![]() |
| Sumber foto : FPR Sulsel |
(Sekjend FMN Cabang Purwokerto)
“Sebagian orang hidup di dalam kegelapan; segelintir saja yang hidup di tempat yang terang; dan mereka yang hidup di kegelapan tetap tak terlihat.”
Indonesia adalah negara agraris,
demikianlah yang sering kita dengar ketika ada yang membicarakan tentang negara
ini. Negara dengan jumlah penduduk mencapai 250 juta jiwa, yang memiliki
potensi luar biasa yang bersumber dari dalam perut bumi. Membuat kita yang
hidup di dalamnya wajib untuk bersyukur. Sebagaimana yang dinyanyikan oleh Koes
Ploes dalam lagu kolam susu, “orang
bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman”. Tapi,
masih kah tanah kita adalah tanah surga?
Indonesia
dan segala sumber dayanya seharusnya bisa menjamin kehidupan setiap warga
negaranya, mulai dari papan, pangan, dan sandang. Itu semua menarik karena
keanekaragamannya, tapi yang terjadi tidaklah seindah yang digambarkan. Konflik
agraria dibiarkan begitu saja tanpa penyelesaian yang jelas dan adil telah
mengakibatkan konflik agraria terus berlanjut dan meluas di seluruh negeri. Inilah
yang kemudian harus dijadikan prioritas oleh pemerintahan Jokowi-JK dalam
menjalankan negeri. Sebab, pada masa pemerintahan sebelumnya, SBY telah lalai
akan kebijakan agraria. Ini dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan SBY yang
mengakibatkan hilangnya akses dan kontrol rakyat miskin di pedesaan dan
pedalaman terhadap sumber-sumber agraria. Jika kita mencermati data Sensus
Pertanian dalam 10 tahun terakhir (2003–2013), maka dapat diketahui bahwa
ancaman terhadap esistensi keluarga petani semakin menguat. Setiap menitnya 1
rumah tangga petani hilang, begitu pun 0,25 ha lahan pertanian hilang menjadi
non-pertanian.
Data
menunjukan jumlah rumah tangga usaha pertanian pada tahun 2013 sebanyak 26,13
juta rumah tangga atau menurun sebanyak 5,04 juta rumah tangga bila
dibandingkan dengan hasil sensus pertanian pada tahun 2003, karena dalam setiap
rumah tangga pertanian terdapat minimal salah satu anggota yang mengelola
kegiatan usaha pertanian atau “petani”. Angka penurunan sebesar 5,04 juta rumah
tangga sebagaimana telah disebut sebelumnya bisa dimaknai bahwa minimal ada 5
juta petani yang telah meninggalkan sektor pertanian dalam sepuluh tahun
terakhir[1].
Penyebabnya macam-macam, bisa karena meninggal dunia atau beralih ke sektor
lain yang lebih menjanjikan kesejahteraannya.
Faktor
lain yang mempengaruhi adalah koversi
tanah pertanian rakyat yang cepat dan meluas ditandai dengan terkonsentrasi
tanah-tanah tersebut ke unit-unit usaha skala besar seperti perkebunan, pertambangan,
kehutanan, dan infrastruktur yang tak pelak hadir dan menicu konflik lewat Master
Plan Percepatan, Perluasan, dan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Jika
kecenderungan ini terus dilanjutkan oleh pemerintahan ke depan maka keberadaan
keluarga petani dan profesi petani di negeri agraris ini akan terancam punah. Hal ini terlihat dari jumlah konflik
agraria yang terus meningkat dan meluas, baik secara kejadian, jumlah luasan,
sebaran lokasi konflik maupun korban-korban yang berjatuhan kembali menjadi
wajah buruk situasi agraria nasional. Sepanjang tahun 2014 sedikitnya telah
terjadi 215 konlik agraria. Ekspansi perluasan perkebunan 185 konlik agraria (39,19%),
dilanjutkan oleh sektor kehutanan 27 (5,72%), pertanian 20 (4,24%),
pertambangan 14 (2,97%), perairan dan kelautan 4 (0,85%), lain-lain 7 konlik
(1,48%). Dibandingkan dengan 2013 terjadi peningkatan jumlah konflik sebanyak
103 atau meningkat 27,9%[2].
