Rachmad
P Panjaitan[2]
“Alangkah
mengerikan menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan
jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak
menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir
dengan pensiun tidak seberapa – Seno Gumira
Ajidarma”
Pemuda Mahasiswa
Kawan-Kawan,
pada saat ini kita akan mendiskusikan tentang tugas-tugas mendasar mahasiswa
dalam perubahan berkehidupan berbangsa dan bernegara. Dan sehubungan dengan hal
itu, akan membahas secara spesifik hubungan mahasiswa dengan perkembangan
organisasi-organisasi pemuda mahasiswa yang sangat melekat dalam sejarah
panjang perjuangan rakyat membangun Republik Indonesia hingga saat ini.
Sangat
diperlukan untuk berpikir tentang diskursus ini karena dalam satu teori dan
pratiknya bisa dikatakan bahwa pemuda
mahasiswa yang akan berhadapan dengan tugas-tugas aktual untuk menciptakan
sebuah masyarakat yang adil dan beradap. Selama
ini jelas, setidaknya dari era Kebangkitan nasional abad 20 sampai
dengan babak reformasi 1998, gerakan mahasiswa selalu menunjukkan kepeloporan
untuk menghancurkan segala bentuk penindasan dan penghisapan yang dialami
masyarakat Indonesia. Setidaknya generasi pengalaman itu telah dicatat dengan tinta
sejarah dalam membentuk sebuah sistem sosial yang lebih demokratis di Indonesia.
Lalu
apa yang menjadi tugas dari kaum pemuda mahasiswa untuk perubahan dalm
kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia ? jawabnya adalah belajar,
berorganisasi dan berjuang
Pemuda
mahasiswa yang berada di dalam kampus yang mengakses ilmu pengetahuan dan
teknologi, tentu bertujuan untuk menjadikan pengetahuan untuk mengembangkan
sumber daya manusia dalam mengelola sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan
manusia. Di sisi lain, yang menjadi tugas historis bagi seluruh umat manusia
tak terkecuali mahasiswa adalah membangun sebuah peradaban manusia yang membebaskan penindasan manusia atas
manusia lainnya.
Esensi
dari pendidikan yang didapatkan mahasiswa di perguruan tinggi adalah sebuah
sistem pendidikan yang ditempa dan dibangun untuk meningkatkan taraf berpikir
manusia demi tercapainya tatanan masyarakat yang adil dan beradap.[3]
Pendidikan harus menjadi proses pemerdekaan, bukan penjinakan apalagi menjadi
alat pembodohan untuk melanggengkan penindasan oleh kaum penguasa yang lalim.
Pendidikan bertujuan menggarap realitas sosial, mendeteksi fenomena sosial,
kemudian secara praxisnya pendidikan
diamalkan untuk memecahkan persoalan yang ada di tengah-tengah masyarakat untuk
menyonsong sebuah kedaulatan dan kemandirian dalam berbangsa dan bernegara[4].
Sangat
tak terbayang apabila pendidikan disandera
dengan sistem sekolah-sekolah kuno yang mengajari mahasiswa sebatas
dapat membaca, menulis, menghitung dan berbicara sesuai dengan
kepentingan-kepentingan minoritas dengan mengangkangi kepentingan mayoritas
rakyat. Pada realitas saat ini,
Perguruan tinggi berangsur-angsur tidak
mempunyai orientasi untuk memerdekakan, namun melakukan sebuah penjinakan,
penghancuran dengan alasan etika kaum Intelektuil yang santun, beradap dan
manusia yang diagung-agungkan. Sebutan-sebutan demikian sesungguhnya tak patut
divonis salah. Namun jika demikian,
perguruan tinggi hanya akan mampu mencetak kaum-kaum intelektuil,
akademis, praktisi, profesional, pengangguran yang tunduk pada sebuah
aturan-aturan yang mengekang sekaligus merampas hak-hak demokratis mahasiswa.
Indonesia
telah merdeka selama 69 tahun. Namun segala bentuk cita-cita mulia diawal
kemerdekaan belum ada satupun yang tercapai. Mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai
salah satu cita-cita berdirinya Indonesia masih jauh dari kata memuaskan.
