Awalan : Krisis Imperialis Amerika Serikat
(AS) sebagai mulanya Politik Upah Murah
Indonesia
termasuk negara setengah jajahan dan setengah feodal, dimana yang berkuasa
serta melakukan penghisapan-penindasan terhadap rakyat tidak lain ialah
Imperialisme pimpinan AS, Feodalisme, dan kapitalis birokrat (rejim boneka
Jokowi-JK). Mulanya ditahun 2008 terjadi krisis ditubuh Imperialis AS yakni krisis
keuangan yang berlanjut dengan krisis utang pada 2010.
Sejak
saat itu, situasi krisis tidak pernah menunjukkan tanda-tanda akan terjadi
perbaikan. Setidaknya, gelombang krisis telah menghadirkan 27 juta angka PHK di
AS, dan bertambah sebanyak 250.000 orang pencari kerja setiap tahunnya. Semuanya
terjadi bukan dikarenakan negeri-negeri imperialis sedang terbatas dana atau
kapitalnya. Justru sebaliknya, terjadi surplus/kelebihan kapital serta barang
dagangan di negerinya, dimana surplus ini sudah tidak dapat lagi memberikan
nilai baru jika tetap berada di negeri imperialis. Jalan satu-satunya, agar tidak
terjadi pembusukan kapital, maka kapital dan barang produksi tersebut harus
dikirim ke-berbagai negeri, terutama negeri setengah jajahan dan setengah
feodal seperti Indonesia.
Berangkat
dari krisis itu, maka imperialis punya 4 (empat) kepentingan di Indonesia,
antaranya :
- Kepentingan untuk menguasai kekayaan alam;
- Kentingan untuk mengeksploitasi tenaga kerja murah yang berlimpah (tenaga kerja murah);
- Indonesia sebagai tempat pemasaraan;
- Eksport kapital dalam bentuk utang, pinjaman.
Melihat
kepentingan dari Imperialisme itu wajar saja semakin deras pula perampasan dan monopoli
atas kekayaan alam Indonesia yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar
bahkan negara lewat pemerintahannya. Ini yang mengakibatkan banyak dari pemuda
desa berduyun-duyun pergi ke kota mencari kerja, karena tanah didesa telah drampas
dan dimonopoli. Dan ujungnya, karena tidak ada jaminan lapangan pekerjaan yang
layak bahkan politik upah murah yang dilakukan pemerintah membuat rakyat
semakin tertindas dan terhisap.
Skema Politik Upah Murah dibalik PP Pengupahan
(PP No.78/2015)
Krisis
umum ditubuh Imperialisme memaksa rejim boneka (hari ini Jokowi-JK) untuk
mengeluarkan kebijakan agar kepentingan Imperialis langgeng menerus. Tersusunlah
paket kebijakan ekonomi jilid I - V yang diusung pemerintahan Jokowi-Jk, yang juga
memprogramkan perombakan aturan mengenai upah buruh. Lahirlah PP No. 78 Tahun 2015
tentang Pengupahan sebagai anak kandung dari paket kebijakan ekonomi jilid IV.
Didalam
Pasal 43 (5) PP No.78/2015 dinyatakan bahwa untuk peninjauan komponen kebutuhan hidup layak dilakukan
setiap lima tahun sekali. Artinya pemerintah hanya akan melakukan
peninjauan atas komponen kebutuhan hidup layak yang digunakan sebagai dasar
penghitungan upah hanya sekali selama lima tahun. Hal ini sangat tidak tepat. Karena
harga atas komponen KHL[1] bersifat
selalu dinamis (tidak konstan) dan tidak dapat hanya diukur per-lima tahun
sekali seperti dalam PP Pengupahan itu. Karena selama lima tahun upah buruh
tidak akan sebanding dengan KHL karena harga dari komponen KHL bisa
berubah-ubah dipengaruhi misalnya : kenaikan harga BBM (karena pencabutan
subsidi oleh pemerintah), kenaikan tarif dasar listrik, bahkan kebijakan BPJS
yang meletakkan tanggungan premi pada buruh. Akibatnya upah yang didapat buruh
tidak bisa menjangkau kebutuhan hidup layak, dan buruh akan dilanda kesakitan
serta kelaparan.
