Kebijakan Omnibus Law Cipta Kerja : Legitimasi Liberalisasi Pendidikan Tinggi?
Oleh
Sadad Alwi (Departement Pendidikan dan Propaganda FMN Ranting Unsoed)
Dulu pada era Kolonial belanda melahirkan kebijakan politik
etis diawal tahun 1900 atau politik balas budi. Di dalamnya terdapat edukasi,
irigasi dan transmigrasi. Pendidikan tetap tidak diarahkan untuk meningkatkan
pengetahuan bangsa Indonesia, tetapi semata-mata untuk memperoleh tenaga kerja
rendahan yang akan mengoperasionalkan pabrik-pabrik dan perkebunan modern serta
mengisi pos-pos administrasi pemerintahan kolonial. Dan yang dapat mengakses
sekolah ini hanyalah orang belanda, eropa, priyayi asia timur saja. Dari corak
corak perguruan tinggi yang diskriminatif dari era colonial kaum pribumi
berinisiatif mendirikan sekolah sekolah rakyat seperti taman siswa oleh ki
hajar dewantara. Lalu kyai ahmad dahlan mendirikan muhammadiyah dan yang
lainnya. Pendidikan yang buat oleh pribumi yang menjunjung kesadarannya atas
tindasan colonial belanda. Kaum pribumi terpelajar juga berhasil membangkitkan
semngat kebangsaan dan cinta tanah air dari sumpah pemuda hingga deklarasi
kemerdekaan Indonesia.
Di era orde baru ilmu
pengetahuan berorientasi pada pembangunan yang sebenarnya bertujua untuk
kelancaran operasional perusahaan asing atau perusahaan imperialism dan juga
demi kelanggengan kekuasaan orde baru. Kurikulumnya diarahkan untuk kepentingan
pasar. Lahirnya PP No. 60 dan 61 tahun 1999 adalah imbas dari keterlibatan
Indonesia masuk menjadi keanggotaan WTO ditahun 1999 yang mengakibatkan arus privatisasi
dan pem-BHMN-an kampus-kampus negeri di Indonesia. World trade Organization (WTO) dalam GATS-nya
menyatakan bahwa “pendidikan dan kesehatan termasuk salah satu dari 11 sektor
jasa lainya yang akan diperjual belikan”. Disusul dengan lahirnya UU SISDIKNAS
(Sistem Pendidikan Nasional) ditahun 2003 semakin menunjukkan bahwa pendidikan
adalah barang yang lux (mewah) yang sangat sulit diakses oleh masyarakat luas. Hingga
kemudian akhirnya lahir UU dikti no.12 tahun 2012 yang didalamnya mengatur
bagaimana mahasiswa harus menanggung biaya operasional pendidikan tinggi, mulai
dari ukt hingga uang pangkal. Dan akhir-akhir ini muncul Omnibus Law RUU Cipta
Kerja Cipta Kerja (perubahan atas Cipta Lapangan Kerja) yang berdampak bagi dunia pendidikan tinggi, Mempertimbangkan terkait
debirokratisasi kelembagaan yang sebelumnya terlalu berbelit belit dan
menghambat. Maka dari negara dibawah rezim Jokowi bahawa Omnibus Law RUU Cipta Kerja diciptakan untuk
menyelesaikan masalah tersebut, namun terdapat beberapa point yang harus kita
ketahui terutama disektor pendidikan tinggi.
Dampak Omnibus Law Cipta
Kerja melahirkan Liberalisasi Pendidikan?
Indonesia merupakan negara hukum. Peraturan
perundang- undangan diciptakan untuk menjawab permasalahan permasalahan
kebangsaan oleh politisi lewat lembaga perwakilan. Indonesia memiliki 42 ribu
aturan yang mencakup undang undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden,
peraturan menteri hingga gubernur, walikota, dan Bupati di daerah. Yang di dalamnya terdapat pertentangan dan dirasa membuat
kinerja pemerintah lambat dalam pengambilan keputusan. Tumpang tindih
aturan dan ketidakjelasan hukum dalam
berbagai UU menjadi
persoalan yang menghambat
investasi selama ini. Sehingga,
menjadi UU Omnibus Law di nilai
dapat mensolusikan persoalan tersebut.
