BREAKING NEWS

Senin, Januari 05, 2015

Tugas-tugas Mahasiswa dan Kehidupan Berorganisasinya


Rachmad P Panjaitan[2]

Alangkah mengerikan menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa – Seno Gumira  Ajidarma”

Pemuda Mahasiswa
Kawan-Kawan, pada saat ini kita akan mendiskusikan tentang tugas-tugas mendasar mahasiswa dalam perubahan berkehidupan berbangsa dan bernegara. Dan sehubungan dengan hal itu, akan membahas secara spesifik hubungan mahasiswa dengan perkembangan organisasi-organisasi pemuda mahasiswa yang sangat melekat dalam sejarah panjang perjuangan rakyat membangun Republik Indonesia hingga saat ini.

Sangat diperlukan untuk berpikir tentang diskursus ini karena dalam satu teori dan pratiknya bisa dikatakan  bahwa pemuda mahasiswa yang akan berhadapan dengan tugas-tugas aktual untuk menciptakan sebuah masyarakat yang adil dan beradap. Selama  ini jelas, setidaknya dari era Kebangkitan nasional abad 20 sampai dengan babak reformasi 1998, gerakan mahasiswa selalu menunjukkan kepeloporan untuk menghancurkan segala bentuk penindasan dan penghisapan yang dialami masyarakat Indonesia. Setidaknya generasi pengalaman itu telah dicatat dengan tinta sejarah dalam membentuk sebuah sistem sosial yang lebih demokratis di Indonesia.

Lalu apa yang menjadi tugas dari kaum pemuda mahasiswa untuk perubahan dalm kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia ? jawabnya adalah belajar, berorganisasi dan berjuang

Pemuda mahasiswa yang berada di dalam kampus yang mengakses ilmu pengetahuan dan teknologi, tentu bertujuan untuk menjadikan pengetahuan untuk mengembangkan sumber daya manusia dalam mengelola sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan manusia. Di sisi lain, yang menjadi tugas historis bagi seluruh umat manusia tak terkecuali mahasiswa adalah membangun sebuah peradaban manusia  yang membebaskan penindasan manusia atas manusia lainnya.

Esensi dari pendidikan yang didapatkan mahasiswa di perguruan tinggi adalah sebuah sistem pendidikan yang ditempa dan dibangun untuk meningkatkan taraf berpikir manusia demi tercapainya tatanan masyarakat yang adil dan beradap.[3] Pendidikan harus menjadi proses pemerdekaan, bukan penjinakan apalagi menjadi alat pembodohan untuk melanggengkan penindasan oleh kaum penguasa yang lalim. Pendidikan bertujuan menggarap realitas sosial, mendeteksi fenomena sosial, kemudian secara praxisnya  pendidikan diamalkan untuk memecahkan persoalan yang ada di tengah-tengah masyarakat untuk menyonsong sebuah kedaulatan dan kemandirian dalam berbangsa dan bernegara[4].

Sangat tak terbayang apabila pendidikan disandera  dengan sistem sekolah-sekolah kuno yang mengajari mahasiswa sebatas dapat membaca, menulis, menghitung dan berbicara sesuai dengan kepentingan-kepentingan minoritas dengan mengangkangi kepentingan mayoritas rakyat.  Pada realitas saat ini, Perguruan  tinggi berangsur-angsur tidak mempunyai orientasi untuk memerdekakan, namun melakukan sebuah penjinakan, penghancuran dengan alasan etika kaum Intelektuil yang santun, beradap dan manusia yang diagung-agungkan. Sebutan-sebutan demikian sesungguhnya tak patut divonis salah. Namun jika demikian,  perguruan tinggi hanya akan mampu mencetak kaum-kaum intelektuil, akademis, praktisi, profesional, pengangguran yang tunduk pada sebuah aturan-aturan yang mengekang sekaligus merampas hak-hak demokratis mahasiswa.

