BREAKING NEWS

Rabu, September 23, 2015

Dalang Kekerasan Terhadap Petani


Sumber foto : FPR Sulsel
Oleh : Amy Bondan Maharaja 
(Sekjend FMN Cabang Purwokerto)

Sebagian orang hidup di dalam kegelapan; segelintir saja yang hidup di tempat yang terang; dan mereka yang hidup di kegelapan tetap tak terlihat.

Indonesia adalah negara agraris, demikianlah yang sering kita dengar ketika ada yang membicarakan tentang negara ini. Negara dengan jumlah penduduk mencapai 250 juta jiwa, yang memiliki potensi luar biasa yang bersumber dari dalam perut bumi. Membuat kita yang hidup di dalamnya wajib untuk bersyukur. Sebagaimana yang dinyanyikan oleh Koes Ploes dalam lagu kolam susu, “orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman”. Tapi, masih kah tanah kita adalah tanah surga?

Indonesia dan segala sumber dayanya seharusnya bisa menjamin kehidupan setiap warga negaranya, mulai dari papan, pangan, dan sandang. Itu semua menarik karena keanekaragamannya, tapi yang terjadi tidaklah seindah yang digambarkan. Konflik agraria dibiarkan begitu saja tanpa penyelesaian yang jelas dan adil telah mengakibatkan konflik agraria terus berlanjut dan meluas di seluruh negeri. Inilah yang kemudian harus dijadikan prioritas oleh pemerintahan Jokowi-JK dalam menjalankan negeri. Sebab, pada masa pemerintahan sebelumnya, SBY telah lalai akan kebijakan agraria. Ini dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan SBY yang mengakibatkan hilangnya akses dan kontrol rakyat miskin di pedesaan dan pedalaman terhadap sumber-sumber agraria. Jika kita mencermati data Sensus Pertanian dalam 10 tahun terakhir (2003–2013), maka dapat diketahui bahwa ancaman terhadap esistensi keluarga petani semakin menguat. Setiap menitnya 1 rumah tangga petani hilang, begitu pun 0,25 ha lahan pertanian hilang menjadi non-pertanian.

Data menunjukan jumlah rumah tangga usaha pertanian pada tahun 2013 sebanyak 26,13 juta rumah tangga atau menurun sebanyak 5,04 juta rumah tangga bila dibandingkan dengan hasil sensus pertanian pada tahun 2003, karena dalam setiap rumah tangga pertanian terdapat minimal salah satu anggota yang mengelola kegiatan usaha pertanian atau “petani”. Angka penurunan sebesar 5,04 juta rumah tangga sebagaimana telah disebut sebelumnya bisa dimaknai bahwa minimal ada 5 juta petani yang telah meninggalkan sektor pertanian dalam sepuluh tahun terakhir[1]. Penyebabnya macam-macam, bisa karena meninggal dunia atau beralih ke sektor lain yang lebih menjanjikan kesejahteraannya.

Faktor lain yang mempengaruhi adalah  koversi tanah pertanian rakyat yang cepat dan meluas ditandai dengan terkonsentrasi tanah-tanah tersebut ke unit-unit usaha skala besar seperti perkebunan, pertambangan, kehutanan, dan infrastruktur yang tak pelak hadir dan menicu konflik lewat Master Plan Percepatan, Perluasan, dan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Jika kecenderungan ini terus dilanjutkan oleh pemerintahan ke depan maka keberadaan keluarga petani dan profesi petani di negeri agraris ini akan terancam punah. Hal ini terlihat dari jumlah konflik agraria yang terus meningkat dan meluas, baik secara kejadian, jumlah luasan, sebaran lokasi konflik maupun korban-korban yang berjatuhan kembali menjadi wajah buruk situasi agraria nasional. Sepanjang tahun 2014 sedikitnya telah terjadi 215 konlik agraria. Ekspansi perluasan perkebunan 185 konlik agraria (39,19%), dilanjutkan oleh sektor kehutanan 27 (5,72%), pertanian 20 (4,24%), pertambangan 14 (2,97%), perairan dan kelautan 4 (0,85%), lain-lain 7 konlik (1,48%). Dibandingkan dengan 2013 terjadi peningkatan jumlah konflik sebanyak 103 atau meningkat 27,9%[2].

