BREAKING NEWS

Kamis, April 15, 2010

PKL di Purwokerto : Sebuah Analisis Awal



 Oleh Dodi Faedlulloh
(Mahasiswa Pascasarjana Magister Administrasi Publik Unsoed)
 
...  Setiap warga negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (Pasal 27 UUD 1945)

Jangankan manusia, semut pun bisa marah bila dia merasa dirinya diinjak-injak, begitu pula yang kini dirasakan oleh para pedagang kaki lima (PKL) di sekitaran Jalan Jenderal Soedirman dan Pasar Wage, Purwokerto. Beberapa waktu ini akibat letupan issu relokasi (penggusuran-penj.) PKL, Purwokerto semakin memanas. Aksi-aksi penolakan akan terus dilakukan baik dari pedagang, LSM sampai elemen mahasiswa yang senantiasa berkomitmen untuk menuntut keadilan pada pemerintah daerah Kabupaten Banyumas.
 
Wejangan orang tua dulu, “bekerja apapun yang penting halal”, kini tidak berlaku lagi. Para pedagang yang berusaha bekerja untuk menafkahi  keluarganya secara halal, harus terusik oleh otoritas pemerintah daerah. Dengan alasan keberadaan PKL mengganggu pengguna jalan. Suatu alasan yang tidak manusiawi dari Pemerintah Daerah.

Dalam benak PKL hanya terpikirkan bagaimana caranya bisa bekerja untuk memenuhi kebutuhan makan dan hidup sehari-hari. Ketika ada pihak yang baerusaha merampas mata pencaharian untuk hidup, maka telah sukseslah untuk membunuh secara perlahan rakyat yang mencari penghidupan dengan menjadi PKL.

PKL adalah bagian dari rakyat Indonesia yang dipaksa menghadapi realita dari kegagalan pemerintah dalam membangun perekonomian rakyat. Robinson (2001) menjelaskan bahwa munculnya pedagang kecil informal merupakan konsekuensi dari disfungsi kebijakan ekonomi. Dari pendapat ini, maka permasalahan PKL akan hilang, jika program pembangunan ekonomi pemerintah mampu menghidupkan dinamika usaha kecil dan menengah, sekaligus menciptakan lapangan kerja yang lebih luas. Jadi, tidak bijak bila pemerintah selalu menyalahkan rakyat sebagai biang keladi pesoalan keindahan kota karena yang harusnya bertanggung jawab atas hal ini adalah pemerintah.

Setiap tahun jumlah PKL di Purwokerto terus meningkat namun tempat untuk  terbatas sehingga pemerintah seringkali melakukan penertiban atau lebih tepatnya penggusuran (Penelitian Mahasiswa FISIP Unsoed, Nizar dkk., 2008). Ini bisa jadi pelajaran berharga bagi pemerintah daerah untuk lebih responsif mengatur permasalahan PKL. Menjamurnya PKL adalah jalan lain yang harus tempuh oleh pencari kerja, karena sebagaimana yang diketahui peluang kerja di sektor formal sulit didapat.

Sejatinya PKL dan rakyat pada umumnya adalah manusia-manusia yang memiliki etos kerja tinggi. Tengok saja, rakyat kecil tidak pernah merasa malu untuk bekerja sepanjang hari dengan penghasilan yang belum pasti, ditambah harus membayar pungutan (retribusi-penj.) pemerintah dan antek-anteknya.

Raperda Telah Diketuk
Peraturan Daerah (Perda)  untuk mengatur PKL di Banyumas telah diketuk (22/03/2011). Isi Perda yang disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Banyumas (DPRD Banyumas) ternyata tidak menguntungkan rakyat terutama PKL. Dalam Perda tersebut terdapat point yang bisa ‘membahayakan’ masa depan PKL, seluruh PKL yang ada di Banyumas. Perda tersebut memuat tentang otoritas penuh Pemda untuk melakukan tata letak PKL tanpa ada ruang interaksi dan feedback yang melibatkan DPRD sebagai wakil rakyat (pasal 6 Perda Penataan PKL Kab. Banyumas), ini telah menutup rapat ruang demokrasi di Banyumas.

Input dalam perda PKL tersebut cendrung reduktif karena tidak memperhatikan unsur tuntutan (demand) dari para PKL (masyarakat), bahkan menafikan juga  energi lain yakni unsur dukungan (support) yang berasal dari LSM, organisasi massa dan gerakan mahasiswa (pressure group). Jadi bagaimana mungkin kerja sistem bisa berlangsung tanpa adanya bahan dasar yang akan dijadikan produk akhir (kebijakan).

Dalam waktu dekat tertanggal 26 Maret 2011 Pemerintah Daerah menyiapkan telah menyiapkan relokasi PKL Jalan Jenderal Soedirman, yang sebelumnya PKL Pasar Wage telah lebih dahulu. Relokasi atau lebih tepatnya adalah penggusuran dijadikan  solusi dari Pemda. Pasar Wage lantai dua adalah tempatnya yang sama sekali tidak bisa memecahkan bahkan malah menambah permasalahan.

Hal yang sangat  pantas dan wajib jika PKL melakukan penolakan penggusuran tersebut. Ditambah pedagang yang berlokasi di Pasar Wage pun turut menolak relokasi tersebut. Hal ini dibuktikan dengan menurunnya pendapatan samapai dengan 80% PKL pasar Wage yang dipindahkan ke lantai 2. Hal ini akan merambat ke seluruh penjuru Banyumas dalam penyikapan PKL oleh Pemerintah Daerah. Akhirnya program relokasi malah menjadi momok sangat menakutkan bagi masing-masing pedagang.

PKL bukanlah sampah kotor yang harus dibersihkan. Paradigma yang menjadikan PKL sebagai sebuah beban harus segera dirubah. PKL justru bisa menjadi mitra bagi pemda karena secara tidak langsung kehadirannya telah membantu mengurangi pengangguran, punya peran sebagai shadow economy, serta menjadi alternatif untuk pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat

Tuntutan dan Demokrasi
Tuntutan masyarakat dalam demokrasi selalu diibaratkan dengan suara Tuhan. Konsep dari, oleh dan untuk rakyat seharusnya bisa jadi pedoman langkah yang dilakukan pemerintah daerah manapun. Dalam permasalahan ini Pemda cenderung bertindak sepihak sebagai agen tunggal dalam menyelesaikan persoalan , input berupa tuntutan para pedagang tidak menjadi pertimbangan.

Indonesia dikenal selalu menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk membuat kebijakan yang manusiawi dan tidak menindas warganya. Penggusuran bukanlah solusi, karena rakyat butuh pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari hidupnya.

Untuk itu, kami mengabarkan pada semua rakyat untuk bergerak bersama menghentikan tindakan tidak terpuji dan menindas yang dilakukan penguasa hari ini. Demi terciptanya masyarakat Indonesia yang sejahtera seutuhnya.


Share this:

Posting Komentar

 
Back To Top
Copyright © 2018 Soeara Massa. Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Templates