Indonesia telah merdeka selama 69 tahun. Namun segala bentuk cita-cita mulia diawal kemerdekaan belum ada satupun yang tercapai. Mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai salah satu cita-cita berdirinya Indonesia masih jauh dari kata memuaskan. Berikut sedikit gambaran tentang data pendidikan di Indonesia:
Usia & Jenjang Pendidikan
Partisipasi
7-12 (SD)
98,36%
13-15 (SMP)
90,68%
16-18 (SMA)
63,38%
19-24 (Pendidikan Tinggi)
19,97%
                   Sumber: BPS 2014
Penurunan partisipasi masyarakat terhadap pendidikan ini menjadi problem penting yang harus diperhatikan. Dari gambaran tabel di atas, memperlihatkan bahwa mengapa rakyat Indonesia masih memiliki keterbelakangan budaya. Oleh karena itu, tugas pokok mahasiswa sebagai intelektuil harus mampu berusaha mengubah kebudayaan di Indonesia secara bertahap dengan memperjuangkan pendidikan sebagai instrumen memajukan peradabaan di Indonesia.

Dinamika Organisasi (Gerakan) Mahasiswa
Keterlibatan mahasiswa dalam menjatuhkan rejim fasis Soeharto, menjadi saksi sejarah perjuangan rakyat Indonesia yang berusaha keras melancarkan perjuangan-perjuangan untuk melawan rejim fasis yang menindas, menghisap seluruh hak-hak demokratis rakyat selama 32 Tahun. Gerakan yang spektakuler itu disebut-sebut sebagai gerakan reformasi yang dimotori oleh gerakan mahasiswa. Namun pergeseran sejak rejim Habibie sampai dengan masa akhir SBY menuju pemerintahan baru Jokowi-JK, dengan ‘tanpa disadari’ mahasiswa telah kehilangan hak-hak demokratisnya yang diperjuangan tempo dulu dengan gigih. Mahasiswa kini kerap menjadi objek sebagai ilmuwan palsu para Prof. Dosen yang disuruh bergelut di dalam ruang-ruang kampus yang tertutup rapi dari rakyat. Di sisi lain, mahasiswa berangsur-angsur kehilangan  gelar menjadi pelopor perubahan rakyat, yang kunon ceritanya sangat loyal mengabdi kepada rakyat.

Menurut pandangan penulis, bahwa yang membuat hilangnya roh perjuangan dengan tergerusnya kehidupan berorganisasi mahasiswa di kampus, akibat adanya “Penghancuran nilai-nilai demokratisasi secara masif di kampus”. Penguraiannya Pertama adanya disorientasi nilai-nilai sistem pendidikan yang menjadikan kampus sebagai legitimasi penguasa dan korporasi besar (lokal dan asing) yang merampas hak-hak demokratis rakyat, yang mengesampingkan kebenaran ilmiah dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. berkembang pesat ditandai dengan perjuangan masyarakat dunia untuk mengubah zaman kegelapan menuju zaman pencerahaan.

Mungkin ini beberapa sosok yang mampu menginspirasikan kita bagaimana kegigihan mereka dalam memperjuangkan ilmu pengetahuan dalam teori dan praktek[5]. Kita masih mengingat sosok Socrates seorang filsuf yang harus rela meminum racun akibat mempertahankan kebenaran melawan dogma-dogma penguasa. Demikian juga Copernicus penggagas heliosentrisme (pusat tata surya matahari) yang menjungkirbalikkan teori geosentris tradisional, namun ia harus membayar kebenaran ilmiah dengan matanya yang dijungkil oleh penguasa masa itu.  Sementara Galileo galilei yang menyempurnakan teleskop harus menderita menjalani hukuman dari Penguasa akibat disebut merusak iman yang menolak bumi sebagai pusat alam semesta.

Terakhir, sosok ini sangat populer di kalangan pemuda hingga saat ini. Che Guevara seorang mahasiswa kedokteran yang kemudian nantinya mendedikasikan dirinya dalam perjuangan rakyat Amerika latin untuk menghancurkan rejim boneka Batista di Kuba.

