Jika perpeloncoan atau ontgroening saat STOVIA dulu bertujuan untuk menghilangkan ke-hijau-an/groen (kepolosan) mahasiswa baru agar
menjadi lebih dewasa dan peka terhadap lingkungan sosialnya[1],
maka pada 2016 mendatang giliran TNI yang akan memelonco mahasiswa di kampus
lewat ruang OSPEK[2]. Seragam
loreng hijau dan sepatu Lars TNI akan menghiasi kampus di seluruh Indonesia,
sehingga Mahasiswa menjadi sangat-sangat hijau dan polos kala menghadapi kebijakan rejim (Negara) yang anti rakyat. TNI (ABRI)
di zaman rezim fasis soeharto memang alat yang efektif untuk membungkam sikap
kritis rakyat dan kini akan terdengar kembali ‘Derap sepatu Lars’ di kampus-kampus.
Di era rejim fasis Soeharto tepatnya tahun 1977 paska peristiwa malari,
TNI menduduki kampus, karena mahasiswa dianggap mengganggu ketertiban dan
keamanan serta menghambat pembangunan ekonomi, sebagai contoh di kampus ITB,
TNI dengan gagah mengepung kampus dengan ribuan personil serta peralatan
lengkap militer dan membariskan mahasiswa lalu memopor senjata dan menginjakkan
sepatu Lars-nya ke mahasiswa-mahasiswa ITB, gambaran mengerikan ini selanjutnya
yang membungkam gerakan Mahasiswa kala itu. Tak sampai disitu, beberapa
mahasiswa ditahan dan diadili di meja hijau dengan dalih “penghinaan presiden”
karena telah mengkritisi kebijakan presiden yang anti rakyat[3].
Hal yang serupa terkait penghinaan presiden, pemerintah Jokowi mengusulkan
kembali pasal itu untuk dimasukkan dalam draft RUU KUHP yang belakangan menjadi
topik panas ditengah massa rakyat.
Tidak hanya pada saat orde baru, Bahkan represifitas TNI terhadap
Mahasiswa terjadi di era Jokowi ini seperti pada tanggal 22 Agustus 2015 saat
Mahasiswa melakukan aksi damai menolak kedatangan Jokowi di Pontianak
karena kebutuhan pokok yang menyangkut hajat kehidupan rakyat harganya terus naik dan tidak
terkendali seperti beras, gas elpiji, dan BBM[4].
Tindakan fasis niscaya ada pada Negara setengah-jajahan dan setengah-feodal
seperti Indonesia dengan wujud yang bermacam-macam demi menjaga stabilitas
keamanan serta ketertiban yang menjadi syarat masuknya investasi korporasi-korporasi
besar dunia bahkan sejatinya merupakan bentuk perampasan terhadap Upah, tanah
dan kerja rakyat. Sebut saja Megaproyek MP3EI[5]
(Masterplan Perluasan dan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia) sebagai
kebijakan anti rakyat yang membuat semakin massif-nya perampasan dan monopoli
atas tanah di Indonesia, bentuk riil-nya bisa kita temui pada pembangunan
pabrik-pabrik semen, pengerukan habis pertambangan, pembangunan infrastruktur
(seperti pembangkit listrik, jalan tol, rel kereta api, bandara) untuk
kelancaran produksi maupun distribusi barang dan jasa dari pulau ke pulau di
Indonesia, dan tak kalah penting semuanya disokong oleh modal besar Imperialisme
pimpinan AS, bahkan nilai Investasi MP3EI jika ditotal mencapai Rp 4.934,8
Triliun dengan cakupan sekitar 4.632 proyek[6].
Ditambah lagi proyek MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) sebagai
bentuk perampasan tanah rakyat secara besar-besaran dan mengantongi HGU hingga
5 juta hektare, alih-alih membangun lumbung pangan dunia di merauke proyek
MIFEE malah menciptakan kelaparan ‘akut’ disana khususnya suku malind yang
telah lama menghuni hutan dan tanah merauke.
