![]() |
| Kerja bakti membangun jalan di perbatasan lahan konflik, sebagai respon atas intimidasi. |
Salam Demokrasi!
Waspada bahaya fasisme. Serikat Tani Amanat Penderitaan Rakyat (Stan Ampera), sebagai salah satu organisasi kaum tani paling progresif di Banyumas baru saja mengalami intimidasi oleh TNI-AD Kodam IV Diponegoro. Pada 23 Agustus 2014, pukul 8 pagi, Darsum dan Zaenal selaku Pengurus Stan Ampera didatangi dan dipanggil oleh TNI-AD ke kantor PT. Rumpun Sari Antan (PT.RSA). Pemanggilan itu tidak menggunakan surat resmi dan bersifat mendadak. Stan Ampera diminta untuk meninggalkan lahan yang selama ini menghidupi mereka,. TNI-AD sendiri menyatakan bahwa tanah yang saat ini digarap oleh Stan Ampera ialah tanah milik PT.RSA. Tujuannya ialah TNI-AD menjadikan PT.RSA sebagai unit bisnis untuk pemasukan kepada keluarga Purnawirawan dan rehabilitasi kantor-kantor Koramil. Stan Ampera diancam akan dihancurkan jika tidak segera meninggalkan lahan yang sampai hari ini masih digarap[1].
Di akhir era kekuasaan 10 tahun, rezim SBY-Boediono makin menunjukkan kenistaannya sebagai presiden fasis di Indonesia. Krisis imperialisme yang makin akut, yang menimbulkan bencana di seluruh negeri, membuat klas reaksi melepaskan anjing-anjing liar bersenjatanya dengan dalih stabilitas dan keamanan nasional. Kali ini mereka menggunakan TNI-AD Kodam Diponegoro untuk menciptakan teror kepada Stan Ampera dan penduduk Desa Darmakradenan Kec.Ajibarang, Kab. Banyumas.
Benarkah Bahwa Lahan Tersebut Hak TNI-AD ?
Mari kita uraikan kronologis singkat sejarah penguasaan lahan di Desa Darmakradenan[2], untuk membuktikan apakah TNI-AD memiliki hak atas lahan tersebut. Pada tahun 1890-an. di era kolonial Belanda, pemerintah kolonial menerapkan pajak yang begitu tinggi kepada warga Darmakradenan. Pajak yang diberlakukan berupa pajak tanah sebesar 30sen per 7000m2. Pajak yang tinggi itu menyebabkan rakyat tidak mampu membayar pajak, karena bahkan pajak tersebut lebih besar daripada penghasilan rakyat itu sendiri. Akhirnya seorang pengusaha Belanda bernama Maryon memanfaatkan hal ini untuk menguasai tanah di sana melalui hak erfpacht[3], selama 75 tahun seluas 230,10 Ha pada 15 Juli 1892. Kemudian pada 1930-an perkebunan tersebut diserahkan pengelolaannya kepada Babah Thong Pho dalam naungan perusahaan Thing Pho & Co dan kemudian diserahkan lagi ke pihak lain bernama Tan Giok Kien.
Peristiwa pembunuhan massal dan teror 1965 yang diperintahkan oleh Soeharto menimbulkan Tan Giok Kien melarikan diri, karena SARBUPRI, organisasi buruh yang bekerja di perkebunannya “dibubarkan” oleh TNI. Kolonel Ngaspin dari Kodam Diponegoro memanfaatkan hal ini untuk melakukan pengamanan atas lahan tersebut.
Kemudian pada 1967, Yayasan Rumpun Diponegoro, suatu unit bisnis bentukan Kodam Diponegoro membentuk PT. Rumpun untuk mengoperasikan lahan di Darmakreadenan. Pada tahun 1980 PT. Rumpun berubah menjadi PT. Rumpun Antan. Sampai pada 1990 PT.Rumpun Antan bekerjasama dengan PT. Astro Agro Niaga dengan pembagian saham masing-masing 40% untuk PT. Rumpun Antan dan 60% untuk PT. Astro Niaga, dan mengubah nama menjadi PT. Rumpun Sari Antan. Adapun PT. Rumpun Sari Antan masih eksis sampai sekarang, dan memliki sertifikat HGU (Hak Guna Usaha) sebagai tanda bukti hak sampai tahun 2018.
