Oleh: Cipto Prayitno[1]
Melalui SK ESDMN No. 2486/K/12/MEM/2015, pemerintah Jokowi-JK telah menaikkan harga BBM per 28 Maret 2015 pukul 00.00 WIB, dengan kenaikan harga bahan bakar minyak jenis Bensin akan naik menjadi Rp. 7.300,- dan jenis Solar naik menjadi Rp. 6.900,-. Dalam perspektif ekonomi kebijakan tersebut sangat merugikan rakyat Indonesia. Padahal ketika harga minyak dijual dengan harga untuk jenis besin Rp. 6.800,- dan solar Rp. 6.400,- saja, pemerintah telah meraup untung yang tinggi, ini melihat pada harga minyak dunia yang hanya berkisar USD 51,03 /barel.
Monopoli Imperialisme Amerika Serikat dan Sekutunya terhadap sumber-sumber minyak di Indonesia hampir sebesar 90%. Dalam menetapkan harga minyak dalam negeri, Jokowi-JK tetap harus tunduk pada pasar. Apakah kita bisa sebut diri kita mandiri secara politik dan ekonomi bahkan untuk menentukan harga minyak dalam negari? Jelaslah tidak.
Lalu bagaimana nalar hukum yang dapat dilihat dari kebijkan kenaikan harga BBM pada rezim Jokowi-JK yang menggunakan SK ESDMN No. 2486/K/12/MEM/2015?
Tentang Kedaulatan Rakyat
Landasan hukum yang menjadi patokan utama dari adanya bentuk kedaulatan dari negara Indonesia adalah dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang selanjutnya disebut UUD 1945, dalam Pasal 1 ayat (2) disebutkan:
“Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”.
Itu artinya rakyatlah yang mempunyai kedaulatan secara penuh atas kemadirian ekonomi-politik bahkan hukum, dan itu kemudian diatur dan untuk kemudian dilaksanakan berdasarkan UUD 1945. Artinya tidak boleh ada bentuk kedaulatan lain yang memangkas kedaulatan rakyat yang dinyatakan dalam UUD 1945.
Sejarah pelaksanaan kedaulatan rakyat yang sebelumnya oleh MPR bukanlah muncul begitu saja adanya, akan tetapi karena dalam pelaksanaannya mengalami sebuah reduksi terhadap pengertian kedaulatan rakyat. Sehingga dalam pasal tersebut diubah dengan pelaksanaan oleh UUD 1945.[2]
Pemaparan tersebut akan coba dikaitkan dengan kebijakan kenaikan harga BBM dengan SK ESDMN No. 2486/K/12/MEM/2015.
Pertama, penguasaan cabang-cabang produksi Migas yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak haruslah dikuasai negara dan untuk kesejahteraan rakyat. Lalu bagaimanakah penguasaan atas sumber-sumber minyak di Indonesia?. Kenyataannya adalah sumber-sumber minyak di Indonesia masih dikuasai asing bahkan sampai 90%. Di Indonesia dengan 84 kontraktor Migas yang dikategorikan kedalam 3 kelompok, (1) Super Major yang terdiri dari ExxonMobile, Total Fina Elf, BP Amoco Arco, dan Texaco ternyata menguasai cadangan minyak 70% dan gas 80% Indonesia. (2) Major yang terdiri dari Conoco, Repsol, Unocal, Santa Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex, dan Japex telah menguasai cadangan minyak 18% dan gas 15%. Dan (3) Perusahaan pertamina menguasai cadangan minyak 12% dan gas 5%[3].
Penguasaaan rakyat terhadap Sumber Daya Agraria termasuk Migas, merupakan hal yang paling penting untuk dilakukan. Bukan dengan kebijakan menaikan harga minyak dalam negeri.
Jelaslah kenyataan itu bertentangan dengan pelaksanaan atas pasal 33 ayat (2) yang berbunyi:
“cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara”.
Kedua kenaikan harga BBM yang sebelumnya juga sempat dinaikkan dan kemudian diturunkan lagi untuk kemudian dinaikkan lagi adalah merupakan kebijakan yang membingungkan masyarakat dan apakah kebijakan tersebut nyata-nyata untuk kemakmuran rakyat?
Bukankah dengan menjual BBM seharga Rp. 6.800,- untuk jenis bensin dan Rp. 6.400,- untuk jenis solar saja pemerintah sudah untung banyak (karena harga minyak dunia sedang turun pada kisaran harga USD 51,03 /barel). Lalu mana tanggung jawab negara dalam memberikan jaminan kepada warga negaranya untuk menikmati hasil dari kekayaan minyak dalam negeri?
Padahal jika kita menilik pada permasalahan rakyat hari ini, permasalahan upah buruh hanya naik sebesar 0,46% (data BPS), permasalahan hak atas tanah sebagai jaminan hidup layak tidak dapat terpenuhi, liberalisasi pendidikan merajalela, kenaikan harga bahan pokok dan komoditas lainnya, penggusuran PKL terjadi di perkotaan. Menaikkan harga BBM hanya akan menambah permasalahan rakyat akibat tidak tercapainya reforma agraria dan industrialisasi nasional. Sehingga kebijakan menaikkan harga BBM adalah upaya penghianatan terhadap rakyat.
