Kampus atau Universitas sebagai ruang akademik bagi
peserta didik dan otomatis sebagai ruang menempa diri lewat belajar,
berorganisasi dan
berkegiatan menjadikannya sebagai institusi yang seyogyanya memberi kebebasan
akademik dan kegiatan diluar akademik (organisasi) bagi
mahasiswa, sebagaimana telah diamanatkan Pasal 28C ayat (1) UUD 1945 yang
menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mengembangkan diri dan mendapat
pendidikan serta memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan, dan oleh karenanya
itu bisa terwujud lewat kemerdekaan atau kebebasan berserikat dan berkumpul
serta mengeluarkan pikiran, kebebasan tersebut dipunyai oleh mahasiswa yang
salah satunya terejawantahkan dalam kegiatan OSPEK [1] yang dilaksanakan tiap awal
tahun kalender akademik.
Namun das sollen atau keharusan tersebut kini disimpangi dengan kenyataan bahwa OSPEK atau sekarang berubah nama menjadi PKKMB yang digunakan oleh mahasiswa sebagai ajang konsolidasi besar dan juga penanaman orientasi terhadap mahasiswa baru telah diambil alih oleh pihak Univeritas. Apa maksud dari pengambil alihan dan bagaimana bentuknya? hal ini perlu kita telaah karena ternyata berhubungan langsung dengan kehidupan kampus sebagai ruang gerak mahasiswa.
Pengambilalihan OSPEK oleh
Universitas
Pada mulanya, OSPEK dimanfaatkan oleh pemuda mahasiswa
ditiap kampus untuk melakukan konsolidasi khususnya pada saat rejim boneka
otoriter Soeharto berkuasa. Hal demikian
dilakukan untuk melakukan penanaman kesadaran yang maju atau nilai-nilai kritis
sebagai modal mahasiswa baru melihat dan membelejeti segala macam kebijakan
rejim yang anti rakyat, oleh karenanya OSPEK bersifat Independen dalam arti
diselenggarakan oleh mahasiswa hal demikian ini yang
menjadikan kampus sebagai
pencetak aktivis mahasiswa pro demokrasi. Tanpa adanya konsolidasi yang kuat
didalam kampus maka tidak akan ada persatuan yang kuat dalam tubuh gerakan
mahasiswa, tentunya ruang konsolidasi tersebut tetap diisi dengan orientasi
untuk membangkitkan kesadaran massa mahasiswa tentang berbagai problematika dan
penderitaan yang dialami oleh massa rakyat dan bagaimana jalan keluarnya.
Pemanfaatan OSPEK sebagai ajang konsolidasi mahasiswa tentunya berangkat dari
kondisi obyektif bahwa kampus atau Universitas pasti akan digunakan juga oleh
rejim untuk mempertahankan status quo, khususnya rejim boneka
Imperialisme pimpinan Amerika Serikat (AS) dan feodalisme yang masih bercokol
di Indonesia pastilah memanfaatkan institusi pendidikan (yang dikuasai oleh
negara) sebagai corong propaganda kebudayaan imperialisme dan feodalisme yang
anti rakyat.
Namun
OSPEK model seperti itu kini hanyalah menjadi isapan jempol belaka, karena
penyelenggaraannya telah diambil oleh birokrasi kampus, terlihat dari keluarnya
kebijakan dari KEMENRISTEKDIKTI lewat SE Nomor
01/DJ-Belmawa/SE/VII/2015 Tentang Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa
Baru (PKKMB) yang
menyatakan bahwa OSPEK atau berganti nama menjadi PKKMB merupakan “program institusi
bukan program Mahasiswa”.
SE tersebut menindaklanjuti SK Nomor 25/DIKTI/Kep/2014 yang dikeluarkan oleh dirjen
DIKTI pada tahun 2014 lalu terkait panduan umum PKKMB.
