BREAKING NEWS

Senin, Januari 12, 2015

Nada dan Perlawanan Part 2

gambar: http://nerdprint.com

(Departemen Pendidikan dan Propaganda - Div. Pendidikan FMN Ranting Unsoed)

Dominasi asing (Imperialisme) dirasakan oleh rakyat seperti buruh,tani,pemuda-mahasiswa,rakyat miskin kota, dan perempuan. Sektor musik-pun tak terlepas dari dominasi pemodal besar monopoli dalam segala hal di dalamnya. Bisa disaksikan semua peralatan entah di atas panggung ataupun di balik layar sendiri. Musik sendiri adalah serangkaian nada-nada yang digabungkan menjadi satu lewat berbagai instrumen-instrumen atau alat musik. Kemudian munculah berbagai aliran musik atau genre seperti pop, rock, metal, hip hop, dll. Dari beberapa musik-musik di Indonesia kita bisa membedakan pula antara musik indie dan musik label.

Musik indie sendiri memiliki slogan Do It Yourself (DIY) berarti musik indie adalah musik yang diciptakan orang-orang yang bermusik dengan modal sendiri dari proses produksi lagu sampai dengan yang namanya launching album atau EP mereka, tanpa adanya label manajemen yang menauingnya dan biasanya munculnya musik indie berasal dari komunitas-komunitas. Sedangkan musik label kebalikan dari musik indie, yaitu bernaung di bawah label musik dan profit motif.

So, kita akan membahas bagaimana musik indie mampu tetap eksis menghadapi industrialisasi musik dewasa ini. Coba kita lihat alat-alat musik yang dimiliki musisinya biasanya buatan dari negara-negara maju. Contoh peralatan band seperti drum, gitar, keyboard, piano saja Indonesia belum bisa membuatnya. Kalo pun ada itu pasti gitar custom-an dari merk-merk terkenal dan tetap kalah kualitasnya. Gitar yang buatan asli amerika saja kisaran 5-7jt belum efek dan amplifier gitarnya. Secara tidak langsung seorang musisi minimal harus memiliki modal sekitar 10-12jt dan itu tidak bisa dipungkiri. Lalu jika musisi dengan orientasi non-profit (indie) bagaimana mereka bertahan ditengah industrialisasi dunia hiburan?

Menjadi seorang musisi label pun juga belum tentu enak. Dari total pendapatan “ngamen” dari hasil keringatnya itu pun harus dibagi kepada management dan managernya sekitar 60%. Terjadi penghisapan di dunia permusikan. Sebagai contoh sebuah grup musik yang terdiri dari 5 orang “ngamen” disebuah event dengan fee Rp 15.000.000 maka band tadi harus menyetorkan sekitar 60% dari total pendapatanya, mereka harus membayar Rp 9.000.000 kepada management dan managernya. Berarti grup musik tadi hanya mendapatkan fee Rp 6.000.000 yang kemudian harus dibagi untuk 5 orang, yang berarti mendapatkan Rp 1.200.000 tiap orangnya. Apakah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya anggota grup musik tadi?

Tidak hanya itu saja. Dibalik layarnya atau dalam produksi pembuatan lagu semua peralatannya pasti mayoritas buatan luar negeri. Berbagai merk asing yang menguasai pasar alat rekaaman. Dengan asumsi untuk membuat suatu studio recording kamar saja bisa menghabiskan yang masih di bawah standar rekaman pun budgetnya kisaran 10-20 juta. Biaya sewa yang dipatok oleh pemilik studio yang merangkap operator studio itu sendiri biasanya sekitar Rp 20.000/jam sedangkan biaya mixing dan mastering sekitar Rp 80.000 – 100.000/lagu. Belum lagi persaingan kualitas hasil studio rekaman yang bersifat kompetitif. Bisa dipastikan mereka yang mempunyai studio akan berlomba-lomba untuk bersaing. Dan bisa dipastikan pula hanya bertahan sebentar saja.

Lewat WTO (World Trade Organization) dengan memasukan TRIP’s atau hak cipta dan bentuk riil-nya adalah kebijakan HAKI (Hak Kekayaan Intelektual) yang membuat musik hakikatnya adalah ekspresi manusia atas kegelisahan akan realita manusia, lingkungan dan ruang hidup kini hanya ‘rengekan’, ‘Cinta’ yang semu. Monopoli industri musik-pun dirasakan oleh musisi tradisional daerah yang ada di Indonesia yang harus tertatih-tatih bertahan di dunia seni tradisional yang ‘semakin’ ditelan oleh zaman. Dibalik gemerlapnya lampu dan sorotan kamera, ternyata dunia hiburan hanya sebagai topeng dari Kapitalis Monopoli untuk membius rakyat dalam kesenangan, kegalauan dan romantisme ‘Cinta’ yang semu. Secara budaya pemuda Indonesia terus di ‘cekoki’ oleh budaya konsumerisme, pragmatisme, individualisme, demoralisasi dan depolitisasi.

Perjuangan memerdekaan rakyat Indonesia-pun tak haruslah berkata ‘Revolusi’ ataupun 'Lawan', namun lewat musik yang mendidik atau memajukan kesadaran yang ilmiah, demokratis dan mengabdi pada rakyat merupakan hakikat musik.

Hidup Rakyat Indonesia!!!
Hidup Perjuangan massa!!!

Share this:

Posting Komentar

 
Back To Top
Copyright © 2018 Soeara Massa. Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Templates