi sehingga tidak dapat dijangkau oleh semua kalangan[9], beserta ancaman terhadap berbagai macam kebijakan anti-demokrasi lainnya dikampus.

Langkah tersebut tentunya akan melahirkan dan membentuk budaya Mahasiswa yang peka terhadap lingkungan sosial bahkan mengenal dirinya sendiri untuk sadar akan persoalan Rakyat Indonesia. Budaya yang apatis, individualis dan pragmatis akan dikikis oleh mahasiswa lewat OSPEK yang lebih demokratis, ilmiah dan berorientasi pada pengabdian untuk rakyat.

*Penulis : Adhi Bangkit Saputra
  (KA. Dept Dikprop FMN Ranting Unsoed)


[1] http://historia.id/modern/kisah-plonco-sejak-zaman-londo diakses pada tanggal 23 Agustus 2015.
[3] Sukmadji Indro tjahjono, Indonesia dibawah sepatu Lars : Pembelaan Di Muka Pengadilan Mahasiswa Bandung, Care Taker Presidium ITB 1977, Hal 45.
[5] MP3EI diberlakukan lewat Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2011 pada era SBY, dan dilanjutkan di era Jokowi-JK saat ini.
[6] Noer Fauzi Rachman dkk, MP3EI (Master Plan Percepatan dan Perluasan krisis Ekologis Indonesia), Yogyakarta : Tanah Air Beta, 2014, hal 21.
[7] Agus Nuryanto, Mazhab pendidikan kritis, Yogyakarta : resist book , 2010, hal 34.
[8] Ibid, hal 8.
[9] Menurut data BPS 2014 hanya 19,97% pemuda Indonesia (kisaran usia 19-24 tahun) yang dapat mengenyam pendidikan tinggi.

Share this:

Posting Komentar

 
Back To Top
Copyright © 2018 Soeara Massa. Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Templates