Oleh
: Biko Nabih Fikri Zufar
(Anggota
FMN Unsoed & Mahasiswa Sosiologi 2013)
World
Trade Organization (WTO) merupakan sebuah organisasi perdagangan
internasional. Sebagai organisasi perdagangan, WTO mengurusi berbagai macam
bentuk perjanjian-perjanjian perdagangan internasional. Hakikatnya WTO merupakan
perpanjangan tangan para Imprealis guna melancarkan kepentingan-kepentingannya dan
juga membentuk berbagai macam perjanjian. Bentuk perjanjiannya antara lain adalah
AOA (Agreement of Agriculture) dan
GATS (General Agreement of Trade in
Serivice).
AOA adalah perjanjian yang
mengatur mengenai sektor agraria. Krisis imprealisme dalam sektor finansial
membuat imprealisme mengalihkan pandangannya kepada sektor agraria, khususnya pangan.
Sektor ini menjadi penting karena dalam agararia terdapat semua unsur kehidupan
manusia. Dalam hal ini, imperialisme melihat keuntungan yang besar apabila
sektor agraria dapat diliberalisasikan.
AOA memiliki tiga
komitmen dasar yaitu perluasan akses pasar, pengurangan subsidi domestik, serta
pengurangan subsidi impor. Tiga komitmen dasar tersebut ditambah dengan satu
perjanjian perlakuan khusus (palsu) bagi negara berkembang. Adapun program-program
yang dijalankan dalam AOA yakni salah satunya adalah penurunan tarif.
Penurunan tarif ini
merupakan skema, dimana produk impor akan masuk dan tidak dikenakan bea masuk.
Artinya jika ini diterapkan maka produk dalam negeri akan hancur dan petani
akan terancam. Jadi negosasi AOA ditujukan untuk meningkatkanan volume
perdagangan dunia atas produk pertanian dan mengurangi bahkan menghilangkan
segala hal yang menjadi penghalang di negara-negara anggota. Sebagai contoh
saja kasus tentang kedelai diamana petani kedelai dalam negeri dirugikan dengan
produk impor yang tentu saja lebih murah.
Pada sisi lain, AOA
juga mensyaratkan akan adanya investasi yang besar dalam sektor agraria. AOA
sejatinya adalah alat dari imperialisme untuk memutar modal mereka, maka
negara-negara dengan sumber daya agraria yang besar menjadi target
eksploitasinya, salah satunya adalah Indonesia. Di Indonesia, untuk memenuhi
investasi pada sektor agraria pemerintah
membuka lahan sebesar-besarnya untuk kepentingan investasi imperialisme.
Guru besar Universitas
Gajah Mada (UGM) Prof Dr Pratikno mengatakan hingga saat ini aset Indonesia
sekitar 70-80% telah dikuasi bangsa asing. Manifestasi dari kebijakan investasi
di sektor agraria salah satunya adalah mega proyek MIFEE (Merauke Intergrated Food and Energy Estate). MIFEE adalah mega
proyek untuk pembangunan industri agraria, khususnya padi, kedelai, dan sawit.
Proyek ini merampas tanah petani dan rakyat lainya Merauke seluas 2.823.000
hektar. Dalam proyek ini pemerintah menandatangani banyak kesepakatan kerjasama
oleh para investor, salah satu yang paling besar adalah Bin Laden Group dari
Arab Saudi. Bin Laden Group memiliki hak atas tanah seluas 500.000 herktar
untuk dibangun industri padi sintetis.
MIFEE secara langsung
telah merampas hak-hak masyarakat adat salah satunya yakni Suku Malind. Suku
Malind kehilangan lahan berburunya karena lahan yang berubah fungsi, selain itu
anak-anak di suku Malind terancam kelaparan dan gizi buruk, menurut data Forest
People Programme menyebutkan lima balita meninggal di suku tersebut karena
kelaparan. Tidak hanya adanya kelaparan yang terjadi tetapi juga konflik tanah
dan pemiskinan secara terstruktur oleh adanya kebijakan dari AOA, WTO. Lantas
apakah libralisasi akan menyejahterakan rakyat?
GATS
(General Agreement of Trade in Service)
Ketika berbicara liberalisme, maka pembukaan pasar selebar-lebarnya
untuk perdagangan bebas merupakan sebuah
konsekuensi logis. Pada sisi lain, liberalisasi berbagai sektor publik juga
merupakan keniscayaan dari liberalisme. Salah satu bentuk nyata liberalisasi
adalah General Agreement of Trade in
Service (GATS).
GATS merupakan perjanjian kesepakatan perdagangan
internasional yang dinaungi oleh WTO yang difokuskan untuk semua sektor jasa.
GATS mulai dijalankan Januari 1995, implikasi dari kesepakatan ini setiap
negara anggota wajib membuka sektor-sektor domestiknya untuk diliberalisasikan.