Perpanjangan kontrak karya PT Freeport di Papua oleh Jokowi-JK, pembangunan
pabrik semen (seperti kasus rembang dan ajibarang) dan lain sebagainya juga
semakin menambah penderitaan rakyat tiada habis.
Tindakan fasis yang baru-baru ini dilakukan oleh rejim Jokowi-JK lewat
alat reaksinya yakni TNI juga memperparah keadaan, Aliansi Gerakan
Reforma Agraria (AGRA) mencatat belum genap satu tahun Pemerintahan Jokowi-JK
setidaknya sudah 89 orang petani ditangkap dan 52 orang
diantaranya dikriminalisasikan, 29 orang mengalami kekerasan, dan 3 orang
meninggal, ini belum termasuk penyerangan petani di Kebumen (urut sewu) beberapa waktu lalu dan penyerangan serta penggusuran paksa warga kampung pulo Jakarta.
Sekali lagi setelah orde baru, fasisme membuka wajahnya tanpa malu. Rejim
fasis (Jokowi-JK) menggunakan TNI sebagai alat reaksi untuk
membungkam rakyat. Mereka (TNI) masuk ke desa-desa,
muncul ditengah kota, masuk ke kampus-kampus, kerumah-rumah, hingga menjerat
mimpi yang sudah sembunyi, tak berlebihan jika kita sebut “Indonesia dibawah
sepatu Lars Jilid II”.
Berangkat dari Doktrin “Pembangunan” yang menjadi dasar
diciptakannya keamanan dan ketertiban atau dengan kata lain keadaan yang
“kondusif” diperlukan. OSPEK pun kini akan diambil alih oleh TNI untuk
menciptakan situasi kondusif itu. Padahal Institusi Pendidikan sangatlah riskan
digunakan sebagai corong propaganda kebudayaan yang anti rakyat seperti
dikatakan oleh Gramsci bahwa institusi sosial (Negara) termasuk pendidikan
berperan dalam mendukung dan memperkuat hegemoni atau kekuasaan yang ada[7].
Mengapa mesti Institusi Pendidikan juga di rasuki oleh
TNI ? karena Pada tahun 2020-2030 Indonesia akan mendapatkan
surplus pemuda atau istilahnya ‘bonus
demografi’ yaitu
jumlah
penduduk Indonesia berada
dalam periode transisi struktur penduduk usia produktif. Maka sektor Pemuda Mahasiswa kini akan senantiasa
diarahkan oleh rejim untuk mengabdikan diri pada kepentingan pemodal besar. sebagai
contoh Megaproyek MP3EI yang ditafsirkan mencapai puncaknya bertepatan dengan
hal ini, sehingga Potensi Pemuda Mahasiswa sebagai Sumber Daya Manusia (SDM) secara
otomatis diarahkan untuk menyokong kebijakan MP3EI. misalnya lewat salah satu
program andalan yaitu Penprinas (Penelitian Prioritas Nasional) yang melibatkan
perguruan tinggi dengan kolaborasi bersama dunia Industri beserta pemerintah,
untuk melakukan penelitian dan hasilnya sebagai landasan pelaksanaan MP3EI, Konkretnya
ditunjuk beberapa pimpinan (rektor) perguruan Tinggi sebagai koordinator
pelaksana penprinas[8].
Alhasil semua penelitian dosen dan mahasiswa diarahkan untuk itu, belum lagi
gembar-gembor Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) tahun 2025 sebagai ‘ilusi pasar
bebas’ yang sejatinya adalah monopoli Imperialisme AS di Asia Tenggara semakin
membuat Institusi pendidikan di setir untuk mendorongnya. Sebagai bumbu
Pelengkap terdapat kebijakan terbaru dari pemerintah lewat Permendikbud Nomor
49 tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi terkait batasan kuliah
S1 selama 5 tahun dan akhirnya ada perpadatan Kurikulum dan SKS Kuliah yang
alhasil membentuk mahasiswa tak mengenal kegiatan atau Organisasi bahkan
terpaku pada akademik semata dan menjauhkannya kepada realitas sosial, ditambah
lagi Normalisasi Kampus (NKK/BKK) yang secara materiil masih diterapkan di kampus-kampus.