Penelantaran Tanah
Berdasarkan SK Mendagri No. SK.16/HGU/DA/1971 jo SK Menteri Negara Agraria/Ka.BPN No.19/HGU/BON/94, PT.RSA diberi HGU untuk mengelola perkebunan tanaman kako seluas 227.65 Ha sampai 2018. Pemberian hak tersebut pada azasnya merupakan pemberian dari negara selaku pemegang hak menguasai dari negara, kepada orang/badan hukum untuk mengelola/memanfaatkan tanah. Akan tetapi dalam praktiknya, tanah tersebut justru ditelantarkan oleh PT. RSA. Ditelantarkan, artinya tidak dikelola sesuai dengan pemberian hak tersebut. Banyak pula ditemukan pohon kakao yang tidak dirawat, sehingga buah yang telah matang tidak kunjung dipanen sebagaimana mestinya. Dari 227,65 Ha sebagai area HGU, sekitar 110 Ha sudah tidak lagi produktif. Bahkan lebih dari 50 Kepala Keluarga telah menguasai area 110 Ha tersebut, dengan menggunakan sistem pertanian tumpang sari[4].
Dalam Pasal 17, Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah, diatur bahwa :
(1) Hak Guna Usaha hapus karena:
a. Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangannya;
b. Dibatalkan haknya oleh pejabat yang berwenang sebelum jangka waktunya berakhir karena :
1) Tidak terpenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, dan/atau pasal 14;
2) Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
c. Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
d. Dicabut berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961;
e. Ditelantarkan;
f. Tanahnya musnah;
g. Ketentuan Pasal 3 ayat (2)
Mengingat pada Pasal 17 huruf e, maka alasan “ditelantarkan” dapat menjadi alasan hapusnya HGU.
Pengembalian Tanah Kepada Rakyat Karena Berasal Dari Konversi Hak-Hak Barat
Dalam Pasal 4 Keppres No.32 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat, diatur bahwa :
“Tanah-tanah HGU asal konversi hak Barat yang sudah diduduki rakyat dan ditinjau dari sudut tata guna tanah dan keselamatan lingkunan hidup lebih tepat diperuntukkan untuk pemukiman atau kegiatan usaha pertanian, akan diberikan hak baru kepada rakyat yang mendudukinya.”
Berdasarkan kronologis tadi, kita mengetahui tadinya tanah tersebut merupakan tanah yang dikelola Firma Belanda yang kemudian beralih pada Thing Pho & Co melalui hak erfpacht. Adapun hak erfpacht itu sendiri merupakan hak barat yang diadasarkan pada Agrarische Wet Van de Waal 1970 atau UU Agrarianya Kolonial Belanda. Maka tanah sengketa di Darmakradenan adalah tanah HGU yang berasal dari konversi hak barat.
Seperti yang telah dijelaskan pula, bahwa tanah tersebut telah diduduki rakyat untuk dikelola guna kehidupan sehari-hari, dan beberapa ada yang dijadikan tempat tinggal. Atas dasar itulah, maka mengingat Pasal 4 Keppres No.32 Tahun 1979, maka rakyat atau warga Darmakradenan pada dasarnya memiliki hak untuk tinggal dan menggarap lahan.
Masih Bolehkah TNI Memanfaatkan Unit Bisnis?
Di era Orde Baru, TNI kerap memperoleh pendapatan melalui unit bisnis dalam bentuk Yayasan maupun Koperasi, ataupun yang bekerjasama dengan pihak ketiga. Tim Supervisi Transformasi Bisnis TNI dalam sidang kabinet terbatas pada Oktober 2007 pernah melaporkan nilai aset dari unit bisnis TNI. Dalam laporan tersebut, Jawa Tengah menempati posisi kedua tertinggi unit bisnis dalam bentuk koperasi, dengan aset senilai Rp. 53,31 miliar. Nilai aset tersebut belumlah nilai total, karena hanya sekitar 21,8% dari nilai aset yang ada[5].
Pada tahun 2004, pemerintah menerbitkan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Pasal 76 UU TNI tersebut menjelaskan bahwa “...Pemerintah harus mengambil alih seluruh aktivitas bisnis yang dimiliki dan dikelola oleh TNI baik secara langsung maupun tidak langsung.” Kemudian pada 2009, Pemerintah menerbitkan Perpres Nomor 43 Tahun 2009 tentang Pengambilalihan Aktivitas Bisnis TNI. Perpres tersebut bertujuan untuk mengambil alih aktivitas bisnis yang dimiliki dan dikelola oleh TNI, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam bentuk Koperasi, Yayasan, maupun yang bekerjasama dengan pihak ketiga. Pengambilalihan ini dilakukan untuk meneguhkan kembali TNI sebagai organisasi militer yang profesional, yang bersih dari politik dan bisnis.