Dari uraian diatas jelas bahwa kebijakan menaikkan harga BBM adalah sebuah kebijakan yang bertentangan dengan beberapa pasal dalam UUD 1945 yaitu Pasal 33 ayat (2) dan Pasal 33 ayat (3). Yang artinya pula ketika dikaitkan dengan penjelasan sebelumnya bahwa pelaksanaan atas kedaulatan rakyat adalah didasarkan pada ketentuan yang ada di dalam UUD 1945 sebagai wujud aturan tertinggi untuk mensejahterakan masyarakatnya sesuai dengan pasal 1 ayat (2) UUD 1945, pemerintah atau rezim hari ini belum melaksanakan apa yang disebut sebagai kedaulatan rakyat. Sehingga layaklah rezim hari ini dikatakan sebagai rezim yang tidak memihak pada rakyat.
Tentang Aturan Kebijakan
Surat Keputusan (SK), dari segi hukum adalah sebagai tindakan hukum pemerintah yang berkaitan dengan urusan publik dan bersifat umum (ditujukan untuk umum). Berdasarkan Algemene Bepalingen van Adminitratief Recht[4]tindakan-tindakan pemerintah dapat digolongkan menjadi dua, yaitu tindakan nyata (feitelijke handeling) dan tindakan hukum (rechtshandelingen). Kemudian tindakan hukum ada dua tindakan, yaitu tindakan hukum keperdataan (pivaatrecjtelijke rechtshandelingen) dan tindakan hukum publik (publiekrechtelijke rechtshandelingen). Tindakan hukum publik dibagi menjadi dua, tindakan hukum sepihak (eenzijdige publiekrechtelijke rechtshandelingen) dan tindakan hukum publik beberapa pihak atau melibatkan pihak lain (meerzijdige publiekrechtelijke rechtshandelingen). Tindakan hukum publik beberapa pihak ada dua macam, yaitu peraturan yang ditujukan untuk umum (besluiten van algemene stekking) dan keputusan yang bersifat konkrit, final dan individual (Beschikking).
Antara peraturandan keputusan sebagai tindakan hukum pemerintah mempunyai pengertian, sifat, dan konsekuensi hukum yang berbeda. Sehingga dalam menetapkan sebuah kebijakan yang kemudian akan diatur dalam sebuah aturan, pemerintah tidaklah boleh asal-asalan. Hal demikian dapat berdampak pada daya mengikat sebuah kebijakan tersebut.
Misal pemerintah akan melakukan pengaturan terkait harga BBM, maka tidaklah tepat jika digunakan adalah sebuah SK atau keputusan, karena SK bersifat konkrit, final dan individual. Yang artinya SK tersebut mengatur hal tertentu berkaitan dengan subyek hukum tertentu dan final (sekali selesai). Karena pada dasarnya kenaikan harga BBM adalah ditujukan bukan hanya untuk satu orang atau satu badan hukum saja (individual), dan sifat aturannya pun tidak sekali selesai (final).
Dahulu, sebelum keluarnya UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, banyak kebijakan-kebijakan pemerintah yang padahal bersifat umum akan tetapi diatur dengan keputusan (SK). Hal tersebut juga diamini oleh Jimly Asshiddiqie dalam buku Perihal Undang-Undang antara lain mengatakan bahwa memang di Indonesia ada juga peraturan menteri yang berlaku sebagai peraturan perundang-undangan (regels) yang mengikat umum, yang masih disebut sebagai Surat Keputusan (Keputusan Menteri).[5]
Terhadap keputusan menteri yang bersifat mengatur (regels), kita harus merujuk pada ketentuan Pasal 100 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU 12/2011”) yang berbunyi :
“Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, harus dimaknai sebagai peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini”.
Ketentuan pasal 100 UU Nomor 12 Tahun 2011 secara a contrario menimbulkan konsekuensi bahwa setelah adanya aturan tersebut tidaklah boleh ada kebijakan yang bersifat umum dan abstrak diatur dengan surat keputusan.
Dilihat dari norma dan sifat yang mengaturnya, SK ESDMN No. 2486/K/12/MEM/2015 merupakan sebuah norma yang bersifat umum dan abstrak. Karena yang diatur adalah urusan umum/publik, yakni BBM. Sehingga secara pengaturannya harus diatur menggunakan peraturan, bukannya malah dengan keputusan.
