Pengkhianatan Jokowi-JK Kepada Rakyat Indonesia
Rejim Boneka Jokowi dengan dalih pemborosan biaya APBN untuk subsidi, maka harga BBM (Bahan
Bakar Minyak) dinaikkan. Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu IndonEsia Pintar
(KIP) hanyalah ilusi yang usang dan
sebaliknya, kebijakan naiknya harga BBM akan digunakan sebagai pembiayaan rezim
Jokowi-JK untuk mega proyek MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia). Adapun MP3EI telah disiapkan sejak rezim SBY-Boedi,
tepatnya sejak 2011, dan mega proyek tersebut berakhir pada 2025. Jokowi-JK
meneruskan program MP3EI yang sejatinya merupakan program untuk menjadikan
Indonesia sebagai lahan investasi dari pemodal besar Internasional. MP3EI
merupakan pembangunan infrastruktur dan birokrasi dalam rangka memuluskan
Pemodal Besar Internasional dalam mengeruk kekayaan Sumber Daya Agraria dan
Manusia di Indonesia.
Jokowi meresmikan kenaikan harga BBM premium dari
Rp.6500 menjadi Rp.8500 per liter, dan Solar dari Rp.5500 per liter menjadi
Rp.7500 per liter. Awal yang menyakitkan bagi rakyat Indonesia. Belum ada satu
bulan pelantikan Jokowi-JK (22/11/2014) memperlihatkan bahwa Jokowi-JK bertopeng
nasionalisme palsu yang anti rakyat. Kebijakan penaikan harga ini dilakukan
dengan menerbitkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No.
34 Tahun 2014 tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna Jenis Bahan Bakar
Minyak Tertentu.
Permasalahan
kenaikan BBM tidak bisa lepas dari penguasaan perusahaan besar terhadap sumber
Migas di Indonesia, dengan 84 perusahaan Migas yang dikategorikan ke dalam 3
kelompok,
1. Super
Major, yang terdiri dari ExxonMobile, Total Fina Elf, BP Amoro Arco, dan
Texaco yang menguasai 70% cadangan minyak dan 80% gas Indonesia.
2. Major, yang terdiri dari Conoco, Repsol,
Unocal, Santa Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex, dan Japex telah menguasai
cadangan minyak 18% dan gas 15%.
3. Pemerintah, melalui perusahaan Pertamina menguasai
12% minyak dan 5% gas.
Kebijakan Jokowi dengan menaikkan BBM menunjukkan
sikap setianya kepada imperialisme asing, terutama Amerika Serikat. Jokowi
tunduk pada kepentingan asing, dan mengorbankan rakyat. Inilah bukti bahwa
Indonesia masih negara Setengah Jajahan dan Setengah Feodal. Akibat kenaikan
harga BBM, kaum tani, buruh, perempuan, kaum miskin kota, pemuda, mahasiswa,
dan rakyat tertindas lainnya semakin merasakan penderitaan tak henti-hentinya.
Jokowi Menggunakan
Celah yang Diwarisi SBY Dalam Mengambil Kebijakan
Mekanisme pengambilan kebijakan kenaikan harga BBM
kali ini berbeda dari mekanisme sebelum sebelumnya. Kenaikan BBM terakhir
dilakukan pada tahun 2013, yakni pada rezim SBY-Boediono. Meski begitu,
mekanisme pengambilan keputusan ini didahului melalui proses yang panjang,
yakni sejak Maret 2012. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melakukan rapat sejak
tanggal 30 Maret, hingga 31 Maret dini hari, untuk membahas pengesahan
Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (UU APBN-P).
