Aku bukannya mau marah
Lantaran kesal
Atau dendam kesumat
Tapi pendengaranku ini tak bisa disumbat
Kerna ketidak-adilan membanjir
Jauh kedalam lobang telinga
Bahkan kedalam benak
Dan matapun tak bisa dipejam
Melihat realitas yang kejam
Dan bagaimana mungkin
Kita mau hanya diam
Melihat kelakuan birokrat yg kejam
Beberapa waktu lalu aku bukan dengar kabar bohong,
Kawannya kawanku punya kawan,
Bercerita mencurah rasa
Dari hati masuk kejiwa
Tanpa halang-halang kelabu
Ia menangis tersedu
Lantaran kawannya bilang :
"Aku tak bisa lanjut kuliah,
Aku tak sanggup melihat orang tuaku
Yang selalu kalah
Dalam pergulatan hidup yang susah"
Sementara untuk bayar kuliah
Tak cukup dengan dibayar keluh-kesah
Tapi butuh segepok rupiah
Dan ketika lewat didepanku seekor tikus lorong
Dia seolah berkata mengejek :
Memangnya enak dijajah ?
Mau pintar saja harus pakai 2, 3,4, puluhan, bahkan ratusan juta rupiah,
Sebenarnya kamu sudah dikelabuhi
Oleh tikus-tikus lain berwujud manusia
Yang kadang juga menjelma lebih kejam
Layaknya anjing tanah ! Atau serigala !
Dia dipelihara oleh tuannya diluar sana,
Yaa tuan yang sesungguhnya, mas marco bilang : imperialisme ! Dia raja dari rajanya anjing di negeri ini !
Tikus lorong itu berlarian bersama sekawanannya
Dia masuk kelorong-lorong kampus,
Memastikan,
Ada-kah tikus lain yang menjelma dengan wujud manusia ?
Dan kawan dari kawannya temanku itu,
Dia tidak sendirian
Banyak yang sebaya darinya
Anak-anak
Dari negeri yang setengah dijajah ini,
Melumat nasibnya sendiri
Yang ditentukan oleh tikus-tikus dan anjing tadi
Nasib-nasib yang sudah ditakar
Dan terhadapnya,
kita rubah, atau diam mematung ?
Dan bukannya mau marah,
Lantaran kesal atau dendam kesumat,
Aku sudah bersama genggaman tangan
Manyaksikan ilmu-ilmu sekolahan
sudah dijajakkan untuk di-dagang
Dan bukan hak yang dapat dijangkau setiap kalangan,
Dimanapun tempat,
Dan nasib sudah ditakar
A. B. Saputra
-Jum'at, 16 Januari 2015-
Posting Komentar