Transaksi perdagangan jasa sedikit lebih sulit dilaksanakan, karena jasa
merupakan produk yang abstrak.
GATS mengatur 12 sektor sektor jasa yaitu, jasa komunikasi,
jasa pendidikan, jasa lingkungan, jasa keuangan (perbankan, asuransi, dll), jasa
wisata dan perjalanan, jasa kesehatan sosial, jasa budaya, jasa olahraga, jasa distribusi,
jasa bisnis (jasa profesional dan jasa komputer), jasa transportasi, jasa konstruksi.
Prinsip GATS sejatinya hampir sama dengan prinsip WTO itu sendiri yaitu: negara-negara
anggota harus menurunkan/bahkan menghilangkan hambatan dalam jasa antar negara,
yakni:
- Consumption Abroad atau bisa disebut juga konsumsi luar negeri. Ini terjadi apabila seorang pergi menjadi konsumen di negara lain.
- Cross Border Suply atau pasokan lintas negara. Ini terjadi apabila seseorang menjadi konsumen jasa di negara lain, tanpa perlu pergi ke negara tersebut.
- Komersiil perusahaan jasa asing yang masuk ke dalam negeri.
- Movement of natural person atau pergerakan manusia, atau pertukaran tenaga kerja jasa antar nergara.
GATS sendiri
menggunakan skema request and offer. Yang dapat diartikan jika request berarti meminta negara lain
membuka sektor jasa didalam negerinya. Jika offer,
apabila suatu negara menawarkan membuka sektor jasa ke negara lain. Request dan offer dilakukan oleh sekelompok negara pada sektor jasa kepada
sekolompok negara lainnya sejak Konferensi Tingkat Menteri (KTM) Hongkong pada
tahun 2005.
Setelah diberlakukannya
GATS maka posisi pengguna jasa dan penyedia jasa menjadi konsumen dan penyedia
jasa. Hal ini kemudian menjadikan jasa sebagai salah satu komoditi perdagangan yang bertujuan mendapatkan profit. Kita ambil
contoh kasus yang terjadi di Indonesia khususnya sektor pendidikan. Dengan
diberlakukannya WTO di bidang jasa khususnya pendidikan maka pemerintah
meliberalisasikan sektor jasa pada bidang pendidikan.
Undang Undang Dasar
(UUD) secara tegas menunjukan bahwa Indonesia dibentuk salah satunya untuk
mencerdaskan rakyatnya. Artinya pendidikan berhak diakses oleh warga negara
tanpa ada batasan mulai dari Sekolah Dasar hingga Pendidikan Tinggi. Selain itu
juga mandat alokasi 20% untuk pendidikan diluar gaji guru dan dosen. Badan
Pusat Statistik (BPS) menyebutkan angka partisipasi sekolah Indonesia naik tiap
tahun (usia 19-24 misalnya, tahun 2011 sebesar 14,26% naik menjadi 15,84% tahun
2012 ), disandingkan dengan 70% tenaga kerja Indonesia yang hanya lulusan
kurang dari/setara dengan SMP. Jika dilihat data tersebut pemerintah secara
langsung telah membatasi akses terhadap rakyatnya sendiri.
Pada konteks pendidikan
tinggi, hal ini tercermin dari kebijakan yang terdapat pada kebijakan
Undang-undang Pendidikan Tinggi (UU PT). Kebijakan ini tentu saja semakin
memperburuk pemuda untuk memperoleh pendidikan. Salah satunya adalah
universitas yang sebelumnya di luar akan hadir di Indonesia yang pasti akan
membuat universitas dalam negeri bersaing dan terancam gulung tikar.
UU PT berimplikasi pada
biaya pendidikan, dalam konteks Unsoed biaya pendidikan ini termanifestasikan
dalam bentuk UKT. Pada penerapannya UKT tidak menyesuaikan penghasilan
masyarakat banyumas itu sendiri, yang hanya sekitar Rp 875.000,- menjadi 2,4
juta per semester untuk jurusan sosilogi Unsoed. Hal ini semakin mempertergas sulitnya
akses bagi masyarakat indonesia untuk mengakses pendidikan tinggi khususnya
masyarakat Banyumas.
Kasus mega proyek MIFEE
di sektor agraria dan lahirnya UU PT untuk pendidikan tinggi di Indonesia,
membuktikan bahwa WTO melalui skema liberalisasi perdagangannya telah menjamah
di negeri ini. WTO berhasil menjadikan Indonesia wilayah ekspansi pasarnya, tentunya
melalui bantuan dari pemerintah boneka di bawah pimpinan SBY-Boediono. Skema
WTO ini telah berhasil menjadikan rakyat sebagai korbannya, kaum tani dirampas
tanahnya dan pemuda mahasiswa tertutup aksesnya atas pendidikan. Jadi, hanya
satu jalan untuk mengembalikan kedaulatan rakyat, yaitu BUBARKAN WTO!!!

Posting Komentar