Refleksi Peringatan Hari Kesehatan Internasional 7 April 2015
oleh : Marsha Azka
(Ketua FMN Ranting Unsoed)
------
oleh : Marsha Azka
(Ketua FMN Ranting Unsoed)
------
Ia yang Memiliki Kesehatan Memiliki Segalanya;
Dan Ia yang Memiliki Harapan Memiliki Segalanya
(Peribahasa Arab)
Kutipan peribahasa di atas memang benar adanya. Kesehatan merupakan hak dasar yang (seharusnya) dimiliki oleh seluruh orang di dunia ini. Tanpa kesehatan, manusia akan kesulitan melakukan kegiatan produktif baik mengenyam pendidikan maupun kerja. Tanpa kesehatan, manusia akan kehilangan harapannya. Salah satu hal pokok yang menjamin bagi kesejahteraan manusia adalah kesehatan. Suatu bangsa dengan kesehatan yang baik, memiliki peluang yang sangat besar bagi tumbuhnya kesejahteraan bangsa tersebut.
Setiap tanggal 7 April masyarakat dunia memperingatinya sebagai Hari Kesehatan Internasional. Sejarah kelahiran Hari Kesehatan Internasional ditandai dengan berdirinya Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) pada 7 April 1948. Konstitusi WHO menyatakan bahwa tujuan didirikannya WHO adalah "agar semua orang mencapai kesehatan tertinggi yang paling memungkinkan."
Delapan bulan pasca pendirian WHO dan penetapan Hari Kesehatan Internasional, tepat pada tanggal 10 Desember 1948, kesehatan dijadikan salah satu Hak Asasi Manusia. Pada tanggal ini muncul kedalam tataran internasional hak asasi dalam rumusan Perserikatan Bangsa-bangsa (The United Nations) yakni The Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dengan resolusi 217 A (III)111. Deklarasi ini terdiri dari Pembukaan dan 30 pasal yang meletakkan hak-hak dan kebebasan dasar dimana semua laki-laki dan perempuan, di semua tempat di dunia berhak tanpa pembedaan apapun. Termasuk di dalamnya adalah hak atas kesehatan.
Indonesia termasuk negara yang berpartisipasi serta ikut andil dalam pencetusan The Universal Declaration of Human Rights (UDHR). Artinya Indonesia mengakui akan adanya hak dasar warga negaranya yang wajib untuk dipenuhi, termasuk kesehatan. Secara konstitusional, pada UUD `45, Pasal 28 H, disebutkan bahwa "Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan." Akan tetapi di bawah rezim boneka imperialis Jokowi-JK saat ini (termasuk rezim boneka sebelum-sebelumnya), Indonesia seolah tidak serius dalam menggarap permasalahan kesehatan di Indonesia. Beberapa fakta akan coba diungkapkan dalam tulisan ini untuk dijadikan refleksi kita besama bagaimana permasalahan kesehatan di Indonesia.
Pendanaan kesehatan berpengaruh besar terhadap tingkat kesehatan suatu bangsa. Laporan WHO tahun 2000 menunjukkan bahwa fairness in health care financing memiliki korelasi kuat terhadap kinerja sistem kesehatan di suatu negara. WHO mengeluarkan standar minimal bagi pembangunan kesehatan disuatu negara adalah pengalokasian minimal 5% dari total anggaran suatu negara. Indonesia juga mengeluarkan kebijakan serupa melalui Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang mengatur alokasi minimal pendanaan kesehatan adalah 5% dari APBN. Akan tetapi pada implementasinya, pada tahun 2015 Indonesia hanya mengalokasikan 3,7% anggaran kesehatan dari total APBN.
Dalam UUD '45, Pasal 28 H ayat 3 disebutkan bahwa, Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. Akan tetapi program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang merupakan layanan jaminan kesehatan bagi masyarakat kurang mampu diganti dengan sistem Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Tepat pada tanggal 9 Agustus 2013 terjadi penandatanganan kesepakatan pengalihan Jamkesmas ke BPJS. Padahal kita ketahui bersama bersama bahwa hakikat dari BPJS adalah sistem asuransi. Hal tersebut tentu menunjukkan bentuk lepas tangan pemerintah dalam hal pendanaan terhadap sektor kesehatan.
Pembangunan fasilitas kesehatan di Indonesia juga masih jauh dari kata ideal. Bank Dunia tahun 2013 mencatat 383 kecamatan belum memiliki puskesmas saat ini. Artinya, sebanyak 6,2 juta jiwa penduduk Indonesia tidak memiliki akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan dasar. Di level lebih tinggi, masih ada 42 kabupaten yang belum memiliki rumah sakit. Itu berarti ada 36 juta penduduk Indonesia yang tak punya akses terhadap fasilitas kesehatan sekunder. Masih banyak anak Indonesia yang kekurangan gizi (malnutrisi) yaitu meningkat dari 15 persen menjadi 17 persen (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2013). Bahkan Pada tahun 2012, Indonesia Negara kekurangan gizi nomor 5 di dunia.