Konflik
agraria yang terjadi belangsung bagaikan mata rantai yang saling menghubungkan
antara satu dengan yang lain. Setelah diberlakukannya MP3EI sejal tahun 2012 oleh
Peraturan Presiden No.
32 Tahun 2011, prakrek perampasan tanah dengan dalih pembangunan kerap terjadi.
Pelaksanaan MP3EI ini terjadi bukan hanya semata karena di berlakukannya
keputusan presiden tersebut, terdapat beberapa peraturan perundang-undangan
yang seakan melengkapi dan melegitimasi perampasan tanah yang terjadi. Salah
satunya adalah UU No.
2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepantingan Umum
dan Peraturan Turunannya. Inilah sekiranya yang menadi biang keladi mudahnya
perampasan tanah rakyat atas nama pembangunan. Kemudian lebih jauh, berjalannya
program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
(MP3EI) yang membagi tanah-air Indonesia dalam enam koridor ekonomi berbasiskan
komoditas utama yang satu sama lain saling terhubung (konektivitas ekonomi)
melalui pengembangan bisnis-bisnis ekploitasi dan ekplorasi sumber daya alam
dalam skala luas. Sejalan dengan ekspansi pengerukan kekayaan alam itu, maka
pembangunan infrastruktur pun semakin diperluas demi memperlancar bisnis-bisnis
pengerukan SDA tersebut. Proyek MP3EI memperlihatkan bagaimana dominasi peran
pemerintah sangat kental dalam mendorong terjadinya konlik agraria di sektor
infrastruktur. Pemerintah berperan dalam proses pembebasan dan pengadaan tanah,
termasuk sebagai penjamin resiko akibat pengadaan tanah bagi bisnis infrastruktur.
Sejak
2004 hingga ujung 2014 telah terjadi 1.520 konlik agraria dengan luasan areal
konlik seluas 6.541.951.00 hektar, yang melibatkan 977.103 KK. Dengan demikian,
rata-rata hampir dua hari sekali terjadi konlik agraria. Dalam satu hari, ada 1.792
hektar tanah rakyat yang dirampas hak penguasaan dan pengelolaanya, dan lebih
dari 267 KK terampas tanahnya[3]. Salah
satu konflik yang terjadi adalah perampasan tanah yan terjadi di desa
Darmakradenan, Ajibarang.
Konflik
yang terjadi di desa Darmakradenan, Ajibarang, Banyumas merupakan salah satu konflik agraria
yang sampai saat ini belum terselesaikan. Konflik agraria terkait HGU ini sudah
berlangsung lebih dari 10 tahun, dimulai dengan masuknya militer pada tahun
1965 dengan dalih mengamankan situasi politik pasca G30S. Proses “pengamanan”
tersebut semakin hari semakin merambat hingga akhirnya didirikannya PT Rumpun
Sari Antan (RSA) sebagai pemilik Hak Guna Usaha perkebunan yang merampas tanah
rakyat seluas 227 hektar. Yang mengakibatkan rakyat Desa Darmakradenan
kehilangan tanahnya untuk digarap. Ditambah dengan beberapa kasus represifitas
milier secara verbal ataupun fisik yang semakin memperjelas posisi negara yang
cenderung lalai dalam mewujudkan kedaulatan, minimal di satu desa.
Kasus
lain yang serupa tapi tak sama terjadi di beberapa daerah. Bahkan tak ayal
koban pun berjatuhan. Jumlah korban akibat konlik agraria masih tinggi dari
tahun ke tahun. Sepanjang 2014 korban tewas mencapai 19 orang, tertembak 17
orang, luka-luka akibat dianiaya 110 orang dan ditahan 256 orang. Tingginya
angka korban jiwa, kekerasan dan kriminalisasi atas rakyat dalam konlik agraria
menunjukkan bahwa keterlibatan Polri/TNI dalam penanganan konlik agraria selama
ini terbukti telah gagal memberikan rasa aman dan menjamin hak hidup rakyat
dalam mempertahankan tanah-airnya. Justru keterlibatan Polri/TNI memperparah
aksi-aksi intimidasi dan teror terhadap warga. Sepanjang 2014 pelaku kekerasan
dalam konflik
agraria didominasi oleh aparat kepolisian sebanyak 34 kasus, warga 19 kasus,
pamswakarsa perusahaan 12 kasus, preman 6 kasus, dan TNI 5 kasus.
