| sumber : icarito.cl |
(Tulisan ini merupakan rangkuman materi Pendidikan Reforma Agraria dan Advokasi Konflik yang diselenggarakan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria, yang disampaikan oleh Iwan Nurdin (Sekjend KPA). Dimuat kembali di sini untuk tujuan pendidikan.)
Menurut FAO, tanah di Indonesia ialah salah satu tanah paling produktif di dunia. Hal tersebut merupakan sebuah bekal yang mengandung potensi untuk membangun negeri yang adil dan makmur. Meski begitu, potensi tersebut tidak diaktualisasikan dengan baik. Yang terjadi bukannya keselarasan pembangunan negeri, melainkan tarik menarik kepentingan yang melahirkan konflik (yang bersifat struktural antara rakyat melawan negara dan korporasi). Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dalam setahun terjadi 369 konflik agraria di Indonesia. Sejumlah 75 konflik diantaranya terjadi di Jawa Tengah dan DIY.
Sebagai negeri yang masih agraris, masyarakat Indonesia masih banyak yang menggantungkan hidupnya dari pengelolaan tanah alias bertani. Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) mengkategorikan ada macam-macam kaum tani, mulai dari : tani kaya, tani sedang, tani miskin, buruh tani, nelayan, dan masyarakat adat. Kaum tani ini jumlahnya masih mayoritas di Indonesia. Presentasi kaum tani di Indonesia ialah kurang lebih 60% dari seluruh masyarakat Indonesia. Jumlah yang mayoritas ini menunjukkan bahwa kaum tani merupakan angkatan produktif dalam membangun perekonomian negeri.
Meski begitu, kaum yang mayoritas ini justru tertindas dan terhisap oleh perampasan dan monopoli atas tanah di wilayahnya sendiri. Aktor yang menjadi pelaku perampasan dan monopoli atas tanah tersebut ialah tuan tanah. Menurut AGRA, ada 4 macam tipe tuan tanah, mulai dari : tuan tanah tradisional, tuan tanah swasta, tuan tanah sekaligus komprador (menjadi perantara bagi pemodal asing), dan negara sebagai tuan tanah. Seperti yang kita ketahui sejak bangku sekolah, monopoli atas produksi merupakan suatu hal yang menghambat bagi kemajuan ekonomi. Begitu pula dengan tuan tanah, yang melakukan monopoli atas tanah, yang menghambat kemajuan kaum tani sebagai angkatan produktif. Bahkan kaum tani kerap pula menjadi korban berdarah-darah atas kekerasan yang dilakukan negara, pemodal, dan tuan tanah.
Yang perlu dilakukan terhadap masifnya monopoli tanah dan masih eksisnya tuan tanah di Indonesia ialah Reforma Agraria (RA). Adapun RA itu sendiri ialah penataan kembali ketimpangan struktur penguasaan atas agraria (salah satu aspeknya ialah tanah). Dengan dilakukan RA secara benar, masifnya perampasan dan monopoli tanah dapat dihentikan. Sehingga angkatan produktif di Indonesia dapat berkesempatan untuk bersama membangun negeri, dan tentu saja mengembangkan diri.
Namun agenda RA itu sendiri justru tidak dijalankan dengan serius oleh negara. Hal ini menjadi sangat wajar karena negara itu sendiri saat ini ialah tuan tanah, yang tidak mungkin sudi melakukan RA, apalagi yang mengabdi pada rakyat. Adapun dampak dari kegagalan reforma agraria ialah :
- Masyarakat (terutama pemuda) berhenti bertani, yang akhirnya menjadi buruh migran dan buruh murah di kota, sementara;
- Upah buruh ditentukan UMR, sedangkan;
- UMR berlandaskan KHL, yang salah satunyanya pangan, adapun;
- Pangan diproduksi oleh kaum tani, yang ternyata;
- Tanah kaum tani dirampas, mengalami kesulitan dalam perolehan akses sarana produksi pertanian, dan mendapat hasil produksi yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup tani dan keluarganya, atau dapat dikatakan pekerjaan tani tidaklah layak, sehingga;
- Pemuda menjadi buruh mudah, dan seterusnya.
Masifnya perampasan dan monopoli tanah, dan masih eksisnya tuan tanah di Indonesia, juga ditopang oleh investasi asing. Adapun investasi asing inilah yang menjadi pedoman perekonomian pemerintah. Investasi Asing butuh upah murah, aturan longgar, dan tanah. Sehingga perampasan dan monopoli tanah, yang dikondisikan oleh tuan tanah, merupakan suatu hal yang suatu yang tidak terhindarkan dalam agenda investasi asing. Negara selalu berdailh bahwa melalui investasi asing inilah, pembangunan ekonomi dapat berjalan, dan rakyat menjadi sejahtera. Padahal RA bukan hanya tentang kesejahteraan, melainkan juga keadilan sosial.
