BREAKING NEWS

Senin, Januari 05, 2015

Pemilu dan Nasib Perempuan Indonesia

darmakradenan.desa.id

Oleh: Nuni Silvana Macrus S.H

(Mahasiswi Magister Hukum &
Departemen Organisasi - Divisi Perempuan FMN Purwokerto)

Pemilu sebagai prasayarat sebuah negara yang demokratis kembali di gelar di Indonesia pada tahun 2014 ini. Sistem kepartaian dan pemilu yang digelar ini, dianggap sebagai pemilu dengan kontestan (caleg) terbanyak dan biaya termahal. Tak ayal bila uang negara sukses dihamburkan untuk pesta ini. Tidak tanggung-tanggung dengan biaya anggaran 16 T, hampir membengkak dua kali lipat dari pemilu 2009 yang memakan anggaran 8,5 T. Sungguh suatu angka yang fantastik dan tak terbayangkan oleh sebagian besar rakyat Indonesia.

Pada pemilu yang ke 11 di Indonesia ini, terlihat jelas bahwa bangsa ini mengalami perubahan mulai dari ekonomi, sosial, politik, budaya, hingga hukumnya. Tak ayal perubahan kondisi ini akan berdampak langsung terhadap kondisi dan nasib perempuan. Mengapa perempuan? Karena perempuan memiliki posisi yang unik dalam peradaban manusia, baik secara produksi maupun reproduksi.

Pendikotomian publik dan privat menjadi akar permasalahan yang diikuti dengan pohon masalah yakni gender yang menjadikan relasi gender yang timpang antara laki-laki dan perempuan. Berbicara gender yang merupakan konstruk masyarakat, tak bisa dilepaskan dari diterminasi lingkungan terutama keluarga yang membentuk mindset gender tersebut. Ketimpangan gender juga berawal dari relasi gender dalam keluarga sebagai satuan masyarakat terkecil, dengan terus mengkristal sampai ke negara sebagai satuan masyarakat terbesar. Disinilah peran negara bermain dalam memarginalkan perempuan.

Dinamika perempuan Indonesia sejak awal kemerdekaan menarik untuk dibicarakan apalagi ditengah wacana sebagaian masyarakat yang tidak sepakat dengan perjuangan feminisme. Feminisme dianggap merusak tatanan sosial yang telah melembaga. Inilah kesulitan dari perjuangan kaum perempuan, karena berhadapan dengan sistem yang telah mapan. Tetapi hal ini justru menarik untuk dikaji ulang.

Secara historis, seiring berjalannya pemilu, kondisi perempuan Indonesia justru semakin memprihatinkan. Gerak zaman mulai dari era awal kemerdekaan sebagai aliran feminisme pasca kolonial, hingga perkembangannya kini menjadi aliran feminisme liberal sebagai akibat dari gempuran feodalisme, imperialisme, dan kapitalis birokrat di Indonesia.

Gempuran imperalisme di Indonesia yang difasilitasi oleh kapitalis birokrat, menjadikan perempuan harus berjuang ekstra demi kelangsungan hidupnya. Pada lingkup privat, perempuan tersubordinasi oleh laki-laki melalui budaya patriarki yang melembaga sampai ke individu-individu masyarakat. Posisi laki-laki yang dominan dan menguasai sektor ekonomi, secara otomatis akan juga menguasai rumah tangga mulai dari pengambilan keputusan dalam rumah tangga, sampai masalah seksualitas. Dilain pihak, perempuan yang seharusnya menjadi kolektif dari laki-laki justru dimarjinalkan sebagai anggota masyarakat kelas 2 yang tidak berharga dibandingkan dengan laki-laki sebagai pemimpin yang mengambil keputusan. Hal ini belum lagi mencakup kekerasan terhadap perempuan dalam sektor privat. Dan celakanya, aktifitas perempuan di sektor privat tidak dianggap berharga apalagi bernilai ekonomi.

Terlepas dari ketertindasannya di sektor privat, kini perempuan juga terjun ke sektor publik sebagai akibat dari kondisi perekonomian di sektor privat yang tidak memungkinkan lagi apabila pencari nafkah hanya di pihak laki-laki. Timbul dua pertanyaan; apakah laki-laki mengakui ketidak mampuannya dalam mencari nafkah bagi keluarga, sehingga terpaksa menerjunkan perempuan dalam kegiatan pencarian nafkah, atau memang laki-laki secara mendadak sadar terhadap hak-hak perempuan untuk mengaktualisasikan dirinya?. Akibatnya, setelah terbebani dengan urusan publik, di rumah perempuan harus juga terbebani dengan urusan privat rumah tangga.

Artinya, diposisi manapun, dalam kondisi negara Setengah Jajahan Setengah Feodal, perempuan akan selalu dalam posisi tertindas. Uniknya, terkadang perempuan dalam negara seperti ini termasuk Indonesia justru tidak menyadari kondisi ketertindasannya, dan celakanya justru merasa dilindungi dengan kondisi semacam ini. Sehingga, gerakan perempuan tidak hanya terkendala oleh laki-laki, tetapi juga terkendala oleh perempuannya sendiri.

Disinilah peran negara bermain, melalui hegemoninya, kampanye membius perempuan digencarkan. Salah satu yang kasat mata adalah budaya konsumerisme yang ditanamkan terhadap perempuan. Dalam hal ini, disamping sebagai produsen komoditas (buruh) perempuan juga dijadikan konsumen utama terhadap komoditas tersebut. Barang-barang yang awalnya tidak diperlukan, kini menjadi diperlukan. Profesi-profesi yang semestinya tidak ada kini mulai bermunculan.

Dari pemilu pertama hingga pemilu 2014, nasib perempuan tidak pernah membaik. Bahkan semakin memprihatinkan. Dari tertindas di sektor privat, kini berkembang menjadi tertindas baik di sektor privat maupun sektor publik. Lantas, apa gunanya pemilu bagi rakyat, kecuali diambil suaranya demi prasyarat adanya demokrasi.

Share this:

1 komentar :

  1. Perempuan dalam sejarahnya selalu termarjinalkan,

    Hidup Kaum Perempuan!
    Kaum Perempuan bangkit melawan!

    BalasHapus

 
Back To Top
Copyright © 2018 Soeara Massa. Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Templates