Gejala yang terjadi
bagaikan telah terpola, militer masuk-mendirikan badan usaha-negara
mengijinkan-rakyat kehilangan tanah, atau pola swasta masuk-mengadakan
pembangunan-negara mengijinkan lewat serangkaian pengaturan-rakyat kehilangan
tanah dan meronta-militer masuk-rakyat bungkam. Untuk Jawa Tengah sendiri,
Sederet konflik agraria yang belum selesai antara lain kasus konflik agraria antara TNI dengan Petani
di Kebumen, Konflik agraria antara petani Sambirejo, Sragen dengan PTPN IX yang
menyebabkan tiga petani ditahan di Polda Jawa Tengah, serta konflik agraria
Rembang tentang pembagunan pabrik semen. Untuk Rembang sendiri, kasus yang
terjadi adalah tentang para petani warga yang
menolak mendapatkan kekerasan, penangkapan dan intimidasi dari aparat kemanan.
Empat orang petani ditangkap serta ibu-ibu petani yang memblokade pabrik semen terluka akibat kekerasan dari aparat
keamanan. Alasan penolakan warga desa yang mayoritas adalah petani yang
menggantungkan hidupnya dari tanah dan air di pegunungan Kendeng tak pernah
didengarkan oleh Pemda terkhususnya, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo.
Ratusan mata air, gua
dan sungai bawah tanah di kawasan karst Watuputih yang dipertahankan warga dari
penambangan Karst dan pembangunan pabrik semen PT. Semen Indonesia justru ditanggapi
dengan kekerasan dari aparat, preman dan tentara yang mengawal pembangunan
pabrik semen. Penolakan warga
terhadap penambangan karst dan pembangunan pabrik semen cukup logis bagi keberlangsungan
keselamatan rakyat dan keberlanjutan hidup rakyat.
Pembangunan pabrik semen di Rembang adalah salah satu perwujudan kecil dari
MP3EI, sebab pulau Jawa ada pada koridor industri dan jasa. Salah satu
agendanya adalah pendirian pabrik semen ini. Adapun pendirian dilakukan untuk
mempermudah alur distribusi barang dan jasa oleh pemerintah untuk pasar.
Hingga
hari ini, kekerasan terhadap petani sebagai akibat dari pembangunan terus
terjadi. Tak sedikit yang menjadi korban, namun hanya sedikit yang mengetahui
atau merasakan langsung dampaknya. Pembangunan ekonomi melalui MP3EI adalah
sebuah ilusi, seakan membius, kemudian menusuk. Semakin merusak dengan terus
merampas hak atas tanah yang dimiliki oleh segenap rakyat. Munculnya MP3EI juga tak
lepas dari campur tangan negara yang seakan semakin lepas tangan dalam bidang
sumberdaya agraria. Padahal dalam Undang-Undang Dasar pasal 33 telah jelas
dituliskan bahwa tanah, air, dan udara dikuasai sepenuhnya oleh negara untuk kesejahteraan
rakyat, bukan untuk pemodal, bukan untuk penguasa. Hingga tanah surga yang dulu
selalu di dendangkan akan terdengar lagi. Hingga legenda batu dan kayu jadi
tanaman bisa terlihat lagi.
[1] Kadir Ruslan, “Sinyal Buruk Hasil Sensus Pertanian”, Kompasiana,
diakses dari http://www.kompasiana.com/kadirsaja/sinyal-buruk-hasil-sensus-pertanian_5528d9a06ea83460028b45b0,
pasa tanggal 13 September 2015 pukul 19.34
[2] Konsorsium Pembaruan Agraria, “Catatan Akhir tahun 2014, Membenahi
Masalah Agraria: Prioritas kerja Jokowi-JK Pada 2015”, Konsorsium Pembaruan Agraria, 2014, halaman 10
[3] Ibid, halaman 12

Posting Komentar