Gerakan Reforma Agraria dan Desa Maju Reforma Agraria
Hampir setiap gerakan tani bermula dari sebuah konflik agraria. Persatuan dibentuk dengan alasan sesama korban konflik. Sehingga ketika konfliknya selesai, organisasinya pun bubar. Persatuan yang lemah, ditambah lagi dengan watak organisasi tani yang belum modern. Organisasi tani masih banyak yang bersifat lokalistik dan tradisional. Lokalistik, artinya hanya berfokus pada problem warganya sendiri saja, tidak membangun jaringan luas terhadap organisasi lain. Dan tradisional, artinya belum menggunakan prinsip-prinsip organisasi dengan benar, seperti masih berpatron pada figur, dan belum ada disiplin organisasi. Gerakan tani tidak akan pernah maju jika polanya terus menerus seperti ini, apalagi untuk mampu melakukan reforma agraria.
Padahal perspektif yang harus dibangun ialah reforma agraria. Gerakan yang dibangun haruslah gerakan yang mencetak watak pejuang. Gerakan RA bukanlah gerakan untuk menyelesaikan konflik belaka. Gerakan RA juga bukan hanya slogan melulu merebut tanah untuk rakyat. Ia adalah sebuah agenda demokratis dan nasional, merebut dan membangun teritorial desa-desa. Gerakan RA perlu membangun Damara, alias Desa Maju Reforma Agraria.
Jalan menuju Damara :
1. Penguatan Organisasi dan Kesadaran Politik Kaum Tani
Peningkatan kesadaran politik dan penguatan organisasi harus menjadi prioritas dalam agenda Damara. Karena Damara hanya bisa dilakukan hanya dengan melikuidasi klas pemodal dan tuan tanah besar yang selama ini melakukan monopoli atas tanah. Pemenuhan kebutuhan sosial-ekonomi ialah penting, akan tetapi melindungi dan memastikan agar masyarakat bisa melakukan pemenuhan kebutuhan sosial-ekonomi juga tak kalah pentingnya.
2. Pendudukan Lahan.
Gerakan RA tidak bisa dilakukan dengan jalur birokratis dan legal, melainkan harus dengan pendudukan lahan. Jika dilakukan secara birokratis, yang terjadi ialah sama saja memberi harapan palsu. Jika dilakukan secara legal, yang terjadi ialah berliku-liku dan berlapis-lapis mengenai hak atas tanah.
3. Kolektifisasi Produksi, Secara Bertahap
Pengelolaan atas lahan hasil pendudukan pun tentu tidak bisa dilakukan secara petak-petak individual. Tapi harus berserikat, dengan pengelolaan kolektif. Ini untuk menghindari waktu produktif yang terbuang. Sehingga, waktu yang tersisa bisa digunakan untuk produksi penunjang pertanian seperti pupuk, obat, ternak, dan sebagainya. Kolektifisasi ini pun tidak bisa dilakukan seketika. Namun harus pelan-pelan, sabar, dan dimulai dari kecil menjadi besar. Jika belum siap kolektifisasi lahan besar-besaran, maka dapat dilakukan kolektifisasi lahan kecil-kecilan. Jika belum siap kolektifisasi lahan, bisa dilakukan kolektifisasi kerja produksi pupuk organik, atau pembuatan bibit, dan sebagainya.
4. Mengkoneksikan Antar Sektor Gerakan Rakyat
Gerakan RA bukan hanya menyoal “Solidaritas”, tapi lebih dari itu. RA ialah agenda seluruh rakyat. Sehingga yang dibangun ialah sebuah modernisasi agraria, yang berbasis ekonomi kerakyatan, yakni ekonomi yang besar, demokratis, dan mengabdi pada rakyat. Beberapa kaum intelek kini kerap menyalahartikan ekonomi kerakyatan. Mereka mengartikan ekonomi kerakyatan ialah kegiatan ekonomi yang kecil dan menengah. Kegiatan ekonomi jenis ini tidak akan pernah mampu melawan dominasi ekonomi asing yang besar dan modern, sehingga selalu tertindas dan terhisap. Perkebunan sawit kolektif rakyat, misalnya. Setelah mampu diolah menjadi bahan bakar, hasil produksinya jangan dijual ke pasar bebas, yang entah kemana perginya nanti. Hasil produksi akan lebih bermanfaat jika dijual ke serikat nelayan, misalnya. Serikat tani kopi, misalnya. Hasil produksi yang diolah bisa didistribusikan ke koperasi konsumsi, ketimbang dijual ke bandar tengkulak yang harganya spekulatif.
