WTO-GATS : Liberalisasi Sektor Pendidikan
Paradigma pembangunan yang berorientasi pasar telah memperluas pasar komoditas menjadi pasar sumberdaya alam. Menyebabkan over produksi dan persaingan yang tidak sehat: antar negara, antar sektor, bahkan antar komoditas. Pada tahap inilah, peran negara semakin lemah. Sedang perusahaan multinasional dan perbankan kian dominan dalam mengendalikan semua sendi-sendi kehidupan manusia. Fenomena inilah yang kemudian disebut dengan era imperialisme (1). Salah satu produk dari imperialisme adalah organisasi kartel perdagangan dunia atau WTO.
World Trade Organization (WTO) telah dilembagakan sejak tanggal 1 Januari 1995, sebagai pengganti -bentuk baru- dari perjanjian umum tentang tarif dan perdagangan (General agreement and Tariffs and Trade,-GATT) 1948-1994. Pada paruh pertama dekade 90an, WTO sebagai organisasi perdagangan dunia muncul dengan tawaran meningkatkan kualitas pembangunan melalui pengaturan sistem perdagangan global—selanjutnya disebut perdagangan bebas multilateral. Yang terjadi justru sebaliknya!
Saat ini, WTO telah tersebar hingga 159 negara anggota dalam kurun waktu kurang dari 2-dekade sejak awal pembentukannya. Kali ini, menjelang usia ke 19 tahun, WTO akan menyelenggarakan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-9 di Bali, Indonesia dengan tekad untuk memperkuat perjanjian-perjanjian lama dan menetapkan sejumlah kesepakatan-kesepakatan baru setelah mengalami kebuntuan pada putaran Doha, tahun 2001. Perjanjian-perjanjian yang dikeluarkan oleh WTO bukan hanya perdagangan sektor barang, atau komoditi riil, namun juga meliputi sektor jasa. Jasa menjadi fokusan selanjutnya WTO melalui General Agreement on Trade in Service (GATS). Salah satu fokus dari GATS adalah sektor pendidikan di setiap negara anggota. Target dari GATS dalam sektor pendidikan adalah liberalisasi pendidikan.
Masuknya sektor pendidikan dalam program jual-beli ala imperialisme ini bukan tanpa tujuan. Tujuannya adalah mendapat untung besar dari penjualan jasa pendidikan. Salah satu bukti keuntungan adanya liberalisasi perdagangan jasa khususnya di sektor pendidikan, yakni profit yang dihasilkan oleh AS pada tahun 2000 pasca GATS di tanda tangani mencapai $14 milyar pada tahun kurun 2000-2001 atau Rp 126 trilyun (kurs rupiah per dolarnya Rp 9500). Di Inggris pendapatan dari ekspor jasa pendidikan mencapai sekitar 4 persen dari penerimaan sektor jasa negaranya. Sementara, ekspor jasa pendidikan dan pelatihan Australia telah menghasilkan AUS $ 1,2 milyar pada 1993 (3). Fakta tersebut dapat menjelaskan mengapa tiga negara imperialis tersebut berjuang keras meliberalisasi sektor jasa pendidikan melalui WTO.
Implementasi dari kesepakatan tersebut dapat dilihat dari kebijakan yang telah diberlakukan oleh pemerintah diberbagai negeri. Di Amerika Serikat (AS), Presiden University of California Berkeley AS mengeluarkan kebijakan menaikan biaya pendidikan sebesar 8%. Akibatnya, biaya pendidikan bagi mahasiswa di California melambung sebesar $ 822, dan biaya untuk sarjana sebesar $ 11,124 pada tahun akademik 2011-2012. Kenaikan ini sebagai bagian dari rencana peningkatan biaya $ 180 juta per tahun untuk sistem kampus-10 UC. Di London-Inggris, pemerintah telah menaikkan biaya pendidikan hingga tiga kali lipat, akibatnya biaya kuliah naik menjadi 9.000 pound (14.300 USD), dan memotong tunjangan pemeliharaan pendidikan dan anggaran pengajaran universitas sampai 80%. Karenanya, setiap mahasiswa di London terbebani utang sebesar 60.000 pound untuk tingkat sarjana muda. Sementara di Prancis, pemerintah menaikkan biaya kuliah hingga USD1.625 atau setara dengan Rp14,9 juta (Rp9,183 per USD) selama lima tahun mendatang.
Liberalisasi dan Komersialisasi Pendidikan di Indonesia
WTO menetapkan pendidikan sebagai salah satu industri sektor tersier, karena kegiatan pokoknya adalah mentransformasi orang yang tidak berpengetahuan dan orang yang tidak mempunyai keterampilan menjadi orang yang berpengetahuan dan mempunyai keterampilan (human services)(4).
