Lagi,
fasisme menunjukkan wataknya yang culas dan picik, untuk semakin menindas dan
menghisap rakyat. TNI AD Kodam IV Diponegoro melakukan pemaksaan untuk
menandatangani perjanjian, kepada Serikat Tani Amanat Penderitaan Rakyat (Stan
Ampera) Desa Darmakradenan Kec. Ajibarang, Banyumas. Perjanjian tersebut berisi
bahwa Stan Ampera dibatasi tanah garapannya seluas 110 hektar, dan harus
membayar pajak kepada PT. Rumpun Sari Antan, sebuah perusahaan yang dijadikan
TNI AD Kodam IV Diponegoro sebagai pundi-pundi pemasukan keluarga purnawirawan.
TNI juga mengancam akan mengirim pasukannya jika Stan Ampera berani melawan.
Salah satu petinggi mereka yakni Brigjen Putut Winarno bahkan mengatakan,
“Sekali sabet sarung, saya telpon, seribu pasukan turun”(18/9).
Kejadian bermula ketika Dinas
Perkebunan Banyumas mengundang Stan Ampera untuk sosialisasi HGU, yang diadakan
pada tanggal 17-18 September, pukul 8 malam, di Hotel Horison. Stan Ampera
diberitahu bahwa selain Ajibarang, diundang juga daerah lain yang berkonflik di
Jawa Tengah seperti Karanganyar dan Makenzi. Berangkatlah perwakilan dari Stan
Ampera ke sana, yakni Zainal, Darsum, Karsim, dan Sarno. Mereka juga ditemani
oleh Kepala Desa Darmakradenan, Camat Ajibarang, Mbah Slamet (Aliansi Gerakan
Reforma Agraria), juga Cipto dan Maski (Front Mahasiswa Nasional).
Namun ternyata tidak ada sama sekali
sosialisasi apapun, sebagaimana yang diberitahukan. Yang hadir dalam forum
tersebut ialah dari TNI AD Kodam IV Diponegoro, Dinas Perkebunan, Kapolda Jawa
Tengah, Koramil Ajibarang. Badan Pertanahan Nasional, DPRD, maupun Bupati
justru tidak ada, padahal merekalah unsur terpenting dalam hal menyelesaikan
konflik agraria. Yang hadir di sana justru ialah petinggi-petinggi perusahaan
dan militer yang berpangkat Kapten sampai Brigjen. Forum tersebut jelas
bukanlah forum yang sehat. Jelas bahwa Stan Ampera ditekan dan diancam untuk
menandatangani perjanjian oleh TNI yang culas dan picik.
Pada Agustus lalu, barangkali masih
teringat dalam benak kita, STAN Ampera didatangi dan dipanggil oleh TNI-AD ke
kantor PT. Rumpun Sari Antan (PT.RSA). Kala itu, mereka diancam untuk
meninggalkan lahan yang selama ini menghidupi mereka,. TNI-AD sendiri
menyatakan bahwa tanah yang saat ini digarap oleh Stan Ampera ialah tanah milik
PT.RSA. Adapun PT. RSA sendiri merasa mengalami kerugian, karena mereka hanya
mengelola seluas 20 hektar dari 227,65 hektar atas tanah yang mereka klaim
dengan sertifikat Hak Guna Usaha. Sehingga paksaan atas penandatanganan
perjanjian ini merupakan upaya militer fasis TNI AD Kodam IV Diponegoro dengan
perusahaannya PT. RSA, untuk mempertahankan kekuasaan mereka.
Di akhir era kekuasaan 10 tahun, rezim SBY-Boediono makin menunjukkan
kenistaannya sebagai presiden fasis di Indonesia. Krisis imperialisme yang
makin akut, yang menimbulkan bencana di seluruh negeri, membuat klas reaksi
melepaskan anjing-anjing liar bersenjatanya dengan dalih stabilitas dan
keamanan nasional. Kali ini mereka menggunakan TNI-AD Kodam Diponegoro untuk
menciptakan teror kepada Stan Ampera dan penduduk Desa Darmakradenan pada
khususnya, dan warga Banyumas pada umumnya
Benarkah
Bahwa Lahan Tersebut Hak TNI-AD ?