Berikut sedikit gambaran tentang data pendidikan di Indonesia:
Usia
& Jenjang Pendidikan
|
Partisipasi
|
7-12 (SD)
|
98,36%
|
13-15 (SMP)
|
90,68%
|
16-18 (SMA)
|
63,38%
|
19-24 (Pendidikan
Tinggi)
|
19,97%
|
Sumber: BPS 2014
Penurunan
partisipasi masyarakat terhadap pendidikan ini menjadi problem penting yang
harus diperhatikan. Dari gambaran tabel di atas, memperlihatkan bahwa mengapa
rakyat Indonesia masih memiliki keterbelakangan budaya. Oleh karena itu, tugas
pokok mahasiswa sebagai intelektuil harus mampu berusaha mengubah kebudayaan di
Indonesia secara bertahap dengan memperjuangkan pendidikan sebagai instrumen
memajukan peradabaan di Indonesia.
Dinamika Organisasi
(Gerakan) Mahasiswa
Keterlibatan
mahasiswa dalam menjatuhkan rejim fasis Soeharto, menjadi saksi sejarah
perjuangan rakyat Indonesia yang berusaha keras melancarkan
perjuangan-perjuangan untuk melawan rejim fasis yang menindas, menghisap
seluruh hak-hak demokratis rakyat selama 32 Tahun. Gerakan yang spektakuler itu
disebut-sebut sebagai gerakan reformasi yang dimotori oleh gerakan mahasiswa. Namun pergeseran sejak rejim
Habibie sampai dengan masa akhir SBY menuju pemerintahan baru Jokowi-JK, dengan
‘tanpa disadari’ mahasiswa telah kehilangan hak-hak demokratisnya yang
diperjuangan tempo dulu dengan gigih. Mahasiswa kini kerap menjadi objek
sebagai ilmuwan palsu para Prof. Dosen yang disuruh bergelut di dalam
ruang-ruang kampus yang tertutup rapi dari rakyat. Di sisi lain, mahasiswa
berangsur-angsur kehilangan gelar
menjadi pelopor perubahan rakyat, yang kunon ceritanya sangat loyal mengabdi
kepada rakyat.
Menurut
pandangan penulis, bahwa yang membuat hilangnya roh perjuangan dengan
tergerusnya kehidupan berorganisasi mahasiswa di kampus, akibat adanya
“Penghancuran nilai-nilai demokratisasi secara masif di kampus”. Penguraiannya Pertama adanya disorientasi nilai-nilai
sistem pendidikan yang menjadikan kampus sebagai legitimasi penguasa dan
korporasi besar (lokal dan asing) yang merampas hak-hak demokratis rakyat, yang
mengesampingkan kebenaran ilmiah dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.
berkembang pesat ditandai dengan perjuangan masyarakat dunia untuk mengubah
zaman kegelapan menuju zaman pencerahaan.
Mungkin
ini beberapa sosok yang mampu menginspirasikan kita bagaimana kegigihan mereka
dalam memperjuangkan ilmu pengetahuan dalam teori dan praktek[5].
Kita masih mengingat sosok Socrates seorang filsuf yang harus rela meminum
racun akibat mempertahankan kebenaran melawan dogma-dogma penguasa. Demikian
juga Copernicus penggagas heliosentrisme (pusat tata surya matahari) yang
menjungkirbalikkan teori geosentris tradisional, namun ia harus membayar
kebenaran ilmiah dengan matanya yang dijungkil oleh penguasa masa itu. Sementara Galileo galilei yang menyempurnakan
teleskop harus menderita menjalani hukuman dari Penguasa akibat disebut merusak
iman yang menolak bumi sebagai pusat alam semesta.
Terakhir,
sosok ini sangat populer di kalangan pemuda hingga saat ini. Che Guevara
seorang mahasiswa kedokteran yang kemudian nantinya mendedikasikan dirinya
dalam perjuangan rakyat Amerika latin untuk menghancurkan rejim boneka Batista
di Kuba.