Namun, kini otonomi keilmuan menjadi simbolis usang yang seolah-olah kampus mengedepankan perkembangan ilmu pengetahuan untuk melahirkan kebenaran-kebenaran ilmiah baru, namun hakekatnya menghancurkan perkembangan revolusi keilmuan itu sendiri. Kisah-kisah mahasiswa yang berjiwa besar dan menjadi pejuang pun semakin sulit ditemui di kampus-kampus.

Kedua, watak kampus yang anti ilmiah dan mengedepankan mahasiswa yang siap saji untuk dunia kerja saja. Mahasiswa lalu diciptakan menjadi mahasiswa yang individu, apatis, anti sosial yang menanamkan nilai-nilai kompetitif yang saling menghancurkan satu sama lain menuju kesuksesan. Kampus menciptakan paradigma bahwa tujuan mahasiswa mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi adalah modal untuk meraih masa depan yang sukses. Siklus kehidupan diajarkan dengan  cara “belajar giat kemudian setelah lulus harus Bekerja keras menghasilkan uang (menimbun kekayaan) dan kehidupan pun menjadi sejahtera. Paradigma demikian, menjadikan mahasiswa-mahasiswa tak lagi memposisikan dirinya sebagai kaum intelektuil yang bertanggung jawab atas perubahan di tengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia untuk mengabdi pada rakyat.

Ketiga, lahirnya Berbagai regulasi dilahirkan oleh pemerintahan untuk menutup ruang-ruang kehidupan kritis mahasiswa di dalam kampus. Birokrasi kampus terus mempertahankan  normalisasi kehidupan mahasiswa di kampus dengan mengontrol kegiatan-kegiatan ilmiah mahasiswa dengan menjauhkan dari hakikat belajar, penelitian dan perjuangan. Sementara kedok otonomi palsu perguruan tinggi, ternyata tidak mampu memberikan kebebasan kepada mahasiswa untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kemajuan Indonesia.

Nilai-nilai kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik dan otonomi keilmuan masih saja dipasung oleh rejim berkuasa melalui kebijakan pemerintah seperti UU Pendidikan Tinggi No. 12 Tahun 2012 serta UU Organisasi masyarakat No 17 Tahun 2013. Dalam hal UU Dikti No. 12 Tahun 2012 dalam pasal 9 ayat 1 sampai 3 menjelaskan, sivitas akademis diberikan ruang untuk mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjamin kebasan akademik, kebebasan mimbar akademik dan otonomi perguruan tinggi yang difasilitasi oleh pimpinan perguruan tinggi. Sejenak bila membaca pasal tersebut, perguruan tinggi telah memberikan hak-hak demokratis mahasiswa untuk mendapatkan keilmuan. Akan tetapi, bila ditelaah lebih mendalam pasal tersebut, tidak ada sedikit pun memberikan kemerdekaan bagi mahasiswa untuk mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta hak atas kebebasan mimbar-mimbar akademik. Karena dalam pasal 9 ayat 2 dijelaskan secara gamblang Kebebasan mimbar akademik bukanlah wewenang dari mahasiswa, namun kebebasan mimbar akademik adalah wewenang dari Profesor dan dosen yang memiliki otoritas dan wibawa ilmiah untuk menyatakan secara terbuka dan bertanggung jawab mengenai sesuatu yang berkenaan  dengan rumpun ilmu dan cabang ilmunya. Jadi mahasiswa tetap dianggap tidak berkompeten dalam melakukan penelitian-penelitian yang berguna bagi masyarakat dengan inovasi-inovasinya.

Selain itu, regulasi dalam pemberangusan berserikat juga masih dipertahankan dengan adanya UU Dikti pada pasal 77 ayat 3 dan SK Dirjen Dikti No. 26 Tahun 2002 yang menegaskan tentang pendirian organisasi yang hanya dapat didirikan oleh kampus. Artinya mahasiswa tidak diberikan kebebasan untuk mendirikan sebuah organisasi mahasiswa yang mandiri, independen yang berdasarkan aspirasi dari mahasiswa itu sendiri.  