Begitu juga pada sektor pendidikan tinggi. Terdapat 7
pasal yang dirubah. Diantara nya pasal 1, 7, 33, 35, 54, 60, 63. Yang
didalamnya membahas kewaenangan yang bersifat sentralistik dalam mempermudah
kegiatan berusaha disektor pendidikan karena perizinan hanya perlu 1 pintu
yaitu melalui pemerintah pusat. Pada
Omnibus Law RUU Cipta Kerja diketahui
bahwa terdapat perubahan di pasal 1 ayat 2 dan 19. Di pasal 1 ayat 2 menghapus
oreintasi diselenggaraknya perguruan
tinggi yang berdasarkan pada kebudayaan bangsa Indonesia, namun
didalamnya hanya membahas definisi Pendidikan tinggi namun mengghilangkan dasar
kebudayaan bangsa Indonesia. Kemudian ditegaskan
pada pasal 1 ayat 19 bahwa pemegang kekuasaan
pemerintah negara republik Indonesia adalah presiden republik Indonesia.
Kemudian
selanjutnya ketentuan pada pasal 7 juga dirubah dalam omnibus law, pada ayat 1
merubah kewenangan yang awalnya tanggung jawab di bawahi Menteri menjadi
pemerintah pusat. Lalu pada ayat 3 huruf e, merubah kewenangan pemberian dan
pencabutan izin perguruan tinggi kecuali Pendidikan tinggi agama menjadi
kewengan pemberian dan pencabutan izin
berusaha di sektor perguruan tinggi. Pada pasal 7 ayat 4 yang awalnya membahas
mengenai wewenang pemerintahan bidang agama dalam penyelenggaraan, tanggung
jawab Pendidikan tinggi agama. Kemudian berubah menjadi bahwa peraturan
pemerintah mengatur Pendidikan tinggi, penyelenggaraan, tugas dan wewenangnya. Secara moralnya,
perguruan tinggi yang awalnya bertujuan untuk membentuk kebudayaan dan
peradaban bangsa yang maju, dalam omnibus law nomenklatur kebudayaan dalam
perguruan tinggi itu dihapuskan dan dirubah orientasinya menjadi sektor bisnis. Pada UU dikti 2012
pasal 54 yang membahas mengenai standar pendidikan tinggi kemudian di Omnibus
Law RUU Cipta Kerja dihapuskan. Ini membuat ketidak jelasan mengenai standar
standar yang jelas akan adanya perguruan tinggi. Dan tentunya perpengaruh
terhadap mutu kualitas pendidikan tinggi yang ada di Indonesia.
Unsur liberalisasi pendidikan lewat fleksibilitas
dalam rangka menjadikan perguruan tinggi sebagai komoditas usaha dalam hal ini
pemerintah memberikan kewenangan berusaha
di sektor perguruan tinggi. Terbukti di hilangkannya prinsip nirlaba
di pasal 63 pada Omibus Law RUU
Cipta Kerja. Dan juga adanya
nomenklatur berusaha dalam pasal omnibus law ini menjadikan legitimasinya.
Memulai dari fleksibilitas pendirian perguruan tinggi, pemberian izin dan
pencabutan izin.
Dari sini kita sedikit mengetahui bahwa Omnibus Law RUU Cipta Kerja menjadi sebuah
upaya Liberalisasi, Komersialisasi dan Privatisasi pendidikan tinggi lewat
perubahan perubahan pasal yang ada. Tidak berhenti disitu dengan Omnibus Law RUU Cipta Kerja juga menjadikan
bukti nyata bahwa kebijakan tesebut sebagai corong investasi asing yang hanya
mengutamakan berusaha dan melihat dari kewenangan pemegang kebijakan itu
memperlihatkan watak fasisme bagi si
pembuat kebijakan Omnibus Law RUU Cipta
Kerja.
Dampak dari kacamata pemuda mahasiswa melihat orientasi
pendidikan tinggi akan semakin dijauhkan dari kuliah yang murah karena
liberalisasi pendidikan mendorong biaya kuliah akan semakin mahal (Re: UKT Dinaikan). Lulusan
perguruan tinggi juga akan diorientasikan menjadi buruh-buruh murah yang akan
menjadi skrup-skrup pabrik milik tuan tanah dan pemodal dan semakin jauh
dari pengabdian masyarakat akan ilmu-ilmu pengetahuanya karena paradigma
pendidikan berubah menjadi pelayan bagi pemodal atau investor yang hanya
menghisap dan menindas saja. Maka dari itu yang bisa sebagai pemuda mahasiswa
harus memblejeti sistem dan kebijakan yang merugikan rakyat lewat ilmu
pengetahunya, menggelar diskusi ilmiah, kampanye tentang kampus yang murah dan
beroragnisasi untuk dijadikan alat perjuangan jangka panjang!
Sumber :
Materi Sistem Pendidikan Nasional FMN;
Draft RUU Omnibus Law Cipta Kerja.


Posting Komentar