Namun,
kini otonomi keilmuan menjadi simbolis usang yang seolah-olah kampus
mengedepankan perkembangan ilmu pengetahuan untuk melahirkan
kebenaran-kebenaran ilmiah baru, namun hakekatnya menghancurkan perkembangan
revolusi keilmuan itu sendiri. Kisah-kisah mahasiswa yang berjiwa besar dan
menjadi pejuang pun semakin sulit ditemui di kampus-kampus.
Kedua,
watak kampus yang anti ilmiah dan mengedepankan mahasiswa yang siap saji untuk
dunia kerja saja. Mahasiswa lalu diciptakan menjadi mahasiswa yang individu,
apatis, anti sosial yang menanamkan nilai-nilai kompetitif yang saling menghancurkan
satu sama lain menuju kesuksesan. Kampus menciptakan paradigma bahwa tujuan
mahasiswa mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi adalah modal untuk meraih
masa depan yang sukses. Siklus kehidupan diajarkan dengan cara “belajar giat kemudian setelah lulus harus
Bekerja keras menghasilkan uang (menimbun kekayaan) dan kehidupan pun menjadi
sejahtera. Paradigma demikian, menjadikan mahasiswa-mahasiswa tak lagi
memposisikan dirinya sebagai kaum intelektuil yang bertanggung jawab atas
perubahan di tengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia untuk mengabdi pada
rakyat.
Ketiga,
lahirnya Berbagai regulasi dilahirkan oleh pemerintahan untuk menutup ruang-ruang
kehidupan kritis mahasiswa di dalam kampus. Birokrasi kampus terus
mempertahankan normalisasi kehidupan
mahasiswa di kampus dengan mengontrol kegiatan-kegiatan ilmiah mahasiswa dengan
menjauhkan dari hakikat belajar, penelitian dan perjuangan. Sementara kedok
otonomi palsu perguruan tinggi, ternyata tidak mampu memberikan kebebasan
kepada mahasiswa untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi
kemajuan Indonesia.
Nilai-nilai
kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik dan otonomi keilmuan masih saja
dipasung oleh rejim berkuasa melalui kebijakan pemerintah seperti UU Pendidikan
Tinggi No. 12 Tahun 2012 serta UU Organisasi masyarakat No 17 Tahun 2013. Dalam
hal UU Dikti No. 12 Tahun 2012 dalam pasal 9 ayat 1 sampai 3 menjelaskan,
sivitas akademis diberikan ruang untuk mendalami dan mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dengan menjamin kebasan akademik, kebebasan mimbar
akademik dan otonomi perguruan tinggi yang difasilitasi oleh pimpinan perguruan
tinggi. Sejenak bila membaca pasal tersebut, perguruan tinggi telah memberikan
hak-hak demokratis mahasiswa untuk mendapatkan keilmuan. Akan tetapi, bila
ditelaah lebih mendalam pasal tersebut, tidak ada sedikit pun memberikan
kemerdekaan bagi mahasiswa untuk mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan
dan teknologi serta hak atas kebebasan mimbar-mimbar akademik. Karena dalam
pasal 9 ayat 2 dijelaskan secara gamblang Kebebasan mimbar akademik bukanlah
wewenang dari mahasiswa, namun kebebasan mimbar akademik adalah wewenang dari
Profesor dan dosen yang memiliki otoritas dan wibawa ilmiah untuk menyatakan
secara terbuka dan bertanggung jawab mengenai sesuatu yang berkenaan dengan rumpun ilmu dan cabang ilmunya. Jadi
mahasiswa tetap dianggap tidak berkompeten dalam melakukan
penelitian-penelitian yang berguna bagi masyarakat dengan inovasi-inovasinya.
Selain
itu, regulasi dalam pemberangusan berserikat juga masih dipertahankan dengan
adanya UU Dikti pada pasal 77 ayat 3 dan SK Dirjen Dikti No. 26 Tahun 2002 yang
menegaskan tentang pendirian organisasi yang hanya dapat didirikan oleh kampus.
Artinya mahasiswa tidak diberikan kebebasan untuk mendirikan sebuah organisasi
mahasiswa yang mandiri, independen yang berdasarkan aspirasi dari mahasiswa itu
sendiri.