Maka pemanfaatan PT.RSA sebagai pemasukan untuk keluarga Purnawirawan dan rehabilitasi kantor-kantor Koramil, sejatinya bertentangan dengan kedua peraturan tadi. TNI-AD sebagai aparat negara justru mengkhianati hukum yang dibentuk untuk mereka sendiri. Tindakan yang dilakukan TNI-AD Kodam IV Diponegoro kepada Stan Ampera sungguh tidak mencerminkan organisasi militer yang profesional. TNI-AD Kodam IV Diponegoro tidak memiliki hak untuk mengelola lahan di Darmakradenan, apalagi untuk mengintimidasi Stan Ampera. Tindakan mereka mencerminkan bahwa mereka merasa memiliki logika bertindak sendiri, semaunya sendiri, dan untuk kepentingan sendiri !
Ayo Berseru, Mari Bersatu, Rakyat Pasti Menang !
Kini adalah tugas kita sebagai sesama rakyat tertindas dan terhisap, untuk merespon peristiwa ini. Ini bukan lagi persoalan sektoral tani, ataupun warga Darmakradenan pada khususnya. Ini adalah persoalan seluruh rakyat tertindas, entah itu klas buruh, kaum tani, pemuda, mahasiswa, kaum miskin kota, para aktivis, entah itu laki-laki, maupun perempuan.
Sejarah telah membuktikan bahwa fasisme senantiasa menyebar teror ke seluruh penjuru. Orde baru Soeharto barangkali dapat dijadikan contoh bagaimana ia berkuasa begitu dominan dan hegemonik selama 32 tahun. Begitupun juga yang terjadi di berbagai belahan dunia, seperti Franco di Spanyol, Hitler di Jerman, Pinochet di Chili, Mussolini di Italia, maupun Batista di Kuba.
Sejarah pula lah yang membuktikan, bahwa hanya dengan persatuan dan solidaritas sesama rakyat tertindaslah yang mampu membendung teror fasisme. Fasisme itu laksana virus berbahaya yang melesat mengikuti angin berhembus. Ia harus dihentikan sesegera mungkin, atau akan menyebar dan memperbesar korban. Hal ini harus dicegah, karena bukan tidak mungkin fasisme akan masuk ke wilayah kita, dan segera merebut segalanya dari kita. Maka perlawanan seluruh rakyat tertindas adalah cara ampuh untuk menghentikan fasisme.
Maka dengan ini,
Front Mahasiswa Nasional Cabang Purwokerto dan Front Perjuangan Rakyat Banyumas:
1. Mengecam intimidasi yang dilakukan TNI-AD Kodam IV Diponegoro kepada Stan Ampera
2. Menuntut TNI-AD Kodam IV Diponegoro untuk menyingkir dari tanah Darmakradenan
3. Menyerukan kepada seluruh rakyat tertindas untuk mewaspadai, dan senantiasa mengkampanyekan tentang bahaya fasisme.
Jayalah Solidaritas Rakyat Tertindas!
Jayalah Perjuangan Massa!
Lawan Fasisme!
Ka. Pendidikan & Propaganda FMN Kolektif Cabang Purwokerto
P. M. Ahmad.
P. M. Ahmad.
[1]Berdasarkan kesaksian Darsum.
[2]Kronologi ini disadur berdasarkan Arsip Stan Ampera, Kronologi Kasus Sengketa Tanah Perkebunan Darmakradenan, yang sewaktu penelitiannya disusun menggunakan metode partisipatif.
[3]Berdasarkan UU No.5 Tahun 1960, hak ini sudah dikonversikan menjadi Hak Guna Usaha, yakni hak untuk mengelola perkebunan, pertanian, dan peternakan dengan luas hektar tertentu.
[4]Kesaksian ini disampaikan pada audiensi Stan Ampera yang tergabung bersama Front Perjuangan Rakyat Banyumas di hadapan Bupati, Wakil Bupati, beserta staf-stafnya, dan juga disaksikan para media lokal, dalam aksi Mayday 2014, di Pendopo si Panji Kabupaten Banyumas.
[5]http://www.setkab.go.id/artikel-4038-transformasi-bisnis-tni-dalam-menjalankan-amanat-uu-no-34-tahun-2004.html, diakses pada 24 Agustus 2014, pukul 20:03


Posting Komentar