BREAKING NEWS

Rabu, April 20, 2016

Selamatkan Karst Gombong, Selamatkan Bumi!





Ketika sungai terakhir sudah mongering, 
ketika pohon terakhir sudah ditebang, 
dan ketika binatang terakhir sudah punah, 
maka barulah kita sadar bahwa uang tidak bisa dimakan.

Memperingati Hari Bumi dapat dilakukan oleh setiap orang di seluruh dunia. Meskipun hanya berupa aksi kecil yang sederhana akan dapat memberikan perubahan yang besar bagi bumi dan lingkungan hidup. Apalagi jika aksi tersebut dilakukan secara bersama-sama dan terus menerus. Hari Bumi atau Earth Day merupakan suatu gerakan global untuk mengkampanyekan peningkatan kesadaran dan apresiasi terhadap bumi serta peduli terhadap lingkungan hidup. Hari Bumi pertama kali diselenggarakan pada 22 April 1970 di Amerika Serikat. Hingga tahun 2016 ini, Hari Bumi telah dilaksanakan untuk yang ke-46 kalinya.

Keberadaan hari bumi ini bukan berarti tanpa alasan. Sejarah mencatat Hari Bumi merupakan kampanye untuk mengajak orang peduli terhadap lingkungan hidup. Gerakan untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap planet yang ditinggali manusia yaitu bumi. Hari Bumi telah menjadi sebuah gerakan global yang mendunia hingga kini. Seperti semacam magnet yang menyerap banyak orang untuk berempati terhadap bumi dan segala isinya, termasuk tentang pola hubungan antara manusia dengan sumber daya agraria, yang dewasa ini semakin terampas sebagai dampak dari globalisasi.

Pada hakikatnya manusia dan sumberdaya agraria tidaklah bisa di pisahkan. Bagai dua sisi mata uang, mereka saling membutuhkan. Maka dari itu, sudah seharusnya Negara sebagai lembaga atau organisasi yang memastikan kehidupan lebih baik bagi warga negaranya, melindungi segenap hak dan akses terhadap sumber daya agraria. Sebagaimana tertera pada Pasal 33 Ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”. Walaupun kondisi hari ini, seperti yang tertulis diatas tidak kian membaik.

Sejauh ini justru banyak konflik yang terjadi karena dipicu oleh “merenggangnya” hubungan antara manusia dengan sumberdaya agraria. Bentuknya banyak, mulai dari pembakaran hutan skala besar, alih fungsi lahan pertanian, hingga pembangunan industri ekstraktif, dimana Pulau Jawa menjadi koridor yang menyokongnya. Alhasil rakyatlah yang harus berkorban. Jadi semacam simbiosis parasitisme antara rakyat dengan Negara. Hilanglah sudah kedaulatannya.

Hal ini diperkuat dengan munculnya sejumlah perusahaan semen dari dalam dan luar negeri telah dan siap masuk di Jawa. Diantaranya Siam Cement (Thailand) di Jawa Barat, Semen Merah Putih (Wilmar) di Banten, Ultratech di Wonogiri, dan Jui Shin Indonesia di Jawa Barat. Adapun Semen Puger akan beroperasi di Jember, dan Semen Panasia, Semen Bima, serta Semen Gombong (Medco) di Jawa Tengah, yang mempertentangkan rakyat yang mempertahankan lahan dan sumber daya airnya dengan industri. Konflik politik di banyak daerah menunjukkan bahwa pembangunan yang bertumpu pada industri ekstraktif itu menuai masalah. Seperti yang terjadi di Desa Sikayu, Kecamatan Buayan yang merupakan bagian dari Bentang Karst Gombong Selatan. Hari ini rakyat Gombong pun sedang mempertahankan haknya atas sumberdaya agraria.

      Adanya rencana pendirian pabrik semen oleh PT. Semen Gombong dengan mengambil bahan baku batu gamping di kawasan Karst Karangbolong merupakan ancaman serius terhadap keberlangsungan hidup warga Gombong, baik yang ada di kawasan karst maupun kawasan sekitarnya khususnya Desa Sikayu. Pengupasan permukaan batu gamping dikhawatirkan akan menghilangkan fungsi utama kawasan karst sebagai penyerap dan penyimpan air. Lokasi IUP PT Semen Gombong berada di sisi Timur, tepatnya di Kecamatan Buayan. PT Semen Gombong adalah salah satu anak perusahaan dari PT Medco milik Arifin Panigoro. Rencana PT Semen Gombong adalah membangun pertambangan di sekitar sumber mata air permanen, sungai bawah tanah dan goa-goa yang ada di kawasan bentang alam Karst Gombong. Dari sinilah konflik politik muncul, dimana yang menjadi titik permasalahan adalah mengenai kepemilikan efektif (dalam hal pengelolaan) atas sumber daya agraria tersebut. Kemudian melihat kondisi ini, berdasarkan kepeloporan dari masyarakat terbentuklah Perpag (Persatuan Rakyat Penyelamat Karst Gombong) sebagai wujud dari penolakan warga Desa Sikayu terhadap PT Semen Gombong.

Penolakan warga Desa Sikayu, Kecamatan Buayan itu ditandai dengan makin berkembangnya Perpag sebagai organisasi yang menolak berdirinya PT Semen Gombong. Sampai saat ini untuk Desa Sikayu saja sudah tercatat 900 warga yang menyatakan diri menjadi anggota dan siap membuat KTA (Kartu Tanda Anggota). Hal ini belum dilihat dari jumlah anggota yang belum ber-KTA yang berjumlah 2000 orang dalam setiap kegiatan. Inilah keseriusan yang ditampilkan oleh masyarakat. Bukti lain tentang keseriusan Perpag dalam menolak pembangunan pabrik semen ini adalah dengan beberapa upaya yang dilakukan dengan dikirimkannya petisi penolakan kepada Dewan Komisi Penilai AMDAL Provinsi Jawa Tengah. Surat penolakan juga dikirim ke Presiden Jokowi, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Ketua Komnas HAM RI, Gubernur Jawa Tengah, Bupati Kebumen, dan DPRD Kebumen. Sebab menurut Perpag, kawasan bentang alam karst merupakan kawasan lindung yang wajib dijaga dan dilestarikan, bukan ditambang atau dirusak. 

Mengubah celah bentang alam kawasan karst yang memiliki goa-goa sumber mata air dan jaringan sungai bawah tanah menjadi kawasan budidaya akan berpotensi merusak pegunungan karst secara berantai. Serta akan membahayakan bagi kehidupan masyarakat yang berkepanjangan. Dalam hal ini bumi kembali menjadi taruhannya, dan kembali menjadi saksi atas kejamnya eksploitasi. Eksploitasi yang tidak memperhatikan lingkungan hidup merupakan wujud nyata dari kebrutalan korporasi dalam merenggut segenap hak hidup rakyat. Semua demi keuntungan sepihak tanpa kecuali. Ketika sungai terakhir sudah mengering, ketika pohon terakhir sudah ditebang, dan ketika binatang terakhir sudah punah, maka barulah kita sadar bahwa uang tidak bisa dimakan.

Penulis : Amy Bondan Maharaja
Ka. Dept. Organisasi FMN Cabang Purwokerto

(Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Politik UNSOED yang sedang menggarap skripsi soal konflik agraria di Gombong, Desa Sikayu)

Share this:

2 komentar :

 
Back To Top
Copyright © 2018 Soeara Massa. Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Templates