Hari ayah yang jatuh pada
tanggal 12 November 2015 secara tak langsung mengingatkan kita terhadap
perjuangan perempuan dalam merebut kedudukannya yang setara dengan laki-laki.
Hari ayah juga menunjukan bahwa peranan laki-laki dalam masyarakat mempunyai
posisi yang penting bahkan dapat dibilang sentral. Bagaimana tidak, budaya
patriarkhi yang masih bercokol kuat dalam masyarakat kita menjunjung tinggi
kedudukan laki-laki diatas kedudukan perempuan. Domestikisasi perempuan berubah
menjadi sesuatu yang nature dan
kodrati bagai perempuan. diperkuat dengan dogma-dogma agama yang pada hakekatnya
justru memperkuat dominasi laki-laki dan mensubrdinasikan perempuan melalui
skema penindasan berganda.
Tampilnya perempuan dalam
ruang-ruang publik terutama dalam rangka memperjuangkan hak-hak ekonominya
dipandang sebagai bentuk kemajuan yang progresif bagi perempuan. Kemampuan
sebagian perempuan untuk mampu memenuhi kebutuhannya secara ekonomi bahkan
lebih jauh mampu menyokong perekonomian keluarga dianggap sebagai lompatan yang
baik dalam perjuangan perempuan. Tentunya kondisi yang demikian juga harus
mengingat perempuan-perempuan yang justru semakin tertindas manakala berada di
ruangan publik, seperti pelecehan seksual, ataupun permasalahan yang sedikit
lebih “terhormat” yakni masalah diskriminasi gaji bagi buruh perempuan. Perempuan
yang demikian patut mendapat apresiasi yang tinggi dari masyarakat, karena
disamping membantu perekonomian keluarga, mereka juga mampu mendorong
pertumbuhan ekonomi negaranya.
Disisi lain, tampilnya perempuan ke
ruang publik menimbulkan pertanyaan yang memiliki 2 opsi jawaban, apakah
laki-laki telah sadar bahwa perempuan memiliki hak untuk memperjuangkan hak-haknya,
atau justru laki-laki secara tidak langsung telah mengakui ketidakmampuannya
dalam mencukupi kebutuhan keluarga. Pertanyaan tersebut dilihat dari sisi
masyarakat. Lalu apabila disihat dari sisi penguasa dan pemodal, apakah hal
demikian akan menguntungkan atau justru merugikan ketika terdapat sumberdaya
tenaga baru yakni kaum perempuan.
Budaya patriarkhi yang
serba laki-laki sentris memberikan hak yang besar kepada laki-laki dalam
susunan masyarakat. Dalam struktur terkecil keluarga saja misalnya, laki-laki
ditempatkan sebagai pemegang kekuasaan baik secara politik untuk membuat
keputusan ataupun kekuasaan ekonomi yakni yang menguasai sumberdaya-sumberdaya
ekonomi keluarga. Ada baiknya mungkin kita mengingat bahwa tersingkirnya perempuan
dari penguasaan sumber-sumber produksi dimulai dari dikuasinya sektor pertanian
oleh laki-laki, dimana sebelumnya sektor perburuan juga telah dikuasi lebih
dulu oleh laki-laki. Pada zaman modern khususnya di Indonesia, revolusi hijau
turut serta berjasa dalam menyingkirkan perempuan dari sektor pertanian,
contohnya melalui teknologi ani-ani yang tidak dapat dikendalikan oleh
perempuan. Akibatnya domestikisasi perempuan terjadi. Hal ini dikekalkan secara
turun-temurun sebagai sesuatu yang benar dan bersifat kodrati.
Dalam perkembangannya,
ketika kapitalisme telah sampai pada fase imperalisme sebagi puncaknya, kaum
laki-laki tidak mampu lagi bertahan seorang diri dalam tugasnya memenuhi
kebutuhan keluarga, upah yang makin rendah diikuti dengan harga-harga kebutuhan
yang semakin tinggi, maka tampilah perempuan sebagai sang messiah atau juru selamat dari peradaban. Pengakuan terselubung
dari laki-laki perihal ketidakmampuannya dalam mencukupi kebutuhan keluarga
sejatinya adalah merupakan sinyal bahwa budaya patriarkhi tengah menghadapi
krisis sebagaimana krisis imperialisme yang telah menjangkiti dunia. Hanya saja
persoalannya, mengapa krisis partiarkhi ini tidak kunjung mematikan budaya
patriarkhi yang ada.