Konflik agraria yang terjadi belangsung bagaikan mata rantai yang saling menghubungkan antara satu dengan yang lain. Setelah diberlakukannya MP3EI sejal tahun 2012 oleh Peraturan Presiden No. 32 Tahun 2011, prakrek perampasan tanah dengan dalih pembangunan kerap terjadi. Pelaksanaan MP3EI ini terjadi bukan hanya semata karena di berlakukannya keputusan presiden tersebut, terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang seakan melengkapi dan melegitimasi perampasan tanah yang terjadi. Salah satunya adalah UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepantingan Umum dan Peraturan Turunannya. Inilah sekiranya yang menadi biang keladi mudahnya perampasan tanah rakyat atas nama pembangunan. Kemudian lebih jauh, berjalannya program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang membagi tanah-air Indonesia dalam enam koridor ekonomi berbasiskan komoditas utama yang satu sama lain saling terhubung (konektivitas ekonomi) melalui pengembangan bisnis-bisnis ekploitasi dan ekplorasi sumber daya alam dalam skala luas. Sejalan dengan ekspansi pengerukan kekayaan alam itu, maka pembangunan infrastruktur pun semakin diperluas demi memperlancar bisnis-bisnis pengerukan SDA tersebut. Proyek MP3EI memperlihatkan bagaimana dominasi peran pemerintah sangat kental dalam mendorong terjadinya konlik agraria di sektor infrastruktur. Pemerintah berperan dalam proses pembebasan dan pengadaan tanah, termasuk sebagai penjamin resiko akibat pengadaan tanah bagi bisnis infrastruktur.

Sejak 2004 hingga ujung 2014 telah terjadi 1.520 konlik agraria dengan luasan areal konlik seluas 6.541.951.00 hektar, yang melibatkan 977.103 KK. Dengan demikian, rata-rata hampir dua hari sekali terjadi konlik agraria. Dalam satu hari, ada 1.792 hektar tanah rakyat yang dirampas hak penguasaan dan pengelolaanya, dan lebih dari 267 KK terampas tanahnya[3]. Salah satu konflik yang terjadi adalah perampasan tanah yan terjadi di desa Darmakradenan, Ajibarang.

Konflik yang terjadi di desa Darmakradenan, Ajibarang, Banyumas merupakan salah satu konflik agraria yang sampai saat ini belum terselesaikan. Konflik agraria terkait HGU ini sudah berlangsung lebih dari 10 tahun, dimulai dengan masuknya militer pada tahun 1965 dengan dalih mengamankan situasi politik pasca G30S. Proses “pengamanan” tersebut semakin hari semakin merambat hingga akhirnya didirikannya PT Rumpun Sari Antan (RSA) sebagai pemilik Hak Guna Usaha perkebunan yang merampas tanah rakyat seluas 227 hektar. Yang mengakibatkan rakyat Desa Darmakradenan kehilangan tanahnya untuk digarap. Ditambah dengan beberapa kasus represifitas milier secara verbal ataupun fisik yang semakin memperjelas posisi negara yang cenderung lalai dalam mewujudkan kedaulatan, minimal di satu desa.