Dan Keempat, akibat otonomi perguruan tinggi non akademik (keuangan), pendidikan tinggi menjadi objek liberalisasi, privatisasi dan komersialisasi. Pendidikan sama halnya dengan perusahaan jasa yang berorientasi profit yang  menciptakan mahasiswa yang “efisien dan efektifitas”. Mahasiswa hanya berpikir bagaimana membayar keringat orang tua yang telah merogoh kocek besar dengan nilai akademis yang tinggi tanpa memaknai lagi peran dan tanggung jawab mahasiswa sebagai peopor perubahan.  Padahal apabila disadari bahwa pendidikan adalah hak warga negara dan negara wajib menyelenggarakannya (public good).

Dengan demikian, seluruh skema penghancuran demokratisasi hak mahasiswa di kampus untuk membungkam kebebasan berpendapat, berkumpul, berorganisasi dan berserikat berdampak dengan semakin terdegradasinya peran dari organisasi mahasiswa yang selama ini telah mengukir sejarah perubahan dalam perkembangan masyarakat Indonesia (Era Pergerakan kebangkitan nasional 1908-1928 Gerakan mahasiswa ’66, gerakan 74-77, gerakan 1990 dan Gerakan reformasi 1998).

Ayoo, Belajar, Berorganisasi dan Berjuang.

Semakin rendahnya kesadaraan mahasiswa untuk belajar, berorganisasi dan berjuang, menjadikan kampus sebagai menara gading yang sangat jauh dari kehidupan masyarakat Indonesia. Mahasiswa terpenjarakan dengan tembok-tembok teoritis mewah  yang tak berguna bagi perubahan. Celakanya, kaum intelektuil semakin terseret dalam kehidupan pragmatis dengan penguasa dan pengusaha yang mengejar kekuasaan dan kekayaan semata. Keperkasaan mahasiswa di era kebangkitan nasional sampai dengan semangat menumbangkan Orba dalam gerakan reformasi 1998, menjadi catatan sejarah patriotis yang semakin terkubur. Organisasi-organisasi mahasiswa yang menjadi alat untuk menghimpun dengan menyatukan visi misi dan tujuan untuk perubahan Indonesia, kini ditinggalkan akibat hegemoni penguasa dan kampus yang menciptakan mahasiswa yang invidual, apatis, anti ilmiah, dekaden, pragmatis.

Perlu diingat, mustahil Republik Indonesia merdeka tanpa adanya ORGANISASI. Organisasi-organisasi pemuda mahasiswa telah ambil bagian dan membuktikan bahwa mahasiswa yang berhimpun, berorganisasi akan memberikan sumbangan yang besar pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjadi senjata untuk memberikan perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Berbagai persoalan yang dihadapi mahasiswa dalam kehidupan kampus, hanya akan dapat diselesaikan dengan tindakan bersama-sama yang terpimpin dalam sebuah organisasi sebagai alat memperjuangkan hak-hak pemuda mahasiswa serta rakyat Indonesia. Sehingga,  mahasiswa mampu mengembalikan gelar pelopor perubahan bagi rakyat.

(Untuk menghubungi saya bisa melalui FB: Che Rachmad, Twitter: RachmadP dan Email: racmadpanjaitan@gmail.com)



[1] . Materi disampaikan pada diskusi di FIB UI
[2] . Pimpinan Pusat FMN (Front Mahasiswa Nasional)
[3] Sindhunata.  Mengenang Y.B. Mangunwijaya, Pergulatan Intelektual dalam Era Kegelisahan. Kanisius, Yogyakarta 1999.
[4] Paulo Freire. Pendidikan Kaum Tertindas. LP3ES, Jakarta  2000.
[5] Dava Sobel. Surat-surat Untuk Sang Rajawali Galileo. Mizan, Bandung 2004.

Share this:

1 komentar :

  1. Artikel ini sangat bermanfaat dan patut untuk disebarluaskan. Jika anda ingin membaca berita kemahasiswaan, silahkan kunjungi website ini http://wartawarga.gunadarma.ac.id/

    BalasHapus

 
Back To Top
Copyright © 2018 Soeara Massa. Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Templates