Ketika sungai terakhir sudah mongering,
ketika pohon
terakhir sudah ditebang,
dan ketika binatang terakhir sudah punah,
maka barulah
kita sadar bahwa uang tidak bisa dimakan.
Memperingati Hari Bumi dapat dilakukan oleh setiap
orang di seluruh dunia. Meskipun hanya berupa aksi kecil yang sederhana akan
dapat memberikan perubahan yang besar bagi bumi dan lingkungan hidup. Apalagi
jika aksi tersebut dilakukan secara bersama-sama dan terus menerus. Hari Bumi
atau Earth Day merupakan suatu gerakan global untuk mengkampanyekan peningkatan
kesadaran dan apresiasi terhadap bumi serta peduli terhadap lingkungan hidup. Hari Bumi pertama kali
diselenggarakan pada 22 April 1970 di Amerika Serikat. Hingga tahun 2016 ini, Hari Bumi telah
dilaksanakan untuk yang ke-46 kalinya.
Keberadaan hari
bumi ini bukan berarti tanpa alasan. Sejarah mencatat Hari Bumi merupakan kampanye untuk mengajak
orang peduli terhadap lingkungan hidup. Gerakan untuk meningkatkan kesadaran
dan apresiasi terhadap planet yang ditinggali manusia yaitu bumi. Hari Bumi
telah menjadi sebuah gerakan global yang mendunia hingga kini. Seperti semacam magnet yang menyerap banyak orang
untuk berempati terhadap bumi dan segala isinya, termasuk tentang pola hubungan
antara manusia dengan sumber daya agraria, yang dewasa ini semakin terampas
sebagai dampak dari globalisasi.
Pada hakikatnya manusia
dan sumberdaya agraria tidaklah bisa di pisahkan. Bagai dua sisi mata uang,
mereka saling membutuhkan. Maka dari itu, sudah seharusnya Negara sebagai lembaga
atau organisasi yang memastikan kehidupan lebih baik bagi warga negaranya,
melindungi segenap hak dan akses terhadap sumber daya agraria. Sebagaimana tertera
pada Pasal 33 Ayat 3 Undang-Undang
Dasar 1945 yang berbunyi “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.”. Walaupun kondisi hari ini, seperti yang tertulis diatas tidak kian
membaik.
Sejauh ini justru banyak konflik
yang terjadi karena dipicu oleh “merenggangnya” hubungan antara manusia dengan
sumberdaya agraria. Bentuknya banyak, mulai dari pembakaran hutan skala besar,
alih fungsi lahan pertanian, hingga pembangunan industri ekstraktif, dimana Pulau Jawa menjadi
koridor yang menyokongnya. Alhasil
rakyatlah yang harus berkorban. Jadi semacam simbiosis parasitisme antara
rakyat dengan Negara. Hilanglah sudah kedaulatannya.
Hal
ini diperkuat dengan munculnya sejumlah perusahaan semen dari dalam dan luar
negeri telah dan siap masuk di Jawa. Diantaranya Siam Cement (Thailand) di Jawa Barat, Semen Merah
Putih (Wilmar) di Banten, Ultratech di Wonogiri, dan Jui Shin Indonesia di Jawa
Barat. Adapun Semen Puger akan beroperasi di Jember, dan Semen Panasia, Semen
Bima, serta Semen Gombong (Medco) di Jawa Tengah, yang mempertentangkan rakyat yang mempertahankan lahan dan sumber daya airnya dengan industri. Konflik politik di banyak daerah menunjukkan bahwa
pembangunan yang bertumpu pada industri ekstraktif itu menuai masalah.
Seperti yang terjadi di Desa Sikayu, Kecamatan Buayan yang merupakan bagian
dari Bentang Karst Gombong Selatan.
Hari ini rakyat Gombong pun
sedang mempertahankan haknya atas sumberdaya
agraria.
Adanya
rencana pendirian pabrik semen oleh PT. Semen Gombong dengan mengambil bahan
baku batu gamping
di kawasan Karst Karangbolong merupakan ancaman serius terhadap keberlangsungan
hidup warga Gombong, baik yang ada di kawasan karst maupun kawasan sekitarnya khususnya Desa Sikayu.
Pengupasan permukaan batu gamping dikhawatirkan akan menghilangkan fungsi utama
kawasan karst sebagai penyerap dan penyimpan air. Lokasi IUP PT Semen Gombong
berada di sisi
Timur, tepatnya di Kecamatan Buayan. PT Semen Gombong adalah salah satu anak
perusahaan dari PT Medco milik Arifin Panigoro. Rencana
PT Semen Gombong adalah membangun pertambangan di sekitar sumber mata air
permanen, sungai bawah tanah dan goa-goa yang ada di kawasan bentang alam Karst
Gombong. Dari sinilah konflik politik muncul, dimana yang menjadi titik
permasalahan adalah mengenai kepemilikan efektif (dalam hal pengelolaan) atas
sumber daya agraria tersebut. Kemudian melihat kondisi ini, berdasarkan kepeloporan dari masyarakat terbentuklah Perpag (Persatuan Rakyat
Penyelamat Karst Gombong) sebagai wujud dari penolakan warga Desa Sikayu
terhadap PT Semen Gombong.
Penolakan warga Desa Sikayu, Kecamatan Buayan itu
ditandai dengan makin berkembangnya Perpag sebagai organisasi yang menolak
berdirinya PT Semen Gombong. Sampai saat ini
untuk Desa Sikayu saja sudah tercatat 900 warga yang menyatakan diri menjadi
anggota dan siap membuat KTA (Kartu Tanda Anggota). Hal ini belum dilihat dari
jumlah anggota yang belum ber-KTA yang berjumlah 2000 orang dalam setiap kegiatan.
Inilah keseriusan yang ditampilkan oleh masyarakat. Bukti lain tentang
keseriusan Perpag dalam menolak pembangunan pabrik semen ini adalah dengan
beberapa upaya yang dilakukan dengan dikirimkannya petisi penolakan kepada
Dewan Komisi Penilai AMDAL Provinsi Jawa Tengah. Surat penolakan juga dikirim ke Presiden Jokowi,
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Ketua Komnas HAM RI, Gubernur Jawa
Tengah, Bupati Kebumen, dan DPRD Kebumen. Sebab menurut Perpag, kawasan bentang
alam karst merupakan kawasan lindung yang wajib dijaga dan dilestarikan, bukan ditambang
atau dirusak.
Mengubah celah bentang alam kawasan karst yang memiliki goa-goa
sumber mata air dan jaringan sungai bawah tanah menjadi kawasan budidaya akan
berpotensi merusak pegunungan karst secara berantai. Serta akan membahayakan
bagi kehidupan masyarakat yang
berkepanjangan. Dalam hal ini bumi kembali menjadi taruhannya, dan kembali menjadi saksi atas kejamnya eksploitasi.
Eksploitasi yang tidak memperhatikan lingkungan hidup merupakan wujud nyata
dari kebrutalan korporasi dalam merenggut segenap hak hidup rakyat. Semua demi
keuntungan sepihak tanpa kecuali. Ketika sungai
terakhir sudah mengering, ketika pohon terakhir sudah ditebang, dan ketika binatang
terakhir sudah punah, maka barulah kita sadar bahwa uang tidak bisa dimakan.
Penulis : Amy Bondan Maharaja
Ka. Dept. Organisasi FMN Cabang
Purwokerto
(Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Politik UNSOED yang sedang menggarap skripsi
soal konflik agraria di Gombong, Desa Sikayu)

Mantappp
BalasHapusbisa dipertajam lagi kawan??
BalasHapus