BREAKING NEWS

Senin, Agustus 24, 2015

OSPEK dan Represifitas Kampus di Unsoed


Kampus atau Universitas sebagai ruang akademik bagi peserta didik dan otomatis sebagai ruang menempa diri lewat belajar, berorganisasi dan berkegiatan menjadikannya sebagai institusi yang seyogyanya memberi kebebasan akademik dan kegiatan diluar akademik (organisasi) bagi mahasiswa, sebagaimana telah diamanatkan Pasal 28C ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mengembangkan diri dan mendapat pendidikan serta memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan, dan oleh karenanya itu bisa terwujud lewat kemerdekaan atau kebebasan berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pikiran, kebebasan tersebut dipunyai oleh mahasiswa yang salah satunya terejawantahkan dalam kegiatan OSPEK [1] yang dilaksanakan tiap awal tahun kalender akademik.

Namun das sollen atau keharusan tersebut kini disimpangi dengan kenyataan bahwa OSPEK atau sekarang berubah nama menjadi PKKMB yang digunakan oleh mahasiswa sebagai ajang konsolidasi besar dan juga penanaman orientasi terhadap mahasiswa baru telah diambil alih oleh pihak Univeritas. Apa maksud dari pengambil alihan dan bagaimana bentuknya? hal ini perlu kita telaah karena ternyata berhubungan langsung dengan kehidupan kampus sebagai ruang gerak mahasiswa.


Pengambilalihan OSPEK oleh Universitas

Pada mulanya, OSPEK dimanfaatkan oleh pemuda mahasiswa ditiap kampus untuk melakukan konsolidasi khususnya pada saat rejim boneka otoriter Soeharto berkuasa. Hal demikian dilakukan untuk melakukan penanaman kesadaran yang maju atau nilai-nilai kritis sebagai modal mahasiswa baru melihat dan membelejeti segala macam kebijakan rejim yang anti rakyat, oleh karenanya OSPEK bersifat Independen dalam arti diselenggarakan oleh mahasiswa hal demikian ini yang menjadikan kampus sebagai pencetak aktivis mahasiswa pro demokrasi. Tanpa adanya konsolidasi yang kuat didalam kampus maka tidak akan ada persatuan yang kuat dalam tubuh gerakan mahasiswa, tentunya ruang konsolidasi tersebut tetap diisi dengan orientasi untuk membangkitkan kesadaran massa mahasiswa tentang berbagai problematika dan penderitaan yang dialami oleh massa rakyat dan bagaimana jalan keluarnya. Pemanfaatan OSPEK sebagai ajang konsolidasi mahasiswa tentunya berangkat dari kondisi obyektif bahwa kampus atau Universitas pasti akan digunakan juga oleh rejim untuk mempertahankan status quo, khususnya rejim boneka Imperialisme pimpinan Amerika Serikat (AS) dan feodalisme yang masih bercokol di Indonesia pastilah memanfaatkan institusi pendidikan (yang dikuasai oleh negara) sebagai corong propaganda kebudayaan imperialisme dan feodalisme yang anti rakyat.

Namun OSPEK model seperti itu kini hanyalah menjadi isapan jempol belaka, karena penyelenggaraannya telah diambil oleh birokrasi kampus, terlihat dari keluarnya kebijakan dari KEMENRISTEKDIKTI lewat SE Nomor 01/DJ-Belmawa/SE/VII/2015 Tentang Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB) yang menyatakan bahwa OSPEK atau berganti nama menjadi PKKMB merupakan “program institusi bukan program Mahasiswa”. SE tersebut menindaklanjuti SK Nomor 25/DIKTI/Kep/2014 yang dikeluarkan oleh dirjen DIKTI pada tahun 2014 lalu terkait panduan umum PKKMB.

Dengan kondisi itu artinya mahasiswa tidak dapat lagi menyelenggarakan OSPEK secara Independen karena ketika ospek sudah dinyatakan sebagai program institusi maka sepenuhnya diselenggarakan oleh institusi yakni Universitas. Ini salah satu penghambat kebebasan dan mimbar akademik karena membatasi ruang mahasiswa dalam menyelenggarakan OSPEK sebagai ruang memajukan budaya akademik mahasiswa lewat interaksi sosialnya yang mencakup seluruh sistem nilai, gagasan, norma, tindakan, dan karya yang bersumber dari Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.[2]   

Dampaknya di Unsoed pada PKKMB tahun ini seluruh fakultas/jurusan penyelenggaraannya telah diambil alih Universitas bahkan mahasiswa hanya sekedar dijadikan EO (Event Organizer) karena konsep penyelenggaraan telah diatur sampai tataran teknis, beserta konten acara dan tema sekaligus, sehingga tidak terdapat lagi ruang yang leluasa bagi mahasiswa untuk mengeluarkan gagasan mandirinya.


Perpeloncoan : kambing hitam kebijakan represif

Konon pengambilalihan OSPEK oleh Universitas didasari atas betapa banyaknya perpeloncoan yang terjadi di beberapa kampus kepada mahasiswa baru. Belakangan hari menjelang OSPEK media sangat gencar memberitakan perpeloncoan dengan segala bentuknya, dan keterangan dari Mohammad Nasir (menristekdikti) bahwa pengambilalihan OSPEK tahun ini bertujuan agar tidak terjadi perpeloncoan[3]. Namun sayangnya tidak terdapat klasifikasi yang jelas apa yang dimaksud dengan perpeloncoan secara peraturan perundang-undangan, hanya merujuk pada kekerasan fisik dan psikologis yang disebut dalam SK Nomor 25/DIKTI/Kep/2014 yang tidak dicantumkan secara rigid, kemudian anggapan yang a-historis itu digeneralisir seolah-olah semua penyelenggaraan OSPEK sangat pelonco sekali sehingga perlu diambil alih oleh institusi Universitas.

