Mugianto
(Sosiologi 2008)
Dalam bahasa Inggris, Hak Asasi Manusia mempunyai istilah Human Right. Seringnnya literatur-literatur HAM Internasional hanya menyebutkan ‘Right’ saja. Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, HAM adalah Hak-hak (yang seharusnya) diakui secara universal sebagai hak-hak yang melekat pada manusia karena hakikat dan kodrat kelahiran manusia itu sebagai manusia. Hal ini menyiratkan bahwa HAM merupakan suatu keharusan yang harus dipenuhi dan ditegakkan. Tidak ada satu pihak atau kekuatan manapun yang merampas hak asasi setiap manusia.
Sejarah HAM bisa kita pelajari dan ditelusuri dalam dua generasi. Generasi pertama ketika masa-masa pembebasan manusia dari penindasan dan zaman kegelapan dominasi agama dan monarki. Ditandai dengan Revolusi Perancis pada tanggal 14 Juli 1789, dimana rakyat melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Raja dinasti Bourbon yang bertindak semena-mena. Hari itu, rakyat Perancis menyerbu penjara Bastille tempat para tahanan politik yang ditahan berdasarkan lettre de cachet, suatu surat perintah penangkapan kosong dan boleh diisi oleh si pemegangnya. Penyerbuan Bastille menjadi simbol kesudahan kekuasaan absolut Raja dengan semboyan liberte, egalite, fraternite atau kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan. Kemudian 26 Agustus 1789 dicetuskan Deklarasi Hak Manusia dan Warga Negara Perancis, kendati menyatakan bahwa hak asasi sifatnya adalah universal, namun cakupan Deklarasi Perancis kala itu tidak lain daripada universal yang terbatas pada negara Perancis saja. Demikian juga Revolusi Amerika dengan Bill Of Rights (Pernyataan Hak Asasi Manusia)-nya, yakni pernyataan mengenai hak-hak dasar warga negara Amerika saja. Bermula dari perlawanan rakyat terhadap kesewenang-wenangan penguasa, perlawanan para kolonis Inggris di Amerika terhadap kekuasaan London. Revolusi tersebut dipicu antara lain karena tindakan-tindakan Inggris dalam menerapkan pajak dan aturan-aturan yang dianggap tiranikal.
Generasi kedua HAM terjadi pasca perang dunia I dan II yang menyebabkan kehancuran bagi umat manusia itu sendiri. Kekejaman akibat Fasisme NAZI yang dipimpin oleh Hitler dan di Italia dibawah B.Musollini. Dan, pihak Sekutu yang kukuh mempertahankan dan memperebutkan wilayah jajahan guna menyelamatkan rejim Imperialismenya. Latarbelakang ini yang melandasi pemikiran akan HAM telah mendapatkan tempatnya dalam Kovenan Liga Bangsa-Bangsa (Covenant of The League of Nations), yang membawa pada pendirian Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organisation). Lalu muncullah kedalam tataran internasional hak asasi dalam rumusan Perserikatan Bangsa-bangsa (The United Nations) yakni The Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dengan resolusi 217 A (III) tanggal 10 Desember 1948. Pada generasi kedua inilah HAM secara universal dan dunia diakui secara serentak dan sama oleh 48 negara, yang kemudian diperangati sebagai Hari HAM Sedunia. Deklarasi ini terdiri dari Pembukaan dan 30 pasal yang meletakkan hak-hak dan kebebasan dasar dimana semua laki-laki dan perempuan, di semua tempat di dunia berhak tanpa pembedaan apapun.