Mari kita uraikan kronologis singkat
sejarah penguasaan lahan di Desa Darmakradenan[1],
untuk membuktikan apakah TNI-AD memiliki hak atas lahan tersebut. Pada tahun
1890-an. di era kolonial Belanda, pemerintah kolonial menerapkan pajak yang
begitu tinggi kepada warga Darmakradenan. Pajak yang diberlakukan berupa pajak
tanah sebesar 30sen per 7000m2. Pajak yang tinggi itu menyebabkan rakyat tidak
mampu membayar pajak, karena bahkan pajak tersebut lebih besar daripada
penghasilan rakyat itu sendiri. Akhirnya seorang pengusaha Belanda bernama
Maryon memanfaatkan hal ini untuk menguasai tanah di sana melalui hak erfpacht[2],
selama 75 tahun seluas 230,10 Ha pada 15 Juli 1892. Kemudian pada 1930-an
perkebunan tersebut diserahkan pengelolaannya kepada Babah Thong Pho dalam
naungan perusahaan Thing Pho & Co dan kemudian diserahkan lagi ke pihak
lain bernama Tan Giok Kien.
Peristiwa pembunuhan massal dan
teror 1965 yang diperintahkan oleh Soeharto menimbulkan Tan Giok Kien melarikan
diri, karena SARBUPRI, organisasi buruh yang bekerja di perkebunannya
“dibubarkan” oleh TNI. Kolonel Ngaspin dari Kodam Diponegoro memanfaatkan hal
ini untuk melakukan pengamanan atas lahan tersebut.
Kemudian pada 1967, Yayasan Rumpun
Diponegoro, suatu unit bisnis bentukan Kodam Diponegoro membentuk PT. Rumpun
untuk mengoperasikan lahan di Darmakreadenan. Pada tahun 1980 PT. Rumpun
berubah menjadi PT. Rumpun Antan. Sampai pada 1990 PT.Rumpun Antan bekerjasama
dengan PT. Astro Agro Niaga dengan pembagian saham masing-masing 40% untuk PT.
Rumpun Antan dan 60% untuk PT. Astro Niaga, dan mengubah nama menjadi PT.
Rumpun Sari Antan. Adapun PT. Rumpun Sari Antan masih eksis sampai sekarang,
dan memliki sertifikat HGU (Hak Guna Usaha) sebagai tanda bukti hak sampai
tahun 2018.
Penelantaran
Tanah
Berdasarkan SK Mendagri No. SK.16/HGU/DA/1971 jo SK Menteri Negara
Agraria/Ka.BPN No.19/HGU/BON/94, PT.RSA diberi HGU untuk mengelola perkebunan
tanaman kako seluas 227.65 Ha sampai 2018. Pemberian hak tersebut pada azasnya
merupakan pemberian dari negara selaku pemegang hak menguasai dari negara,
kepada orang/badan hukum untuk mengelola/memanfaatkan tanah. Akan tetapi dalam
praktiknya, tanah tersebut justru ditelantarkan oleh PT. RSA. Ditelantarkan,
artinya tidak dikelola sesuai dengan pemberian hak tersebut. Banyak pula
ditemukan pohon kakao yang tidak dirawat, sehingga buah yang telah matang tidak
kunjung dipanen sebagaimana mestinya. Dari 227,65 Ha sebagai area HGU, sekitar
110 Ha sudah tidak lagi produktif. Bahkan lebih dari 50 Kepala Keluarga telah
menguasai area 110 Ha tersebut, dengan menggunakan sistem pertanian tumpang
sari[3].
Dalam Pasal 17, Peraturan
Pemerintah No.40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak
Pakai Atas Tanah, diatur bahwa :
(1)
Hak Guna Usaha hapus karena :
a.
Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau
perpanjangannya;
b. Dibatalkan haknya oleh pejabat yang berwenang sebelum jangka waktunya berakhir
karena :
1)
Tidak terpenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/atau dilanggarnya
ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, dan/atau
pasal 14;
2)
Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
c.
Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya
berakhir;
d.
Dicabut berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961;
e.
Ditelantarkan;
f. Tanahnya musnah;
g.
Ketentuan Pasal 3 ayat (2)
Mengingat
pada Pasal 17 huruf e, maka alasan “ditelantarkan” dapat menjadi alasan
hapusnya HGU.
Pengembalian
Tanah Kepada Rakyat Karena Berasal Dari Konversi Hak-Hak Barat
Dalam Pasal
4 Keppres No.32 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka
Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat, diatur bahwa :
“Tanah-tanah HGU asal konversi hak Barat yang sudah
diduduki rakyat dan ditinjau dari sudut tata guna tanah dan keselamatan lingkungan
hidup lebih tepat diperuntukkan untuk pemukiman atau kegiatan usaha pertanian,
akan diberikan hak baru kepada rakyat yang mendudukinya.”
Berdasarkan kronologis tadi, kita
mengetahui tadinya tanah tersebut merupakan tanah yang dikelola Firma Belanda
yang kemudian beralih pada Thing Pho & Co melalui hak erfpacht. Adapun hak
erfpacht itu sendiri merupakan hak barat yang diadasarkan pada Agrarische Wet
Van de Waal 1970 atau UU Agrarianya Kolonial Belanda. Maka tanah sengketa di
Darmakradenan adalah tanah HGU yang berasal dari konversi hak barat.
Seperti yang telah dijelaskan pula,
bahwa tanah tersebut telah diduduki rakyat untuk dikelola guna kehidupan
sehari-hari, dan beberapa ada yang dijadikan tempat tinggal. Atas dasar itulah,
maka mengingat Pasal 4 Keppres No.32 Tahun 1979, maka rakyat atau warga
Darmakradenan pada dasarnya memiliki hak untuk tinggal dan menggarap lahan.
Masih
Bolehkah TNI Memanfaatkan Unit Bisnis?
Di era Orde
Baru, TNI kerap memperoleh pendapatan melalui unit bisnis dalam bentuk Yayasan
maupun Koperasi, ataupun yang bekerjasama dengan pihak ketiga. Tim Supervisi
Transformasi Bisnis TNI dalam sidang kabinet terbatas pada Oktober 2007 pernah
melaporkan nilai aset dari unit bisnis TNI. Dalam laporan tersebut, Jawa Tengah
menempati posisi kedua tertinggi unit bisnis dalam bentuk koperasi, dengan aset
senilai Rp. 53,31 miliar. Nilai aset tersebut belumlah nilai total, karena
hanya sekitar 21,8% dari nilai aset yang ada[4].
Pada tahun
2004, pemerintah menerbitkan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Pasal 76 UU
TNI tersebut menjelaskan bahwa “...Pemerintah harus mengambil alih seluruh
aktivitas bisnis yang dimiliki dan dikelola oleh TNI baik secara langsung
maupun tidak langsung.” Kemudian pada
2009, Pemerintah menerbitkan Perpres Nomor 43 Tahun 2009 tentang
Pengambilalihan Aktivitas Bisnis TNI.
Perpres tersebut bertujuan untuk mengambil alih aktivitas bisnis yang
dimiliki dan dikelola oleh TNI, baik secara langsung maupun tidak langsung,
dalam bentuk Koperasi, Yayasan, maupun yang bekerjasama dengan pihak ketiga.
Pengambilalihan ini dilakukan untuk meneguhkan kembali TNI sebagai organisasi
militer yang profesional, yang bersih dari politik dan bisnis.
Maka
pemanfaatan PT.RSA sebagai pemasukan untuk keluarga Purnawirawan dan
rehabilitasi kantor-kantor Koramil, sejatinya bertentangan dengan kedua
peraturan tadi. TNI-AD sebagai aparat negara justru mengkhianati hukum yang
dibentuk untuk mereka sendiri. Tindakan yang dilakukan TNI-AD Kodam IV
Diponegoro kepada Stan Ampera sungguh tidak mencerminkan organisasi militer
yang profesional. TNI-AD Kodam IV Diponegoro tidak memiliki hak untuk mengelola
lahan di Darmakradenan, apalagi untuk mengintimidasi Stan Ampera. Tindakan
mereka mencerminkan bahwa mereka merasa memiliki logika bertindak sendiri,
semaunya sendiri, dan untuk kepentingan sendiri !