Dengan
kondisi itu artinya mahasiswa tidak dapat lagi menyelenggarakan OSPEK secara
Independen karena ketika ospek sudah dinyatakan sebagai program institusi maka
sepenuhnya diselenggarakan oleh institusi yakni Universitas. Ini salah satu
penghambat kebebasan dan mimbar akademik karena membatasi ruang mahasiswa dalam
menyelenggarakan OSPEK sebagai ruang memajukan budaya akademik mahasiswa lewat
interaksi sosialnya yang mencakup seluruh sistem nilai, gagasan, norma,
tindakan, dan karya yang bersumber dari Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.[2]
Dampaknya
di Unsoed pada PKKMB tahun ini seluruh fakultas/jurusan penyelenggaraannya
telah diambil alih Universitas bahkan mahasiswa hanya sekedar dijadikan EO (Event
Organizer) karena konsep penyelenggaraan telah diatur sampai tataran
teknis, beserta konten acara dan tema sekaligus, sehingga tidak terdapat lagi
ruang yang leluasa bagi mahasiswa untuk mengeluarkan gagasan mandirinya.
Perpeloncoan : kambing hitam kebijakan represif
Konon
pengambilalihan OSPEK oleh Universitas didasari atas betapa banyaknya
perpeloncoan yang terjadi di beberapa kampus kepada mahasiswa baru. Belakangan
hari menjelang OSPEK media sangat gencar memberitakan perpeloncoan dengan
segala bentuknya, dan keterangan dari Mohammad Nasir (menristekdikti) bahwa
pengambilalihan OSPEK tahun ini bertujuan agar tidak terjadi perpeloncoan[3]. Namun sayangnya tidak terdapat klasifikasi yang jelas
apa yang dimaksud dengan perpeloncoan secara peraturan perundang-undangan,
hanya merujuk pada kekerasan fisik dan psikologis yang disebut dalam SK Nomor
25/DIKTI/Kep/2014 yang tidak
dicantumkan secara rigid, kemudian anggapan yang a-historis itu digeneralisir
seolah-olah semua penyelenggaraan OSPEK sangat pelonco sekali
sehingga perlu diambil alih oleh institusi Universitas.
Tentunya
kekerasan baik fisik maupun psikologis (pemukulan, penganiayaan, pelecehan
seksual) seperti terjadi di kampus ITN Malang pada 2013 lalu dan meninggalnya Fikri Dolasmantya
Surya[4] sangat tidak dapat dibenarkan adanya,
bahkan praktek senioritas
yang terjadi dalam OSPEK juga menjadi cerminan budaya masyarakat Indonesia yang
masih berada dibawah kondisi setengah-jajahan setengah-feudal oleh
Imperialisme, tuan tanah besar bersama borjuasi besar komprador dan kapitalis
birokrat yang senantiasa menanamkan budaya terbelakang lewat pendidikan yang
anti ilmiah, tidak demokratis dan tidak berorientasi kerakyatan.
Pada awalnya perpeloncoan telah ada sejak
era kolonial saat berdirinya STOVIA sebagai sekolah dokter dan institusi
pendidikan tinggi pertama di Indonesia, Bahasa Belandannya plonco waktu itu
adalah ontgroening, kata groen artinya hijau. Murid baru adalah hijau
dan ontgroening dimaksudkan untuk
menghilangkan warna hijau itu, ia harus diberi perlakukan agar dalam waktu
singkat menjadi dewasa dan berkenalan dengan lingkungan sosial dan teman-teman
di kampus. Dengan kata lain ‘pelonco’ dahulu bahkan tidak bertujuan untuk
kekerasan, hingga akhirnya berbuntut kekerasan yang menimbulkan korban dan
selanjutnya diubah nama menjadi Masa Kebaktian Taruna (1963), Masa Prabakti
Mahasiswa atau Mapram (1968), Pekan Orientasi Studi (1991), Orientasi Studi
Pengenalan Kampus (Ospek), Orientasi Perguruan Tinggi (OPT)[5], dan sekarang
PKKMB.