Masuknya TNI ke kampus lewat OSPEK khususnya di Unsoed
merupakan salah satu kebijakan represif dan fasis yang akan diterapkan oleh
rektor sebagai pemangku kebijakan dan pelaksana penyelenggara pendidikan tinggi
di Unsoed. Kebijakan pelarangan kegiatan mahasiswa di malam hari (jam malam),
pembatasan penggunaan ruangan atau fasilitas kampus di beberapa fakultas atau
jurusan merupakan kebijakan yang akan semakin mempersempit ruang gerak
mahasiswa dalam melakukan kegiatan. Budaya mahasiswa yang apatis, individualis
dan pragmatis bahkan asosial itulah tujuan dari semua kebijakan Rejim Fasis Jokowi-JK
untuk Disebar-tanamkan kepada Pemuda Mahasiswa.
Jalan Keluar Melawan
Bahaya Laten Fasisme
‘Bahaya laten fasisme’ muncul dan masuk kedalam Kampus lewat pintu
OSPEK, maka tak ada jalan keluar selain menolaknya dan senantiasa
mengkampanyekan secara luas di Unsoed karena sangat besar peluang Rektor Unsoed
melaksanakan kebijakan fasis ini di tahun 2016 mendatang sesuai arahan dari
pemerintah (kemenristekdikti). Namun, hal itu tak cukup jika tidak menghimpun
diri dan menyatukan pandangan untuk menolaknya.
Selain menyatukan pandangan, mengampanyekan bahaya laten Fasisme dan
melakukan penolakan keras terhadapnya, langkah yang dapat dan perlu kita
lakukan adalah mengambil alih kembali OSPEK dari jerat birokrasi kampus (rektor)
dan menciptakan OSPEK yang anti terhadap tindakan Fasis. Artinya OSPEK
seyogyanya digunakan untuk menyerukan persoalan rakyat akibat dari kebijakan
Rezim Boneka Imperialisme (Jokowi-JK). Di samping itu penting juga menggunakan
ruang OSPEK sebagai ruang konsolidasi serta membangkitkan kesadaran Mahasiswa
baru tentang problem pokoknya yakni pendidikan yang
tidak ilmiah, tidak berorientasi kepada rakyat dan tidak demokratis karena biaya
kuliah yang semakin tinggi sehingga tidak dapat dijangkau oleh semua kalangan[9], beserta ancaman terhadap berbagai macam kebijakan
anti-demokrasi lainnya dikampus.
Langkah tersebut tentunya akan
melahirkan dan membentuk budaya Mahasiswa yang peka terhadap lingkungan sosial
bahkan mengenal dirinya sendiri untuk sadar akan
persoalan Rakyat Indonesia. Budaya yang apatis, individualis dan pragmatis akan
dikikis oleh mahasiswa lewat OSPEK yang lebih demokratis, ilmiah dan berorientasi
pada pengabdian untuk rakyat.
*Penulis : Adhi Bangkit Saputra
(KA. Dept Dikprop FMN Ranting Unsoed)
[2] http://www.kompasiana.com/imamaz/tni-hadir-di-ospek_54f67368a3331137028b4bc1 diakses
pada tanggal 23 Agustus 2015.
[3] Sukmadji
Indro
tjahjono, Indonesia dibawah sepatu Lars : Pembelaan Di Muka Pengadilan Mahasiswa Bandung, Care Taker Presidium ITB 1977, Hal 45.
[4] http://bangka.tribunnews.com/2015/08/22/anggota-tni-amankan-mahasiswa-yang-demo-ketika-jokowi-datang diakses 23 Agustus 2015.
[5] MP3EI diberlakukan lewat
Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2011 pada era SBY, dan dilanjutkan di era
Jokowi-JK saat ini.
[6] Noer Fauzi Rachman dkk, MP3EI (Master Plan Percepatan dan Perluasan
krisis Ekologis Indonesia), Yogyakarta : Tanah Air Beta, 2014, hal 21.
[9] Menurut data BPS 2014 hanya 19,97% pemuda Indonesia (kisaran usia 19-24 tahun) yang dapat
mengenyam pendidikan tinggi.

Posting Komentar