Penghancuran
Kekuatan Kaum Tani Ialah Skema Nasional Kebangkitan Fasisme
Pada tahun 2011, SBY menerbitkan Perpres No. 32 tahun
2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
(MP3EI). Adapun MP3EI itu sendiri merupakan salah satu megaproyek ekspansi
kapital imperialisme yang makin akut dalam krisis. Indonesia dijadikan sasaran
empuk untuk menanggulangi krisis imperialisme. Indonesia nantinya akan
dibagi-bagi menjadi beberapa koridor ekonomi, untuk dikonsentrasikan
produksinya. Indonesia akan dijadikan pabrik bagi keperluan negara-negara maju
imperialis seperti Amerika, China, maupun Uni-Eropa.
Namun
sampai dengan 4 tahun berjalannya MP3EI ini, pembangunan terlihat
tersendat-sendat. Salah satu penyebabnya ialah respon dari rakyat, yang terus
melakukan perlawanan. Kita bisa melihat bagaimana klas buruh dan kaum tani di
Karawang bersatu berupaya menghentikan proyek Agung Podomoro Group, bagaimana
ibu-ibu petani di Rembang tetap berjuang melawan pembangunan tambang semen,
petani di Kulonprogo melawan tambang pasir besi, serikat tani Urutsewu Kebumen
mempertahankan tanahnya dari TNI, bahkan sampai dengan masyarakat adat Bulukumba
Sulsel yang melawan perusahaan kelapa sawit PT. Lonsum untuk mempertahankan
haknya. Begitupun juga dalam hal ini tidak dapat kita pungkiri ada perlawanan
yang dekat dengan kita, yakni di Banyumas. Stan Ampera juga terus berjuang
mempertahankan hak mereka, merebut tanah untuk penggarap, dan melawan
feodalisme yang didominasi PT. RSA dan TNI-AD Kodam IV Diponegoro.
Indonesia
yang masih merupakan negeri agraris, menjadikan mayoritas masyarakatnya ialah
kaum tani (kurang lebih sejumlah 60%). Perlawanan terus menerus yang dilakukan
kaum tani inilah yang sebenarnya ditakutkan militer. Mereka takut jika kaum
tani bersatu, takut jika kaum tani menuntut atas hak-hak demokratis mereka.
Mereka takut jika pundi-pundi pemasukan militer dibekuk oleh kaum tani. Maka
jalan paling stretegis untuk menghancurkan fasisme ialah beraliansi dengan kaum
tani.
Tampilnya
Jokowi sebagai pemenang Pipres 2014 juga merupakan salah satu faktor kekuatan
fasis militer mulai mengkonsolidasikan diri. Jokowi digadangkan akan membentuk Kementerian
Agraria, guna menyelesaikan konflik agraria dan sengketa tanah pada umumnya.
Perlu diketahui bahwa 60% masalah hukum di Indonesia ialah masalah tanah[5].
Terlepas dari bagaimana nanti implementasi Jokowi untuk menggerakkan
kementerian tersebut, di sini klas reaksi yang terdiri dari tuan tanah (feodal,
yang melakukan praktik monopoli tanah) ternyata tidak tinggal diam. Mereka
melepaskan anjng-anjing liar fasisnya untuk mengamankan sumber daya dan menjaga
stabilitas.
Ayo
Berseru, Mari Bersatu, Rakyat Pasti Menang !
