Hirmaski Idriharto[1]
(Sosiologi 2008)
| suasana diskusi di LPPLSH |
Land grabbing yang kemudian disebut perampasan tanah, merupakan kasus pertanahan yang telah lama terjadi di Indonesia. Praktik perampasan tanah ini terjadi semenjak masa kerajaan hingga kini. Perampasan tanah yang dialami oleh rakyat dilakukan oleh imperialis, kapitalis birokrat, dan tuan tanah. Relasi kuasa ini yang bersiap untuk menghabisi seluruh wilayah Indonesia melalui program program seperti MP3EI. Rezim penguasa sengaja menyajikan Indonesia sebagai “makanan empuk” bagi para kapitalis baik internasional maupun nasional.
Program –program reforma agraria yang dilakukan oleh pemerintah maupun Multinational Corporation’s (MNC’s) hingga saat ini masih menemui jalan buntu. Undang-undang No.5 Tahun 1960 Tentang Pokok Agraria (UU PA) yang pada masanya merupakan satu produk hukum yang bisa dikatakan revolusioner, kini telah mandul seiring terjadinya revisi terhadapnya. Konflik-konflik agraria yang terjadi dari Sabang sampai Merauke juga hingga kini belum menemui titik terang. Terdapat ratusan konflik yang terdapat di Indonesia yakni konflik antara masyarakat dengan pemerintah, konflik masyarakat dengan militer, masyarakat dengan investor. Konflik tersebut bahkan bisa lebih layaknya gunung es.
Hal ini diperparah dengan semakin banyak bermunculannya konsepsi tentang reforma agraria ataupun tentang landreform. Menurut Gunawan Wiradi konsepsi ini lahir dari sudut pandang Kapitalis, Komunis, dan Populis. Masing-masing memiliki karakteristik dari pembagian sudut pandang.
Ketiga sudut pandang tersebut memiliki pola yang berbeda-beda dan karakeristik, pertama kapitalisme dengan sistem kepemilikan lewat sertivikasi yang berorientasi usaha. Kedua , komunisme dengan negara sebagai penguasaan akan tanah. Ketiga Populis yang alternatif dari perjuangan agrarian yang hingga kini menjadi alat perjuangan kawan-kawan aktivis.Namun dari pembagian paradigma tersebut belum mencapai sebuah konklusi yang tepat untuk kondisi agraria saat ini.
Agraria merupakan permasalah sangat kompleks tidak hanya SDA yang bersifat tetap namun aktor-aktor yang terdapat dialamya yakni BPN, Perhutani, Investor baik nasional maupun Internasional serta masyarakat. Hal inilah yang menjadikan persoalan kompleks terhadap agraria.
Perlu adanya pihak-pihak yang konsern terhadap agraria, agar Land Grabbing ini tidak terus terjadi dan menjadi efek domino bagi yang lain. Negara sebagai lambaga tertinggi yang mengeluarkan kebijakan, dan organisasi petani sebagai pendukungnya.
Realitasnya, pemerintah dan petani kurang begitu serius dalam membahas persoalan agraria saat ini. Berjalan sendiri-sendiri. Keegoisan pemerintah dengan kebijakannya, organisasi petani yang masih berjalan di tempat. Selain masih terdapat sensifitas terhadap aktivis agrarian yang disangkut pautkan dengan paham komunis. Padahal keduannya harus jalan beriringan yakni Pemerintah, Militer, Organisasi dan Pendanaan.
[1] .Departemen Pelayanan Rakyat --Front Mahasiswa Nasional--Purwokerto


Posting Komentar