Kasus lain yang serupa tapi tak sama terjadi di beberapa daerah. Bahkan tak ayal koban pun berjatuhan. Jumlah korban akibat konlik agraria masih tinggi dari tahun ke tahun. Sepanjang 2014 korban tewas mencapai 19 orang, tertembak 17 orang, luka-luka akibat dianiaya 110 orang dan ditahan 256 orang. Tingginya angka korban jiwa, kekerasan dan kriminalisasi atas rakyat dalam konlik agraria menunjukkan bahwa keterlibatan Polri/TNI dalam penanganan konlik agraria selama ini terbukti telah gagal memberikan rasa aman dan menjamin hak hidup rakyat dalam mempertahankan tanah-airnya. Justru keterlibatan Polri/TNI memperparah aksi-aksi intimidasi dan teror terhadap warga. Sepanjang 2014 pelaku kekerasan dalam konflik agraria didominasi oleh aparat kepolisian sebanyak 34 kasus, warga 19 kasus, pamswakarsa perusahaan 12 kasus, preman 6 kasus, dan TNI 5 kasus.
Gejala yang terjadi bagaikan telah terpola, militer masuk-mendirikan badan usaha-negara mengijinkan-rakyat kehilangan tanah, atau pola swasta masuk-mengadakan pembangunan-negara mengijinkan lewat serangkaian pengaturan-rakyat kehilangan tanah dan meronta-militer masuk-rakyat bungkam. Untuk Jawa Tengah sendiri, Sederet konflik agraria yang belum selesai antara lain  kasus konflik agraria antara TNI dengan Petani di Kebumen, Konflik agraria antara petani Sambirejo, Sragen dengan PTPN IX yang menyebabkan tiga petani ditahan di Polda Jawa Tengah, serta konflik agraria Rembang tentang pembagunan pabrik semen. Untuk Rembang sendiri, kasus yang terjadi adalah tentang para petani warga yang menolak mendapatkan kekerasan, penangkapan dan intimidasi dari aparat kemanan. Empat orang petani ditangkap serta ibu-ibu petani yang memblokade pabrik semen terluka akibat kekerasan dari aparat keamanan.  Alasan penolakan warga desa yang mayoritas adalah petani yang menggantungkan hidupnya dari tanah dan air di pegunungan Kendeng tak pernah didengarkan oleh Pemda terkhususnya, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo.

Ratusan mata air, gua dan sungai bawah tanah di kawasan karst Watuputih yang dipertahankan warga dari penambangan Karst dan pembangunan pabrik semen PT. Semen Indonesia justru ditanggapi dengan kekerasan dari aparat, preman dan tentara yang mengawal pembangunan pabrik semen. Penolakan warga terhadap penambangan karst dan pembangunan pabrik semen cukup logis bagi keberlangsungan keselamatan rakyat dan keberlanjutan hidup rakyat.

Pembangunan pabrik semen di Rembang adalah salah satu perwujudan kecil dari MP3EI, sebab pulau Jawa ada pada koridor industri dan jasa. Salah satu agendanya adalah pendirian pabrik semen ini. Adapun pendirian dilakukan untuk mempermudah alur distribusi barang dan jasa oleh pemerintah untuk pasar.

Hingga hari ini, kekerasan terhadap petani sebagai akibat dari pembangunan terus terjadi. Tak sedikit yang menjadi korban, namun hanya sedikit yang mengetahui atau merasakan langsung dampaknya. Pembangunan ekonomi melalui MP3EI adalah sebuah ilusi, seakan membius, kemudian menusuk. Semakin merusak dengan terus merampas hak atas tanah yang dimiliki oleh segenap rakyat. Munculnya MP3EI juga tak lepas dari campur tangan negara yang seakan semakin lepas tangan dalam bidang sumberdaya agraria. Padahal dalam Undang-Undang Dasar pasal 33 telah jelas dituliskan bahwa tanah, air, dan udara dikuasai sepenuhnya oleh negara untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk pemodal, bukan untuk penguasa. Hingga tanah surga yang dulu selalu di dendangkan akan terdengar lagi. Hingga legenda batu dan kayu jadi tanaman bisa terlihat lagi.





[1] Kadir Ruslan, “Sinyal Buruk Hasil Sensus Pertanian”, Kompasiana, diakses dari http://www.kompasiana.com/kadirsaja/sinyal-buruk-hasil-sensus-pertanian_5528d9a06ea83460028b45b0, pasa tanggal 13 September 2015 pukul 19.34
[2] Konsorsium Pembaruan Agraria, “Catatan Akhir tahun 2014, Membenahi Masalah Agraria: Prioritas kerja Jokowi-JK Pada 2015”,  Konsorsium Pembaruan Agraria, 2014,  halaman 10
[3] Ibid, halaman 12

Share this:

Posting Komentar

 
Back To Top
Copyright © 2018 Soeara Massa. Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Templates