Tentunya kekerasan baik fisik maupun psikologis (pemukulan, penganiayaan, pelecehan seksual) seperti terjadi di kampus ITN Malang pada 2013 lalu dan meninggalnya Fikri Dolasmantya Surya[4] sangat tidak dapat dibenarkan adanya, bahkan praktek senioritas yang terjadi dalam OSPEK juga menjadi cerminan budaya masyarakat Indonesia yang masih berada dibawah kondisi setengah-jajahan setengah-feudal oleh Imperialisme, tuan tanah besar bersama borjuasi besar komprador dan kapitalis birokrat yang senantiasa menanamkan budaya terbelakang lewat pendidikan yang anti ilmiah, tidak demokratis dan tidak berorientasi kerakyatan.

Pada awalnya perpeloncoan telah ada sejak era kolonial saat berdirinya STOVIA sebagai sekolah dokter dan institusi pendidikan tinggi pertama di Indonesia, Bahasa Belandannya plonco waktu itu adalah ontgroening, kata groen artinya hijau. Murid baru adalah hijau dan ontgroening dimaksudkan untuk menghilangkan warna hijau itu, ia harus diberi perlakukan agar dalam waktu singkat menjadi dewasa dan berkenalan dengan lingkungan sosial dan teman-teman di kampus. Dengan kata lain ‘pelonco’ dahulu bahkan tidak bertujuan untuk kekerasan, hingga akhirnya berbuntut kekerasan yang menimbulkan korban dan selanjutnya diubah nama menjadi Masa Kebaktian Taruna (1963), Masa Prabakti Mahasiswa atau Mapram (1968), Pekan Orientasi Studi (1991), Orientasi Studi Pengenalan Kampus (Ospek), Orientasi Perguruan Tinggi (OPT)[5], dan sekarang PKKMB.

Perpeloncoan dengan konotasi bahasa yang digunakan untuk menggambarkan kekerasan mahasiswa senior dalam OSPEK lalu dikambing hitamkan dan menjadi landasan pengambil alihan OSPEK oleh Institusi Universitas. Namun yang menjadi persoalan dari hal itu adalah rencana menteri Nasir melibatkan TNI dalam OSPEK di tahun 2016 mendatang pada seluruh perguruan Tinggi di Indonesia, bahkan pertemuan dan perbincangan tentang pelibatan TNI sudah berlangsung antara Menteri Nasir dan Moeldoko (Jenderal Panglima TNI)[6]. Dengan dalih untuk menanamkan nilai-nilai bela Negara dan wawasan Kebangsaan kepada Mahasiswa Baru TNI kembali ikut campur dan masuk ke ruang-ruang kampus sebagaimana terjadi di jaman orde baru, hal ini tentunya menuai kritik salah satunya dari Jimmy Paat (pengamat Pendidikan UNJ) dan Donie Koesoema Albertus (Dewan Federasi serikat Guru) yang mengatakan tidak ada relevansi dan landasannya jika TNI terlibat dalam OSPEK di kampus, karena materi kuliah di Universitas sudah cukup menjawab pemahaman tentang wawasan kebangsaan dan bela Negara[7].

Masuknya TNI ke ruang kampus justru merupakan tindakan represif karena kembali memasukkan unsur militerisme kedalam sendi-sendi kehidupan massa rakyat sebagaimana pernah dipraktekkan saat rejim fasis Soeharto berkuasa. Bukti nyata masuknya TNI kedalam OSPEK sebagai tindak represif telah terjadi di kampus Politeknik Negeri Sriwijaya Palembang. Sejak tahun 2014 lalu diselenggarakan OSPEK semi Miiter selama 3 hari dan melibatkan TNI KODAM II Sriwijaya, aturan atau kebijakan represif pun diterapkan. Terdapat standar kelulusan dalam mengikuti OSPEK, jika tidak lulus mahasiswa diberi kesempatan kedua dan jika tetap tidak lulus maka akan dikenakan sanksi Drop Out (DO) atau dikeluarkan dari kampus[8]. Jadi sangatlah mungkin kebijakan semacam ini juga diterapkan di Unsoed tahun depan dengan melibatkan TNI KODAM IV Diponegoro Jawa Tengah mengingat OSPEK di Unsoed tahun 2015 ini sudah diambil alih oleh Universitas. Segera bersiap-siaplah Loreng Hijau dan sepatu Lars menginjakkan kaki di kampus.

Penulis : Adhi Bangkit Saputra
               (KA. Dept Dikprop FMN Ranting Unsoed)



[1] OSPEK  (Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus) dipilih sebagai judul tulisan ini karena pertimbangan sebutan atau nama yang masih popular digunakan dibanding dengan nama lain seperti OSMB (Orientasi Studi Mahasiswa Baru) ataupun PKKMB (Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru).
[2]Lihat pasal 11 ayat 2 Undang-undang nomor 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi (UU Dikti)
[5]http://historia.id/modern/kisah-plonco-sejak-zaman-londo diakses pada tanggal 23 Agustus 2015.

Share this:

Posting Komentar

 
Back To Top
Copyright © 2018 Soeara Massa. Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Templates