Merujuk pada Pasal 100 UU No. 12 Tahun 2011, bolehlah keputusan dianggap sebagai peraturan karena mengatur norma yang umum dan abstrak. Akan tetapi hal itu jika aturan yang terbit muncul sebelum lahirnya UU No. 12 Tahun 2011 (atau sebelum tahun 2011). Itu berarti saat ini, hal tersebut tidaklah diperbolehkan. Itu berarti segala aturan yang bersifat umum dan abstrak secara pengaturannya tidaklah boleh menggunakan frasa “keputusan” akan tetapi harus tegas menggunakan frasa “peraturan”. Suatu keputusan yang secara sifat mengatur norma umum dan abstrak tidaklah dapat dimaknai sebagai sebuah peraturan lagi. Sehingga jika ada sebuah keputusan yang dikeluarakan oleh pemerintah padahal secara norma adalah mengatur hal yang umum dan abstrak, maka aturan tersebut tidak dapat dibenarkan secara hukum.
Lalu bagaimana konsekuensi hukumnya? Suatu aturan hukum tentunya mempunyai dua sisi atau unsur yang keduanya haruslah dipenuhi, yang pertama adalah dari segi formal, yaitu berkaitan dengan bentuk dan masalah kewenangan, sedangkan yang kedua adalah dari segi materi, yang berkaitan dengan isi atau norma yang terkandung dalam sebuah aturan hukum tertentu. Atau secara singkat harus ada kesesuain antara bentuk formal dan bentuk materiil untuk dikatakan bahwa suatu aturan sudah tepat secara azas-azas pembentukannya.
Konsekuensi hukum jika segi materi yang tidak terpenuhi, maka aturan ini dapat dilakukan sebuah pembatalan atau dilakukan review. Jika ini adalah UU, maka dilakukan juducial review ke Mahkamah Konstitusi untuk ditinjau secara materi muatan dengan UUD 1945, sedangkan jika aturan tersebut adalah aturan dibawah UU, maka dapat diajukan ke Mahkamah Agung untuk ditinjau secara materi muatan. Akan tetapi, jika sebuah aturan secara formilnya tidak terpenuhi, maka aturan tersebut batal demi hukum, dengan konsekuensi aturan tersebut dianggap tidak pernah ada.
Hal tersebut juga diatur didalam pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011, yang menyatakan bahwa suatu peraturan perundang-undangan haruslah memenuhi asas-asas pembentukan perundang-undangan yang baik. Ketika ditinjau secara norma hukum yang ada, bahwa aturan yang termuat dalam SK ESDMN No. 2486/K/12/MEM/2015 adalah mengatur hal yang bersifat umum dan abstrak, sehingga harus dengan pangaturan bukan penetapan, yang artinya produk hukum yang digunakan adalah peraturan, bukan dengan keputusan atau ketetapan. Jika hal ini tetap dilaksanakan, pemerintah atau dalam hal ini Menteri ESDM telah melanggar ketentuan pasal 5 huruf c UU No. 12 Tahun 2011, bahwa harus ada kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan. Dikatakan bertentangan dengan pasal ini adalah karena secara materi muatan bahwa SK ESDMN No. 2486/K/12/MEM/2015 adalah peraturan (mengatur hal yang umum dan abstrak), akan tetapi jenis peraturan yang digunakan adalah keputusan yang padahal untuk mengatur hal yang kongkrit, final dan individual.
Hal tersebut diatas membuktikan bahwa pemerintah tidak belajar pada apa yang mereka buat sendiri, yaitu aturan-aturan hukum yang termuat dalam UU No. 12 Tahun 2011. Entah ini berasal dari ketidak tahuan atas sejarah perundang-undangan yang ada atau faktor kesengajaan untuk membuat masyarakat bingung dengan apa yang dikeluraknnya sebagai antisipasi jika ada gugatan hukum atas kebijakan yang dikeluarkannya, secara khusus adalah Surat Keputusan ESDMN No. 2486/K/12/MEM/2015.
Kesimpulan
Hal ini jelas membuktikan pemerintah tidak belajar pada hukum yang mereka buat sendiri. Rezim Jokowi-JK semakin membuat masyarakat bingung dengan apa yang dikeluarkannya sebagai antisipasi jika ada gugatan hukum atas kebijakan yang dikeluarkannya, secara khusus adalah SK ESDMN No. 2486/K/12/MEM/2015. Sehingga bahwa demi hukum, kita sebagai masyarakat perlu menolak kenaikan harga BBM!
[1]. Mahasiswa Hukum Unsoed Angkatan 2011, Anggota Front Mahasiswa Nasional Ranting Unsoed dan peneliti di Lembaga Kajian Hukum dan Sosial (LKHS).
[2]. MPR, Panduan Permasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Sekertaris Jenderal MPR RI, hlm. 65-66.
[3] . http://bisnis.liputan6.com/read/2030058/inilah-enam-kontraktor-migas-terbaik-skk-migas, Diakses pada tanggal 17 November 2015, pukul 23.00 WIB.
[4] Ridwan HIR, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Jakarta, PT. Raja Gravindo Persada, hlm 123
[5] Hukumonline.com, Perbedaan antara Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4f1a24ebf2c43/perbedaan-antara-peraturan-menteri-dengan-keputusan-menteri, diakses pada 28 Maret 2015.

Posting Komentar