Sejatinya, budaya
patriarkhi meletakkan tanggung jawab yang teramat besar bagi laki-laki,
laki-laki harus menjadi sosok yang kuat, tidak cengeng, mampu menyelesaikan
masalah tanpa mengeluh, dan pada akhirnya mereka diharuskan untuk mampu
memimpin keluarga, mencukupi kebutuhan keluarga, serta menjaga anggota
keluarganya. Tuntutan yang demikian sungguh membebani bagi makhluk bernama
laki-laki, disisi lain perempuan diperbolehkan untuk lemah, cengeng, dan tidak
mampu untuk menyelesaikan masalah, kemudian perempuan pun cukup diberi tugas
yang sederhana dan ringan macam mengurus rumah tangga, perempuan juga diberi
hak untuk menuntut nafkah dari suaminya kelak. Betapa sialnya bayi yang
dilahirkan sebagai laki-laki.
Namun ironisnya, hingga
kini tak pernah nampak ada gerakan maupun keluhan dari laki-laki mengenai
budaya patriarkhi yang melilitnya, yang ada hanyalah gerakan perempuan yang
menuntut kesetaraan gender dalam relasi gender antara laki-lai dan perempuan.
laki-laki diharuskan menelan bebannya sendiri, dan menjadi jatuh wibawanya
dihadapan perempuan ketika si perempuan ikut membantu memenuhi kebutuhan
keluarga. Hal ini belum termasuk apabila ternyata perempuan memiliki posisi
tawar yang lebih tingga dari laki-laki, celakalah laki-laki.
Dalam hal penindasan laki-laki,
negara melaui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengukuhkan
tanggung jawab yang berat bagi laki-laki untuk menjadi kepala keluarga
sekaligus mencari nafkah dengan hak seorang perempuan untuk menuntut nafkah
bagi dirinya. Negara meligitimasi beban berat yang ditimpakan kepada laki-laki,
dan bersamaan dengan itu juga menempatkan perempuan pada posisi yang subordinat
dengan menganggung resiko yaitu beban kerja ganda apabila dirinya berjuang di
ruang pubik dan ketika perempuan menjalankan tugas domestiknya sesuai amanah
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Permasalahan demikian
sesungguhnya menjadi beban bersama bagi umat manusia, baik laki-laki maupun
perempuan. Baik tugas-tugas domestik rumah tangga maupun tugas publik dalam
mencari nafkah seharusnya menjadi beban bersama antara laki-laki dan perempuan,
belum lagi persoalan perjuangan melawan musuh rakyat yakni kapitalisme, imperalisme, maupun kapitalis
bairikrat yang sungguh-sungguh membutuhkan tenaga ekstra dan besar untuk
menumpasnya. Kolektifisme masyarakat khususnya keluarga sebagai unit terkecil
masyarakat menjadi keharusan dalam perjuangan massa menyongsong masa depan yang
gilang gemilang. Perjuangan perempuan tidak bertujuan untuk melawan laki-laki
karena baik laki-laki maupun perempuan hingga hari ini sma-sama tertindas,
perjuangan perempuan adalah perjuangan yang dilakukan bersama dengan laki-laki
dalam menuntut hak-hak massa rakyat tertindas.
Ya, laki-laki memang kepala keluarga,
tetapi perempuan adalah leher yang menentukan kemana arah kepala yang
disangganya akan menghadap
Selamat Hari Ayah 2015!!
Penulis : Nuni Silvana, SH, MH [2]
[1] Tulisan ini didedikasikan
dalam rangka hari ayah untuk laki-laki dan perempuan yang konsisten dalam
perjuangan massa, dan dipersembahkan untuk kekasihku Ahmad Sucipto yang telah melenyapkan batas publik dan
privat diantara kami.
[2] Anggota Divisi Perempuan
Front Mahasiswa Nasional (FMN) Cabang Purwokerto, dan Anggota Magang Serikat
Perempuan Indonesia (Seruni)

Posting Komentar