(Mahasiswi Magister Hukum
&
Departemen Organisasi - Divisi Perempuan FMN Purwokerto)
Pemilu sebagai prasayarat sebuah
negara yang demokratis kembali di gelar di Indonesia pada tahun
2014 ini. Sistem kepartaian dan
pemilu yang digelar ini, dianggap sebagai pemilu dengan kontestan (caleg)
terbanyak dan biaya termahal. Tak ayal
bila uang negara sukses dihamburkan untuk pesta ini. Tidak tanggung-tanggung dengan biaya anggaran 16 T,
hampir membengkak dua kali lipat dari pemilu 2009 yang memakan anggaran 8,5 T.
Sungguh suatu angka yang fantastik dan tak terbayangkan oleh sebagian besar
rakyat Indonesia.
Pada
pemilu yang ke 11 di Indonesia
ini, terlihat jelas bahwa bangsa ini mengalami perubahan mulai dari ekonomi,
sosial, politik, budaya, hingga hukumnya. Tak ayal perubahan kondisi ini akan
berdampak langsung terhadap kondisi dan nasib perempuan. Mengapa perempuan?
Karena perempuan memiliki posisi yang unik dalam peradaban manusia, baik secara
produksi maupun reproduksi.
Pendikotomian publik dan privat
menjadi akar permasalahan yang diikuti dengan pohon masalah yakni gender yang
menjadikan relasi gender yang timpang antara laki-laki dan perempuan. Berbicara
gender yang merupakan konstruk masyarakat, tak bisa dilepaskan dari diterminasi lingkungan
terutama keluarga yang membentuk mindset
gender tersebut. Ketimpangan gender juga berawal dari relasi gender dalam
keluarga sebagai satuan masyarakat terkecil,
dengan terus mengkristal sampai ke negara sebagai satuan
masyarakat terbesar. Disinilah peran negara bermain dalam memarginalkan
perempuan.
Dinamika perempuan Indonesia sejak
awal kemerdekaan menarik untuk dibicarakan apalagi ditengah wacana sebagaian
masyarakat yang tidak sepakat dengan perjuangan feminisme. Feminisme dianggap
merusak tatanan sosial yang telah melembaga. Inilah kesulitan dari perjuangan
kaum perempuan, karena berhadapan dengan sistem yang telah mapan. Tetapi hal
ini justru menarik untuk dikaji ulang.
Secara historis, seiring
berjalannya pemilu, kondisi perempuan Indonesia justru semakin memprihatinkan.
Gerak zaman mulai dari era awal kemerdekaan sebagai aliran feminisme pasca
kolonial, hingga perkembangannya kini menjadi aliran feminisme liberal sebagai
akibat dari gempuran feodalisme,
imperialisme,
dan kapitalis birokrat di Indonesia.
Gempuran imperalisme di Indonesia yang
difasilitasi oleh kapitalis birokrat,
menjadikan perempuan harus berjuang ekstra demi kelangsungan hidupnya. Pada
lingkup privat, perempuan tersubordinasi oleh laki-laki melalui budaya
patriarki yang melembaga sampai ke individu-individu masyarakat. Posisi
laki-laki yang dominan dan menguasai sektor ekonomi, secara otomatis akan juga
menguasai rumah tangga mulai dari pengambilan keputusan dalam rumah tangga,
sampai masalah seksualitas. Dilain pihak, perempuan yang seharusnya menjadi
kolektif dari laki-laki justru dimarjinalkan sebagai anggota masyarakat kelas 2
yang tidak berharga dibandingkan dengan laki-laki sebagai pemimpin yang mengambil
keputusan. Hal ini belum lagi mencakup kekerasan terhadap perempuan dalam
sektor privat. Dan celakanya, aktifitas perempuan di sektor privat tidak
dianggap berharga apalagi bernilai ekonomi.
Terlepas dari ketertindasannya di
sektor privat, kini perempuan juga terjun ke sektor publik sebagai akibat dari
kondisi perekonomian di sektor privat yang tidak memungkinkan lagi apabila
pencari nafkah hanya di pihak laki-laki. Timbul dua pertanyaan; apakah laki-laki
mengakui ketidak mampuannya dalam mencari nafkah bagi keluarga, sehingga terpaksa
menerjunkan perempuan dalam kegiatan pencarian
nafkah, atau memang laki-laki secara mendadak sadar terhadap hak-hak perempuan
untuk mengaktualisasikan dirinya?.
Akibatnya, setelah terbebani dengan urusan publik, di rumah perempuan harus
juga terbebani dengan urusan privat rumah tangga.
Artinya, diposisi manapun, dalam
kondisi negara Setengah Jajahan Setengah Feodal, perempuan akan selalu dalam
posisi tertindas. Uniknya, terkadang perempuan dalam negara seperti ini termasuk
Indonesia justru tidak menyadari kondisi ketertindasannya, dan celakanya justru
merasa dilindungi dengan kondisi semacam ini. Sehingga, gerakan perempuan tidak
hanya terkendala oleh laki-laki, tetapi juga terkendala oleh perempuannya
sendiri.
Disinilah peran negara bermain, melalui
hegemoninya, kampanye membius
perempuan digencarkan. Salah satu yang kasat mata adalah budaya konsumerisme yang ditanamkan
terhadap perempuan. Dalam hal ini, disamping sebagai produsen komoditas (buruh)
perempuan juga dijadikan konsumen utama terhadap komoditas tersebut.
Barang-barang yang awalnya tidak diperlukan, kini menjadi diperlukan.
Profesi-profesi yang semestinya tidak ada kini mulai bermunculan.

Perempuan dalam sejarahnya selalu termarjinalkan,
BalasHapusHidup Kaum Perempuan!
Kaum Perempuan bangkit melawan!