Selain
itu pasal 44 PP No.78/2015 menentukan formula penghitungan penetapan upah buruh
setiap tahunnya berdasar;
UMn = UMt + (UMt X
(Inflasit + Δ % PDBt)
Keterangan :
UMn : Upah
minimum yang akan ditetapkan
UMt : Upah minimum tahun berjalan.
Inflasit
: Inflasi yang dihitung dari periode September tahun yang lalu sampai dengan periode
September tahun berjalan.
Δ
PDBt : Pertumbuhan Produk Domestik Bruto
Jadi
kenaikan upah tahunan bagi buruh akan berdasarkan pada upah tahun berjalan,
ditambahkan dengan upah tahun berjalan dikali dengan inflasi ditambah
prosentase pertumbuhan ekonomi. Bahkan kita tidak melihat KHL menjadi unsur
dari penetapan upah, pemerintah berdalih itu sudah terakomodir dengan masuknya
inflasi. Artinya KHL disamakan dengan tingkat inflasi. Padahal meskipun inflasi
mempengaruhi harga barang pokok (item dalam KHL), namun nyatanya harga barang
pokok senantiasa melampaui tingkat/presentase inflasi. Misalnya tingkat inflasi
5 % namun kenaikan harga barang pokok bisa mencapai 100% dari harga awal,
akibatnya seberapa-pun upah buruh, ketika harga barang pokok mengalami kenaikan
maka tidak dapat dibeli barang pokok itu oleh buruh.
Akhirnya,
tingkat inflasi ternyata bukanlah cerminan riil harga-harga barang pokok dan
tidak bisa disamakan dengan KHL, namun semata hanya perampasan upah buruh,
justru pemerintah dan perusahaan kedepannya bisa beralasan bahwa karena terjadi
inflasi dan sudah diatur dalam PP No.78/2015, maka biaya produksi harus ditekan
dan oleh karenanya upah buruh juga ditekan (tidak naik). Lebih lagi,
harga-harga barang pokok mesti dinaikkan. Jika begitu, ditindas serta terhisaplah
kaum buruh oleh Imperialis dan pemerintahan Jokowi-Jk yang anti rakyat. Inilah bentuk
pelangaran hak konstitusional rakyat khususnya buruh, padahal pasal 28D ayat (2)
UUD 1945 menyatakan bahwa Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat
imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Dan pasal 88
serta pasal 89 UU Ketenagakerjaan menetapkan bahwa upah minimum harus berdasar
dan demi pemenuhan kebutuhan hidup layak.
Bentuk
perampasan upah lainnya adalah dengan dimasukkannya pertumbuhan ekonomi kedalam
formula pengupahan. Pertumbuhan ekonomi yang dimaksud ialah Produk Domestik
Bruto/PDB. Padahal ditengah situasi krisis global yang melanda seluruh negeri, pertumbuhan
ekonomi acapkali mengalami pelambatan. Sejak lima tahun terakhir, pertumbuhan
ekonomi global angkanya tidak pernah melebihi 4%, bahkan di Amerika sendiri
pertumbuhan ekonominya nol persen. Jika pemerintah Indonesia selalu mengklaim
memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi hingga 6%, tentu hal ini patut
dipertanyakan. Jikapun benar terjadi pertumbuhan ekonomi, pertanyaan
selanjutnya adalah siapa yang menikmati pertumbuhan ekonomi ini. Karena negeri
ini dibangun dari hutang dan investasi, yang merupakan penentu PDB. maka
sebesar apapun pertumbuhan ekonominya tidak akan pernah mempunyai arti penting
bagi kesejahteraan rakyat Indonesia[2].
Bahkan
pada semester kedua tahun ini, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia kembali
dikoreksi pada angka 4,9%. Artinya, kontribusi pertumbuhan ekonomi untuk
kenaikan upah buruh tahun 2016 kemungkinan hanya akan berada pada kisaran 5%.
Jika diasumsikan inflasi berada pada angka 5%, maka upah tahun 2016 hanya akan
naik sebesar 10% saja[3].
Selain
untuk menerapakan politik upah murah, PP 78/2015 ini merupakan bentuk
pelanggaran terhadap kebebasan berserikat dan penyampaian pendapat bagi buruh.
