![]() |
| gambar: http://nerdprint.com |
(Departemen Pendidikan dan Propaganda - Div. Pendidikan FMN Ranting Unsoed)
Dominasi asing (Imperialisme) dirasakan
oleh rakyat seperti buruh,tani,pemuda-mahasiswa,rakyat miskin kota, dan
perempuan. Sektor
musik-pun tak terlepas dari dominasi pemodal besar monopoli dalam segala
hal di dalamnya. Bisa disaksikan semua peralatan entah di
atas panggung ataupun di balik layar sendiri. Musik sendiri adalah serangkaian
nada-nada yang digabungkan menjadi satu lewat berbagai instrumen-instrumen atau
alat musik. Kemudian munculah berbagai aliran musik atau genre seperti pop, rock, metal, hip hop, dll. Dari beberapa musik-musik
di Indonesia kita bisa membedakan pula antara musik
indie dan musik label.
Musik indie sendiri memiliki slogan Do It Yourself (DIY) berarti musik indie adalah musik yang
diciptakan orang-orang yang bermusik dengan modal sendiri dari proses produksi
lagu sampai dengan yang namanya launching
album atau EP mereka, tanpa adanya label manajemen yang menauingnya dan biasanya munculnya musik ‘indie’
berasal dari komunitas-komunitas. Sedangkan musik label
kebalikan dari musik indie, yaitu bernaung di bawah label musik dan profit motif.
So, kita akan membahas bagaimana musik ‘indie’ mampu tetap eksis menghadapi industrialisasi
musik dewasa ini. Coba kita lihat alat-alat musik yang dimiliki musisinya
biasanya buatan dari negara-negara maju. Contoh peralatan band seperti drum, gitar, keyboard, piano saja Indonesia belum bisa
membuatnya. Kalo pun ada itu pasti gitar custom-an dari merk-merk terkenal dan tetap kalah kualitasnya. Gitar yang
buatan asli amerika saja kisaran 5-7jt belum efek dan amplifier gitarnya.
Secara tidak langsung seorang musisi minimal harus memiliki modal sekitar
10-12jt dan itu tidak bisa dipungkiri. Lalu jika musisi dengan orientasi non-profit (indie) bagaimana
mereka bertahan ditengah industrialisasi dunia hiburan?
Menjadi seorang musisi label pun juga belum tentu enak. Dari
total pendapatan “ngamen” dari
hasil keringatnya itu pun harus dibagi kepada management dan managernya sekitar
60%. Terjadi penghisapan di dunia permusikan. Sebagai contoh sebuah grup musik
yang terdiri dari 5 orang “ngamen” disebuah event dengan fee Rp 15.000.000 maka band tadi harus menyetorkan sekitar 60% dari
total pendapatanya, mereka harus membayar Rp 9.000.000 kepada management dan managernya.
Berarti grup musik tadi hanya mendapatkan fee Rp 6.000.000 yang kemudian harus
dibagi untuk 5 orang, yang berarti mendapatkan Rp 1.200.000 tiap orangnya.
Apakah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya anggota grup musik tadi?
Tidak hanya itu saja. Dibalik layarnya
atau dalam produksi pembuatan lagu semua peralatannya pasti mayoritas buatan
luar negeri. Berbagai merk asing yang menguasai pasar alat rekaaman. Dengan
asumsi untuk membuat suatu studio recording kamar saja bisa menghabiskan yang
masih di bawah standar rekaman pun budgetnya kisaran 10-20 juta. Biaya sewa
yang dipatok oleh pemilik studio yang merangkap operator studio itu sendiri
biasanya sekitar Rp 20.000/jam sedangkan biaya mixing dan mastering sekitar Rp
80.000 – 100.000/lagu. Belum lagi persaingan kualitas hasil studio rekaman yang
bersifat kompetitif. Bisa dipastikan mereka yang mempunyai studio akan
berlomba-lomba untuk bersaing. Dan bisa dipastikan pula hanya bertahan sebentar
saja.
Lewat WTO (World Trade Organization) dengan memasukan TRIP’s atau hak cipta
dan bentuk riil-nya adalah kebijakan HAKI (Hak Kekayaan Intelektual) yang membuat
musik hakikatnya adalah ekspresi manusia atas kegelisahan akan realita manusia,
lingkungan dan ruang hidup kini hanya ‘rengekan’, ‘Cinta’ yang semu. Monopoli industri
musik-pun dirasakan oleh musisi tradisional daerah yang ada di Indonesia yang
harus tertatih-tatih bertahan di dunia seni tradisional yang ‘semakin’ ditelan
oleh zaman. Dibalik gemerlapnya lampu dan sorotan kamera, ternyata dunia
hiburan hanya sebagai topeng dari Kapitalis Monopoli untuk membius rakyat dalam
kesenangan, kegalauan dan romantisme ‘Cinta’ yang semu. Secara budaya pemuda Indonesia
terus di ‘cekoki’ oleh budaya konsumerisme, pragmatisme, individualisme, demoralisasi
dan depolitisasi.
Perjuangan memerdekaan rakyat
Indonesia-pun tak haruslah berkata ‘Revolusi’
ataupun 'Lawan', namun lewat musik yang mendidik atau memajukan kesadaran yang ilmiah,
demokratis dan mengabdi pada rakyat merupakan hakikat musik.
Hidup Rakyat Indonesia!!!
Hidup Perjuangan massa!!!

Posting Komentar