Penutup
Salah satu jalan keluar bagi rakyat Indonesia, yang dalam hal ini dimayoritasi oleh kaum tani ialah reforma agraria. Bahkan pembangunan negeri pun hanya mungkin dilakukan dengan dilakukan reforma agraria. Adapun reforma agraria hanya dapat terjadi dengan peran aktif rakyat itu sendiri, yakni dengan membangun gerakan reforma agraria. Strategi yang dilakukan bukanlah bersifat birokratis dan kelegal-legalan, melainkan melalui strategi Damara, Desa Maju Reforma Agraria. Tiada demokrasi, tanpa reforma agraria sejati.
Sebagai negeri yang masih agraris, masyarakat Indonesia masih banyak yang menggantungkan hidupnya dari pengelolaan tanah alias bertani. Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) mengkategorikan ada macam-macam kaum tani, mulai dari : tani kaya, tani sedang, tani miskin, buruh tani, nelayan, dan masyarakat adat. Kaum tani ini jumlahnya masih mayoritas di Indonesia. Presentasi kaum tani di Indonesia ialah kurang lebih 60% dari seluruh masyarakat Indonesia. Jumlah yang mayoritas ini menunjukkan bahwa kaum tani merupakan angkatan produktif dalam membangun perekonomian negeri.
Meski begitu, kaum yang mayoritas ini justru tertindas dan terhisap oleh perampasan dan monopoli atas tanah di wilayahnya sendiri. Aktor yang menjadi pelaku perampasan dan monopoli atas tanah tersebut ialah tuan tanah. Menurut AGRA, ada 4 macam tipe tuan tanah, mulai dari : tuan tanah tradisional, tuan tanah swasta, tuan tanah sekaligus komprador (menjadi perantara bagi pemodal asing), dan negara sebagai tuan tanah. Seperti yang kita ketahui sejak bangku sekolah, monopoli atas produksi merupakan suatu hal yang menghambat bagi kemajuan ekonomi. Begitu pula dengan tuan tanah, yang melakukan monopoli atas tanah, yang menghambat kemajuan kaum tani sebagai angkatan produktif. Bahkan kaum tani kerap pula menjadi korban berdarah-darah atas kekerasan yang dilakukan negara, pemodal, dan tuan tanah.
Yang perlu dilakukan terhadap masifnya monopoli tanah dan masih eksisnya tuan tanah di Indonesia ialah Reforma Agraria (RA). Adapun RA itu sendiri ialah penataan kembali ketimpangan struktur penguasaan atas agraria (salah satu aspeknya ialah tanah). Dengan dilakukan RA secara benar, masifnya perampasan dan monopoli tanah dapat dihentikan. Sehingga angkatan produktif di Indonesia dapat berkesempatan untuk bersama membangun negeri, dan tentu saja mengembangkan diri.
Namun agenda RA itu sendiri justru tidak dijalankan dengan serius oleh negara. Hal ini menjadi sangat wajar karena negara itu sendiri saat ini ialah tuan tanah, yang tidak mungkin sudi melakukan RA, apalagi yang mengabdi pada rakyat. Adapun dampak dari kegagalan reforma agraria ialah :
- Masyarakat (terutama pemuda) berhenti bertani, yang akhirnya menjadi buruh migran dan buruh murah di kota, sementara;
- Upah buruh ditentukan UMR, sedangkan;
- UMR berlandaskan KHL, yang salah satunyanya pangan, adapun;
- Pangan diproduksi oleh kaum tani, yang ternyata;
- Tanah kaum tani dirampas, mengalami kesulitan dalam perolehan akses sarana produksi pertanian, dan mendapat hasil produksi yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup tani dan keluarganya, atau dapat dikatakan pekerjaan tani tidaklah layak, sehingga;
- Pemuda menjadi buruh mudah, dan seterusnya.
Masifnya perampasan dan monopoli tanah, dan masih eksisnya tuan tanah di Indonesia, juga ditopang oleh investasi asing. Adapun investasi asing inilah yang menjadi pedoman perekonomian pemerintah. Investasi Asing butuh upah murah, aturan longgar, dan tanah. Sehingga perampasan dan monopoli tanah, yang dikondisikan oleh tuan tanah, merupakan suatu hal yang suatu yang tidak terhindarkan dalam agenda investasi asing. Negara selalu berdailh bahwa melalui investasi asing inilah, pembangunan ekonomi dapat berjalan, dan rakyat menjadi sejahtera. Padahal RA bukan hanya tentang kesejahteraan, melainkan juga keadilan sosial.
Gerakan Reforma Agraria dan Desa Maju Reforma Agraria
Hampir setiap gerakan tani bermula dari sebuah konflik agraria. Persatuan dibentuk dengan alasan sesama korban konflik. Sehingga ketika konfliknya selesai, organisasinya pun bubar. Persatuan yang lemah, ditambah lagi dengan watak organisasi tani yang belum modern. Organisasi tani masih banyak yang bersifat lokalistik dan tradisional. Lokalistik, artinya hanya berfokus pada problem warganya sendiri saja, tidak membangun jaringan luas terhadap organisasi lain. Dan tradisional, artinya belum menggunakan prinsip-prinsip organisasi dengan benar, seperti masih berpatron pada figur, dan belum ada disiplin organisasi. Gerakan tani tidak akan pernah maju jika polanya terus menerus seperti ini, apalagi untuk mampu melakukan reforma agraria.
