... Setiap warga negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (Pasal 27 UUD 1945)
Jangankan
manusia, semut pun bisa marah bila dia merasa dirinya diinjak-injak, begitu
pula yang kini dirasakan oleh para pedagang kaki lima (PKL) di sekitaran Jalan
Jenderal Soedirman dan Pasar Wage, Purwokerto. Beberapa waktu ini akibat
letupan issu relokasi (penggusuran-penj.) PKL, Purwokerto semakin memanas.
Aksi-aksi penolakan akan terus dilakukan baik dari pedagang, LSM sampai elemen mahasiswa yang senantiasa
berkomitmen untuk menuntut keadilan pada
pemerintah daerah Kabupaten Banyumas.
Wejangan orang
tua dulu, “bekerja apapun yang penting halal”, kini tidak berlaku lagi.
Para pedagang yang berusaha bekerja untuk menafkahi keluarganya secara
halal, harus terusik oleh otoritas pemerintah daerah. Dengan alasan keberadaan
PKL mengganggu pengguna jalan. Suatu alasan yang tidak manusiawi dari Pemerintah Daerah.
Dalam benak PKL hanya terpikirkan bagaimana caranya bisa bekerja untuk
memenuhi kebutuhan makan dan hidup sehari-hari. Ketika ada pihak yang baerusaha merampas mata pencaharian untuk
hidup, maka telah sukseslah untuk membunuh secara perlahan rakyat yang mencari
penghidupan dengan menjadi PKL.
PKL adalah
bagian dari rakyat Indonesia yang dipaksa menghadapi realita dari kegagalan
pemerintah dalam membangun perekonomian rakyat. Robinson (2001) menjelaskan
bahwa “munculnya pedagang kecil informal merupakan konsekuensi dari disfungsi
kebijakan ekonomi”. Dari pendapat ini, maka permasalahan PKL akan hilang, jika program
pembangunan ekonomi pemerintah mampu menghidupkan dinamika usaha kecil dan
menengah, sekaligus menciptakan lapangan kerja yang lebih luas. Jadi, tidak bijak
bila pemerintah selalu menyalahkan rakyat sebagai biang keladi pesoalan keindahan kota karena
yang harusnya bertanggung jawab atas hal ini adalah pemerintah.
Setiap tahun jumlah PKL di Purwokerto terus meningkat namun
tempat untuk terbatas sehingga pemerintah seringkali melakukan penertiban atau
lebih tepatnya penggusuran (Penelitian Mahasiswa FISIP Unsoed, Nizar dkk., 2008). Ini bisa jadi
pelajaran berharga bagi pemerintah daerah untuk lebih responsif mengatur
permasalahan PKL. Menjamurnya PKL adalah jalan lain yang harus tempuh oleh pencari kerja, karena
sebagaimana yang diketahui peluang kerja di sektor formal sulit didapat.
Sejatinya PKL dan rakyat pada umumnya adalah manusia-manusia yang memiliki
etos kerja tinggi. Tengok saja, rakyat
kecil tidak pernah merasa malu untuk bekerja sepanjang hari
dengan penghasilan yang belum pasti, ditambah harus membayar pungutan (retribusi-penj.) pemerintah dan antek-anteknya.
Raperda Telah
Diketuk
Peraturan Daerah (Perda) untuk mengatur PKL di Banyumas telah diketuk (22/03/2011). Isi Perda
yang disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Banyumas (DPRD
Banyumas) ternyata tidak menguntungkan rakyat terutama PKL. Dalam Perda tersebut terdapat point yang bisa ‘membahayakan’ masa depan PKL, seluruh PKL yang ada di
Banyumas. Perda tersebut memuat tentang otoritas penuh Pemda untuk melakukan tata
letak PKL tanpa ada ruang interaksi dan feedback yang melibatkan DPRD sebagai wakil rakyat (pasal 6 Perda Penataan
PKL Kab. Banyumas), ini telah menutup rapat ruang demokrasi di Banyumas.
Input dalam perda PKL tersebut cendrung reduktif karena tidak memperhatikan
unsur tuntutan (demand) dari para PKL (masyarakat), bahkan
menafikan juga energi lain yakni unsur dukungan (support) yang
berasal dari LSM, organisasi massa dan gerakan mahasiswa (pressure group). Jadi bagaimana mungkin kerja sistem bisa berlangsung tanpa adanya bahan
dasar yang akan dijadikan produk akhir (kebijakan).
Dalam waktu dekat tertanggal 26 Maret 2011 Pemerintah Daerah menyiapkan
telah menyiapkan relokasi PKL Jalan Jenderal Soedirman, yang sebelumnya PKL Pasar Wage
telah lebih dahulu. Relokasi atau lebih tepatnya adalah penggusuran dijadikan solusi dari Pemda. Pasar Wage lantai dua adalah tempatnya yang sama sekali tidak bisa memecahkan
bahkan malah menambah permasalahan.
Hal yang sangat pantas dan wajib jika PKL melakukan
penolakan penggusuran tersebut. Ditambah pedagang yang berlokasi di Pasar Wage pun turut menolak relokasi
tersebut. Hal ini dibuktikan dengan
menurunnya pendapatan samapai dengan 80% PKL pasar Wage yang dipindahkan ke
lantai 2. Hal ini akan merambat ke seluruh penjuru Banyumas dalam penyikapan
PKL oleh Pemerintah Daerah. Akhirnya program relokasi malah
menjadi momok sangat menakutkan bagi masing-masing pedagang.
PKL bukanlah
sampah kotor yang harus dibersihkan. Paradigma yang menjadikan PKL sebagai
sebuah beban harus segera dirubah. PKL justru bisa menjadi mitra bagi pemda
karena secara tidak langsung kehadirannya telah membantu mengurangi
pengangguran, punya peran sebagai shadow economy, serta menjadi
alternatif untuk pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat
Tuntutan dan
Demokrasi
Tuntutan
masyarakat dalam demokrasi selalu diibaratkan dengan suara Tuhan. Konsep dari,
oleh dan untuk rakyat seharusnya bisa jadi pedoman langkah yang dilakukan
pemerintah daerah manapun. Dalam permasalahan ini Pemda cenderung bertindak
sepihak sebagai agen tunggal dalam menyelesaikan persoalan , input
berupa tuntutan para pedagang tidak menjadi pertimbangan.
Indonesia dikenal selalu menjunjung nilai-nilai kemanusiaan,
sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk membuat kebijakan yang manusiawi dan tidak
menindas warganya. Penggusuran bukanlah solusi, karena rakyat butuh pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari hidupnya.
Untuk itu, kami mengabarkan pada semua rakyat untuk bergerak bersama
menghentikan tindakan tidak terpuji dan menindas yang dilakukan penguasa hari
ini. Demi terciptanya masyarakat Indonesia yang sejahtera seutuhnya.

Posting Komentar