Jumlah dokter di Indonesia juga sangat sedikit juka dibandingkan dengan jumlah masyarakat Indonesia. Jumlah dokter di Indonesia adalah 1 : 3,400. Artinya, satu dokter di Indonesia harus menangani 3,400 penduduk. Mirisnya lagi adalah, Universitas-universitas yang seharusnya menjadi tempat bagi pencetak dokter-dokter yang mengabdikan dirinya untuk kesehatan rakyat Indonesia, justru biayanya melambung sangat tinggi. Hal tersebut tentu saja membatasi akses bagi calon mahasiswa yang ingin mengabdikan dirinya bagi kesehatan rakyat tetapi terhambat oleh biaya. Mahalnya biaya Fakultas Kedokteran merambah hingga Universitas Negeri. Sebagai contoh adalah kampus kita, Universitas Jendral Soedirman (Unsoed). Pada tahun 2013 Unsoed menggunakan sistem Uang Kuliah Tunggal di mana mayoritas mahasiswa Fakultas Kedokteran harus mengeluarkan biaya pendidikan sebesar 15 juta setiap enam bulan (semester). Dalam waktu satu tahun, tepatnya pada tahu 2014, mayoritas mahasiswa kedokteran harus membayar biaya pendidikan sebesar 17,5 juta setiap semesternya. Bukan tidak mungkin kedepannya akan terjadi kenaikan biaya kuliah, baik dengan alasan kenaikan harga BBM dan lain-lain.
Akar permasalahan dari tercerabutnya hak rakyat atas kesehatan maupun pendidikan (faktor penunjang kesehatan) adalah karena Indonesia masih terjebak oleh sistem dunia yang dimonopoli oleh Imperialisme AS. Pada tahun 1994 Indonesia meratifikasi“Agreement Establishing The World Trade Organization” dalam bentuk UU No.7 Tahun 1994. dan fix menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO). Konsekwensinya adalah Indonesia harus menyepakati segala kebijakan yang dikeluarkan oleh WTO, salah satunya adah penyepakatan terhadap kebijakan GeneralAgreement On Trade In Service (GATS). Adapun Kebijakan GATS adalah me-liberalisasi-kan 12 sektor jasa termasuk Kesehatan dan Pendidikan. Dampaknya adalah Kesehatan dan Pendidikan di Indonesia menjadi ladang bisnis yang bertujuan profit orientid (mengutamakan keuntungan), sehingga akses terhadap layanan kesehatan dan pendidikan semakin susah dikarenakan harganya yang mahal.
Tugas pemuda mahasiswa yang paling pokok adalah Belajar, Berorganisasi, dan Berjuang. Belajar adalah berusaha semaksimal dan seikhlas mungkin untuk memahami realitas objektif (sesungguhnya) mengenai ketertindasan rakyai Indonesia sehingga kesulitan untuk mengakses layanan kesehatan dan pendidikan serta kaitannya. Berorganisasi adalah menghimpun diri dengan mengajak kawan-kawan lainnya untuk bergabung bersama dalam wadah organisasi yang memiliki tujuan memperjuangkan hak-hak demokratis massa rakyat. Berjuang adalah bentuk praktek secara konkret untuk menolak segala bentuk kebijakan anti rakyat berupa komersialisasi pendidikan maupun liberalisasi kesehatan dengan tetap memegang prinsip kesatuan aksi yang besar. Analisis dan perbedaan pendapat diselesaikan dalam wadah organisasi, dan dalam mempraktekan perjuangan harus meenggunakan analisis yang disepakati oleh organisasi.
Selamat Belajar Berorganiasi Berjuang !!
Tolak Komersialisasi Pendidikan dan Liberalisasi Kesehatan !!
Supratman, Dedi dan Eko Prasetyo, Bisnis Orang Sakit, Resist Book, Yogyakarta (2010)
http://dinkespandeglang.blogspot.com/2011/04/7-april-tonggak-sejarah-terbentuknya.html.
http://www.soearamassa.com/2010/12/sebuah-refleksi-peringatan-hari-ham.html.
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/448341-pengalihan-program-jamkesmas-ke-bpjs-kesehatan.
http://indonesia.ucanews.com/2013/01/23/62-juta-warga-indonesia-tidak-memiliki-akses-kesehatan/
http://www.indonesiafightpoverty.com/2014/04/01/indonesia-masih-dihantui-kasus-gizi-buruk/
http://www.antaranews.com/berita/263171/indonesia-kekurangan-banyak-dokter/

Posting Komentar