Padahal perspektif yang harus dibangun ialah reforma agraria. Gerakan yang dibangun haruslah gerakan yang mencetak watak pejuang. Gerakan RA bukanlah gerakan untuk menyelesaikan konflik belaka. Gerakan RA juga bukan hanya slogan melulu merebut tanah untuk rakyat. Ia adalah sebuah agenda demokratis dan nasional, merebut dan membangun teritorial desa-desa. Gerakan RA perlu membangun Damara, alias Desa Maju Reforma Agraria.
Jalan menuju Damara :
1. Penguatan Organisasi dan Kesadaran Politik Kaum Tani
Peningkatan kesadaran politik dan penguatan organisasi harus menjadi prioritas dalam agenda Damara. Karena Damara hanya bisa dilakukan hanya dengan melikuidasi klas pemodal dan tuan tanah besar yang selama ini melakukan monopoli atas tanah. Pemenuhan kebutuhan sosial-ekonomi ialah penting, akan tetapi melindungi dan memastikan agar masyarakat bisa melakukan pemenuhan kebutuhan sosial-ekonomi juga tak kalah pentingnya.
2. Pendudukan Lahan.
Gerakan RA tidak bisa dilakukan dengan jalur birokratis dan legal, melainkan harus dengan pendudukan lahan. Jika dilakukan secara birokratis, yang terjadi ialah sama saja memberi harapan palsu. Jika dilakukan secara legal, yang terjadi ialah berliku-liku dan berlapis-lapis mengenai hak atas tanah.
3. Kolektifisasi Produksi, Secara Bertahap
Pengelolaan atas lahan hasil pendudukan pun tentu tidak bisa dilakukan secara petak-petak individual. Tapi harus berserikat, dengan pengelolaan kolektif. Ini untuk menghindari waktu produktif yang terbuang. Sehingga, waktu yang tersisa bisa digunakan untuk produksi penunjang pertanian seperti pupuk, obat, ternak, dan sebagainya. Kolektifisasi ini pun tidak bisa dilakukan seketika. Namun harus pelan-pelan, sabar, dan dimulai dari kecil menjadi besar. Jika belum siap kolektifisasi lahan besar-besaran, maka dapat dilakukan kolektifisasi lahan kecil-kecilan. Jika belum siap kolektifisasi lahan, bisa dilakukan kolektifisasi kerja produksi pupuk organik, atau pembuatan bibit, dan sebagainya.
4. Mengkoneksikan Antar Sektor Gerakan Rakyat
Gerakan RA bukan hanya menyoal “Solidaritas”, tapi lebih dari itu. RA ialah agenda seluruh rakyat. Sehingga yang dibangun ialah sebuah modernisasi agraria, yang berbasis ekonomi kerakyatan, yakni ekonomi yang besar, demokratis, dan mengabdi pada rakyat. Beberapa kaum intelek kini kerap menyalahartikan ekonomi kerakyatan. Mereka mengartikan ekonomi kerakyatan ialah kegiatan ekonomi yang kecil dan menengah. Kegiatan ekonomi jenis ini tidak akan pernah mampu melawan dominasi ekonomi asing yang besar dan modern, sehingga selalu tertindas dan terhisap. Perkebunan sawit kolektif rakyat, misalnya. Setelah mampu diolah menjadi bahan bakar, hasil produksinya jangan dijual ke pasar bebas, yang entah kemana perginya nanti. Hasil produksi akan lebih bermanfaat jika dijual ke serikat nelayan, misalnya. Serikat tani kopi, misalnya. Hasil produksi yang diolah bisa didistribusikan ke koperasi konsumsi, ketimbang dijual ke bandar tengkulak yang harganya spekulatif.
Penutup
Salah satu jalan keluar bagi rakyat Indonesia, yang dalam hal ini dimayoritasi oleh kaum tani ialah reforma agraria. Bahkan pembangunan negeri pun hanya mungkin dilakukan dengan dilakukan reforma agraria. Adapun reforma agraria hanya dapat terjadi dengan peran aktif rakyat itu sendiri, yakni dengan membangun gerakan reforma agraria. Strategi yang dilakukan bukanlah bersifat birokratis dan kelegal-legalan, melainkan melalui strategi Damara, Desa Maju Reforma Agraria. Tiada demokrasi, tanpa reforma agraria sejati.
Penyunting : Panji Mulkillah
Posting Komentar