Hasil dari rapat paripurna DPR tersebut ialah
menyetujui tambahan ketentuan, yakni Pasal 7 ayat 6A. Ketentuan tersebut berisi
bahwa pemerintah baru dapat menyesuaikan
harga BBM apabila dalam enam (6) bulan terakhir harga ICP minyak mengalami
kenaikan atau penurunan 15% dari asumsi yang ditetapkan dalam APBN-P 2012
sebesar 105 USD AS per barrel. Keputusan ini dilaksanakan dengan mekanisme
voting, yang didukung oleh mayoritas fraksi partai yang menjadi koalisi SBY,
yakni Partai Demokrat, Partai Golkar, PKB, PKS, PPP dan PAN. Sedangkan yang
menolak keputusan tersebut ialah PDI-P, Partai Gerindra, dan Partai Hanura.
Sejak hasil rapat paripurna DPR itu diputus, harga BBM yang direncanakan
pemerintah akan naik pada 1 April 2014 batal terlaksana[2].
Adapun yang menjadi catatan penting di sini ialah
pada menjelang rapat paripurna DPR, gelombang perlawanan dari gerakan rakyat
terjadi cukup masif dan besar di seluruh wilayah Indonesia, termasuk di
Purwokerto. Akan tetapi besarnya gerakan itu tidak dapat dipungkiri telah
disusupi oleh kepentingan elit partai tertentu, terutama dari partai-partai
oposisi pemerintah, sebagaimana telah disebutkan di atas[3].
Penyusupan kepentingan elit inilah sebenarnya yang telah menghancurkan gerakan
rakyat itu sendiri, dari dalam.
Hasil rapat paripurna DPR 31 Maret 2012 tersebut
seolah-olah menjadi kekalahan pemerintah, dan seolah-oleh kemenangan DPR.
Seolah menjadi kekalahan pemerintah, karena rencana pemerintah yang hendak
menaikkan harga pada 1 April 2012 menjadi gagal. Seolah menjadi kemenangan DPR,
karena DPR merasa telah berhasil menggagalkan rencana pemerintah untuk
menaikkan harga BBM. Namun namanya saja “seolah-olah”, artinya hanya pura-pura
saja, alias sandiwara.
Yang sebenarnya terjadi ialah bahwa negara telah
melakukan suatu mengambil langkah yang mengkhianati rakyat Indonesia. Dengan
menyandarkan harga BBM pada mekanisme harga pasar minyak dunia, negara
Indonesia telah menjadikan BBM sebagai komoditas (barang dagangan). Ini
menandakan bahwa negara Indonesia makin menegaskan liberalisasi sektor BBM,
yang padahal sejatinya merupakan hak rakyat Indonesia. Kontrol negara atas BBM
berubah menjadi kontrol pasar bebas internasional atas BBM, yang difasilitasi
oleh negara.
Negara adalah alat bagi klas yang berkuasa untuk
menindas klas yang dikuasai. Dengan kata lain, siapapun aparatusnya, entah itu
DPR maupun Presiden, hanyalah bersandiwara untuk menipu gerakan rakyat. Negara
telah mengerjai gerakan rakyat, menjebloskan gerakan rakyat ke palung samudra
yang gelap gulita, supaya rakyat bisa tertindas dan terhisap selamanya.
Celah hasil rapat paripurna DPR inilah yang
digunakan SBY pada tahun 2013 dan Jokowi pada 2014, untuk menaikkan harga BBM.
Berturut-turut SBY dan Jokowi menaikkan harga BBM tanpa melalui mekanisme
pembahasan paripurna DPR. Keduanya menerbitkan aturan kenaikan harga BBM hanya
melalui Peraturan Menteri ESDM.
Rakyat Berdaulat, Rebut
Hak Mengambil Keputusan Sendiri
SBY dapat menjadi presiden untuk kedua kalinya
karena menjelang Pilpres 2009, ia menurunkan harga BBM sebesar 500 rupiah.
Jokowi membuat resah rakyat Indonesia hanya dengan menerbitkan Peraturan
Menteri. Itu artinya kenaikan harga BBM bukan hanya tentang selisih harga saja,
bukan hanya soal pendapatan negara saja. Di Indonesia, barang siapa yang
mengontrol minyak, dia bisa mengontrol kehidupan masyarakat. Ini menandakan
tidak ada kemerdekaan dan demokrasi sejati di negara setengah jajahan dan
setengah feodal Indonesia.