Karena jika buruh ingin melaksanakan tugas serikat, pasal 44 ayat (4)
menyatakan “harus ada persetujuan dari pengusaha.” GSBI mengatakan “selama ini
pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang hendak menjalankan tugas/kegitan
serikat sangat sulit mendapatkan persetujuan dari pihak pengusaha. Jika
perusahaan tidak memberikan persetujuan maka pengurus serikat tidak dapat
menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pengurus, dan apabila pengurus serikat
memaksakan diri manjalankan tugasnya maka akan dianggap mangkir. Konsekuensinya
selain dipotong upahnya juga terancam mendapatkan sanksi berupa SP, bahkan bisa
di-PHK.”[4] Represifitas
yang dialami oleh buruh terbukti ketika belakangan hari ini banyak terjadi
penangkapan dan pemukulan aktivis buruh ketika melakukan aksi-demonstrasi. Bahkan
dalam mogok nasional beberapa kantor/sekretariat serikat buruh di tongkrongi polisi dan tentara,
intimidasi lewat pesan SMS serta media sosial pun kerap kali dialami buruh saat
ini.
Sekali
lagi ini merupakan bentuk pelanggaran Hak konstitusional rakyat yang sistemik,
karena hak atas kebebasan berserikat serta menyatakan pendapat dimuka umum,
bahkan mogok nasional bagi buruh telah dijamin oleh UUD 1945, Undang-Undang Ketenagakerjaan, UU Nomor 21
tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Pemuda Mahasiswa Berjuang Bersama
Rakyat
Penghidupan
buruh yang selalu ditindas dan dihisap, apalagi setelah di berlakukannya PP
No.78/2015 tentang Pengupahan membuat semakin massifnya perampasan hak-hak
dasar kaum buruh beserta keluarganya. Karena dengan upah buruh yang sangat murah
akan berakibat pada semakin tidak tergapainya pendidikan bagi anak-anak buruh. Disamping
pendidikan yang semakin mahal biayanya.
Pemuda mahasiswa pun nantinya akan terjun kedalam dunia kerja, jika upah buruh terus di rampas maka yang terjadi pada kita pun akan sama kedepannya, hidup dan bekerja dibawah upah yang tidak layak. Hal ini menjadi irisan yang nyata, mengapa dilain sisi pemuda mahasiswa perlu mendukung perjuangan kaum buruh demi meraih kemerdekaan sejati. Sebab pendidikan murah pun tidak akan dapat terwujud tanpa adanya perjuangan kaum buruh yang menuntut dibangunnya sebuah Industri Nasional yang mandiri tanpa intervensi Imperialis yang serakah. Karena dengan dibangunnya Industri Nasional oleh rakyat khususnya kaum buruh alhasil keuntungannya pun akan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kebutuhan dan kemakmuran rakyat, termasuk pemenuhan kebutuhan pendidikan.
Kesemuanya
tidak akan terwujud tanpa adanya Reforma Agraria sejati sebagai perjuangan dari
kaum tani, sekaligus jawaban atas basis sosial masyarakat kita yang setengah
jajahan dan setengah feodal, dimana imperialis bersama dengan tuan tanah besar
serta borjuasi komprador senantiasa memonopoli dan merampas kekayaan alam
negeri ini.
Atas
dasar itu pemuda mahasiswa perlu mendukung perjuangan buruh dan semakin
mengukuhkan keyakinan bahwa perjuangan kita untuk mewujudkan pendidikan yang
ilmiah, demokratis dan mengabdi pada rakyat bukanlah hal yang utopis jika kita
terus saling bertalian erat dengan perjuangan klas buruh dan kaum tani,
khususnya perjuangan yang saat ini sedang dilakukan oleh buruh lewat mogok
nasional. Sebab hanya dengan perjuangan dan persatuan yang kuatlah rakyat akan
mendapat kemerdekaan dan kedaulatannya yang sejati.
Adhi Bangkit Saputra
(Divisi Riset dan Kajian, Departemen Pendidikan dan Propaganda FMN Cabang Purwokerto)
[1] Standar KHL berdasar Keputusan Menteri Tenaga Kerja
No. 13 tahun 2012 terdapat 7 komponen (60 item) berupa : Makanan &
Minuman (11 items), Sandang (13 items), Perumahan (26 items), Pendidikan (2
item), Kesehatan (5 items), Transportasi (1 item), Rekreasi dan Tabungan (2
item). Kesemuanya itu berpatok pada buruh lajang.
[2] http://www.infogsbi.org/2015/10/pp-no-782015-tentang-pengupahan-skema.html.
Akses online : 25 November 2015.
[3]Ibid.
[4] Ibid.

Posting Komentar