![]() |
| Ilustrasi dari taqi tonggosmovic |
Oleh Fachrurozi Hanafi
(Sosiologi 2011)
“Pendidikan harus membuka kesempatan untuk belajar, bukan memaksa murid mengetahui apa yang seharusnya mereka ketahui”
(Everett Reimer)
(Everett Reimer)
Mungkin banyak yang mengerutkan dahinya ketika membaca judul tulisan di atas. School is dead, sekolah telah mati, apa maksudnya?Memangnya ada apa dengan sekolah sehingga lembaga ini dikatakan telah mati? Adalah Everett Reimer yang mengemukakan kalimat tajam itu pada salah satu judul karyanya. Penelitian yang ia lakukan tentang institusi pendidikan ini membuatnya berani mengatakan lantang bahwa sekolah telah mati. Mengapa demikian?
Menurut Reimer, sekolah adalah lembaga yang menghendaki kehadiran penuh kelompok-kelompok umur tertentu dalam ruang-ruang kelas yang dipimpin oleh gutu untuk mempelajari kurikulum yang bertingkat-tingkat. Artinya, sekolah telah melembagakan masa kanak-kanak. Sekolah telah mengambil masa kanak-kanak dan membawa sang anak ke dalam suatu prototip dunia pekerjaan. Orientasi sekolah yang harusnya bersifat mendidik, kini beralih fungsi menjadi memaksa. Sama halnya dengan pendidikan di Indonesia sekarang ini, Tut Wuri Handayani yang berarti “dari belakang memberikan dorongan moral” seakan disalahartikan menjadi “dari belakang memberikan paksaan”.
Sejarah lembaga adalah sejarah dominasi. Sekolah yang notabene merupakan lembaga pendidikan juga telah mendominasi anak didiknya. Sekolah lah yang “berhak” menentukan apa yang harus diketahui oleh muridnya dan sekolah juga yang “berhak” menentukan mana yang tidak boleh diketahui muridnya melalui kurikulum yang berlapis-lapis. Sekolah lah yang berhak mengatur tata perilaku anak didik dengan mengatur tempat duduk sedemikian rupa dan melarang murid untuk berbicara satu dengan yang lain. Atas nama disiplin, sekolah berhak memaksa murid menaati peraturan dan menghukum murid yang melanggar peraturan.
Pendidikan seharusnya membuka kesempatan untuk belajar bagi anak didiknya, tapi yang terjadi sekarang justru pemaksaan terhadap anak didik. Beratnya materi pelajaran yang mereka dapatkan, ditambah lagi dengan metode pembelajaran yang kaku dan ketidakseimbangan antara jumlah pengajar dan murid di sekolah (SD, SMP, SMA formal misalnya) membuat pendidikan di sekolah menjadi kurang maksimal dan menjadi membosankan. Sehingga, demi mencapai nilai gemilang yang diinginkan sekolah, banyak dari orang tua murid yang memaksa anaknya untuk mengikuti les tambahan. Tenaga anak didik yang dikuras selama jam sekolah, masih dikuras lagi ketika mengikuti les. Wajarlah jika sekarang, banyak murid yang menjadi individualis dan tidak pandai bergaul, karena waktu dan tenaga mereka telah dikuras untuk aktivitas yang mereka sebut “belajar”.
Di sisi lain, sekolah juga mempertahankan struktur hirarkis masyarakat dan menanamkan semangat kompetisi (siapa yang kuat dia yang menang). Di kelas, murid yang cerdas dan mampu seolah-olah mendapatkan hak istimewa, atau previleged, sementara murid yang kurang bisa mengikuti pelajaran akan dianggap underprevileged. Mereka yang bisa mengikuti pelajaran akan selalu mendapat pujian “anak pintar” dan pujian lainnya, sementara yang gagal (misalnya tidak naik kelas atau tidak lulus ujian) akan diberikan cap “anak bodoh” yang seolah selamanya akan melekat dalam dirinya. Setelah terjun ke masyarakat, mereka yang lulus dengan nilai cemerlang akan mendapat status lebih tinggi daripada yang putus sekolah. Sungguh ironis melihat di satu sisi ada fihak yang dihadapkan pada pilihan “bekerja atau kelaparan” sementara pihak lain hanya bebas memilih pekerjaan satu dan yang lainnya.
Pendidikan Untuk Pembebasan
Menurut Reimer, pendidikan harus merupakan suatu aktivitas yang benar-benar dimaksudkan untuk membantu manusia agar dapat memperoleh dan mempertahankan kekuasaan atas dirinya sendiri, masyarakat, dan lingkungannya. Pendidikan harus membuka kesempatan untuk belajar, bukan memaksa murid untuk mengatahui apa yang seharusnya mereka tahu. Pendidikan bukanlah pemaksaan, sekolah bukanlah ajang mendominasi murid. Setiap murid berhak mengemukakan pendapat, setiap murid berhak untuk menyalurkan potensinya. Pendidikan haruslah demokratis
Setiap murid berhak mengetahui segala kehidupan di dunia ini. Pendidikan tidak boleh memutar balikkan fakta dengan mitos-mitos, mendoktrinasi murid ataupun menyembunyikan segala sesuatu dibalik tabir atas nama “KEAMANAN NASIONAL”! Pendidikan haruslah ilmiah
Pendidikan harus ditujukan untuk rakyat, bukan segelintir orang saja. Bila kita kembali kepada konstitusi negara, salah satu cita-cita negara kita adalah “Mencerdaskan kehidupan bangsa”. Pendidikan adalah hak setiap warga negara. Tidak boleh ada yang namanya previleged ataupun underprevileged. Pendidikan haruslah mengabdi kepada rakyat.
Salam Demokrasi!!

Posting Komentar