Dan Keempat, akibat otonomi perguruan
tinggi non akademik (keuangan), pendidikan tinggi menjadi objek liberalisasi,
privatisasi dan komersialisasi. Pendidikan sama halnya dengan perusahaan jasa
yang berorientasi profit yang
menciptakan mahasiswa yang “efisien dan efektifitas”. Mahasiswa hanya
berpikir bagaimana membayar keringat orang tua yang telah merogoh kocek besar
dengan nilai akademis yang tinggi tanpa memaknai lagi peran dan tanggung jawab
mahasiswa sebagai peopor perubahan.
Padahal apabila disadari bahwa pendidikan adalah hak warga negara dan
negara wajib menyelenggarakannya (public good).
Dengan
demikian, seluruh skema penghancuran demokratisasi hak mahasiswa di kampus
untuk membungkam kebebasan berpendapat, berkumpul, berorganisasi dan berserikat
berdampak dengan semakin terdegradasinya peran dari organisasi mahasiswa yang
selama ini telah mengukir sejarah perubahan dalam perkembangan masyarakat
Indonesia (Era Pergerakan kebangkitan nasional 1908-1928 Gerakan mahasiswa ’66,
gerakan 74-77, gerakan 1990 dan Gerakan reformasi 1998).
Ayoo, Belajar,
Berorganisasi dan Berjuang.
Semakin
rendahnya kesadaraan mahasiswa untuk belajar, berorganisasi dan berjuang,
menjadikan kampus sebagai menara gading yang
sangat jauh dari kehidupan masyarakat Indonesia. Mahasiswa terpenjarakan dengan
tembok-tembok teoritis mewah yang tak
berguna bagi perubahan. Celakanya, kaum intelektuil semakin terseret dalam kehidupan
pragmatis dengan penguasa dan pengusaha yang mengejar kekuasaan dan kekayaan
semata. Keperkasaan mahasiswa di era kebangkitan nasional sampai dengan
semangat menumbangkan Orba dalam gerakan reformasi 1998, menjadi catatan sejarah
patriotis yang semakin terkubur. Organisasi-organisasi mahasiswa yang menjadi
alat untuk menghimpun dengan menyatukan visi misi dan tujuan untuk perubahan
Indonesia, kini ditinggalkan akibat hegemoni penguasa dan kampus yang
menciptakan mahasiswa yang invidual, apatis, anti ilmiah, dekaden, pragmatis.
Perlu
diingat, mustahil Republik Indonesia merdeka tanpa adanya ORGANISASI. Organisasi-organisasi
pemuda mahasiswa telah ambil bagian dan membuktikan bahwa mahasiswa yang
berhimpun, berorganisasi akan memberikan sumbangan yang besar pada perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjadi senjata untuk memberikan perubahan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Berbagai persoalan yang
dihadapi mahasiswa dalam kehidupan kampus, hanya akan dapat diselesaikan dengan
tindakan bersama-sama yang terpimpin dalam sebuah organisasi sebagai alat
memperjuangkan hak-hak pemuda mahasiswa serta rakyat Indonesia. Sehingga, mahasiswa mampu mengembalikan gelar pelopor perubahan bagi rakyat.
(Untuk
menghubungi saya bisa melalui FB:
Che Rachmad, Twitter: RachmadP dan Email: racmadpanjaitan@gmail.com)
[1] .
Materi disampaikan pada diskusi di FIB UI
[2] .
Pimpinan Pusat FMN (Front Mahasiswa Nasional)
[3] Sindhunata.
Mengenang Y.B. Mangunwijaya, Pergulatan Intelektual dalam Era
Kegelisahan. Kanisius, Yogyakarta
1999.
[4] Paulo Freire. Pendidikan Kaum Tertindas. LP3ES, Jakarta 2000.
[5] Dava Sobel. Surat-surat Untuk Sang Rajawali Galileo. Mizan, Bandung 2004.
.jpg)
Artikel ini sangat bermanfaat dan patut untuk disebarluaskan. Jika anda ingin membaca berita kemahasiswaan, silahkan kunjungi website ini http://wartawarga.gunadarma.ac.id/
BalasHapus