Oleh: Amy Bondan Maharaja
(Politik 2010)
Masih membekas diingatan kita tentang Undang-Undang BHP yang jelas melegalkan praktek liberalisasi pendidikan yang memberatkan rakyat. Kini, setelah Undang-Undang tersebut di hapuskan, muncul kembali Rancangan Undang-Undang yang serupa dengan pendahulunya, bernama RUU PT.
RUU PT secara umum memang tidak bertentangan dengan penyelnggaraaan pendidikan tinggi, namun dalam pasal 5 huruf E bab II Tentang penyelenggaraan pendidikan tinggi, dan Pasal 88 ayat 1 dan 2 bab VII tentang Pendanaan pada Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi, dituliskan bahwa penyelenggaraan pendidikan tinggi hanya menekankan pada kelompok masyarakat yang kurang mampu secara ekonomi, tapi memiliki keunggulan dalam prestasi akademik dan itu harus diperbaiki. Maksudnya, jikalau ada subsidi hanya untuk mereka yang miskin tapi berprestasi.
Padahal, peserta didik dapat dibagi menjadi 4 kelompok yakni kaya berprestasi, miskin berprestasi, kaya tidak berprestasi, dan miskin tak berprestasi. Tentu saja kelompok miskin tidak berprestasi tidak memiliki peluang untuk mengakses pendidikan tinggi.
Ini bertentangan dengan amanat UUD 1945 pasal 31 ayat 1 dan pasal 281 ayat 2 yang intinya penyelenggaraan pendidkian tinggi ataupun dasar tidak boleh melakukan tindakan diskriminasi secara ras, agama, suku, bahkan kelas sosial yang ada masyarakat atau golongan sosial lainnya.
Bukan hanya itu saja, dalam hal pengelolaan perguruan tinggi pun terjadi masalah, Pada pasal 35 huruf b tentang otonomi dan c tentang efektifitas-efisiensi, dijelaskan bahwa dengan dua prinsip tersebut (otonomi, efektifitas, dan efisiensi) dapat membuka peluang untuk memaksimalisasi kewenangan suatu perguruan tinggi untuk mendapatkan dana pendidikan dari masyarakat. Karena perguruan tinggi memiliki kewenangan untuk menentukan kebijakan di bidang non akademik, termasuk tarif yang harus dikeluarkan oleh calon peserta didik untuk memenuhi kekurangan dana dalam pembiayaan pengelolaan perguruan tinggi.
Ditambah lagi dengan pasal 83 ayat 1 yang menjelaskan bahwa sumberdana pendidikan berasal dari mahasiswa, orang tua mahasiswa,dan donatur. Selain itu PTN pun bisa memperoleh dana pendidikan dari masyarakat sebagaimana pada pasal 83 ayat 2. Dana-dana bantuan tersebut berupa hibah, zakat, wakaf, sumbangan dari perusahaan dan sumbangan lainnya yang dijelaskan pada pasal 83 ayat 3.
Dengan adanya pasal 83 tersebut, akan mempengaruhi tanggung jawab negara pada pendanaan penyelenggaraan pendidikan tinggi. hal ini dibuktikan dengan adanya pasal 88 ayat 3 yang menyatakan bahwa mahasiswa bertanggung jawab atas 1/3 dari biaya oprasional perguruan tinggi. karena perguruan tinggi sudah memiliki pendapatan atau pemasukan seperti pada pasal 82 yang 1/3 adalah dari mahasiswa, perguruan tinggi juga di perbolehkan mendirikan suatu badan usaha atau porto folio untuk pengelolaan dan pembiayaan pengelolaan PTN seperti yang diatur pada pasal 85 ayat 1 dan 2, dan sumbangan/donasi yang dipaksakan oleh perguruan tinggi pada orang tua mahasiswa dengan nominal yang cukup besar. Dan peran negara pada pendanaan penyelenggaraan pendidikan tinggi akan makin minim.
Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi ini sudah dengan sangat jelas menunjukan salah satu wujud legitimasi pemerintah untuk menciptakan pendidikan tinggi yang komersil apabila disahkan, dimana pendanaan yang dilimpahkan ke masyarakat sangat besar, yang sekarang berkisar Rp 2 juta sampai Rp 100 juta. Hal ini sudah dengan tegas menyatakan bahwa Negara semakin lepas tanggug jawab dalam penyelenggaraan pendidkan tinggi, sekaligus memapas akses pendidkan tinggi bagi rakyat Indonesia yang tidak berprestasi dan miskin.

Posting Komentar