Dalam hal ini, pemerintah diharuskan untuk menyusun penyelenggaraan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Hal ini senada dengan pernyataan Mantan Rektor UGM yakni Sofyan Efendi :
“Melalui penandatangan GATS tersebut sebenarnya Pemerintah Indonesia telah menggeser pandangan tentang penyelenggaraan pendidikan dari suatu kegiatan yang sepenuhnya merupakan tanggungjawab pemerintah menunju kepada tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat sebagaimana tercantum dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas.(5)”
Hal ini dikarenakan Indonesia secara spesifik pada pertemuan WTO di Hongkong telah memasukkan lagi sektor jasa pendidikan dan menawarkan (intial offer) liberalisasi jasa-jasa pendidikan sebagai berikut: (1) jasa pendidikan menengah teknikal dan vokasional; (2) jasa pendidikan tinggi teknikal dan vokasional; (3) jasa pendidikan tinggi; (4) jasa pelatihan dan kursus bahasa; (5) jasa pendidkan dan pelatihan sepakbola dan catur.
Sedangkan di Indonesia, manifestasi dari liberalisasi pendidikan tercermin dari lahirnya bermacam peraturan. Secara khusus di pendidikan tinggi, kebijakan privatisasi melalui Peraturan Pemerintah tentang pendidikan tinggi berbadan hukum (PT-BHMN) telah menyebabkan melambungnya biaya pendidikan tinggi secara drastis dan terus meningkat hingga 50% pertahun. Kemudian lahir Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) tahun 2009 yang kemudian dicabut oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2010. Dapak dari peralihan status perguruan tinggi menjadi BHMN adalah meningkatnya biaya kuliah. Di UI, BOP (biaya kuliah tiap smester) pada tahun 2005 sebesar Rp 1.225.000 (Ilmu Sosial)-Rp 1.475.000 (Ilmu Eksakta) dan ditahun 2012 melonjak menjadi Rp 5.000.000-Rp 7.500.000. Disimpulkan bahwa biaya kuliah di UI dari 2005-2012 meningkat lebih dari 400% (6).
Dicabutnya UU BHP, tidak serta merta menghentikan laju privatisasi, komersialisasi dan liberalisasi pendidikan di Indonesia. Faktanya tanggal 13 Juli 2012, pemerintah telah menge-Sahkan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (UU PT). Keberadaan UU PT ini juga yang melahirkan sebuah sistem pembayaran baru dalam mengakses pendidikan tinggi, yaitu Uang Kuliah Tunggal (UKT). UKT adalah sebuah sistem pembayaran seluruh perguruan tinggi negeri dimulai pada tahun 2013. UKT adalah satuan biaya pendidikan yang menggabungkan antara spp dan biaya tetek-bengek lainnya yang nominalnya dibayar tetap tiap smester. UKT dimaksudkan untuk memusatkan seluruh pembayaran biaya kuliah, maksud ini bertujuan untuk meminimalisir pungli dan akan mampu menekan biaya kuliah menjadi lebih murah (katanya).
Di Universitas Brawijaya (Unibraw) misalnya, penerapan UKT disana menunjukan angka Rp 5.270.000-Rp 19.300.000 (per Semester). Sedangkan di Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) UKT yang diberlakukan untuk tahun 2012 adalah Rp 2.400.000-Rp 15.000.000. Hal ini tentunya berbanding terbalik dengan pendapatan rata-rata masyarakat. Segi keterjangkauan ini dapat terlihat dari pendapatan masyarakat di wilayah kerja Universitas Jenderal Soedirman, dimana rata-rata pendapatan masyarakat wilayah kerja Universitas Jenderal Soedirman (meliputi Kab. Banyumas, Kab. Cilacap, Kab. Purbalingga, Kab. Banjarnegara, Kab. Tegal, Kab. Kebumen, Kab. Wonosobo, Kab. Pemalang, Kab. Brebes, Kab. Magelang, dan Kab. Purworejo). Di Kabupaten Banyumas, misalnya, tahun 2012 besarnya UMK ditetapkan sebesar Rp 795.000 (7).
Dengan penghisapan dan berbagai kerusakan yang telah diciptakan Imperialisme dibalik WTO dan berbagai skema lainnya selama ini, tentu sangat mendesak bagi rakyat diseluruh dunia untuk mengkaji kembali keberadaan WTO, guna membongkar seluruh skema penghisapannya terhadap rakyat. Jika WTO telah digunakan sebagai salah satu ruang konsolidasi bagi Imperialisme untuk melakukan penguasaan pasar secara brutal (tidak adil) dan untuk memperkuat Intervensinya diberbagai negeri, maka ruang ini pula telah menjadi media yang objektif bagi rakyat untuk menyatukan diri dan terus melakukan konsolidasi-konsolidasi, melawan setiap kebijakan liberal Imperialisme yang telah menindas rakyat.
BUBARKAN WTO !!!

Keren Kamerads, terus melawan!
BalasHapus