Perpeloncoan dengan konotasi bahasa
yang digunakan untuk menggambarkan kekerasan mahasiswa senior dalam OSPEK lalu
dikambing hitamkan dan menjadi landasan pengambil alihan OSPEK oleh Institusi
Universitas. Namun yang menjadi persoalan dari hal itu adalah rencana menteri
Nasir melibatkan TNI dalam OSPEK di tahun 2016 mendatang pada seluruh perguruan
Tinggi di Indonesia, bahkan pertemuan dan perbincangan tentang pelibatan TNI
sudah berlangsung antara Menteri Nasir dan Moeldoko (Jenderal Panglima TNI)[6]. Dengan dalih untuk menanamkan nilai-nilai bela Negara
dan wawasan Kebangsaan kepada Mahasiswa Baru TNI kembali ikut campur dan masuk
ke ruang-ruang kampus sebagaimana terjadi di jaman orde baru, hal ini tentunya
menuai kritik salah satunya dari Jimmy Paat (pengamat Pendidikan UNJ) dan Donie
Koesoema Albertus (Dewan Federasi serikat Guru) yang mengatakan tidak ada
relevansi dan landasannya jika TNI terlibat dalam OSPEK di kampus, karena
materi kuliah di Universitas sudah cukup menjawab pemahaman tentang wawasan kebangsaan
dan bela Negara[7].
Masuknya
TNI ke ruang kampus justru merupakan tindakan represif karena kembali
memasukkan unsur militerisme kedalam sendi-sendi kehidupan massa rakyat
sebagaimana pernah dipraktekkan saat rejim fasis Soeharto berkuasa. Bukti nyata
masuknya TNI kedalam OSPEK sebagai tindak represif telah terjadi di kampus
Politeknik Negeri Sriwijaya Palembang. Sejak tahun 2014 lalu diselenggarakan
OSPEK semi Miiter selama 3 hari dan melibatkan TNI KODAM II Sriwijaya, aturan
atau kebijakan represif pun diterapkan. Terdapat standar kelulusan dalam
mengikuti OSPEK, jika tidak lulus mahasiswa diberi kesempatan kedua dan jika
tetap tidak lulus maka akan dikenakan sanksi Drop Out (DO)
atau dikeluarkan dari kampus[8]. Jadi sangatlah mungkin
kebijakan semacam ini juga diterapkan di Unsoed tahun depan dengan melibatkan
TNI KODAM IV Diponegoro Jawa Tengah mengingat OSPEK di Unsoed tahun 2015 ini
sudah diambil alih oleh Universitas. Segera bersiap-siaplah Loreng Hijau dan
sepatu Lars menginjakkan kaki di kampus.
Penulis
: Adhi Bangkit Saputra
(KA.
Dept Dikprop FMN Ranting Unsoed)
[1] OSPEK
(Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus) dipilih sebagai judul tulisan ini
karena pertimbangan sebutan atau nama yang masih popular digunakan dibanding
dengan nama lain seperti OSMB (Orientasi Studi Mahasiswa Baru) ataupun PKKMB
(Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru).
[2]Lihat
pasal 11 ayat 2 Undang-undang nomor 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi (UU
Dikti)
[3]http://www.aktualita.co/aturan-kemeristek-dikti-tentang-ospek/4292/ diakses
pada tanggal 23 Agustus 2015.
[4]http://regional.kompas.com/read/2013/12/10/1808196/Kesaksian.Mahasiswa.ITN.atas.Kekerasan.Panitia.Ospek diakses pada tanggal 23 Agustus
2015.
[5]http://historia.id/modern/kisah-plonco-sejak-zaman-londo diakses
pada tanggal 23 Agustus 2015.
[6]http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/08/07/nsoxao354-personel-tni-akan-dilibatkan-dalam-kegiatan-ospek diakses pada tanggal 23 Agustus 2015.
[7]http://nasional.tempo.co/read/news/2015/07/27/079686821/ospek-bakal-libatkan-tni-pengamat-pendidikan-keliru-besar diakses pada tanggal 23 Agustus 2015.
[8]http://www.kompasiana.com/imamaz/tni-hadir-di-ospek_54f67368a3331137028b4bc1 diakses pada tanggal 23
Agustus 2015.

Posting Komentar