Dengan lahirnya The Universal Declaration of Human Rights (UDHR) memberikan harapan besar bagi rakyat di seluruh dunia untuk mendapatkan perlindungan dan hak-haknya sebagai manusia dan warga Negara. Bahkan UDHR tidak hanya terbatas pada hak sipil dan politik, namun mencukup ekonomi, sosial dan budaya (EKOSOB). EKOSOB ini antara lain menjamin hak atas pekerjaan, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, jaminan sosial, kehidupan yang layak, beristirahat dan cuti dan kehidupan berbudaya dan organisasi. Namun demikian, UDHR ini juga secara sungguh-sungguh dimaksudkan sebagai standar pencapaian bangsa-bangsa di dunia untuk menentukan berbagai hak dan kebebasan dasar yang harus diakui oleh rezim manapun di dunia ini yang mengklaim sebagai rezim yang beradab
Indonesia sebagai salah satu negara yang menyepakati dan andil memutuskan adanya The Universal Declaration of Human Rights (UDHR) ini, tentu tidak bisa lepas tangan dalam penegakkan HAM itu sendiri. Akan tetapi, dibawah rejim SBY-Boediono boneka Imperialis AS saat ini, agaknya HAM menjadi barang usang yang tidak pernah diperhatikan. Dibuktikan disektor buruh masih sangat tinggi angka PHK dan perampasan upah akibat kerja kontrak dan outsourching.Hingga pertengahan Agustus 2009 saja, BPS mencatat jumlah buruh yang di PHK mencapai 3 juta orang. Tentu saja ini akan menambah jumlah angka pengangguran pada periode yang sama, angkanya diperkirakan mencapai 8,59 juta jiwa, setara dengan 7,41% dari jumlah total angkatan kerja yang jumlahnya 107 juta jiwa. Hal ini berdampak hilangnya jaminan kesejahteraan bagi buruh. Persoalan sama juga terjadi pada Buruh Migrant Indonesia (BMI) yang terpaksa bekerja keluar Negeri, karena tidak tersedianya lapangan kerja secara luas oleh Pemerintah di dalam negeri. Buruh Migrant bekerja diluar Negeri tanpa Jaminan Perlindungan, Kesejahteraan, Keselamatan dan Kesehatan yang memadai. Buruh Migrant dihadapkan dengan persoalan biaya penempatan dan biaya operasional lainnya yang sangat tinggi, sehingga mengalami pemotongan upah selama 8-15 (delapan hingga lima belas) bulan. Mereka kena siksa majikan, perkosaan, pelecehan seksual, bahkan pembunuhan. Pada tahun 2010, 908 orang BMI meninggal dunia dan 3 orang mendapatkan vonis tetap hukuman mati ( Sumber: Migrant Care). Ingat kasus Sumiyati dan Kikim Komalasari!
Kaum tani sebagai mayoritas penduduk negeri ini juga mengalami penindasan berupa kekerasan, penagkapan, serta pembunuhan. Data dari Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) menyebutkan selama tahun 2010 saja, sedikitnya 10 petani tewas, 133 luka parah dan ringan akibat tindak kekerasan, dan 197 petani ditahan dengan berbagai tuduhan. Sedangkan angka perampasan tanah saat ini telah mencapai 24,7 juta hektar yang akan menyebabkan 11,4 juta orang kaum tani sengsara. Ditambah dengan rencana perluasan lahan sebesar 3,943,000 hektar oleh berbagai investor besar dan dipastikan akan merampas lahan pertanian, menyebabkan sedikitnya 175,000 jiwa petani tersingkir dari lahan garapannya.
Sektor pendidikan tidak luput dari kekejian rejim SBY-Boediono, mahalnya biaya pendidikan saat ini menyebabkan hilangnya hak anak negeri untuk mengenyam pendidikan. Dalam amanat UUD 1945 telah diterangkan bahwa setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan. Dipasal yang berbeda dalam UUD juga dijelaskan bahwa alokasi anggaran pendidikan harus diberikan 20% dari APBN dan APBD untuk operasionalisasi pendidikan, namun faktanya alokasi 20% untuk pendidikan belumlah terealisasi secara penuh sampai saat ini. Bahkan ada upaya pemerintah melepaskan tanggung jawab pendidikan dengan mendorong PT untuk bisa otonom dalam operasionalisasi, seperti yang termaktub dalam PP 60 dan 61 tentang BHMN, UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003 pasal 43, dilengkapi dengan UU BHP No.9 tahun 2008 yang kemudian di cabut oleh Mahkamah Konstitusi dan kemudian digantikan dengan PP No.17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
Diatas hanya sebagian dari persoalan HAM di Indonesia. Di hari ke-62 peringatan HAM Sedunia kali ini, agaknya menjadi refleksi dan aksi seluruh rakyat Indonesia untuk melakukan perjuangan menentang dominasi Imperilaisme, Feodalisme dan kapitalisme birokrasi yang diperlihara baik oleh rejim SBY-Boediono.

Posting Komentar