SBY maupun Jokowi, adalah rejim fasis, rejim boneka,
dan rejim feodal yang anti rakyat, anti kritik, dan anti demokrasi. Sedangkan
DPR adalah sarang koruptor, penjilat, dan penipu rakyat. Harus diakui bahwa
rakyat saat ini masih tertindas dan terhisap oleh negara setengah jajahan dan
setengah feodal.
Meski begitu, pengalaman pahit rakyat karena dikhianati
oleh rejim sepanjang zaman tidak bisa dijadikan alasan untuk menyerah. Gerakan
rakyat akan menjadikan kekeliruan di masa lalu menjadi pembelajaran di masa
depan. Gerakan rakyat akan sadar bahwa kita tidak bisa menyandarkan nasib pada
aparatus negara. Kita hanya bisa percaya dengan kekuatan internal, kepercayaan atas
kekuatan diri, untuk merebut dan mempertahankan hak demokratis rakyat.
Kita bisa mengubah cara berpikir kita, menjadi
percaya bahwa rakyat memiliki hak untuk mengambil keputusan sendiri. Bahwa
tiada seorang pun yang dapat sewenang-wenang mengontrol nasib hidup kita,
termasuk menaikkan dengan seenaknya harga BBM. Bahwa rakyat bukan sekedar
menyampaikan aspirasi, karena ini lebih dari aspirasi. Ini hak untuk mengambil
keputusan sendiri secara demokratis yang sejati.
Namun yang menjadi persoalan ialah, bisakah kita
melakukannya? Lantas bagaimana caranya? Hak rakyat untuk mengambil keputusan
sendiri disebut juga dengan plebisit (plebiscite)
, atau biasa disebut dengan referendum. Adapun plebisit tidaklah diatur di
dalam peraturan di Indonesia. Watak negara yang anti rakyat tentu saja tidak
akan membolehkan rakyat menikmati hak demokratisnya. Meski begitu bukan berarti
kita tidak dapat melakukan plebisit. Pengalaman di Timor Timur, yang mana
rakyatnya memutuskan untuk melakukan plebisit, untuk lepas menjadi Timor Leste
karena terus menerus ditindas oleh rejim fasis Soeharto, bisa menjadi teladan
bahwa plebisit bukan tidak mungkin dilakukan.
Plebisit tidak hanya dapat dilakukan untuk memerdekakan
diri, namun juga untuk mengambil suatu keputusan untuk dijadikan kebijakan. Di
Bolivia misalnya, plebisit pernah dilakukan untuk membahas kepemilikan atas
perusahaan gas nasional. Di Kanada, plebisit pernah dilakukan untuk membahas
legalisasi minuman anggur. Di Chili, plebisit pernah dilakukan untuk membahas
kebijakan pendidikan. Dan tentu saja, plebisit tersebut disertai dengan
gelombang perlawanan dari rakyat. Karena plebisit bukanlah pemberian, melainkan
hal yang harus direbut sendiri oleh rakyat.
Penutup
![]() |
| panji mulkillah ahmad |
Solusi dari persoalan ini ialah dengan cara
menegaskan dan membangkitkan kembali kesadaran rakyat untuk mengorganisir diri
dan melakukan perlawanan. Aksi-aksi harus terus dilakukan oleh organisasi,
komunitas, maupun individu, dengan cara sekreatif apapun, untuk menyatakan
sikap penolakan atas kenaikan harga BBM.
[1] Anggota Front Mahasiswa Nasional Cabang Purwokerto, mahasiswa FH
Unsoed 2010.
[2] http://nasional.kompas.com/read/2012/03/31/07044844/Pemerintah.Menerima.Penundaan.Kenaikan.Harga.BBM
[3] http://bola.kompas.com/read/2012/03/29/13123936/Demo.di.Alun-alun.Purwokerto.Disusupi.Provokator

Posting Komentar