Problem
pokok pemuda dan mahasiswa Indonesia ialah persoalan belum terjaminnya lapangan
pekerjaan yang layak, dan belum terselenggaranya sistem pendidikan yang ilmiah,
demokratis, dan mengabdi pada rakyat. Pemuda dan mahasiswa Indonesia akan terus
tertindas secara politik, terhisap ekonomi, dan terkungkung secara kebudayaan
oleh penghisapan tiada henti dari imperialisme, feodalisme, dan kapitalis
birokrat. Tentu kawan-kawan pemuda mahasiswa tidak akan ingin terus mengalami
kondisi menyedihkan seperti demikian. Maka sudah seharusnya pemuda mahasiswa
bersama-sama menyongsong jalan perubahan, menuju masa depan pemuda mahasiswa
Indonesia yang terang benderang dan gilang gemilang. Sejarah membuktikan bahwa
gerakan pemuda mahasiswa tidak akan pernah menang tanpa dukungan dari rakyat.
Satu-satunya jalan untuk memenangkan hak demokratis pemuda mahasiswa, ialah
dengan beraliansi dengan rakyat, terutama dalam hal ini ialah kaum tani. Oleh
karena itu, bahu membahu mendorong kemajuan gerakan tani yang progresif adalah
suatu strategi yang sama-sama menguntungkan di masing-masing pihak.
Kini adalah
tugas kita sebagai pemuda yang berkesadaran maju, untuk merespon peristiwa ini.
Ini bukan lagi persoalan sektoral tani, ataupun warga Darmakradenan pada khususnya.
Ini adalah persoalan seluruh rakyat tertindas, entah itu klas buruh, kaum tani,
pemuda, mahasiswa, kaum miskin kota, para aktivis, entah itu laki-laki, maupun
perempuan.
Sejarah
telah membuktikan bahwa fasisme senantiasa menyebar teror ke seluruh penjuru.
Orde baru Soeharto barangkali dapat dijadikan contoh bagaimana ia berkuasa
begitu dominan dan hegemonik selama 32 tahun. Begitupun juga yang terjadi di
berbagai belahan dunia, seperti Franco di Spanyol, Hitler di Jerman, Pinochet
di Chili, Mussolini di Italia, maupun Batista di Kuba.
Sejarah pula
lah yang membuktikan, bahwa hanya dengan persatuan dan solidaritas rakyat
tertindaslah yang mampu membendung teror fasisme. Fasisme itu laksana virus
berbahaya yang melesat mengikuti angin berhembus. Ia harus dihentikan sesegera
mungkin, supaya tidak menyebar dan memperbesar korban. Hal ini harus dicegah,
karena bukan tidak mungkin fasisme akan masuk ke wilayah kita, dan segera
merebut segalanya dari kita.
Jayalah Kaum Tani Indonesia!
Jayalah Solidaritas Rakyat Tertindas!
Jayalah Perjuangan Massa!
Lawan Fasisme!
Ka. Pendidikan & Propaganda FMN
Kolektif Cabang Purwokerto
P. M. Ahmad.
[1]
Kronologi ini disadur
berdasarkan Arsip Stan Ampera, Kronologi Kasus Sengketa Tanah Perkebunan
Darmakradenan, yang sewaktu penelitiannya disusun menggunakan metode
partisipatif.
[2]
Berdasarkan UU No.5 Tahun 1960,
hak ini sudah dikonversikan menjadi Hak Guna Usaha, yakni hak untuk mengelola
perkebunan, pertanian, dan peternakan dengan luas hektar tertentu.
[3] Kesaksian ini disampaikan
pada audiensi Stan Ampera yang tergabung bersama Front Perjuangan Rakyat
Banyumas di hadapan Bupati, Wakil Bupati, beserta staf-stafnya, dan juga
disaksikan para media lokal, dalam aksi Mayday 2014, di Pendopo si Panji
Kabupaten Banyumas.
[4]http://www.setkab.go.id/artikel-4038-transformasi-bisnis-tni-dalam-menjalankan-amanat-uu-no-34-tahun-2004.html
, diakses pada 20 September 2014 pukul 15:04
[5]
http://finance.detik.com/read/2014/09/16/192717/2692178/4/banyak-sengketa-tanah-jokowi-ganti-bpn-dengan-kementerian-agraria,
diakses pada 20 September 2014 pada 19:09

Posting Komentar